Minggu, 10 Juli 2016

Pelet Tukang Bangunan

Pagi itu seperti biasa aku bangun lebih pagi dari mas Erwin, kusiapkan sarapan meski hanya beberapa lembar roti dan selai dan segelas kopi hitam hangat sebelum ia berangkat kerja. Begitu ia selesai berpakian ia pun sarapan dengan santai nya ditemani olehku. Sebelum tak lupa mas erwin mencium keningku mesra diiringi senyumnya yang hangat dan pergi pagi-pagi sekali mengejar kereta ke tempat ia bekerja.
Begitulah keseharian kami berdua. Sudah 3 tahun lamanya kami menikah. Bermodal tabungan dan sedikit bantuan orangtua kamipun bisa angkat kaki dari “Pondok Mertua Indah” dan mencicil rumah mungil di luar kota jakarta sebagai tempat tinggal kami. Sehari-hari aku bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga, meskipun memang ironisnya aku belum pantas menyandang predikat “ibu”. Mungkin memang belum rejeki, dan memang saatnya belum tepat bagi kami untuk memiliki keturunan. Jadi sehari-hari aku mengisi waktu luangku dengan membereskan rumah dan memasak. Komplek tempat tinggalku tergolong baru, dan banyak rumah belum terisi jadi aku banyak melakukan aktivitas apapun itu untuk mengusir kesepianku.
Sudah 5 hari ini aku memiliki aktivitas baru, yaitu mengawasi pekerjaan tukang yang tengah memperluas bangunan rumahku. Kebetulan bulan lalu mas Erwin mendapat tambahan uang dari bonus akhir tahunnya. Uang tersebut lantas kami tabung dan sisanya kamu pergunakan untuk membangun kanopi penutup garasi di areal depan rumah kami. 
“Selamat pagi bu..” Sapa sang mandor pak Imam dengan ramah.
“Oh pak Imam, silakan masuk pak” Ujarku dengan tak kalah ramah.
Tepat pukul 9 pagi pak Imam dan anak buahnya memulai pekerjaannya. Pekerjaan membangun kanopi tergolong mudah dan tak memakan banyak tenaga, sehingga mampu dilakukan hanya dengan 2 orang saja. Pagi itu seperti hari-hari sebelumnya pak Imam datang bersama Feri atau biasa dipanggil Acong keponakannya untuk membantu mengerjakan kanopi kami. Pak Imam yang sudah berumur sekitar 40-an itu lebih kearah me-mandori pekerjaan anak buahnya saja yang tenaganya lebih kuat. Sedangkan Feri keponakannya itu yang kira-kira berumur sekitar pertengahan 20-an, tak jauh beda denganku, lebih banyak melakukan pekerjaan berat dibawah komando pak imam.
“Silahkan pak diminum airnya” Sapaku ramah sambil membawakan nampan berisi kopi dan air putih dan menaruhnya di teras.
“Oh iya makasih bu Santi..” Jawab pak imam dengan sopan sambil tersenyum sambil terus melanjutkan pekerjaannya.
Berbeda dengan pak Imam, Feri tak banyak bicara. Ia lebih banyak diam dan berkonsentrasi bekerja. Bahkan pada awalnya kukira ia memiliki kelainan sangking ia tak pernah kudengar berbicara satu kali pun. Namun satu hal yang membuatku agak risih dengan feri adalah bagaimana ia kerap memperhatikanku. Seringkali ia menatapku dengan tajam, yang membuatku jadi agak salah tingkah apabila bertemu mata dengannya.. Hal itulah yang kadang membuatku tak ingin lama-lama di luar, padahal kapan lagi aku punya teman mengobrol meski hanya sebatas pak imam.
Dan saat itu sama seperti hari-hari sebelumnya, kali ini pun Feri menatapku dengan seksama. Ia memandangiku lekat-lekat dari ujung rambut hingga ujung kaki sembari menggergaji rangka kanopi di teras rumah. Harus kuakui, Feri memiliki aura misterius yang membuatku penasaran. Entah karena sikapnya yang begitu pendiam, atau karena alasan lain. Bukan sekali dua kali ia memergokiku dengan cepat ketika aku tengah diam-diam memperhatikannya. Dengan cepat menoleh dan membalas tatapan mataku seakan tahu bahwa aku sedang mengamatinya.
Akan tetapi ada satu hal yang mengusik rasa penasaranku. Meski selalu bekerja tanpa menggunakan baju, Feri tak pernah melepaskan Kalung hitam yang melingkar di lehernya. Kalung wasiat itu seperti terbuat dari kulit dengan bandul berbentuk persegi berwarna hitam juga yang mengingatkanku pada aksesoris yang sering dipakai di sinetron laga di televisi. Ada satu hal lagi yang membuatku janggal, yaitu ia kerap kali mengusap-usap atau memain-mainkan kalung yang terlingkar di lehernya tersebut sembari ia berbisik-bisik seperti berdzikir. Tak jarang ia memandangiku lekat-lekat sembari melakukan kebiasan anehnya tersebut yang membuatku makin risih saja.
Entah sejak kapan dimulainya, tapi akhir-akhir ini aku kerap mendapat mimpi aneh. Sebuah mimpi samar dimana aku didatangi sesosok pria tanpa busana. Aku tak dapat mengingat jelas bagaimana wajah pria tersebut kecuali badannya yang tegap berotot. Tanpa basa-basi si pria dalam mimpiku tersebut mendekapku dan mulai merengkuh tubuhku. Kemudian entah bagaimana ceritanya, si pria tersebut mulai menggauliku. Ia dengan beringas menyetubuhiku hingga akhirnya akupun terbangun di tengah-tengah mimpi aneh/buruk tersebut dengan bercucuran keringat.
Yang membuatnya makin aneh adalah aku terus mendapat mimpi tersebut terus menerus selama beberapa setelahnya. Dan seperti biasa, didalam mimpi tersebut sang pria tiba-tiba datang dan kemudian menyetubuhiku. Satu hal yang menjadi kesamaan di setiap mimpi adalah sebelum menggauliku, sosok misterius itu selalu memaksaku untuk mengoral kemaluannya, yang anehnya dalam mimpi itu selalu kulayani dengan senang hati. Meski aku tak bisa ingat bagaimana perawakan si sosok yang kerap datang di mimpiku itu, uniknya aku bisa ingat betul bagaimana bentuk kemaluan si pria itu. Aku dapat merasakan bagaimana baunya, teksturnya ketika aku mengulumnya dalam mulutku. Bahkan aku bisa mengingat rasanya di kemaluanku. Aku jadi seperti dibuat mimpi basah tiap malam, dan terbangun dengan cairan kemaluan yang menetes-netes di celana dalamku.
Dan begitulah selama beberapa hari berturut-turut, aku terbangun dari mimpi buruk tersebut dengan keringat yang mengucur deras. Namun tetap saja aku tak bisa mengingat wajahnya seperti apa. Hingga pada suatu saat aku tengah duduk di teras, memperhatikan pekerjaan pak Imam dan Feri. Tanpa sadar aku tengah mengamati Feri lekat-lekat. Kuperhatikan badannya yang berotot, berkilat keringat diterpa matahari, kulitnya yang gelap namun bersih.. dan akupun tercekat ketika Feri balik memandangku, seakan mengetahui bahwa ia tengah diamati. Akupun segera masuk kedalam rumah dan menenggak air putih dengan nafas terengah-engah. Mungkinkah aku memimpikan Feri selama ini?
Semakin hari aku semakin tak bisa melupakan mimpi-mimpiku di malam hari tersebut. Kadang aku merasa bingung menemukan diriku tengah melamun membayangkan mimpiku tersebut. Akupun tak mengerti kenapa aku jadi sering mengingat-ingat mimpi erotis itu, dan membayangkan bilaman si pria yang datang itu adalah Feri. Akupun terus berusaha untuk menghilangkan pikiran-pikiran aneh tersebut dan berusaha untuk tidak memikirkannya sama sekali dan membuangnya jauh-jauh.
Suatu ketika di minggu ke dua, aku tengah mempersiapkan kopi dan air putih bagi pak Imam dan Feri. Hari itu aku malas sekali untuk mandi pagi, dan tetap menggunakan gaun tidurku semalam yang dilapis oleh cardigan tipis sewarna dengan gaun tidurku itu. Aku terkaget ketika melihat Feri datang sendiri tanpa didampingi pak Imam.
“Eng.. pak Imam kemana?” Tanyaku dengan canggung.
“........Pak Imam sakit. Istirahat dirumah.” Jawab Feri pendek. Kupikir-pikir baru kali ini aku mendengar suaranya dan bertanya langsung kepadanya.
“Ooh.. Saya taruh disini ya minumnya..” Ujarku pelan sembari menaruh nampan. Entah kenapa suaranya yang berat membuatku jadi sedikit ciut.
Feri tak menjawab dan langsung menaruh peralatan yang dibawanya. Dengan santai ia melepas bajunya dan menggantungnya di pagarku. Aku terdiam. Entah kali ini aku begitu berhasrat untuk memandangi badannya lama-lama. Kupandangi badannya yang mulai berkeringat mengaduk semen, berkilat-kilat. Entah bagaimana reaksi mas erwin apabila memergokiku tengah melamun memelototi pria lain seperti ini. Yang jelas saat itu aku sama sekali lupa dengan mas erwin, benar-benar lupa.
Lamunanku tersadar ketika lagi-lagi Feri memergokiku tertangkap basah memandanginya. Dengan wajah bersemu akupun segera masuk tanpa banyak bicara. Didalam rumah aku mengatur napas, aku tak habis pikir bisa berbuat sebodoh itu. Beberapa waktu berselang aku memutuskan untuk menonton tv saja. Namun lagi-lagi aku tak bisa berkonsentrasi dan pikiranku melayang membayangkan mimpi-mimpi erotis yang kualami. 
Sebuah ketukan pelan membuyarkan fantasiku. Akupun terlonjak duduk dari lamunanku. Kucoba untuk meredakan debaran jantungku yang sedari tadi berdegup kencang melamunkan mimpi tak senonoh tersebut. Akupun segera berjalan keluar dan membuka pintu.
“Permisi bu. Hujan, saya berhenti dulu.” Ujar Feri pendek.
Aku seperti orang bodoh hanya berdiri didepan pintu dengan mata terbelalak dan mulut menganga. Tak menyangka Feri berada di depan pintu berdiri sedekat itu denganku.
“I-iya mas, silakan saja.” Ujarku cepat. Kulihat tubuhnya basah kuyup diguyur hujan. Ternyata aku tak menyadari turun hujan sangking asiknya melamun tadi. Akupun balik badan dan meninggalkan Feri yang berdiri mematung di teras memandangi hujan lebat yang mengguyur teras rumah. Rupanya ia tadi sempat memindahkan rangka-rangka kanopi terlebih dahulu sehingga badannya basah kuyup kehujanan. Kupikir-pikir kasihan juga kalau ia kedinginan seperti itu, bisa-bisa ia sakit juga dan malah pekerjaan rumahku jadi terbengkalai.
“.... Eng, silakan mas kalau mau bersih-bersih di kamar mandi..” Ujarku canggung sambil tertunduk membuka pintu sedikit mempersilahkannya masuk. Sementara Feri balas memandangiku sejenak, kemudian berjalan mengikutiku masuk kedalam rumah. Segera setelah memberikannya handuk akupun berlari kedalam kamar dan berdiam diri.
“Duh, kenapa jadi deg-degan begini sih?!” Umpatku dalam hati. Aku terduduk di atas kasur, kemudian merebahkan diriku dengan kedua kakiku menjuntai kebawah. Aku memejamkan mata berusaha meredakan debaran jantungku. Pikiranku melayang tak terkendali, membayangkan tubuh kekar Feri yang tengah diguyur shower di dalam kamar mandiku, membayangkan bulir-bulir air jatuh ke sela-sela tubuhnya. Aku menghela napas panjang, tak mengerti dengan pikiranku sendiri.
Tanpa kusadari Feri ternyata telah selesai membersihkan tubuhnya. Ia berjalan pelan keluar kamar mandi dan memandang masuk kedalam kamar. Posisi kamar mandi tersebut berseberangan dengan kamar tidurku, jadi siapapun yang keluar dari kamar mandi dapat dengan mudah melongok kedalam kamar tidurku apabila pintunya terbuka. Dan sialnya kala itu aku lupa menutup pintu kamar tidurku, sehingga Feri dapat langsung melihatku yang tengah merebahkan diri diatas kasur begitu ia keluar dari kamar mandi.
“Saya sudah selesai, bu.” Ujar Feri pendek.
Aku terlonjak kaget dan terduduk. Suara tersebut sangat dekat. Dan benar saja, Feri berada di ambang pintu kamar tidurku. Aku terdiam mematung menunduk kebawah menghindari sorotan matanya. Entah sejak kapan ia berdiri disana. Mungkinkah sedari tadi ia memandangiku yang sedang merebahkan diri di kasur?. Yang paling mencengangkan adalah tiba-tiba dengan perlahan Feri melangkah masuk kedalam kamarku, dan merapatkan pintu dibelakangnya.
Aku tercekat diam seribu bahasa. Otaku berusaha mencerna apa yang tengah dilakukan Feri, dan memikirkan bagaimana ia berani-beraninya punya nyali masuk kedalam kamarku. Nyaliku makin ciut tiap kali Feri melangkah mendekat, perlahan ia mempersempit jarak antara kami berdua. Badanku lemas, antara panik, takut dan terkesima. Terkesima oleh tubuh telanjangnya yang menawan yang kala itu hanya terlilit selembar handuk putih diatas lututnya. Feri memandangiku lekat-lekat tanpa kata-kata. Sementara aku makin tertunduk ketakutan dan panik diterpa sorotan matanya yang tajam.
Jantungku berdegup kencang ketika kurasakan sentuhan lembut Feri di ujung-ujung rambutku. Benarkah itu tangannya? Apa ini hanya Khayalanku belaka?. Sementara itu aku masih tak berani mendongak dan memastikannya. Entah kenapa tak terbesit untuk mengusirnya. Kenekatan Feri kala itu menciutkan nyaliku.
Sementara itu jantungku tak berhenti berdetak kencang tak terkendali tiap punggung jemari mengusap lembut rambut pendek terurai ku. Diusapnya lembut dari pangkal ke ujung rambutku yang tergerai di sisi wajahku. Aku tak mampu melawan dan hanya bisa mematung. Ingin rasanya aku melawan, namun anehnya aku tak mampu. Jangankan berontak, mengangkat wajah melawan tatapannya pun aku tak sanggup.
Hingga akhirnya dengan segenap kekuatanku, aku berhasil berontak dan menepis tangannya dari wajahku. Kutampar tangannya hingga melayang, dan dengan serta merta kudorong badannya dengan kedua tanganku dengan niatan mengusirnya keluar dari kamarku.
“Egghh! Keluar kamu!!”
Namun badanku yang jauh lebih mungil darinya tentu tak membuatnya bergeming sedikitpun. Malah berbalik aku yang terjengkang kebelakang dan jatuh berlutut di lantai. Saat itulah tiba-tiba feri menggenggam pinggir handuknya, dan meloloskan handuknya turun hingga jatuh ke lantai. Posisi ku yang berlutut di hadapannya otomatis langsung berhadapan dengan bagian tubuh bawahnya, sejajar dengan pinggangnya. Kini Feri telanjang bulat di depanku tanpa sehelai benangpun kecuali kalung wasiat yang melingkar di lehernya.
Dan di saat itu lah semuanya menjadi makin tak terkendali. Sesaat kemudian aku kembali terdiam mematung berlutut, antara kaget dan terpana. Penis feri yang setengah keras itu tepat berhadapan satu jengkal jauhnya dari wajahku. Otakku langsung bereaksi mengusik alam bawah sadarku, mengulang lagi memori mimpi-mimpi yang kualami beberapa malam ini. Bentuk penis yang berada di depanku ini benar-benar familiar. Ya, ini adalah penis si sosok misterius yang kerap menghantui malamku. Aku memang tak pernah ingat dengan sosoknya, namun aku hapal betul dengan penis itu. Ternyata memang benar, tak lain dan tak bukan penis itu adalah penis Feri sendiri.
Seperti dirundung rasa haru dan rindu karena akhirnya bisa melihatnya langsung, kuperhatikan dengan seksama penis feri yang tepat menodong wajahku itu. Bagaimana tiap-tiap guratan di batang penisnya, kantung zakarnya, urat-urat di sekliling batagnya, kepala penisnya yang sedikit lonjong berkilat, bahkan bentuk rambut kemaluannya memang benar sangat kuhapal.
Bak tengah melihat ular kobra yang siap mematuk, kupandangi penisnya yang gagah menantang. Kuakui panjangnya mungkin hanya selisih lebih panjang 2-3CM dari milik mas erwin. Mungkin karena ukuran kepala penisnya yang berbeda dan sedikit lebih besar. Tapi yang paling kentara adalah diameternya. Meski juga barangkali hanya berselisih 2-3CM diameternya dari milik mas erwin, tapi yang jelas membuatnya jadi terlihat lebih tebal dan gendut. Aku jadi menelan ludah grogi ketika teringat bagimana rasa penis itu di mulutku dan di kemaluanku di dalam mimpiku.
Dan kemudian tanpa berkata-kata, feri kembali mengelus wajahku lembut dengan tanganya. Sementara itu ia perlahan memajukan pinggangnya kian mendekat, mengecilkan jarak antara wajahku dan kemaluannya. Namun kali ini aku tak lagi panik atau berontak, aku malah merasa tenang bahkan menunggu-nunggu. Hingga akhirnya aku bisa menghirup aroma kemaluannya yang bercampur sabun merasuk kedalam hidungku. Secara naluriah aku memejamkan mata menikmati baunya yang khas. Mataku perlahan terpejam syahdu seiring feri mendekatkan penisnya. 
"Ach..."
Aku terpekik kecil ketika pipi halusku bersinggungan dengan hangatnya kulit batang penis feri. Teksturnya yang tak rata begitu terasa di pipi kananku. Masih dengan mata terpejam kubiarkan penis feri menjelajahi wajahku. Mulai dari pipi, kemudian beralih ke hidungku hingga daguku bisa merasakan kantung zakarnya di daguku. Tangan feri yang tadinya hanya mengelus pipiku, kini beralih memegangi belakang kepalaku. Otomatis bibirku jadi mengecup pangkal kemaluan feri.
"Hhhmm..."
Feri mendengus pelan. Diarahkannya lagi kepalaku hingga kini bibirku mengecup naik ke batang kemaluannya, dan kemudian mengecup kepala penisnya lembut. Dan akupun seperti mengerti akan keinginan feri, kugerakkan bibirku mencumbui lubang urine nya yang terasa sedikit basah dan asin.
"Mmhcch.. Mmmhcccup.. Cuppphmm.. Cupphhmmmmm..."
Dengan jinaknya kutimpali dengan kecupan mesra gerakan kepala penis feri yang berputar di sekeliling bibirku. Perlahan namun pasti feri menggerakan penisnya maju, membuka bibirku yang tertutup rapat. Kini tanpa harus banyak menggerakan tangannya, kepalaku secara otomatis bergerak pelan mencumbui penisnya hingga masuk sedikit demi sedikit. Bibirku kini sedikit menganga, berganti dari menciumi menjadi mengulum kecil meski baru sebatas kepala penisnya saja.
Kunikmati dan kukecap mesra rasa penis feri di mulutku. Aku tak pernah mengoral penis siapapun sebelumnya, bahkan penis mas erwin sekalipun. Pengalaman oralku hanya dari mimpi mimpi yang kualami saja. Namun kini dengan giatnya aku mengisapi batang kemaluan feri kian dalam hingga kini sudah setengah batangnya masuk kedalam mulutku.
Feri pun kian bersemangat dan mulai menggerakkan pinggulnya lebih kencang. Kini aku hanya diam dan pasif saja melebarkan mulutku membiarkan kontol tebal feri mengawini mulutku. Kepalaku kini bersandar di pinggir kasur menahan sodokan penis feri keluar masuk di mulutku. Feri pun mulai agak sedikit beringas. Dipeganginya kuat-kuat kedua sisi wajahku sambil sesekali ia menjejalkan penisnya hingga ke kerongkonganku. Aku terbatuk-batuk mual akibat ulahnya, namun tetap saja aku memasrahkan diriku sepasrah-pasrahnya.
"Uuggghhhhh..."
Feri pun menggeram ketika ia membenamkan penisnya dalam dalam kedalam mulutku. Barulah aku tahu besarnya beda 2-3CM tersebut. Dadaku terasa sesak, oksigen tertahan di kerongkonganku akibat penis feri yang terbenam dalam. Aku tercekik hingga tak terasa wajahku merah padam dan air mataku mengalir dari sisi sisi mataku yang masih terpejam. Terasa ujung penis feri menyentuh sisi terdalam kerongonganku.
"OHOK.. OHOK.. OHOKKK..!!!"
Aku terbatuk-batuk ketika oksigen kembali masuk ke paru-paruku. Kumuntahkan sedikit lendir lengket kerongonganku hingga jatuh membasahi gaun malamku. Nampak penis feri berkilat basah oleh ludahku ketika ia mencabutnya dari dalam mulutku. Tersisa jalinan bening lendir ludahku tadi yang masih tertaut di sisi bibirku dan kepala penisnya. Rasanya lama sekali tadi ia men- deep throat ku, mungkin 30 detik, mungkin 1 menit aku tak tahu. Tapi entah bagaimana aku tak marah malahan begitu puas bisa mengoral penisnya seperti itu.
Feri dengan lembut menyeka sisa sisa ludah di bibirku. Dengan perlahan ia mambantuku berdiri yang masih agak lemas tadi. Namun kemudian dengan cepat feri mendorong tubuhku hingga aku jatuh terbaring di atas kasur. Dengan sedikit berdebar-debar aku memperhatikan feri yang masih berdiri di sisi kasur. Dengan perlahan diangkatnya kedua kakiku keatas kasur. Diusapnya lembut telapak kakiku, dan dimainkannya sebentar gelang kaki yang terikat di pergelangan kananku. Tanpa basa-basi kemudian feri mencium telapal kakiku gemas. Dikecupnya jemari kaki mungilku dan diisapnya kuat-kuat.
"Emggghhh..!"
Serta merta badanku menggeliat karena sensasi geli yang ditimbulkannya. Kemudian seperti macan yang mendekati mangsanya, feri ikut naik keatas kasur dan merangkak diatas tubuhku. Telapaknya yang kasar meraba pergelangan kakiku dan naik hingga ke lututku. Badanku kini merinding sejadi-jadinya. Apalagi kini tangannya sudah naik lagi menyusuri pahaku dan bahkan sudah tiba di tepian celana dalamku. Kontan aku merapatkan pahaku malu barangkali ia hendak melucuti celana dalamku. Namun aku dikejutkan oleh gerakannya yang sangat mendadak, ketimbang menurunkan cd ku ia malah menjambak ujung gaun tidurku dan menyingkapnya keatas.
Aku menggeliat kecil menahan wajahku yang merah padam ketika feri berhasil menyingkap gaunku hingga ke atas dadaku. Terpampanglah sudah kedua payudaraku di hadapannya. Aku yang memang kala itu tak mengenakan bra, kini harus merelakan kedua gunung kembarku menjadi tontonannya. Yang membuatku makin malu adalah kedua puting sususku ternyata sudah mencuat keras, tanda bahwa aku memang juga senang diperlakukan seperti itu olehnya.
Feri menatapi nanar dadaku. Kuakui memang payudaraku tak terlalu besar (hanya 32B), tapi bentuknya yang bulat padat serta kedua puting susuku yang sedikit panjang berwarna kemerahan pastilah tetap membuat feri dahaga. Benar saja, tanpa banyak bicara feri segera melahap dada kiriku hingga habis.
"Aaaauuhhh..!!"
Aku mendesah geli sembari membungkam bibiku ketika feri menyedot payudaraku kuat-kuat. Tak hanya dilahapnya dadaku, namun juga dengan lidahnya ia menjawil-jawil puting susuku dalam mulutnya seperti hewan yang kelaparan.
"Aaahmmm...sslrrrpp.. Nyaammhhh...ccttttt.."
Hingga berdecit-decit bibirnya menetek di payudaraku. Payudaraku yang sebelahnya juga ikut dimainkannya menggunakan tangannya. Kasar memang, tapi terasa begitu nikmat menurutku. Puting susuku berganti-ganti digelitkinya, ditariknya, dipuntirnya, ditariknya kuat-kuat hingga makin memanjang, bahkan disentil-sentilnya hingga terasa agak ngilu.
Puas menetek kanan dan kiri, feri menyudahi permainannya. Tak hanya dia, akupun jadi terengah-engah dibuatnya. Setelah nafasnya terkumpul kembali, feri kini beranjak turun menciumi perut dan pusarku. Aku hanya bisa tengadah kegelian dan sesekali melirik kebawah mencari tahu perbuatannya.
"Aakh!!"
Kembali aku tersentak kaget ketika tangan feri mengusapi paha dalamku dan kemudian berganti mengusapi selangkanganku. Percuma saja kuapit pahaku erat-erat, karena feri pun sudah menyadari ada sesuatu di celana dalamku. Dengan bertenaga disentaknya kedua pahaku hingga terkangkang. Kembali kualihkan wajahku menahan malu kala feri menemukan noda basah memanjang di muka celana dalamku. Noda basah vertikal itu tercetak di sepanjang garis khayal bibir kemaluanku. Dengan lembut, feri mencolek noda basah tersebut yang tak pelak ikut mencolek kemaluanku dari luar.
"Aungghhhh..." 
Aku meringis dan kembali membungkam bibirku tatkala kurasakan aliran listrik yang memecut tubuhku saat feri mencolek celana dalamku. Melihat reaksiku feri makin menggencarkan gerakan telunjukku. Kini diusap dan digosok-gosokkannya makin cepat telunjuknya, seakan memancinf cd aku agar lebih basah lagi. Aku hanya bisa menggeliat dan mendesah terbata-bata berjinjit diatas kasur akibat rasa enak yang ditimbulkannya.
Badanku makin menggeliat liar ketika akhirnya telunjuk feri berhasil masuk menelusup dari sela-sela celana dalamku. Kugigit bibirku kuat-kuat ketika akhirnya kurasakan secara langsung telunjuk feri di bibir kemaluanku. Telunjuknya mengusapi bibir kemaluanku naik turun dari sudut atas hingga kebawah berulang kali. Dinikmatinya telunjuknya yang kini jadi basah berminyak oleh vaginaku. Yang membuatku makin lupa daratan yaitu ketika feri menggelitiki sudut atas bibir vaginaku. Dengan tepat ia menemukan tonjolan kecil yang tersembunyi itu dan diutak-utiknya dengan cepat. Kontan saja badanku makin menggeliat bak cacing kepanasan.
"Heemmmff..heeemmmgfffff...."
Aku mendesah berat ketika klentitku dirangsang oleh ujung telunjuknya. Ia tahu betul aku benar-benar menikmatinya hingga ia kini hanya berfokus memainkan klentitku saja. Badanku melayang layang keasyikan ketika feri memutuskan meloloskan cd ku, dan kemudian dengan cepat mengganti telunjuknya dengan ujung lidahnya. Lidahnya yang basah yang hangat, serta Teksturnya yang khas makin menambah keasyikan yang kurasakan.
Kini berganti giliran feri yang mengoral diriku. Aku baru kali merasakan rangsangan foreplay yang begini nikmatnya, nyaris menyamai nikmat hubungan seks yang kulakukan dengan mas erwin. Mas erwin tak pernah merangsangku sedemikian binal dan kotor. Kemana saja aku selama ini? Baru kali aku begitu puas dan tak ingin sudah dipermainkan seperti ini. Feri dengan semangat mencumbu vaginaku. Bibirnya dan lidahnya men- French kiss kemaluanku tanpa ragu. Baru kali inilah kurasakan vaginaku sebecel ini. Tak hanya dari cairan pelumasku saja, tapi juga dari ludah feri yang mencumbu kemaluankPosisiku yang kini nampak seperti katak yang siap dibedah, mengangkang selebar-lebarnya membiarkan feri terus melakukan perbuatan bejatnya kepadaku. Mataku terpejam-pejam sangking begitu nikmatnya rangsangan feri. Namun tepat saat dimana tinggal sedikit lagi aku mencapai puncak kenikmatan, feri menyudahi oralnya. Entah karena lelah, atau memang ia sengaja. Yang pasti aku langsung dongkol dan merasa kesal. Ingin rasanya aku berteriak dan merengek-rengek kepadanya minta diteruskan lagi, namun aku malu. Aku hanya bisa melirik feri dengan pandangan bertanya-tanya dan sedikit melirik memohon.
Feri nampaknya memang tahu jelas aku sudah mempasrahkan diriku sepenuhnya padanya. Dengan perlahan ia mensejajarkan dirinya diatasku. Tanpa ingat malu kurengkuh leher feri dan kuciumi gemas bibirnya. Biarlah ia berpikir aku pelacur atau binal, yang penting aku ingin sekali dituntaskan birahiku saat ini juga. Feri pun untungnya diam dan hanya membalas cumbuanku tanpa berkata apa-apa. Kuciumi bibirnya mesra seakan merayunya lagi untung melanjutkan pencabulannya terhadapku. Feri ternyata diam-diam sudah mempersiapkan diri.
Tanpa kusadari feri sudah mengarahkan moncong penisnya tepar di depan bibir vaginaku. Mataku membelalak berbinar ketika kurasakan kepala penisnya mencocol lembut lubang kemaluanku. Dengan berdebar-debar tak sabaran, segera kuposisikan lagi kedua kakiku mengangkang bersiap menyambut penis yang amat kurindukan itu.
Feri tak terlalu buru-buru mempenetrasi diriku, hingga aku jadi kegatalan sendiri dibuatnya. Pertama-tama feri menggesek-gesekkan batang penisnya dahulu, melumurinya dengan cairan pelumasku. Lalu dengan lembut digosoknya pula kelentitku dengan moncong penisnya, yang membuat badanku ngilu-ngilu sedap. Sembari terus kucumbui lehernya dan dagunya, kadang kala sengaja kuangkat dan kumajukan pinggulku agar cepat-cepar feri memasukkan batang jantannya meski terus meleset.
Akhirnya disaat birahiku sudah tak terbensung lagi di ubun-ubunku, saat itulah feri membidik lubang kemaluanku. Perlahan namun pasti kepala penis feri mulai terbenam masuk di rongga vaginaku. Dengan mendesah tertahan, kunikmati segenap batang feri yang berjejal masuk di lubang yang selama ini hanya boleh dimasuki oleh maa erwin.
"Ooooouugghhhhhh...nggg..oohhhhhhh..."
Kurasakan bagaimana sedapnya otot dinding kemaluanku yang dipaksa merenggang lebih dari biasanya. Diameter penis feri yang mengungguli punya mas erwin memaksa vaginaku beradaptasi lagi. Meski licin dan sudah amat basah, tetap saja terasa bagaimana sesak dan sempitnya vaginaku melawan penis gendut feri. Feri dengan lihainya menarik mundur batang penisnya, kemudian menggenjot lebih dalam lagi dari sebelumnya. Terus perlahan seperti itu hingga akhirnya bermenit-menit kemudian kedua pangkal kemaluan kami bertemu. Feri menggeram puas merasakan penisnya yang terbenam dalam di rahimku. Begitu pula aku yang menemukan sensasi kenikmatan mampu menelan habis penis feri yang notabene jauh lebih dahsyat yg biasanya kurasakan.
Kami berdua lalu terdiam sejenak menikmati pertautan kemaluan kami. Terasa ada chemistry diantara kami lantaran kedua kemaluan kami terasa begitu pas satu sama sama lain. Biasanya milik mas erwin tak pernah bisa se-pas ini. Namun kini penis feri menyatu dengan sempurna dengan vaginaku. Penisnya mampu meraih sudut-sudut rongga terdalam yang tak pernah dicapai mas erwin sebelumnya. Begitu pula besarnya, baru ini aku merasakan vaginaku penuh sesak dijejali penis sedemikian gendut. Meskipun agak ngilu kurasa, namun tak bisa kupungkiri aku benar-benar menyukai otot vaginaku merenggang lebar seperti ini.
Bermenit-menit kemudian kami masij saja diam saling menikmati kedutan dan remasan kemaluan satu sama lain. Kami saling berpandangan mesra sembari berciuman lembut. Hingga akhirnya feri berinisiatif menggenjot pinggulnya perlahan.
"PLOK!"
"Ouuwwwwhhh..mmsssssshhh"
Sekali tamparan cepat bunyi kemaluan kami beradu. Feri dengan sangat pelan menarik mundur penisnya keluar. Aku dapat merasakan bagaimana rongga vaginaku seakan ikut tertarik keluar kala ia mengambil ancang ancang mundur. Dan kemudian dengan cepat feri mendesak maju menghantam vaginaku hingga mentok lagi seluruhnya.
Ranjang pernikahanku dan mas erwin kini berderit-derit kencang. Nampak bagaimana tubuh feri yang berkilat seksi oleh keringat bergerak berirama diatasku. Dari belakang aku nampak tenggelam dibawah badan feri. Yang terlihat mungkin hanya punggung feri saja, dan juga hanya ada dua buah tangan yang mencengkram tengkuk serta mencakar punggungnya gemas. Juga sepasang kaki yang melilit pinggul feri erat-erat sembari merenggangakan dan menjinjitkan jari-jari kaki mungilnya bak seorang balerina.
"Ouggh.. Ugghh.. Uuuuuhmmmm..."
Feri menggeram ketika menyudahi genjotannya setelah temponya menurun. Aku hanya bisa terengah-engah dengan ekspresi sakau dibawah tubuh feri. Feri menoleh sekilas ke arah lemari di seberang ranjang, dan kemudian ia punseperti mendapatkan ide. Ia pun memutar tubuhku hingga aku berbaring kesamping. Kemudian diputarnya badanku dengan mudahnya (karena memang badanku jauh lebih kecil darinya) sehingga kini aku berposisi merangkak di depannya. Semua dilakukanya tanpa mencabut penisnya dari vaginaku. Lantas ia menggeser tubuhku hingga kini kami berdua berhadapan dengan cermin di pintu lemari tersebut. Kini aku berpegangan di pinggir kasur sementara feri mulai memacu lagi kuda poninya.
"Aaaawwwwh... Aaaaaaahhhh... Aaaaaaaaaaaaahhh...!"
Kini tanpa lagi malu-malu aku mulai berteriak sekencang-kencangnya. Aku menjerit-jerit bak orang disiksa. Tentunya aku tengah disiksa kenikmatan oleh feri saat ini. Entah kenapa dengan menghadap cermin seperti itu naluri binalku muncul perlahan. Aku seperti tak mengenal sosok wanita yang tengah asyik menjerit-jerit didalam cermin itu. Benarkah itu santi? Istri dari erwin? Akupun tak percaya bahwa itu adalah diriku. Wanita didalam cermin itu tengah asyik mengaduh dan mendesah membiarkan dirinya dinikmati oleh tukang bangunan yang hina. Ya, mungkin wanita di cermin itu juga wanita hina. Hina karena membiarkan dirinya menikmati kenikmatan terlarang dan mengkhianati suaminya.
"Aaaghhh terusss.. Terus mas feriiiii.. Terussssssss"
Akupun mulai berani membuka mulut dan memanggil-manggil feri. Feri dengan beringasnya menjambak rambutku dan mencengkram pundakku dari belakang, agar hentakannya bisa lebih kuat lagi. Feri pun mencondongkan badannya dan berbisik tak kalah binal dariku.
"Iyaaa mas feri.. Aaauwwwwh... Hajar terus masss hajar masss.."
"Hmmmggg..rrrr...kamu suka kan?!"
"Iya masss... Santi suka masss.. Suka banget maaaasssh.. Aaaauuggghh"
"Hmmmgghhh.. Aku kuat khan? Ugfhh.. Uffghh.. Ga kaya suami kamu loyo.. Uffghh"
"He eh mass.. Enakk masss.. Santi seneng massss.. Auuuuhh!!
"Pilih mana.. Uffgh.. Aku apa suami.. Ufgh.. Kamu??"
"Aaaasgghh... Santi sama mas feri ajaaa... Aaahhh santi nikmatt sama aauhh.. Mas feriiiii...!"
"Mulai sekarang.. Nffhhh...kamu jadi..ssshhm..istriku aja yah.. Uufgghh..."
"Mhmhhh.. Iyah iyah mass.. Santi mau jadi istri mas fer.. Awwugh.. Mas feriii...!!"
"Gghrrrr.. Bagusss... Tak hamilin yaah?? Mau?? Uffgh.."
"Iya mas ferrihh.. Hamilin santi masshhh.. Hamilin masss.. Semprotin aauwwwhh yang.. Banyak massss.. Ighhh..aaahhhh..."
"Uggfhhg nih.. Nih... Mmmggaaaaaaaaahhh!!!!"
Feri kemudian menghentakkan dalam-dalam penisnya dan menyemburkan benihnya kedalam rahimku. Tentu saja kusambut semburannya dengan orgasme ku yang talah kalah dahsyat. Kami berdua sama-sama kejang menikmati klimaks terindah yang pernah kami alami ini. Hingga kemudian tubuh kami berdua rubuh diatas kasur. Benih feri meleleh-leleh diantara sela kemaluanku. Kami berdua segera nyaris terlelap bahkan tak sampai ingat untuk mencabut kemaluan kami berdua. Kamipun akhirnya tertidur saling menimpah satu sama lain masih dalam keadaan seperti tadi.
Kurengkuh mesra suami baruku yang mendengkur diatas tubuhku ini dan kemudian ikut terlelap bersamanya.

Tidak ada komentar: