Sabtu, 27 Juni 2009

Semalam Dengan Atasan

Namaku Reni, usia 27 tahun. Kulitku kuning langsat dan rambutku sebahu dengan tinggi
165 cm dan berat 51 kg. Aku telah menikah setahun lebih. Aku berasal dari keluarga
Minang yang terpandang. Sekilas wajahku mirip dengan Putri Indonesia 2002 Melani
Putria. Bedanya aku telah menikah dan aku lebih tua darinya 2 tahun. Aku bekerja pada
sebuah Bank pemerintah yang cukup terkenal.

Suamiku Ikhsan adalah seorang staf pengajar pada sebuah perguruan tinggi swasta di
kota Padang. Di samping itu, ia juga memiliki beberapa usaha perbengkelan.

Kami menikah setelah sempat berpacaran kurang lebih 3 tahun.Perjuangan kami cukup
berat dalam mempertahankan cinta dan kasih sayang. Di antaranya adalah
ketidaksetujuan dari pihak orang tua kami. Sebelumnya aku telah dijodohkan oleh orang
tuaku dengan seorang pengusaha.

Bagaimanapun, kami dapat juga melalui semua itu dengan keyakinan yang kuat hingga
kami akhirnya bersatu. Kami memutuskan untuk menikah tapi kami sepakat untuk
menunda dulu punya anak. Aku dan Bang Ikhsan cukup sibuk sehingga takut nantinya
tak dapat mengurus anak.

Kehidupan kami sehari-hari cukup mapan dengan keberhasilan kami memiliki sebuah
rumah yang asri di sebuah lingkungan yang elite dan juga memiliki 2 unit mobil sedan
keluaran terbaru hasil usaha kami berdua. Begitu juga dalam kehidupan seks tiada
masalah di antara kami. Ranjang kami cukup hangat dengan 4-5 kali seminggu kami
berhubungan suami istri. Aku memutuskan untuk memakai program KB dulu agar
kehamilanku dapat kuatur.

Aku pun rajin merawat kecantikan dan kebugaran tubuhku agar suamiku tidak berpaling
dan kehidupan seks kami lancar.

Suatu waktu, atas loyalitas dan prestasi kerjaku yang dinilai bagus, maka pimpinan
menunjukku untuk menempati kantor baru di sebuah kabupaten baru yang merupakan
sebuah kepulauan. Aku merasa bingung untuk menerimanya dan tidak berani
memutuskannya sendiri. Aku harus merundingkannya dulu dengan suamiku. Bagiku naik
atau tidaknya statusku sama saja, yang penting bagiku adalah keluarga dan
perkawinanku.

Tanpa aku duga, Suamiku ternyata sangat mendorongku agar tidak melepaskan
kesempatan ini. Inilah saatnya bagiku untuk meningkatkan kinerjaku yang biasa-biasa
saja selama ini, katanya. Aku bahagia sekali. Rupanya suamiku orangnya amat bijaksana
dan pengertian. Sayang orang tuaku kurang suka dengan keputusan itu. Begitu juga
mertuaku. Bagaimanapun, kegundahan mereka akhirnya dapat diatasi oleh suamiku
dengan baik. Bahkan akhirnya mereka pun mendorongku agar maju dan tegar. Suamiku
hanya minta agar aku setiap minggu pulang ke Padang agar kami dapat berkumpul. Aku
pun setuju dan berterima kasih padanya.

Aku pun pindah ke pulau yang jika ditempuh dengan naik kapal motor dari Padang akan
memerlukan waktu selama 5 jam saat cuacanya bagus. Suamiku turut serta mengantarku.
Ia menyediakan waktu untuk bersamaku di pulau selama seminggu.

Di pulau itu aku disediakan sebuah rumah dinas lengkap dengan prasarananya kecuali
kendaraan. Jarak antara kantor dan rumahku hanya dapat ditempuh dengan naik ojek
karena belum adanya angkutan di sana.

Hari pertama kerja aku diantar oleh suamiku dan sorenya dijemput. Suamiku ingin agar
aku betah dan dapat secepatnya menyesuaikan diri di pulau ini. Memang prasarananya
belum lengkap. Rumah-rumah dinas yang lainnya pun masih banyak yang kosong.

Selama di pulau itu pun suamiku tidak lupa memberiku nafkah batin karena nantinya
kami akan bertemu seminggu sekali. Aku pun menyadarinya dan kami pun mereguk
kenikmatan badaniah sepuas-puasnya selama suamiku di pulau ini.

Suamiku dalam tempo yang singkat telah dapat berkenalan dengan beberapa tetangga
yang jaraknya lumayan jauh. Ia juga mengenal beberapa tukang ojek hingga tanpa
kusadari suatu hari ia menjemputku pakai sepeda motor. Rupanya ia meminjamnya dari
tukang ojek itu.

Salah satu tukang ojek yang dikenal suamiku adalah Pak Sitorus. Pak Sitorus ini adalah
laki-laki berusia 50 tahun. Ia tinggal sendirian dipulau itu sejak istrinya meninggal dan
kedua anaknya pergi mencari kerja ke Jakarta.

Laki-laki asal tanah Batak itu harus memenuhi sendiri hidupnya di pulau itu dengan kerja
sebagai tukang ojek. Pak Sitorus, yang biasa dipanggil Pak Sitor, orangnya sekilas
terlihat kasar dan keras namun jika telah kenal ia cukup baik. Menurut suamiku, yang
sempat bicara panjang lebar dengan Pak Sitor, dulunya ia pernah tinggal di Padang yaitu
di Muara Padang sebagai buruh pelabuhan. Suatu saat ia ingin mengubah nasibnya
dengan berdagang namun bangkrut. Untunglah ia masih punya sepeda motor hingga
menjadi tukang ojek.

Hampir tiap akhir pekan aku pulang ke Padang untuk berkumpul dengan suamiku. Yang
namanya pasangan muda tentu saja kami tidak melewatkan saat kebersamaan di ranjang.
Saat aku pulang, aku menitipkan rumah dinasku pada Pak Sitor karena suamiku bilang ia
dapat dipercaya. Akupun mengikuti kata-kata suamiku.

Kadang-kadang aku diberi kabar oleh suamiku bahwa aku tidak usah pulang karena ia
yang akan ke pulau. Sering kali suamiku bolak-balik ke pulau hanya karena kangen
padaku. Sering kali pula ia memakai sepeda motor Pak Sitor dan memberinya uang lebih.

Suamiku telah menganggap Pak Sitor sebagai sahabatnya karena sesekali saat ia ke
pulau, Pak Sitor diajaknya makan ke rumah. Sebaliknya, Pak Sitor pun sering mengajak
suamiku jalan-jalan di pantai yang cukup indah itu.

Suamiku sering memberi Pak Sitor uang lebih karena ia akan menjagaku dan rumahku
jika aku ditinggal. Sejak saat itu aku pun rutin di antar jemput Pak Sitor jika ke kantor.
Tidak jarang ia membawakanku penganan asli pulau itu. Aku pun menerimanya dengan
senang hati dan berterima kasih. Kadang aku pun membawakannya oleh-oleh jika aku
baru pulang dari Padang.

Setelah beberapa bulan aku tugas di pulau itu dan melalui rutinitas seperti biasanya,
suamiku datang dan memberiku kabar bahwa ia akan disekolahkan ke Australia selama
1,5 tahun. Ini merupakan beasiswa untuk menambah pengetahuannya. Aku tahu bea
siswa ini merupakan obsesinya sejak lama. Aku menerimanya. Aku pikir demi masa
depan dan kebahagiaan kami juga nantinya sehingga tidak masalah bagiku.

Suamiku sebelum berangkat sempat berpesan agar aku jangan segan minta tolong kepada
Pak Sitor sebab suamiku telah meninggalkan pesan pada Pak Sitor untuk menjagaku.
Suamiku pun menitipkan uang yang harus aku serahkan pada Pak Sitor.

Sejak suamiku di luar negeri, kami sering telpon-teleponan dan kadang aku bermasturbasi
bersama suamiku lewat telepon. Itu sering kami lakukan untuk memenuhi libido kami
berdua. Akibatnya, tagihan telepon pun meningkat. Bagaimanapun, aku tidak
memperdulikannya. Selagi melakukannya dengan suamiku, aku mengkhayalkan suamiku
ada dekatku. Tidak masalah jarak kami berjauhan.

Aku mulai jarang pulang ke Padang karena suamiku tidak ada. Paling aku pulang sebulan
sekali. Itu pun aku cuma ke rumah orang tuaku. Rumahku di Padang aku titipkan pada
saudaraku.

Aku melewatkan hari-hariku di pulau dengan kesibukan seperti biasanya. Begitu juga Pak
Sitor rutin mengantar jemputku. Suatu saat ketika aku pulang, Pak Sitor mengajakku
untuk jalan-jalan keliling pantai namun aku menolaknya dengan halus. Aku merasa tidak
enak. Apa nanti kata teman kantorku jika melihatnya. Kebetulan saat itu pun aku sedang
tidak mood sehingga aku merasa lebih tenang di rumah saja. Di rumah aku beres-beres
dan berbenah pekerjaan kantor.

Akhir-akhir ini, aku merasakan bahwa Pak Sitor amat memperhatikanku. Tidak jarang ia
sore datang sekedar memastikan aku tidak apa-apa sebab di pulau itu ia amat disegani
dan berpengaruh.

Aku sadari kadang dalam berboncengan tanpa sengaja dadaku terdorong ke punggung
Pak Sitor saat ia menghindari lubang dan saat ia mengerem. Aku maklum, itulah
resikonya jika aku berboncengan sepeda motor. Semakin lama, hal seperti itu semakin
sering terjadi sehingga akhirnya aku jadi terbiasa. Sesekali aku juga merangkul
pinggangnya jika aku duduknya belum pas di atas jok motornya. Aku rasa Pak Sitor pun
sempat merasakan kelembutan payudaraku yang bernomer 34b ini. Aku menerima saja
kondisi ini sebab di pulau ini mana ada angkutan. Jadi aku harus bisa membiasakan diri
dan menjalaninya. Tak bisa membandingkannya dengan di Padang di mana aku terbiasa
menyetir sendiri kalau pergi ke kantor.

Pada suatu Jumat sore sehabis jam kerja, Pak Sitor datang kerumahku. Seperti biasanya,
ia dengan ramah menyapaku dan menanyakan keadaanku. Ia pun aku persilakan masuk
dan duduk di ruang tamu.

Sore itu aku telah selesai mandi dan sedang menonton televisi. Kembali Pak Sitor
mengajakku jalan ke pantai. Aku keberatan sebab aku masih agak capai. Lagipula aku
agak kesal dengan kesibukan suamiku saat kutelepon tadi. Ia tidak bisa terlalu lama di
telpon.

"Kalau gitu, kita main catur saja, Bu... Gimana?" Pak Sitor mencoba mencari alternatif.
Kebetulan selama ini ia sering main catur dengan suamiku. Akupun setuju karena aku
lagi suntuk. Lumayanlah, untuk menghilangkan kekecewaanku saat ini. Aku pun lalu
main catur dengan laki-laki itu. Beberapa kali pula aku mengalahkannya. Taruhannya
adalah sebuah botol yang diikat tali lalu dikalungkan ke leher.

Seumur hidupku, baru kali ini aku mau bicara bebas dengan laki-laki selain suamiku dan
atasanku. Tidak semua orang dapat bebas berbicara denganku. Aku termasuk tipe orang
yang memilih dalam mencari lawan bicara sehingga tidak heran jika aku dicap sombong
oleh sebagian orang yang kurang aku kenal. Bagaimanapun, dengan Pak Sitor aku bicara
apa adanya, ceplas ceplos. Mungkin karena kami telah saling mengenal dan juga aku
merasa membutuhkan tenaganya di pulau ini.

Tanpa terasa, telah lama kami bermain catur hingga jam menunjukan pukul 10 malam. Di
luar rupanya telah turun hujan deras diiringi petir yang bersahut-sahutan. Kami pun
mengakhiri permainan catur kami. Aku lalu membersihkan mukaku ke belakang.

"Pak, kita ngopi dulu, yuk..? Biar nggak bosan dan ngantuk," kataku menawarinya.

Di pulau saat itu penduduknya telah pada tidur dan yang terdengar hanya suara hujan dan
petir. Setelah menghabiskan kopinya, Pak Sitor minta izin pulang karena hari telah larut.
Aku tidak sampai hati sebab cuaca tidak memungkinkan ia pulang. Rumahnya pun cukup
jauh. Lagi pula aku kuatir jika nanti ia tersambar petir .

Lalu aku tawarkan agar ia tidur di ruang tamuku saja. Akhirnya ia menerima tawaranku.
Aku memberinya sebuah bantal dan selimut karena cuaca sangat dingin saat itu.

Tiba-tiba, lampu mati. Aku sempat kaget, untunglah Pak Sitor punya korek api dan
membantuku mencari lampu minyak di ruang tengah. Lampu kami hidupkan. Satu untuk
kamarku dan yang satu lagi untuk ruang tamu tempat Pak Sitor tidur.

Aku lalu minta diri untuk lebih dulu tidur sebab aku merasa capai. Aku lalu tidur di
kamar sementara di luar hujan turun dengan derasnya seolah pulau ini akan tenggelam.

Aku berusaha untuk tidur namun ternyata tidak bisa. Ada rasa khawatir yang tidak aku
ketahui sebab petir berbunyi begitu kerasnya hingga akhirnya aku putuskan ke ruang
tamu saja. Hitung-hitung memancing kantuk dengan ngobrol bareng Pak Sitor. Rasa
khawatirku jadi berkurang sebab aku merasa ada yang melindungi.

Sesampainya di ruang tamu, aku lihat Pak Sitor masih berbaring namun matanya belum
tidur. Ia kaget, disangkanya aku telah tidur. Aku lalu duduk di depannya dan bilang
nggak bisa tidur. Ia cuma tersenyum dan bilang mungkin aku ingat suamiku. Padahal saat
itu aku masih sebal dengan kelakuan suamiku. Tanpa sengaja kucurahkan kekesalanku.
Aku tahu, mestinya aku tidak boleh bilang suasana hatiku saat itu pada Pak Sitor namun
entah mengapa kata-kata itu meluncur begitu saja.

Dengan cara bijaksana dan kebapakan ia nasehati aku yang belum merasakan asam garam
perkawinan. Dalam suasana temaram cahaya lampu saat itu aku tidak menyadari kapan
Pak Sitor pindah duduk kesampingku. Aku kurang tahu kenapa aku membiarkannya
meraih jemariku yang masih melingkar cincin berlian perkawinanku dan merebahkan
kepalaku didadanya. Aku merasa terlindungi dan merasa ada yang menampung beban
pikiranku selama ini.

Pak Sitor pun membelai rambutku seolah aku adalah istrinya. Bibirnya terus bergerak ke
balik telingaku dan menghembuskan nafasnya yang hangat. Aku terlena dan
membiarkannya berbuat seperti itu. Perlahan ia mulai menciumi telingaku. Aku mulai
terangsang ketika ia terus melakukannya dengan lembut. Bibirnya pun terus bergeser
sedikit demi sedikit ke bibirku. Saat kedua bibir kami bertemu, seperti ada aliran listrik
yang mengaliri sekujur tubuhku.

Aku seperti terhipnotis. Aku seperti tak peduli bahwa yang mencumbuku saat itu adalah
orang lain. Mungkin aku telah salah langkah dan salah menilai orang. Jelas bahwa Pak
Sitor sama sekali tak merasa sungkan memperlakukanku seperti itu. Seolah-olah ia telah
menyimpan hasrat yang mendalam terhadap diriku selama ini. Malam ini adalah
kesempatan yang telah ditunggu-tunggunya... Anehnya, aku seperti tak kuasa menahan
sepak terjangnya. Padahal yang pantas berbuat itu terhadapku hanyalah suamiku tercinta.
Sepertinya telah tertutup mata hatiku oleh nafsu dan gairahku yang juga menuntut
pelampiasan.

Pak Sitor pun mengulum bibirku beberapa saat. Aku pun membalasnya sambil menutup
kedua mataku menikmatinya. Tangannya juga tidak mau tinggal diam dengan terus
merabai buah dadaku yang terbungkus BH dan kaos tidur itu.

Aku lalu dibimbingnya ke kamar tidur dan direbahkannya di ranjang yang biasa aku
gunakan untuk bercinta dengan suamiku, namun kini yang berada di sini, di sampingku
bukanlah suamiku melainkan seorang laki-laki tukang ojek sepantaran ayahku yang
notabene tidak pantas untukku.

Aku telah terlarut dalam gairah yang menghentak. Aku tahu akan terjadi sesuatu yang
terlarang di antara kami berdua. Itulah yang menyihirku dan, entah bagaimana caranya,
membuat aku memasrahkan diriku pada laki-laki ini. Pak Sitor menutup pintu kamar dan
menguncinya dari dalam. Sedang lampu di luar telah ia matikan tadi.

Aku diam saja menanti apa yang akan diperbuatnya padaku. Padahal selama ini aku tidak
sekali pun memberi hati jika ada laki-laki lain yang iseng merabaku dan mencolekku.
Aku termasuk wanita yang menjunjung tinggi kesucian dan kehormatan sesuai dengan
yang selalu diajarkan orang tua dan agamaku.

Sekarang semua itu musnah oleh keangkuhanku sendiri. Aku terbaring tak berdaya. Pak
Sitor mulai melepaskan pakaianku satu persatu, mulai dari kaosku lalu celana panjang
dan akhirnya bra dan celana dalam kremku terlempar ke bawah lantai.

Aku hanya memejamkan mataku. Aku pun semakin buta oleh nafsuku yang mulai
menggebu-gebu merasuki jiwa dan tubuhku. Bahkan sepertinya aku tak sabar menanti
tindakan Pak Sitor selanjutnya.

Selesai menelanjangi aku, ia pun melepaskan pakaiannya hingga lapis terakhir. Aku
berdebar-debar karena kini kami sudah sama-sama bugil. Kuperhatikan tubuhnya yang
hitam. Meskipun sudah tua namun ototnya masih ada. Ada gambar tattoo tengkorak di
lengannya. Aku rasa dia adalah laki-laki yang keras dan jarang ada kelembutan. Itu aku
ketahui saat ia mulai merabaiku dan menelanjangiku.

Aku tersentak ketika Ia mulai memelukku dan menciumiku dari leher hingga belahan
dadaku dengan kasar. Rabaan tangannya yang kasar membuatku tak hanya kesakitan,
melainkan juga terangsang. Suamiku jika merabaiku cukup hati-hati. Nyata perbedaannya
dengan Pak Sitor yang keras wataknya. Tampaknya ia sudah lama tidak berhubungan
badan dengan wanita, maka akulah yang menjadi sarana pelampiasan nafsunya. Aku
merasa tak kuasa apa pun atas tindakannya.

Spontan air mataku terasa menetes karena tersirat penyesalan telah menodai
perkawinanku, namun percuma saja. Sekarang semuanya sudah terlambat. Pak Sitor
semakin asyik dengan tindakannya. Tiap jengkal tubuhku dijamahnya tanpa terlewatkan
seinci pun. Kekuatan Pak Sitor telah menguasai diriku. Aku membiarkan saja ia terus
merangsangi diriku. Tubuhku pun berkeringat tidak tahan dan geli bercampur gairah.

Lalu mulutnya turun ke selangkanganku. Ia sibakkan kedua kakiku yang putih bersih itu.
Di situ lidahnya bermain menjilati klitorisku. Kepalaku miring ke kiri dan ke kanan
menahan gejolak yang melandaku. Peganganku hanya kain sprei yang aku tarik karena
desakan itu. Kedua kakiku pun menerjang dan menghentak tidak tahan atas gairah yang
melandaku.

Beberapa menit kemudian aku orgasme dan mulutnya menelan air orgasmeku itu.
Badanku lemas tak bertenaga. Mataku pun terpejam.

Lalu aku kembali dibangkitkan oleh Pak Sitor dengan meciumi balik telingaku hingga
liang kehormatanku. Di sana jarinya ia masukkan dan mulai mengacak-acak liang
kewanitaanku lalu mempermainkan celahnya.

Aku semakin sadar jika Pak Sitor telah lama merencanakan ini. Bisa jadi telah lama ia
berobsesi untuk meniduriku karena sama sekali tak nampak keraguan dalam seluruh
tindakannya mencabuliku. Berarti ia memang telah berencana melanggar amanat suamiku
dan menguasaiku.

Akupun akhirnya orgasme untuk yang kedua kalinya oleh tangan Pak Sitor. Badanku
telah basah oleh keringat kami berdua. Aku benar-benar merasa lemas.

Pak Sitor lalu minta izin padaku untuk memasukkan penisnya ke lubang kehormatanku.
Aku menggeleng tidak setuju sebab aku tahu konsekuensinya. Liang kehormatanku akan
tercemar oleh cairan laki-laki lain. Aku merasa terlalu jauh berkhianat pada suamiku.
Bagiku cukuplah tindakannya tadi dan tidak usah diteruskan lagi hingga penetrasi.

Ia pun mau menerima pendapatku. Akan tetapi, aku bisa melihat ada rasa kecewa di
matanya. Aku bisa bayangkan dirinya yang telah terobsesi untuk menyenggamaiku. Aku
lihat penisnya telah siap memasuki diriku jika aku izinkan. Panjangnya melebihi milik
suamiku dan agak bengkok dengan diameter yang melebar.

Pak Sitor minta aku untuk membantunya klimaks dengan mengulum penisnya. Aku
kembali menggeleng karena aku dan suamiku selama ini tidak pernah melakukan oral sex
baik suami kepadaku dan juga sebaliknya meskipun kami selalu menjaga kebersihan
wilayah sensitif kami. Pak Sitor terus memohon sebab ia merasa tersiksa karena belum
klimaks.

Lama-kelamaan aku merasa kasihan juga. Tidak adil rasanya bagiku yang telah
dibantunya sampai dua kali orgasme untuk membiarkannya seperti itu.

Akhirnya aku beranikan diri mengulumnya. Dengan sedikit jijik aku buka mulutku,
namun tidak muat seluruhnya dan hanya sampai batangnya saja. Mulutku serasa mau
robek karena besarnya penis Pak Sitor. Baru beberapa kali kulum aku serasa mual dan
mau muntah oleh aroma kelamin Pak Sitor itu. Aku maklum saja karena ia kurang bersih
dan seperti kebiasaan laki-laki Batak, penisnya tidak ia sunat hingga membuatnya agak
kotor. Mungkin juga disebabkan oleh makanan yang tidak beraturan.

Satu menit, dua menit... lima menit berlalu.... Entah berapa lama lagi setelah itu aku
mengulumi penis Pak Sitor sampai basah dan bersih oleh air liurku... Aku lalu menyerah
dan melepaskan penis Pak Sitor dari mulutku. Aku heran Pak Sitor ini sampai sekian
lama kok tidak juga klimaks. Aku salut akan staminanya. Aku juga salut atas sikapnya
yang menghargai wanita dengan tidak memaksakan kehendak. Padahal dalam keadaan
seperti ini, aku bisa saja dipaksanya namun tidak ia lakukan.

Aku merasa bersalah pada diriku dan ingin membantunya saat itu juga. Di dalam
pikiranku berperang antara birahi dan moral. Akhirnya, kupikir sudah terlanjur basah. Di
samping itu, aku tidak ingin menambah masalah antara aku dan Pak Sitor. Jika aku larang
terus nantinya Pak Sitor bisa saja memperkosaku. Seorang laki-laki yang telah berbirahi
di ubun-ubun sering bertindak nekad dan lagi pula aku sendirian.

Akhirnya, dengan pertimbangan demi kebaikan kami berdua, maka aku izinkan dia
melakukan penetrasi ke dalam rahimku.

"Hmmm... Pak Sitor.... Begini deh... Kalau Bapak memang benar-benar mau mencampuri
saya... Boleh, Pak...."

Pak Sitor pun tampaknya gembira sekali. Padahal tadi sempat kulihat wajahnya tegang
sekali.

"Ibu benar-benar ikhlas...?" tanya Pak Sitor menatap dalam-dalam mataku dengan penuh
birahi. Tangannya membelai rambutku. Aku membalas tatapannya sambil tersenyum, lalu
mengangguk dengan pasti.

Pak Sitor mencium dan mengulum bibirku dalam-dalam... Seolah menyatakan rasa terima
kasihnya atas kesediaanku. Setelah dilepaskannya pagutannya dari mulutku, kami pun
berpandangan dan saling tersenyum...

Aku lalu berbaring dan membuka kedua pahaku memberinya jalan memasuki rahimku.
Tubuh kami berdua saat itu telah sama-sama berkeringat dan rambutku telah kusut. Dari
temaran lampu dinding aku lihat Pak Sitor bersiap-siap mengarahkan penisnya. Posisinya
pas diatas tubuhku. Tubuhnya telah basah oleh keringat hingga membuat badannya hitam
berkilat. Tampaknya ia masih berusaha menahan untuk ejakulasi. Di luar saat ini hujan
pun seakan tidak mau kalah oleh gelombang nafsu kami berdua.

Pak Sitor dengan hati-hati menempelkan kepala penisnya. Ia tahu jika tergesa-gesa akan
membuatku kesakitan sebab punyaku masih kecil dan belum pernah melahirkan.

Aku pun berusaha memperlebar kedua pahaku supaya mudah dimasuki kejantanan Pak
Sitor sebab aku melihat kejantanannya panjang dan agak bengkok jadi aku bersiap-siap
agar aku jangan kesakitan.

"Pelan-pelan ya, Pak..." Aku sempat bilang kepadanya untuk jangan cepat-cepat.

Dengan bertahap, ia mulai memasukan penisnya. Aku memejamkan mata dan merasakan
sentuhan pertemuan kemaluan kami.

Untuk melancarkan jalannya, kakiku ia angkat hingga melilit badannya, lalu langsung
penisnya masuk ke rahimku dengan lambat. Aku terkejut dan merasakan ngilu di bibir
rahimku.

"Auuch... ooh.. auuch..." Aku meracau kesakitan. Pak Sitor membungkam mulutku
dengan mulutnya. Kedua tubuh bugil kami pun sepenuhnya bertemu dan menempel.

Tidak lama kemudian seluruh penisnya masuk ke rahimku dan ia mulai melakukan gerak
maju mundur. Aku merasakan tulangku bagai lolos, sama seperti saat aku dan suamiku
melakukan hubungan intim pertama kalinya dan kuserahkan kegadisanku padanya di
malam pengantin dulu.

Tidak lama kemudian aku merasakan kenikmatan. Mulut pak Sitor pun lepas dari
mulutku karena aku tidak kesakitan lagi. Aku tersengal-sengal setelah selama beberapa
waktu mulutku disumpalnya. Kekuatan laki-laki ini amat membuatku salut, sampai
membuat ranjangku dan badanku bergetar semua seperti kapal yang terserang badai.

Kurang lebih 15 menit kemudian Pak Sitor gerakannya bertambah cepat dan tubuhnya
menegang hebat. Aku merasakan di dalam rahimku basah oleh cairan hangat.

Tubuhnya lalu rebah diatas tubuhku tanpa melepaskan penisnya dari dalam rahimku. Aku
pun dari tadi telah sempat kembali orgasme. Kami pun tertidur sementara diluar hujan
masih saja turun. Butiran keringat kami membuat basah sprei yang kusut di sana-sini.


Saat itu tidak ada lagi batas diantara kami, namun aku merasa telah berdosa kepada
suamiku. Hingga tengah malam Pak Sitor pun kembali menggauliku sepuasnya dan
akupun tidak merasa segan lagi karena kami tidak lagi merasa asing satu sama lain. Aku
pun tidak merasa jijik lagi jika melakukan oral sex dengan Pak Sitor.

Bagi seorang wanita seperti diriku, sangat sulit rasanya untuk melepaskan diri dari
kejadian ini. Penyesalan pun tiada gunanya. Aku yang di luarnya tampak keras,
berwibawa dan kadang sombong, semuanya menjadi tiada arti lagi saat seorang laki-laki
seperti Pak Sitor telah berhasil menggauliku. Kehormatan dan perkawinan yang aku
junjung pun luntur sudah, namun apa lagi yang bisa kuperbuat... Pak Sitor pun kini telah
merasa jadi pemenang dengan kemampuannya menaklukkanku hingga aku tidak berdaya.
Aku semakin tidak berdaya jika ia telah berada di dalam kamarku, untuk bersebadan
dengannya.

Aku merasa telah terperdaya oleh gelombang gairah yang dipancarkan oleh Pak Sitor.
Sangat aneh bagiku jika Pak Sitor yang seusia dengan ayahku ini masih mampu
mengalahkanku dan membuatku orgasme berkali-kali tidak seperti suamiku yang hanya
bisa membuatku orgasme sekali saja. Begitu juga aku.

Kuakui aku mendapatkan pengalaman baru dan mengaburkan pendapatku selama ini
bahwa laki-laki paro baya akan hilang keperkasaannya. Selama kami berhubungan badan
aku sempat bertanya padanya bagaimana ia bisa sekuat itu.

Pak Sitor pun bercerita bahwa ia sering mengkonsumsi makanan khas Batak berupa sup
anjing yang menurutnya dapat menjaga dan menambah vitalitas pria.

Aku bergidik jijik dan mau muntah mendengarnya. Aku jadi ingat, pantas saja saat
bersebadan dengannya bau keringatnya lain. Juga saat aku mengulum kemaluannya
terasa panas dan amis.Rupanya selama ini Pak Sitor sering memakan makanan yang di
agamaku diharamkan.

Pernah suatu kali aku kurang enak badan padahal Pak Sitor ngotot ingin mengajakku
untuk bersetubuh. Aku pun dibelikannya makanan berupa sate. Saat aku santap, rasanya
sedikit aneh. Setelah makan beberapa tusuk, aku merasakan tubuhku panas dan badanku
seakan fit kembali. Setelah sate itu aku habiskan, kami pun melakukan persetubuhan
dengan amat panas dan bergairah hingga aku mengalami orgasme sampai tiga kali.
Tubuhku seakan segar bugar kembali dan enak sekali.

Setelah persetubuhan, Pak Sitor bilang bahwa yang aku makan tadi adalah sate daging
anjing. Aku marah dan ingin memuntahkannya karena jijik dan kotor. Hanya karena
pandainya ia memberiku pengertian, ditambah sedikit rayuan, aku jadi bisa menerimanya.
Bagaimanapun, aku memintanya untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi walaupun
terus terang, aku pun mau tak mau harus mengakui khasiatnya... Ia pun berjanji untuk
tidak mengulanginya lagi tanpa seizinku.

Selama aku bertugas di pulau itu hampir satu tahun, kami telah sering melakukan
hubungan seks dengan sangat rapi. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Untungnya pula, akibat perbuatan kami ini aku tidak sampai hamil. Aku memang disiplin
ber-KB supaya Pak Sitor bebas menumpahkan spermanya di rahimku.

Kapanpun, kami sering melakukannya. Kadang di rumahku, kadang di rumah Pak Sitor.
Kadang kalau kupikir, alangkah bodohnya aku mau saja digauli di atas dipan kayu yang
cuma beralaskan tikar usang. Bagaimamanapun, yang penting bagiku hasrat terpenuhi
dan Pak Sitor pun bisa memberinya.

Pernah suatu hari setelah kami bersebadan di rumahnya, Pak Sitor minta kepadaku untuk
mau hidup dengannya di pulau itu. Permintaan Pak Sitor ini tentu mengejutkanku,
rasanya tidak mungkin sebab aku terikat perkawinan dengan suamiku dan aku pun tidak
ingin menghancurkannya. Lagi pula Pak Sitor seusia dengan ayahku. Apa jadinya jika
ayahku tahu. Rupanya Pak Sitor mulai mencintaiku sejak ia dengan bebas dapat
menggauliku.

Di samping itu, keyakinan kami pun berbeda karena Pak Sitor seorang Protestan. Bagiku
ini masalah baru. Memang, sejak berhubungan intim dengannya, aku tak lagi
menjalankan agamaku dengan taat. Kebiasaan Pak Sitor menyantap daging anjing dan
babi, juga menenggak tuak, sedikit demi sedikit ikut mempengaruhiku. Kadang aku ikut
pula menikmati makanan seperti itu. Sekedar menemaninya dan sebagai wujud
toleransiku padanya. Lagipula, khasiat itu semua terhadap gairah seks kami telah
terbukti... Apapun, perbedaan agama itu tetap saja terasa menjadi ganjalan.

Pak Sitor pun pernah menanyakan padaku kenapa aku tidak hamil padahal setiap ia
menyebadaniku spermanya selalu ia tumpahkan di dalam. Aku tidak memberitahunya
jika aku ber-KB karena tidak ingin mengecewakannya. Jelas ia sebenarnya menginginkan
aku hamil agar memuluskan langkahnya untuk memilikiku.

Aku harus menyiasatinya agar ia tidak lagi bermimpi untuk menikahiku. Sebenarnya
bagiku hubungan ini hanyalah sebagai pelarianku dari kesepian selama jauh dari
suamiku. Aku pun menjelaskannya kepada Pak Sitor dengan lembut dan baik-baik saat
kami usai berhubungan badan.

Aku pun bilang jika kelak aku pindah kerja, ia harus rela hubungan ini putus. Selama aku
dinas di pulau ini dan suamiku tidak ada, ia kuberi kebebasan untuk memilikiku dan
menggauliku. Syaratnya, asal jangan berbuat macam-macam didepan teman-teman
kantorku yang kebetulan hampir semuanya penduduk asli pulau ini.

Akhirnya ia mau mengerti dan menerima alasanku. Ia berjanji akan menutup rapat
rahasia kami jika aku pindah. Ia pun menerima segala persyaratanku karena rasa cintanya
padaku.

Selama aku tugas di pulau ini, Pak Sitor terus memberiku kenikmatan ragawi tanpa kenal
batas antara kami. Bagiku cinta hanya untuk suamiku. Pak Sitor adalah terminal
persinggahan yang harus aku singgahi. Dalam hatiku, aku berjanji untuk menutup rapat
rahasia ini karena masih ada penyesalan dalam diriku. Kadang aku mengganggap diriku
kotor dan telah merusak kesucian pernikahan kami. Bagaimanapun, mungkin ini memang
tahapan kehidupan yang harus aku lewati...

TAMAT

Sperma Lelaki Lain di Vagina Istriku

Pada zaman sekarang ini tak heran mendengar banyak para isteri yang selingkuh. Mereka 
bermain cinta dengan lelaki bukan suaminya. Banyak yang menjadi penyebab terjadinya 
selingkuh. Dalam hal ini aku tidak akan mempersoalkan kenapa istri selingkuh. Aku akan 
mengungkapkan sisi lain yang terjadi dari perselingkuhan para istri ini. Aku akan 
mengungkapkan bahwa ternyata banyak para suami justru menikmati selingkuhnya sang istri. 

Aku berhasil mengumpulkan cerita para suami yang justru menikmati istrinya yang doyan 
selingkuh. Bahkan mereka terkadang mendorong untuk terjadinya perselingkuhan itu. 
Selamat membaca. 

***** 

[Cerita 1, Sperma Boss] 

Sebagai sekretaris istriku sering mendapatkan tugas lembur. Dan aku terpaksa menunggu di 
kantornya hingga pekerjaannya selesai. 

Sore itu saat aku memasuki kantornya Pak Darno petugas Satpam bilang bahwa Bu Retno, 
istriku, masih bersama Pak Direktur. Waahh.. Kena lembur lagi nih. Jadi terpaksa aku duduk 
di ruang tunggunya sambil ngobrol sama Pak Darno. 

Tak lama ngobrol Pak Darno minta maaf padaku, dia harus pulang lebih dahulu karena 
istrinya minta diantar ke dokter. Dia mengambil segepok majalah dan koran, 

"Silahkan baca-baca Mas, biar nggak sepi". Pak Darno meninggalkan aku sendirian. 

Sesudah hampir semua halaman majalah aku baca-baca, istriku belum juga nongol. Apakah 
pekerjaannya demikian penting sehingga mesti dilembur macam begini? Aku agak kesal 
karena bosan menunggu. Akhirnya aku iseng-iseng. Aku masuk ke ruangan kantor. 

Lampu ruangan tidak lagi sepenuhnya menyala. Ngirit. Nampak sederetan meja kosong telah 
ditinggalkan para karyawan pulang. Aku tengok sana sini, kulihat ada ruangan kaca di pojok 
sana yang masih terang namun kacanya ditutup dengan 'blind curtain' gorden berlipat yang 
biasa dipakai di kantor. Mungkin disana istriku bekerja lembur. Pelan-pelan aku mendekat. 
Aku ingin melihat apa yang dikerjakan istriku. Aku bias mengintip dari celah 'blind curtain' 
itu. 

Bagai kena palu godam 1000 kati saat aku menyaksikan apa yang bias kusaksikan. Aku 
melihat Jeng Retno istriku dalam keadaan telanjang sedang berjongkok dengan lututnya 
diselangkangan Pak Wijaya boss-nya yang bermata sipit itu. Rok dan blus berikut BH dan 
celana dalamnya nampak terserak di lantai. Jelas dia sedang sibuk mengulum kemaluan Pak 
Wijaya yang duduk telentang di sofa yang nampak begitu empuknya. 

Tanpa melepas kemeja dan dasinya Pak Wijaya hanya merosotkan celana hingga merosot ke 
lantai, tangannya memegang kepala Jeng Retno menekan naik dan turun. Jeng Retno 
mengulum dan memompa kemaluan Pak Wijaya dengan mulutnya. Wajah Pak Wijaya 
dengan mata sipitnya nampak menyeringai merasakan nikmat tak terhingga dari bibir Jeng 
Retno. Samar-samar kudengar desahan nafsu Pak Wijaya dan suara-suara bibir istriku yang 
sedang penuh memompa kontol boss-nya itu. 

Rupanya aku telah ditipu istriku sendiri. Aku yang dengan setia menjemput dan menunggu 
setiap sore tidak menduga bahwa justru istriku ini berbuat selingkuh dengan direkturnya. Aku 
meledak ingin marah, namun kutahan. Mungkin tidak ada gunanya. Sambil terus berusaha 
menenangkan diriku aku menyaksikan apa yang akan berlanjut dari yang kulihat sekarang ini. 

Pak Wijaya menarik lengan istriku. Dia rangkul tubuh Jeng Retno untuk duduk di 
pangkuannya sedikit naik ke perut. Kontol Pak Wijaya yang telah mampu memberi semangat 
syahwat istriku tadi nampak putih bersih mencuat panjang dengan bonggolnya yang gede 
nongol di belakang pantat istriku. Dengan sangat keranjingan Pak Wijaya langsung melumati 
dada istriku. Menyusu bak bayi manja sambil tangannya merabai relung-relung tubuh sensual 
istriku. Aku melihat nikmat yang tak terhingga melanda istriku. Tubuhnya bergeliatan 
menahan gelinjangnya sambil tak putus-putusnya desah serta rintihannya mengalir dari 
mulutnya yang mungil itu. 

Sesuatu yang muskil telah terjadi pada diriku. Hal yang semula sangat memukul aku kini 
justru membangkitkan hasratku. Aku dirangsang oleh gairah birahi saat menyaksikan 
bagaimana istriku begitu merasakan nikmat dilumati boss-nya. Aku menyaksikan betapa 
istriku dengan penuh semangat syahwatnya telah mengenyoti kontol Pak Wijaya. Kini 
kemaluanku terasa menegang dan sesak di celanaku. Dan akhirnya aku mesti menyaksikan 
pergulatan asyik masyuk antara istriku dengan boss-nya ini sambil meremasi kontolku 
sendiri. 

"Ppaakk.. Rety nggak tahan ppaakk.." istriku menyambar bibir Pak Wijaya dan melumat-
lumat habis-habisan. 

Kemudian Pak Wijaya mengangkat sedikit tubuh istriku. Tangan kirinya meraih kontolnya 
dan diarahkannya ke memek Jeng Retno. Apa yang terjadi kemudian sangatlah mendebarkan 
jantungku. Aku melihat bagaimana kontol gede dan panjang milik Pak Wijaya itu menembusi 
memek Jeng Retno istriku yang sangat aku tahu betapa sempit lubangnya. 

Berkali-kali kulihat yang satu menekan yang lain menjemput. Sesudah kontol Pak Wijaya 
hampir selalu meleset untuk diluruskan kembali, akhirnya dengan pelan kusaksikan kemaluan 
istriku menelan batangan gede panjang itu. Uucchh.. Bagaimana bisa..? Istriku menyeringai. 
Nampaknya dia mendapatkan rasa pedih sekaligus nikmat yang tak bertara. 

Akhirnya seluruh batangan itu melesak tertelan menembusi vagina Jeng Retno. Mereka lantas 
diam sesaat. Hanya bibir-bibir mereka yang kembali terus berpagut. Itu mereka lakukan 
untuk meningkatkan hasrat birahinya. Kemudian secara hati-hati Pak Wijaya memulai 
dengan menaik turunkan pantatnya. Kudengar rintih Jeng Retno.. 

"Aduuhh.. Aduuhh.. Adduuhh.." Mengulang-ulang kata aduh setiap kali kontol Pak Wijaya 
ditarik dan menusuk. 

Sesudah beberapa kali berlangsung kulihat tangan istriku bergerak berpegangan bahu boss-
nya. Dia kini nampak akan mengambil alih gerakan. Dengan sekali lagi memagut bibir Pak 
Wijaya istriku mulai menggenjot dan mengenjot-enjot. Vaginanya nampak naik turun seakan 
menyedoti kontol gede boss-nya itu. Bibir vaginanya setiap kali nampak tertarik keluar 
masuk karena sesaknya bibir vaginanya menerima gedenya batang kontol Pak Wijaya. 

Aku tak mampu lagi bertahan. Aku turunkan celanaku dan kukeluarkan kontolku sendiri. 
Tanpa ragu lagi aku melototi kontol dan memek istriku yang saling jemput itu. Aku 
mengocok-ocok kemaluanku sambil khayalanku terbang tinggi. Aku membayangkan betapa 
nikmatnya menciumi kontol yang sedang keluar masuk di liang vagina istriku Jeng Retno itu. 
Aku juga meracau pelan, 

"Jeenng.. Boleh aku ciumi bibir vaginamu yang sesak oleh kontol Pak Wijaya yaa.. Boleh 
aku jilati pejuhnya yaa..". Khaayalanku ini sungguh merangsang hasrat syahwatku. 

Genjotan istriku semakin cepat. Racau kedua insan yang asyik masyuk itu semakin riuh. Aku 
menyaksikan tubuh-tubuh mereka berkilat karena keringat yang mengucur. Dalam kamar AC 
yang dingin itu nafsu birahi mereka membakar tubuhnya. Rambut istriku semakin awut-
awutan. Rambut itu menggelombang setiap tubuhnya naik turun menggenjoti kontol boss-
nya. 

Saat mereka mulai mendaki puncak, tak pelak lagi keduanya mempertingi polahnya. Pak 
Wijaya mempererat pelukan pinggul Jeng Retno danm bibir Jeng Retno melumat penuh 
gereget bibir Pak Wijaya. Keadaan menjadi semacam 'chaos'. Liar dan tak terkendali. 

Cakar dan kuku istriku menghunjam pada kemeja Pak Wijaya sementara bibir dengan cepat 
mematuk bahu Jeng Retno. Mataku konsentrasi melotot ke arah kontol yang keluar masuk ke 
vagina itu. Dan saat kecepatan genjotan naik turun tak lagi terhitung samar-samar aku melihat 
cairan putih mencotot meleleh dan berbusa di batangan kontol Pak Wijaya. Itulah klimaks. 
Istriku masih menggenjot sesaat hingga yakin bahwa seluruh cadangan sperma Pak Wijaya 
telah tumpah memenuhi lubang vaginanya. Dan kemudian hening. Istriku menyandarkan 
kepalanya di dada Pak Wijaya. Nafas panjang keduanya nampak dari dada-dada mereka yang 
setiap kali menggembung kemudian kempis. 

Istriku merosot ke lantai dalam kelelahan yang sangat. Demikian pula Pak Wijaya. Bermenit-
menit keadaan itu berlalu. 

Akan halnya aku, ejakulasi pertama langsung kudapatkan saat menyaksikan genjotan istriku 
semakin cepat tadi. Namun dengan cepat aku kembali terangsang. Saat aku menyaksikan 
betapa kontol Pak Wijaya lepas dari lubang, nampak dari memek istriku meleleh cairan pekat 
dan kental. Sperma Pak Wijaya itu yang membuat aku berhasrat lagi untuk melakukan 
masturbasi. 

Sambil aku melototi bibir vagina Jeng Retno yang begitu belepotan khayalku kembali 
terbang. Bibirku mendekat ke bibir vagina Jeng Retno. Sperma kental yang demikian 
menutupi wajah vaginanya kujilati hinga bersih. Aku menikmati betapa sperma boss istriku 
ini sunguh nikmatnya. Aku terus menjilati hingga kurasakan saraf-saraf peka kontolku 
menegang. Aku kembali mendapatkan ejakulasiku. Aku terjatuh lemas. 

Kudengar kursi di ruangan Pak Wijaya berderit. Aku harus cepat keluar ruangan ini. 
Kusaksikan istriku bersama boss-nya menuju toilet yang ada di ruangannya. Aku 
membetulkan celanaku dan bergegas keluar. 

Tanpa ada masalah dengan berboncengan sepeda motorku kami sampai di tempat kost jam 8 
malam. Seperti biasa Jeng Retno menyiapkan nasi dan lauk pauknya untuk makan malam itu. 

Aku masih melotot hingga jam 12 di depan TV sementara itu istriku nampak pulas tertidur. 
Aku memakluminya.

[Cerita 2, Sperma Satpam] 

Narti istriku nampak tanpa ragu saat menerima Arman. Sebagai Satpam kantorku memang 
Arman kerap aku suruh ke rumah apabila ada hal-hal yang biasanya terlupa tak terbawa ke 
kantor. Semula aku sama sekali tidak curiga. Perjalanan dari kantor ke rumah bolak-balik 
pada kondisi normal paling memakan waktu 2 jam. Atau pada saat jam-jam macet paling 3 
jam. Namun tidak jarang Arman menghabiskan waktu seharian untuk sekedar mengambil 
dokumen atau surat-surat yang kuperlukan. 

Alasannya, "Ibu mesti mencari-cari dulu di laci atau lemari bapak". 

Padahal semua dokumen dan surat-suratku berada jelas di atas meja kerjaku. Yaa, sudah.. 
Mungkin Arman menggunakan kesempatan tugas luar untuk main-main dulu di tempat lain. 

Pada suatu kesempatan aku kembali menyuruh Arman untuk ke rumah. Satu bundle surat-
surat dia atas meja kerjaku kuperlukan untuk memenuhi permintaan relasi bisnisku. Sangat 
penting. Aku pesan Arman agar terus balik ke kantor. Jangan pakai main-main ke tempat lain 
dulu. 

Sesudah saya kasih uang transport secukupnya dia langsung berangkat. Sesuai janjiku pada 
relasi aku akan ketemu nanti pada jam makan siang. Aku perhitungkan sekitar 2 atau 3 jam 
lagi tepat pada jam makan siang aku sudah menerima bundle surat itu dari Arman. 

30 menit sesudah keberangkatannya relasiku menelpon minta agar pertemuan makan 
siangnya di ajukan jam 11 siang itu, karena transaksi bisnis yang akan dilakukannya akan 
berlangsung lebih awal dari jadwal, sehingga semuanya mesti diajukan waktunya. Waahh.. 
Aku agak panik. 

Akhirnya kuputuskan aku untuk mengambil sendiri surat-surat itu. Dengan mobilku aku 
pulang mendahului Arman. Rupanya kejadian inilah yang membuat aku jadi mengetahui 
adanya hubungan yang tidak selayaknya antara Arman dan istriku. 

Saat aku memarkir mobil di seberang rumahku ternyata Arman telah sampai mendahului aku. 
Aku melihat sepatunya yang dia lepas berada depan di pintu. Sementara itu pintunya tertutup. 
Aku berpikir mungkin istriku sedang mencari surat-surat yang kuperlukan itu. 

Namun tiba-tiba saja aku seakan mendapat firasat. Kenapa pintunya mesti ditutup? Dan aku 
langsung ingat akan Dik Narti istriku yang cantik dan sekaligus Arman petugas Satpamku 
yang boleh dibilang seorang lelaki yang tegap dan pasti menarik bagi libido para perempuan. 
Adakah firasatku ini benar?? 

Akhirnya kuputuskan untuk tidak langsung membuka pintu masuk. Aku akan sedikit berputar 
dan hati-hati melongok dari jendela ruang kerjaku. Haahh.. Kulihat ternyata Arman nampak 
menunggu sesuatu sambil duduk bengong di kursiku. Tak lama kemudian dari balik pintu 
muncul Dik Narti membawa secangkir teh. Nampak wajah-wajah mereka demikian cerah 
dan.. Kenapa sikap antara keduanya demikian nampak akrab? 

Aku seperti tersambar petir melihat kejadian selanjutnya. Begitu Dik Narti menaruh cangkir 
tehnya ke meja tangan Arman langsung bergerak menyambut pinggulnya dan tanpa ragu Dik 
Narti duduk di pangkuannya. Bahkan lebih jauh lagi, Dik Narti langsung merangkul pundak 
Arman dan kini mereka saling berciuman dan berpagut. Demikian nikmat pagutan mereka. 
Dik Narti yang posisi wajahnya di atas memutar-mutarkan wajahnya pada wajah Arman di 
bawahnya yang juga mengimbangi dengan memutar-mutar pula. Mereka pasti sedang 
melepas lidah dan ludahnya untuk saling menerima dan memberi. Berkali-kali kudengar 
suara kecupan saat bibir-bibir mereka lepas sesaat. 

Kemudian nampak tangan istriku bergerak melepasi kancing kemeja Arman. Demikian pula 
tangan Arman melepasi kancing blus Dik Narti. Kini tubuh Arman nampak setengah terbuka 
dan blus Dik Narti telah lepas jatuh ke lantai. Arman langsung nyungsep ke ketiak Dik Narti 
yang masih berkutang. Dia menciumi lembah ketiak istriku. Kusaksikan bagaimana Dik Narti 
menggeliat-geliat di atas pangkuan Arman menerima nikmatnya kecupan dan jilatan bibir dan 
lidah Arman. Merasa tak ada orang lain, tanpa ragu Dik Narti mendesah dan merintih 
menahan derita nikmat yang sedang melandanya. 

Kemudian pada gilirannya kini Dik Narti turun dari pangkuan Arman. Dia sibak kemeja yang 
telah lepas kancingnya. Dia tengelamkan wajahnya ke dada Arman yang nampak sangat 
macho dengan otot-ototnya yang terawat bagus. Dan kini Armanlah yang melenguh dan 
mendesah. Dia raih dan elus-elus kepala Dik Narti yang semakin liar dengan mengemot-emot 
pentil susu di dada Arman. 

Aneh, bahwa aku tidak bertindak apa-apa untuk menghentikan tingkah Dik Narti dan Arman 
yang tidak selayaknya ini. Dik Narti jelas telah melakukan selingkuh dengan lelaki lain. 
Sementara Arman telah merusak pagar rumah tangga boss-nya yang adalah aku selaku 
pimpinannya di kantor. 

Dan yang lebih aneh lagi adalah aku. Kenapa diriku ini? Kini justru aku ingin menyaksikan 
ulah Dik Narti dan Arman jangan sampai terganggu. Aku ingin menyaksikan bagaimana 
wajah Dik Narti yang istriku ini menerima gelinjang syahwat birahi dari lelaki lain. Aku 
ingin menyaksikan saat-sat nanti Dik Narti dilanda orgasmenya. Aku ingin mendengarkan 
desahnya, atau racaunya, atau rintihannya. Aku ingin menyaksikan gelinjang tubuhnya saat 
menerima tusukkan erotis dari lelaki lain. Saat dia mesti bergoyang-goyang mengimbangi 
ayunan pompaan kontol lelaki lain pada lubang kemaluannya. 

Aku juga ingin menyaksikan bagaimana Arman yang bukan suaminya ini memberi dan 
menerima ritual nikmat untuk dan dari Dik Narti istriku. Bagaimana sebagaimana yang 
sedang kusaksikan menerima jilatan dan sedotan bibir cantik Dik Narti pada pentil susunya. 
Aku juga ingin menyaksikan saat-saat kontolnya melepaskan spermanya pada kemaluan 
istriku. Pasti dekapan dan cakaran kuku istriku akan membekas dan melukai daging dan 
kulitnya yang kekar berotit itu. 

Sementara itu ciuman istriku merambah turun ke perut Arman. Dengan menengadahkan 
wajahnya terdengar desis dan lenguh nikmat Arman menerima perlakuan Dik Narti ini. Dia 
kembali mengelusi dan sedikit mencabik rambut Dik Narti pertanada limpahan nikmat 
syahwat yang tak tertahankan. Tangannya juga nampak sedikit menekan. Rupanya Arman 
ingin istriku terus turun untuk menciumi bagian lebih bawah lagi. 

Nampaknya istriku tak asing dengan apa yang diinginkan Arman. Jari tangannya yang meraih 
celana Arman, menarik resluitingnya dan merosotkan lepas ke bawah. Celana itu merosot 
hingga terlipat di betisnya. 

Dalam gairah dan pesona nafsu birahinya Dik Narti kini menghadapi selangkangan berkancut 
atau celana dalam berwarna coklat. Yang nampak adalah bayangan batang gede melintang 
dari kanan ke kiri. Bayangan itu menggunung yang menggambarkan betapa kemaluan Arman 
memang luar biasa gede dan panjangnya. Mungkin inilah yang membuat istriku demikian 
bergairah menghadapi Arman Satpan kantorku itu. 

Tap perlu lagi diminta, Dik Narti meneruskan jilatan dan kenyotannya turun ke tepian celana 
dalam Arman. Bulu-bulu yang mengawali wilayah yang paling menggairahkan istriku 
nampak terserak di batas tepian celana dalam itu. 

Adegan berikutnya menampakkan kerakusan seorang perempuan selingkuh yang dengan 
liarnya membetot celana dalam lelaki yang bukan suaminya. Dengan gigitannya Dik Narti 
menarik lepas celana dalam Arman dari selangkangannya. Dia terus menggigit, sementara 
Arman mengikuti tarikan gigi Dik Narti. Diangkatnya kakinya kanan kemudian kiri hingga 
celana dalamnya bisa terlepas benar. Sebelum melemparnya ke lantai rupanya obsesi Dik 
Narti ingin terwujudkan pula. Diciuminya celana dalam itu, bahkan seakan dibekapkannya ke 
hidungnya sambil menarik nafas panjangnya. 

Begitu terbebas dari kekangan celana dalamnya nampak kontol Arman langsung mencuat 
gagah. Bonggol kepalanya berkilat-kilat menahan tekanan darah yang memenuhinya. Lubang 
kencingnya nampak mekar menantang. Batangnya segede pentungan Satpam Arman yang tak 
pernah ketinggalan. Urat-urat kasar melingkar-lingkar mengitari batangan panjang itu. 
Tangan Dik Narti langsung meraih dan menggenggamnya. Matanya demikian birahi 
menyaksikan penuh pesona kontol Arman di tangannya itu. Mukanya mendekat dengan 
hidungnya terlebih dahulu yang mengendusi. 

Tangan Arman langsung meraih kembali rambut Dik Narti, 

"Isep Bu.. Jilati ya Buu.. Uucchh.." Arman menyambut bibir Dik Narti yang siap menelan 
bonggol kontolnya. 

Namun itu belum dilakukan Dik Narti. Dia mulai dengan mencium kemudian mengangkat 
pepetkan ke perut Arman. Lidah dan bibirnya menjuilati dan mencium batangan berurat akar 
itu. Kepala Dik Narti nampak menggoyang untuk menangkap sudut-sudut tepat pada 
bantangan itu. Kemudian jilatannya melata hingga bijih pelir. Mulutnya mencakup biji itu 
dan mengulum-ulumnya. Seperti orang meriang terdengar suara rintih Arman bergetar dan 
berkesinambungan. 

Aku tak lagi sanggup hanya menyaksikan. Aku juga membuka kancing celanaku dan 
kukeluarkan kemaluanku. Aku melakukan masturbasi. Daya khayalku langsung terbang 
membubung dalam nikmat elusan tangan sendiri. Aku membayangkan nikmat betapa Dik 
Narti begitu sesak mulutnya karena kontol gede Arman. Kubayangkan nikmatnya saat bibir 
Dik Narti menelan dan mengulum kontolnya. Kubayangkan pedih kulit kepalaku saat Arman 
menjambaki rambut kepala Dik Narti.

Setelah puas mendapatkan jilatan serta kuluman akhirnya Arman meraih lengan istriku untuk 
kembali duduk memunggungi dalam pangkuannya. Dik Narti dengan cepat melepasi sendiri 
rok bawahnya. Dalam pangkuan Arman dia membetulkan serta mengepas posisinya hingga 
kontol Arman persis di bawah bokongnya. Tangan Dik Narti memegang erat batang kontol 
itu dan menuntun agar tepat mendongkrak lubang kemaluannya yang masih terbungkus 
celana dalam. 

Dengan menyibak sedikit tepian celana dalam itu akhirnya kemaluan gede milik Arman itu 
berhasil menemukan lubang vagina Dik Narti. Desah dan lenguh kedua orang yang asyik 
masyuk itu mengantarkan masuknya kontol ke lubang vagina mereka. Arman cepat 
memindahkan tangannya memeluki tubuh telanjang istriku yang membelakanginya. 
Hidungnya kembali nyungsep serta mengenyot-enyot ketiak dan buah dada Dik Narti. 
Tangan-tangan Dik Narti nampak menggeliat ke atas dan berusaha meraih kepala Arman. 
Sementara ayunan telah langsung di mulai. Dik Narti menaik-turunkan pantatnya untuk 
memompakan kontol Arman ke lubang vaginanya. Sementara Arman dengan penuh 
kegatalannya menaik turunkan pantatnya menjemputi memek Dik Narti. 

Itulah puncak perselingkuhan Dik Narti dengan Arman petugas Satpam kantorku. Genjotan 
yang terus nyambung dan bertubi mendekatkan saraf-sarah birahi mereka dan menggiring 
dera nafsunya menuju ejakulai Arman. Dan tak ayal pula orgasme Dik Narti telah berada di 
ambangnya. 

Dengan riuh racau, desah dan rintihan keduanya akupun dengan pasti tergiring untuk lekas 
melepaskan spermaku. Aku mengkhayalkan seandainya sperma itu tumpah kemudian 
meleleh keluar dari bibir vagina istriku. Atau sperma itu tumpah muncrat-muncrat di mulut 
Dik Narti istriku. Khayal-khayalan itu mendongkrak syahwatku. 

Dan akhirnya tanpa bisa ditahan Arman meremas buah dada ranum Dik Narti dengan 
kerasnya. Dan Dik Narti berteriak tertahan dilanda orgasmenya yang telah di ambang. Kedua 
orang berasyik masyuk ini tanpa hambatan melepaskan kontrolnya dan meraih puncak-
puncak birahinya. 

Nampak dari memek istriku Dik Narti 'ndlewer' mengalir cairan putih kental terbawa keluar 
masuk batang kontol Arman. Mungkin berliter-liter. Sperma Arman seakan tak habisnya 
hingga melumuri lubang dan seluruh tepian memek Dik Narti. 

Tiba-tiba birahiku cepat bangkit lagi saat melihat bagaimana seprma Arman 'ndlewer' dari 
vagina istriku. Betapa nikmatnya seandainya aku menjilati langsung sperma itu dari memek 
Dik Narti. Aku berpikir keras. Dan akhirnya dengan buru-buru dan tergetar aku bangkit 
menuju pintu. Aku menggedor-gedornya, 

"Dik Nartii.. Mas pulang niihh.. Dik Nartii.." 

Dor, dor, dorr.. Aku pukul-pukul daun pintu dan tak lama, 

"Ah, Mas Gito, kok sudah pulang Mas. Ituu.. Ss.. Sii Arman baru saya suruh balik cepat ke 
kantor," istriku membuka pintu, mungkin sekitar 3 atau 4 menit sesudah aku menggedor 
pintu. 

Dan di belakangnya nampak Arman sedang mengepit bundel dokumen yang aku minta. 
Mereka berdua dengan cepat telah nampak berpakaian lengkap. Disamping juga nampak 
tegang ada yang kutandai, rambut Arman nampak belum nyisir, mungkin hanya ditarik 
dengan jari-jarinya dan pakaian Dik Narti nampak agak lusuh berantakan. Namun aku tidak 
memperlihatkan kecurigaanku sama sekali, 

"Iya, Man. Lekas kamu balik kantor. Nih aku tambahin uang lagi kamu cari taksi. Nih surat-
surat serahkan sekretaris. Bilang bahwa anak buah Pak Jarwo akan mengambil siang ini. OK? 
Nanti aku nyusul," Nada bicaraku ini langsung menghilangkan ketegangan mereka. Aku 
benar-benar menunjukkan bahwa sediktpun aku tidak khawatir atau curiga pada mereka 
berdua. 

Namun begitu Arman balik ke kantor aku langsung menggelandang Dik Narti ke ranjang 
pengantin kami. Aku langsung tubruk dan menciumi istriku yang sangat kucintai ini. Pasti 
Dik Narti heran akan ulahku. Tak biasanya pulang kantor langsung merangsek begini 
padanya. 

Aku buka setengah paksa pakaiannya dan aku langsung menenggelamkan mukaku ke buah 
dada dan ketiaknya. Aku menjilati dan menciuminya. Masih sangat terasa adanya bau ludah 
Arman pada tubuh Dik Narti. Hal itu justru semakin merangsang birahiku. 

Sesudah melepaskan rok Dik Narti tangan kananku langsung merabai kemaluannya. Aku 
langsung tangkap lengketan yang sangat banyak pada bibir dan lubang vaginanya itu. Amun 
yang aku pertanyakan justru, 

"Aahh Dik Nartii.. Cepet sekali naik birahinya ya.. Lihat nih.. Sudah becek banget," seakan 
tahuku bahwa becekan itu adalah cairan birahinya. Dik Narti memandang aku dengan 
matanya yang ayu sambil mengangguk-angguk setuju akan omonganku. 

Dan aku tak lagi sabar. Ciuman di ketiak dan buah dadaku merambat meluncur turun dan 
langsung melabuh ke wilayah selangkangannya. Tanpa ragu aku julurkan lidahku. Aku 
menjilati dan menyedoti selangkangannya. Kembali bau keringat Arman kurasakan pada 
selangkangan Dik Narti. 

Dan akhirnya kudapatkan. Aku tergetar saat menyaksikan betapa menggelembung ranum 
memek istriku ini. Betapa jembut, bibir dan liang memek istriku belepotan oleh sperma 
Arman. Nampak gumpalan besar meleleh dari vagina Dik Narti. Sungguh sangat 
menggairahkan hasrat syahwatku. Aku mengenduskan hidung, menjulurkan lidahku dan 
mendekat. 

Aku mulai menyedot dan menjilati sperma Arman itu. Kurasakan begitu kental dan legitnya 
sperma Satpam-ku yang terasa ada asin dan sikit pahit-pahit ini. Kusedot lengket-lengket di 
jembutnya, di bibirnya. Dengan rasa penuh rakus kujilat hingga bersih yang meleleh dari 
kemaluan istriku Dik Narti. 

Pada kesempatan itu aku juga berhasil meraih orgasme dan ejakulasiku. Dengan menjilati 
cairan kental sperma Arman di seputar memek Dik Narti istriku aku merapatkan serta 
menggoyang pompa menggesek-gesekkan kemaluanku pada betisnya. Dan akhirnya tak 
terbendung pula air maniku muncrat membasahi kasur dan betis yang sangat seksi ini. Aku 
langsung lunglai. 

Aku tak sempat untuk melakukan penetrasi pada lubang vagina istriku karena mesti cepat 
balik ke kantor. Kutinggalkan Dik Narti tergolek telanjang di ranjang pengantin kami. Entah 
apa yang terpikir pada benak Dik Narti melihat ulahku ini. 

[Cerita 3, Sperma Tetangga] 

Pesta 17 Agustus kemarin sunguh sukses di kampungku. Namun bagiku kegiatan itu justru 
meninggalkan luka dan kenangan yang tak pernah kuharapkan. 

Untuk partisipasi pada panitia yang telah berusaha untuk menggembirakan warganya aku 
mengikuti lomba catur yang diselenggarakan. Lumayan untuk memperebutkan Piala Lurah 
Jonggol. Dan sebagai pecatur yang banyak pengalaman aku yakin bahwa Piala Pak Lurah 
akan menambah koleksi pialaku di rumah. 

Pada malam final aku dipertemukan dengan jagoan catur RW lain dengan dihadiri Pak Lurah 
sendiri yang membuka acaranya. Dengan disaksikan para tetangga dekat maupun jauh pada 
sekitar jam 8 malam aku telah duduk semeja menghadapi papan catur dengan lawanku. 
Diperkirakan pertandingan final ini akan berlangsung sedikitnya 2 jam sejak dimulai. 

Waktu merangkak semakin malam. Udara Jonggol yang cukup berangin memberikan 
kesejukan yang nyaman. Aku bayangkan alangkah nikmatnya tidur dengan udara sejuk 
macam begini sesudah beberapa malam kurang tidur dalam upaya memperebutkan malam 
final ini. 

Tiba-tiba, belum juga 1 jam pertandingan berlangsung, aku diserang perut mulas dan harus ke 
belakang buang air. Kepada panitia aku memberi tahu dan minta ijin. Sesudah berunding 
dengan pemain lawanku, akhirnya aku setengah berlari pulang untuk buang air. Aku pikir 
salah makan apa hari ini. 

Sesampai di depan rumah kulihat pintu rumahku telah tertutup dan lampu ruang depan 
nampak telah dimatikan. Kemungkinan istriku telah tidur atau sibuk nonton TV di ruang 
belakang. Namun aku yang memang siap pulang malam telah membawa kunci cadangan agar 
tidak perlu membangunkan istriku. 

Saat aku hendak memasukkan kunci ke lubangnya aku terhenti. Jantungku berdegup kencang. 
Kulihat di lantai depan pintu kok ada sandal yang sangat aku kenali. Sandal itu milik Pakde 
Darmo tetangga sebelahku. Kami panggil Pakde karena usianya yang cukup jauh di atas 
kami. Lebih dari 55 tahunan. 

Kami memang akrab bertetangga dan sering saling bertandang, Tetapi bukan malam-malam 
macam sekarang ini, apalagi saat aku tidak berada di rumah. Aku langsung khawatir dan 
cemas. Ada apa Pakde Darmo bertandang ke rumahku malam-malam begini? Dan dimana 
istriku? Apa yang mereka lakukan berdua di dalam rumahku? 

Aneh, sakit perutku langsung lenyap. Aku penasaran dan aku tunda untuk tidak memasuki 
rumah. Aku akan ke jendela samping. Ada 2 jendela di samping rumahku. Dari lubang angin 
diatas jendela pertama aku bisa melihat ruang keluarga dimana istriku biasanya 
menghabiskan waktunya di depan TV. Dan dari jendela yang kedua aku bisa melihat kamar 
tidurku. 

Aku mengendap-endap dirumahku sendiri menuju jendela pertama. Dengan bangku plastik 
yang selalu ada disana aku naik mengintip lubang anginnya. Ah.. Tak nampak orang disana. 
Aku mulai curiga. Kalau bertamu kenapa tidak di ruang tamu. Pelan-pelan aku turun dan 
pindah ke jendela ke dua. 

Belum juga aku naik aku mendengar suara orang ngomong, 

"Paling Mas Bas baru pulang nanti sekitar jam 11 malam. Kalau menang khan harus 
menunggu upacara penyerahan piala dulu," itu jelas suara Indri istriku. Aku heran kenapa 
yang semestinya merindukan aku agar cepat pulang malahan mensyukuri aku lambat pulang. 

"Hhmm.." sebuah jawaban yang sangat berwibawa. Tanpa kata namun penuh makna. Suara 
berat macam itu siapa lagi kalau bukan suara Pakde Darmo. Aku penasaran. Dengan bangku 
plastik itu aku melongok ke kamar tidurku. 

Seperti Saddam Husein yang kena roket pasukan Sekutu aku hampir jatuh telentang saat 
menyaksikan apa yang telah kusaksikan. Di atas ranjang pengantinku dua orang yang aku cari 
ini sedang berasyik masyuk, melepaskan hasrat syahwat birahinya. Seperti penampilan hari-
harinya Pakde Darmo hanya bersarung dengan kaos singletnya. Perutnya yang buncit tak bisa 
disembunyikan. Sementara istriku Indri telah setengah bugil. Hanya celana dalam dan BH-
nya yang tinggal. 

Dengan menindih tubuh Indri-ku mulut Pakde Darmo nyosor ngenyot-enyoti teteknya. 
Pantesan dia tak bisa ngomong. 

"Sarung dan kaos singletnya dibuka dulu Pakde, nanti lecek," istriku mengeluarkan omongan 
lagi sambil tangannya meraih menarik lepas sarung dan singlet Pakde Darmo. Kini Pakde 
sepenuhnya telanjang dan istriku tinggal bercelana dalam dan kutang saja. 

Dengan perut buncitnya Pakde memeluki istriku dari belakangnya. Nampaknya Pakde suka 
nembak perempuan dari arah belakangnya. Tangan dan kakinya yang berbulu cukup lebat 
memeluk tubuh istriku. Bibirnya nyosor terus ke kuduk, ketiak dan buah dadanya. Indri-ku 
nampak begitu menikmati dan larut dalam ulah Pakde Darmo ini. Rupanya permainan ini 
sudah cukup jauh. Kini mereka tengah mendaki puncak nikmat hubungan syahwat antar 
tetangganya. 

Pakde Darmo adalah tetangga samping kanan rumahku. Dia adalah pensiunan pegawai 
rendahan sebuah BUMN. Walaupun usianya sudah lebih 55 tahun namun perawakannya 
masih sangat sehat. Dia tak pernah berhenti joging di pagi hari dan sesekali mengangkat 
barbel untuk merawat ototnya. Sebagai lelaki Pakde Darmo sesungguhnya tidak tampan. 
Namun dengan perut buncitnya dan bulu-bulu di badannya, Pakde Darmo sering mendapat 
lirikan para perempuan di kampung. Mungkin istriku, yang usianya 20 tahun lebih muda dari 
Pakde diam-diam mengimpikan bagaimana tidur dengan lelaki berbulu macam Pakde Darmo 
ini. 

Dalam gelinjangnya istriku bangkit berbalik. Bibirnya menjemput bibir Pakde Darmo untuk 
berpagut sesaat sebelum lumatannya melata ke leher kemudian dada Pakde. Nampaknya 
istriku begitu keranjingan dengan bulu-bulu Pakde Darmo. Dengan penuh gairah lidah dan 
bibirnya menjilat dan mengenyoti bulu dada Pakde. Aku sangat 'shock' menyaksikan apa 
yang tengah berlangsung ini. 

Aku sama sekali tidak mengira bahwa Indri istriku selama ini juga terobsesi pada Pakde 
Darmo. Tetapi yang lebih menampar harga diriku adalah membawanya ke ranjang dimana 
sehari-hari dia bersamaku. Aku tak mengerti apakah Pakde Darmo yang secara aktif memulai 
ataukah Indri yang sering menggoda syahwat Pakde. 

Kini segalanya berubah cepat. Pakde sudah mengambil alih kendali. Dia sepenuhnya 
menindih tubuh Indri yang membuka selangkangannya. Tangan Indri dengan tangkas meraih 
kemaluan Pakde Darmo yang memang lebih gede dan panjang dari kemaluanku. Mungkin hal 
ini juga hal yang membuat Indri demikian terobsesi pada Pakde. 

Dan yang terjadi berikutnya adalah ayunan Pakde dan goyangan istriku yang di bawahnya. 
Kontol Pakde nampak begitu kaku dan tegar menembusi memek Indri. 

Istriku menjerit kecil dan terus mendesah dan merintih. Kenikmatan birahi begitu 
menenggelamkan keduanya. Nampak cakar-cakar Indri sudah siap menghunjamkan kukunya 
pada punggung Pakde. Menyaksikan Pakde Darmo dan Indri istriku demikian nikmatnya 
saling mengayuh syahwat aku jadi terbawa hanyut. Kontolku jadi ngaceng. Aku pengin 
mengelusi dan mengocok-ocoknya sambil menyaksikannya bagaimana istriku dilanda nikmat 
orgasmenya saat dientot Pakde Darmo ini. 

Dengan dengusnya yang cukup meriuhkan kamarku nampaknya Pakde sedang menjemput 
puncak nikmatnya. Dia percepat genjotan kontolnya. Sementara demikian pula Indri istriku. 
Nampaknya orgasmenya akan hadir bersama ejakulasi Pakde. Kuperhatikan batang kontol 
Pakde yang berkilatan oleh lendir birahi nampak seperti piston mesin diesel yang keluar 
masuk ke lubangnya. Aku membayangkan betapa nikmat melanda sanubari istriku. Dan.. 
Aahh.. ttuuhh.. lihaatt.. 

Kontol yang terus menggenjot itu nampak membawa begitu banyak lendir dan busa keluar 
masuk memek Indri. Pakde Darmo telah mengeluarkan cadangan spermanya. Dan tubuh 
istriku nampak menegang dan kemudian berkejat-kejat. Cakarnya menghunjam dan melukai 
punggung Pakde. Indri mendapatkan orgasmenya selama, yang dalam pikiran dia, aku sedang 
bermain catur demi Piala Lurah Jonggol. 

Dan aku tak mampu menahan diriku. Aku kocok terus kontolku sambil menyaksikan betapa 
sensasionalnya melihati istriku dientot tetanggaku sendiri dan kini melihati pejuh lelaki itu 
berserak meleleh dari lubang memeknya. Spermaku muncrat menembak kaca jendelaku. 

Aku cepat turun dari bangku plastik. Aku harus cepat balik ke pertandingan sebelum panitia 
menyusul aku. 

Malam itu aku pulang dengan Piala Lurah Jonggol bersusun tiga yang kemasan. Tingginya 
sama dengan tinggi badanku yang 167 cm. 

Istriku membuka pintu dan menyambut aku dengan bangga. Dia yang menaruh pialaku itu di 
tempat yang terbaik di ruangan itu. 

Aku langsung ngaceng lagi. Sepintas aku masih mencium aroma keringat Pakde Darmo pada 
tubuh Indri istriku. Hasrat syahwatku bangkit. Kuseret Indri ke ranjang pengantinku. Dengan 
bibir dan lidah aku melumat-lumat tubuhnya. Aku berusaha menangkap sisa keringat dan 
sperma Pakde Darmo di tubuh istriku.

[Cerita 4, Sperma Maling] 

Tiba-tiba sebuah suara keras membangunkan kami di tengah malam. Nita istriku memeluk 
lenganku saking ketakutannya. Suara itu datang dari arah dapur. Sepertinya kaca yang jatuh 
berantakan. Naluriku mengatakan ada hal yang tak beres ada di dalam rumah ini. Aku bangun 
dan menyalakan lampu. Istriku berusaha menahan aku. Dengan hati-hati aku bangun dan 
membuka pintu dan melangkah ke dapur. 

Aku kaget dengan ketakutan yang amat saat muncul sosok asing di bawah jendela dapurku. 
Nampak di lantai kaca jendela pecah berserakan. Pasti dia ini maling yang hendak mencuri di 
rumah kami. Sama-sama kaget dengan gesitnya pencuri ini berdiri dan melangkah pendek 
menyambar pisau dapur kami yang tidak jauh dari tempatnya. Orang ini lebih gede dari aku. 
Dengan rambut dan jambangnya yang nggak bercukur nampak begitu sangar. Dengan 
pakaiannya yang T. Shirt gelap dan celana jean bolong-bolong dia menyeringai mengancam 
aku dengan pisau dapur itu. 

Aku memang lelaki yang nggak pernah tahu bagaimana berkelahi. Melihat ulah maling ini 
langsung nyaliku putus. Dengan gemetar yang sangat aku berlari kembali ke kamar tidurku 
dan menutup pintunya. Namun kalah cepat dengan maling itu. Aku berusaha keras menekan 
untuk mengunci sebaliknya maling itu terus mendorong dengan kuatnya. Istriku histeris 
berteriak-teriak ketakutan, 

"Ada apa Maass.. Toloonngg.. Tolongg.." 

Namun teriakan itu pasti sia-sia. Rumah kami adalah rumah baru di perumahan yang belum 
banyak penghuninya. Tetangga terdekat kami adalah Pak RT yang jaraknya sekitar 30 rumah 
kosong, yang belum berpenghuni, dari rumah kami. Sementara di arah yang berbeda adalah 
bentangan kali dan sawah yang luas berpetak-petak. Sejak pernikahan kami 2 tahun yang 
lalu, inilah rumah kredit kami yang baru kami tinggali selama 2 bulan ini. 

Upaya tarik dan dorong pintu itu dengan pasti dimenangkan oleh si maling. Aku terdepak 
jatuh ke lantai dan maling itu dengan leluasa memasuki kamar tidur kami. Dia mengacung-
acungkan pisau dapur ke isteriku agar tidak berteriak-teriak sambil mengancam hendak 
memotong leherku. Istriku seketika 'klakep' sepi. Sambil menodongkan pisau ke leherku 
dengan kasar aku diraihnya dengan menarik bajuku keluar dari kamar. Matanya nampak 
menyapu ruangan keluarga dan menarikku mendekat ke lemari perabot. Pasti di nyari-nyari 
benda berharga yang kami simpan. 

Dia menemukan lakban di tumpukkan macam-macam peralatan. Dengan setengah 
membanting dia mendorong aku agar duduk di lantai. Dia me-lakban tangan dan kakiku 
kemudian mulutku hingga aku benar-benar bungkem. Dalam keadaan tak berkutik aku 
ditariknya kembali ke kamar tidurku. Istriku kembali berteriak sambil menangis histeris. 
Namun itu hanya sesaat. 

Maling ini sungguh berpengalaman dan berdarah dingin. Dia hanya bilang, "Diam nyonya 
cantiikk.. Jangan membuat aku kalap lhoo.." kembali istriku 'klakep' dan sepi. 

Nampak maling itu menyapukan pandangannya ke kamar tidurku. Dia melihati jendela, 
lemari, tempat tidur, rak kset dan pesawat radio di kamarku. Dia sepertinya berpikir. 
Semuanya kusaksikan dalam kelumpuhan dan kebisuanku karena lakban yang mengikat kaki 
tanganku dan membungkam rapat mulutku. 

Tiba-tiba maling itu mendekati Nita istriku yang gemetar menggulung tubuhnya di pojok 
ranjang karena shock dan histeris dengan peristiwa yang sedang terjadi. Dengan lakbannya 
dia langsung bekap mulutnya dan direbahkannya tubuhnya di ranjang. Aku tak kuasa apa-apa 
hanya mampu tergolek dan berkedip-kedip di lantai. Aku melihat bagaimana sorot mata 
ketakutan pada wajah Nita istriku itu. 

Ternyata maling itu merentangkan tangan istriku dan mengikatnya terpisah di kanan kiri kisi-
kisi ranjang kayu kami. Demikian pula pada kakinya. Dia rentangkan dan ikat pada kaki-kaki 
ranjang. Dan akhirnya yang terjadi adalah aku yang tergolek lumpuh di lantai sementara Nita 
istriku telentang dan terikat di ranjang pengantin kami. 

Perasaanku sungguh tidak enak. Aku khawatir maling ini berbuat diluar batas. Melihat 
sosoknya, nampak dia ini orang kasar. Tubuhnya nampak tegar dengan otot-ototnya yang 
membayang dari T. Shirt dekilnya. Aku taksir tingginya ada sekitar 180 cm. Aku melihati 
matanya yang melotot sambil menghardik, "Diam nyonya cantiikk.." saat melihat istriku yang 
memang nampak sangat seksi dengan pakaian tidurnya yang serba mini karena udara panas di 
kamar kami yang sempit ini. 

"Aku mau makan dulu ya sayaang.. Jangan macam-macam". Dia nyelonong keluar menuju 
dapur. Dasar maling nggak bermodal. Dia ngancam pakai pisauku, ngikat pakai lakbanku 
sekarang makan makananku. 

Nampak istriku berontak melepaskan diri dengan sia-sia. Sesekali nampak matanya cemas 
dan ketakutan memandang aku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dengan maksud 
melarangnya bergerak banyak. Hemat tenaga. 

Sesudah makan maling itu gelatakan membukai berbagai lemari dan laci-laci di rumah. Dia 
nggak akan dapatkan apa-apa karena memang kami nggak punya apa-apa. Aku bayangkan 
betapa wajahnya akan kecewa karena kecele. Kudengar suara gerutu. Nampaknya dia marah. 

Dengan menendang pintu dia kembali masuk kamar tidur kami. Membuka lemari pakaian 
dan mengaduk-adukkannya. Dilempar-lemparkannya isi lemari hingga lantai penuh 
berserakan. Dia buka kotak perhiasan istriku. Dibuang-buangnya perhiasan imitasi istriku. 

Karena tak mendapatkan apa yang dicari maling mengalihkan sasaran kekecewaan. Dia 
pandangi istriku yang telentang dalam ikatan di ranjang. Dia mendekat sambil menghardik, 

"Mana uang, manaa..? Dasar miskin yaa..? Kamu umpetin dimana..?" 

Tangannya yang mengkilat berotot bergerak meraih baju tidur istriku kemudian menariknya 
dengan keras hingga robek dan putus kancing-kancingnya. Dan yang kemudian nampak 
terpampang adalah bukit kembar yang begitu indah. Payudara Nita yang sangat ranum dan 
padat yang memang selalu tanpa BH setiap waktu tidur. Nampak sekali wajah maling itu 
terkesima. 

Kini aku benar-benar sangat takut. Segala kemungkinan bisa terjadi. Aku saksikan adanya 
perubahan raut mukanya. Sesudah tidak mendapatkan uang atau benda berharga dia jadi 
penasaran. Dia merasa berhak mendapat pengganti yang setimpal. Maling itu lebih mendekat 
lagi ke Nita dan dengan terus memandangi buah dadanya yang sangat sensual itu. Pelan-pelan 
dia duduk di tepian ranjang. 

"Dimana kamu simpan uangmu nyonya cantiikk..?" sambil tangan turun menyentuh tubuh 
Nita yang sama sekali tak bisa menolak karena kaki dan tangannya terikat lakban itu. Dan 
tangan itu mulai mengelusi dekat Payudaranya. 

Ampuunn.. Kulihat bagaimana mata Nita demikian paniknya. Dia merem memejamkan 
matanya sambil memperdengarkan suara dari hidungnya, "Hheehh.. Hheehh.. Heehh..". 
Istriku mengeluarkan air mata dan menangis, menggeleng-geleng kepalanya sambil 
mengeluarkan dengus dari hidungnya. 

Dan sentuhan maling itu tidak berhenti di tempat. Air mata istriku merangsang dia semakin 
brutal. Tangan-tangannya dengan tanpa ragu mengelus-elus dan kemudian meremas-remas 
buah dada Nita serta bagian tubuh sensitive lainnya. Hal ini benar-benar membuat darahku 
menggelegak marah. Aku harus berbuat sesuatu yang bisa menghentikan semua ini apapun 
risikonya. Yang kemudian bisa kulakukan adalah menggerakkan kakiku yang terikat, 
menekuk dan kemudian menendangkan ke tepian ranjangku. Maling itu terkaget namun sama 
sekali tidak bergeming. 

"Hey, brengsek. Mau ngapain kamu. Jangan macam-macam. Jangan ganggu istrimu yang 
sedang menikmati pijitanku," dia menghardik aku. Dan aku memang langsung putus asa. Aku 
tak mungkin berbuat apa-apa lagi. Kini hanya batinku yang meratapi kejadian ini. 

Dan yang terjadi berikutnya adalah sesuatu yang benar-benar mengerikan. Maling itu 
menarik robek seluruh busana tidur istriku. Dia benar-benar membuat Nita telanjang kecuali 
celana dalamnya. Lantas dia rebah merapatkan tubuhnya disampingnya. Istriku nampak bak 
rusa rubuh dalam terkaman serigala. Dan kini pemangsanya mendekat untuk mencabik-cabik 
untuk menikmati tubuhnya. 

Dari matanya mengalir air mata dukanya. Dia tak mampu berpuat apa-apa lagi. Dalam 
setengah telanjangnya aku kian menyadari betapa cantiknya Nita istriku ini. Dia tunjukkan 
betapa bagian-bagian tubuhnya menampilkan sensualitas yang pasti menyilaukan setiap lelaki 
yang memandangnya. Rambutnya yang mawut terurai, pertemuan lengan dan bahu 
melahirkan lembah ketiak yang bisa menggoyahkan iman para lelaki. 

Payudaranya yang membusung ranum dengan pentilnya yang merah ungu sebesar ujung jari 
kelingking sangat menantang. Perut dengan pinggulnya yang.. Uuhh.. Begitu dahsyat 
mempesona syahwat. Aku sendiri terheran bagaimana aku bisa menyunting dewi secantik ini. 

Dan kini maling brutal itu menenggelamkan mukanya ke dadanya. Dia menciumi dan 
menyusu Payudaranya seperti bayi. Dia mengenyoti pentil istriku yang nampaknya berusaha 
berontak dengan menggeliat-geliatkan tubuhnya yang dipastikan sia-sia. Dengan semakin 
beringas nafsu nyolongnya kini berubah menjadi nafsu binatang yang dipenuhi birahi. 

Dengan gampang dia menjelajahkan moncongnya ke sekujur tubuh Nita. Dia merangsek 
menjilat-jilat dan menciumi ketiak istriku yang sangat sensual itu. Inilah pesta besarnya. Dia 
mungkin tak pernah membayangkan akan mencicipi nikmat tidur dengan perempuan secantik 
Nita istriku ini. 

Menjarah dengan kenyotan, jilatan dan ciumannya maling ini merangsek ke tepian pinggul 
Nita dan kemudian naik ke perutnya. Dengan berdengus-dengus dan nafasnya yang memburu 
dia menjilati puser Nita sambil tangannya gerayangan ke segala arah meremas dan nampak 
terkadang sedikit mencakar menyalurkan gelegak nafsu birahinya. 

Perlawanan istriku sudah sangat melemah. Yang terdengar hanyalah gumam dengus mulut 
tersumpal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai ungkapan penolakannya. 
Mungkin ketakutan serta kelelahannya membuat stamina-nya 'down' dan lumpuh. Sementara 
sang maling terus melumati perut dan menjilat-jilat bagian-bagian sensual tubuhnya.
Kebringasan serta kebrutalan hasrat syahwat maling ini semakin meroket ke puncak. Jelas 
akan memperkosa istriku di depan aku suaminya. Dia bangun dari ranjang dan dengan cepat 
melepasi T. Shirt serta celana dekilnya. Dia menelanjangi dirinya. Aku terkesima. Maling itu 
memiliki postur tubuh yang sangat atletis dan menawan menurut ukuran tampilan tubuh 
lelaki. Dengan warna kulitnya yang coklat kehitaman berkilat karena keringatnya nampak 
dadanya, otot lengannya perutnya begitu kencang seperti pelaku binaraga. Tungkai kakinya, 
paha dan betisnya sungguh serasi banget. 

Yang membuat aku terperangah adalah kemaluannya. Kontol maling itu begitu mempesona. 
Muncul dari rimbun jembutnya kontol itu tegak ngaceng dengan bonggol kepalanya yang 
juga berkilatan karena kerasnya tekanan darah syahwatnya yang mendesakinya. Besar dan 
panjangnya di atas rata-rata kemaluan orang Asia dan nampak sangat serasi dalam warna 
hitaman pada awalnya kemudian sedikit belang kecoklatan pada leher dan ujungnya. Lubang 
kencingnya muncul dari belahan bonggol yang mekar menantang. 

Kesan kekumuhan awal yang kutemui dari rambut dan jambang yang tak bercukur serta 
pakaiannya yang dekil langsung musnah begitu lelaki maling ini bertelanjang. Dia nampak 
sangat jantan macam jagoan. 

Dalam ketakutan dan panik istriku Nita melihat saat maling itu bangun dan dengan cepat 
melepasi pakaiannya. Begitu lelaki maling itu benar-benar telanjang aku melihat perubahan 
pada wajah dan mata istriku. Wajah dan pandangannya nampak terpana. Yang belumnya layu 
dan kuyu kini beringas dengan mata yang membelalak. Mungkin karena ketakutannya yang 
semakin jadi atau karena adanya 'surprise' yang tampil dari sosok lelaki telanjang yang kini 
ada bersamanya diranjangnya. Anehnya pandangannya itu tak dilepaskannya hingga ekor 
matanya mengikuti kemanapun lelaki maling itu bergerak. 

Walaupun aku tak berani menyimpulkan secara pasti, menurut pendapatku wajah macam itu 
adalah wajah yang diterpa hasrat birahi. Adakah birahi Nita bangkit dan berhasrat pada lelaki 
maling yang dengan brutal telah mengikat dan menelanjangi tubuhnya di depan suaminya itu. 
Ataukah 'surprise' yang disuguhkan lelaki itu telah membalik 180 derajat dari takut, marah 
dan benci menjadi dorongan syahwat yang dahsyat yang melanda seluruh sanubarinya? Ahh.. 
Aku dirasuki cemburu buta. Aku sering mendengar perempuan yang jatuh cinta dengan 
penculiknya. 

Lelaki maling turun dari ranjang dan merangkak di depan arah kaki Nita yang terikat. Dia 
meraih kaki Nita yang terikat dan mulai dengan menjilatinya. Lidahnya menyapu ujung-
ujung jari kaki istriku kemudian mengulumnya. 

Aku menyaksikan kaki Nita yang seakan disengat listrik ribuan watt. Kaget meronta dan 
meregang-regang. Aku tidak pasti. Apakah itu gerak kaki untuk berontak atau menahan 
kegelian syahwati. Sementara lelaki maling itu terus menyerang dengan jilatan-jilatannya di 
telapaknya. Demikian dia melakukan pada kedua tungkai kaki istriku untuk mengawali 
lumatan dan jialatan selanjutnya menuju puncak nikmat syahwatnya. 

Dengan caranya maling itu memang sengaja menjatuhkan martabatku sebagai suami Nita. 

"Mas, istrimu enak banget loh. Boleh aku entot ya? Boleh.. Ha ha. Aku entot istrimu yaa.." 

Dan aku disini yang tergolek macam batang pisang tak berdaya hanya mampu menerawang 
dan menelan ludah. 

Namun ada yang mulai merambati dan merasuk ke dalam sanubariku. Aku ingin tahu, macam 
apa wajah Nita saat kontol maling itu nanti menembusi kemaluannya. Dan keinginan tahuku 
itu ternyata mulai merangsang syahwat birahiku. Dalam tergolek sambil mata tak lepas 
memandangi ulah lelaki maling telanjang yang melata bak kadal komodo di atas tubuh pasrah 
istriku yang jelita kontolku jadi menegang. Aku ngaceng. 

Kusaksikan betapa maling itu merangsek ke selangkangan istriku. Dia menciumi dan 
menyedoti paha Nita serta meninggalkan merah cupang di setiap rambahannya. Namun yang 
membuat jantungku berdegup kencang adalah geliat-geliat tubuh istriku yang terikat serta 
desah dari mulutnya yang terbungkam. Aku sama sekali tidak melihatnya sebagai perlawanan 
seorang yang sedang disakiti dan dirampas kehormatannya. Istriku nampak begitu hanyut 
menikmati ulah maling itu. 

Aku memastikan bahwa Nita telah tenggelam dalam hasrat seksualnya. Dia menggeliat-geliat 
dan menggoyang-goyangkan tubuhnya teristimewa pinggul serta pantatnya. Nita dilanda 
kegatalan birahi yang sangat dahsyat dan kini nuraninya terus menjemput dan merindui 
kenyotan bibir si maling itu. Dalam pada itu aku berusaha tetap berpikir positip. Bahwa 
sangat berat menolak godaan syahwat sebagaimana yang sedang dialaminya. Secara pelan 
dan pasti kontolku sendiri semakin keras dan tegak menyaksikan yang harus aku saksikan itu. 

Dan klimaks dari pergulatan 'perkosaan' itu terjadi. Lelaki maling itu menenggelamkan 
bibirnya ke bibir vagina Nita. Dia menyedot dan mengenyoti itil istriku dan meneruakkan 
lidahnya menembusi gerbang kemaluannya. Tak terelakkan.. 

Dalam kucuran keringat yang terperas dari tubuhnya Nita menjerit dalam gumam desahnya. 
Pantatnya semakin diangkatnya tinggi-tinggi. Dia nampak hendak meraih orgasmenya. 
Bukan main. Biasanya sangat sulit bagi Nita menemukan orgasme. Kali ini belum juga 
maling itu melakukan penetrasi dia telah dekat pada puncak kepuasan syahwatnya. Ah.. Lihat 
ituu.. Benar.. Nita meraih orgasmenya.. Nittaa.. 

Dia mengangkat tinggi pantatnya dan tetap diangkatnya hingga beberapa saat sambil terkejat-
kejat. Nampak walaupun tangannya terikat jari-jarinya mengepal seakan hendak meremas 
sesuatu. Dan kaki-kakinya yang meregang mengungkapkan betapa nikmat syahwat sedang 
melandanya. Itulah yang bisa ditampilkan olehnya dikarenakan tangan serta kakinya masih 
terikat ke ranjang. 

Dan sang maling tanggap. Sebelum keburu Nita kelelahan dia naik menindih tubuh istriku 
dan menuntun kontolnya ke lubang vaginanya. Beberapa kali dia mengocok kecil sebelum 
akhirnya kemaluan yang lumayan gede dan panjangnya itu tembus dan amblas ditelan memek 
istriku. 

Maling itu langsung mengayun-ayunkan kontolnya ke lubang nikmat yang sepertinya 
disemangati oleh istriku dengan menggoyang dan mengangkat-angkat pantat dan pinggulnya 
agar kontol itu bisa menyentuhi gerbang rahimnya. 

Aku sendiri demikian terbakar birahi menyaksikan peristiwa itu. Khususnya bagaimana 
wajah istriku dengan rambutnya yang berkeringat mawut jatugh ke dahi dan alisnya. 
Kontolku sangat tertahan oleh celana sempitku. Aku tak mampu melakukan apa-apa untuk 
melepaskan dorongan syahwatku. 

Genjotan maling itu semakin cepat dan sering. Aku pastikan bahwa maling itu sedang 
dirambati nikmat birahinya. Kontolnya yang semakin tegar kaku nampak licin berkilat karena 
cairan birahi yang melumurinya nampak seperti piston diesel keluar masuk menembusi 
memek istriku. Aku bayangkan betapa nikmat melanda istriku. Dengan kondisinya yang tetap 
terikat di ranjang, pantatnya nampak naik turun atau mengegos menimpali pompan kontol 
lelaki maling itu. 

Sebentar lagi spermanya akan muncrat mengisi rongga kemaluan istriku. Dan nampaknya 
istrikupun akan mendapatkan orgasmenya kembali. Orgasme beruntun. Bukan main. Selama 
menikah aku bisa hitung berapa kali dia berkejat-kejat menjemput orgasmenya. Namun 
bersama maling ini tidak sampai 1 jam dia hendak menjemput orgasmenya yang ke dua. 

Saat-saat puncak orgasme serta ejakulasinya semakin dekat, lelaki itu mendekatkan wajahnya 
ke wajah Nita dan tangannya meraih kemudian melepas lakban di mulut istriku. Namun dia 
tak memberinya kesempatan untuk teriak. Mulutnya langsung menyumpal mulut istriku. Aku 
saksikan mereka saling berpagut. Dan itu bukan pagutan paksa. Istriku nampak menimpali 
lumatan bibir maling itu. Mereka tenggelam dalam nikmatnya pagutan. Dan ahh.. ahh.. aahh.. 

Maling itu melepas cepat pagutannya dan sedikit bangkit. Dia menyambar pisau dapur yang 
masih ada di dekatnya. Dengan masing-masing sekali sabetan kedua ikatan tangan Nita 
terbebas. Dan pisau itu langsung dilemparkannya ke lantai. Tangan maling itu cepat 
memeluki tubuh istriku serta bibirnya memagutinya. Dan tanpa ayal dan ragu begitu terbebas 
tangan istriku langsung memeluki tubuh lelaki maling ini. Kini aku menyaksikan 
persetubuhan yang nyaris sempurna. Lelaki maling bersama Nita istriku langsung tenggelam 
mendekati puncak syahwatnya. Hingga... 

"Aarrcchh.. Cantikk.. Aku keluaarr.. Hhoohh.. Ampun enaknyaa.." 

Istriku juga mendesis hebat, tak ada omongan namun jelas, dia kembali meraih orgasmenya. 
Dengan tangannya yang bebas dia bisa melampiaskan gelegak birahinya. Tangannya 
mencakar punggung maling itu dan menancapkan kukunya. Nampak bilur sejajar memanjang 
di kanan kiri punggungnya merembes kemerahan. Punggung maling itu sempat terluka dan 
berdarah. 

Masih beberapa saat mereka dalam satu pelukan sebelum pada akhirnya lelaki maling itu 
bangkit dan menarik kontolnya dari kemaluan istriku. Aku langsung menyaksikan spermanya 
yang kental melimpah tumpah dan meleleh dari lubang vagina Nita. Sesaat mata maling itu 
melihati tubuh istriku yang nampak lunglai. Dia lantas bergerak efektif. 

Maling itu turun dari ranjang, memakai celana dan T. Shirt-nya. Dia mencopot selembar 
sarung bantal. Dia mengeluarkan dari kantongnya HP-ku dan HP istriku, jam tangan, 
perhiasan dan segepok uang simpananku, mungkin hanya sekitar 500-an ribu rupiah. Dia 
masukkan hasil curiannya ke sarung bantal itu. Tak sampai 2 menit sejak turun ranjang dia 
langsung keluar dan kabur meninggalkan aku yang masih terikat tak berdaya di lantai dan 
Nita yang telanjang sesudah diperkosanya. Dia telah mencuri barang-barangku dan 
menikmati tubuh dan kemaluan istriku. 

Nita nampak bengong sambil melihati aku, 

"Maaf, maass.. Aku harus memuaskan nafsu syahwatnya agar dia tidak menyakiti Mas.." Nita 
sudah siap dengan alibinya. Aku hanya diam. Nikmat seksual memang bisa mengubah 
banyak hal. 

Hingga kini, sesudah 8 tahun menikah hingga mempunyai 2 anak aib itu tak pernah diketahui 
orang. Kami sepakat menyimpannya dalam-dalam. 

Sesekali kulihat istriku bengong. Aku memakluminya. Setidaknya memang postur tubuhku 
serta kaliber kemaluanku tak mungkin mengimbangi milik lelaki maling itu. 

Jakarta, Oktober 2004