Rabu, 06 Januari 2010

Ranjang yang ternoda

“Dasar tua bangka bejat!” maki Lidya Safitri saat Pak Bejo pergi meninggalkan rumah.

Alya Arumsari terkejut dan melotot ke arah adiknya dengan pandangan marah. “Heh! Ngawur! Jangan keras-keras! Mengatai-ngatai orang kok seenaknya sendiri! Kalau dia denger gimana coba?”

Pak Bejo Suharso adalah seorang tetangga yang baik, gemar membantu orang lain dan sangat ramah walaupun hidup mereka sedikit kekurangan. Ia dan istrinya, Bu Bejo, adalah tetangga dekat keluarga Alya. Sejak kepindahan mereka ke kawasan pemukiman ini Pak Bejo dan istrinya amatlah sering memberikan bantuan. Bahkan ketika Alya atau suaminya sibuk, Pak Bejo dan istrinya sering menjaga Opi, putri mungil mereka. Lidya adalah adik Alya yang semalam kebetulan menginap di rumah Alya. Lidya sudah mulai tidak suka dengan Pak Bejo sejak pertama kali bertemu dengannya.

“Habis dia nggak tau diri sih, Mbak,” jawab Lidya. “Waktu Mbak Alya membungkuk mau mengambil mainannya Opi yang jatuh, matanya jelalatan, ngeliatin ke belahan dada Mbak Alya, lalu menjilat bibirnya dengan mesum. Itu kan nggak sopan namanya!” Lidya berhenti sebentar, lalu melanjutkan sambil menatap kakaknya yang molek dengan pandangan serius. “Jangan-jangan Pak Bejo pengen tidur sama Mbak Alya?”

Seketika Alyapun tertawa, Lidya ikut-ikutan tertawa. Alya tidak membela Pak Bejo, tapi berjanji dalam hati di lain kesempatan akan lebih hati-hati saat tetangganya itu datang berkunjung. Lidya juga tidak bisa menyalahkan Pak Bejo, jangankan dia, semua orang yang normal pasti mau tidur dengan Alya. Kakak Lidya itu memiliki tubuh yang seksi seperti bidadari dan memiliki kecantikan luar dalam. Ditambah perilaku yang sangat lembut dan ramah, makin lengkaplah kesempurnaan Alya. Rambut panjang indah sebahu, tubuh ramping yang jauh lebih indah lekukannya daripada sirkuit sentul, kulit putih mulus dan buah dada yang luar biasa ranum menggiurkan meskipun sudah beranak satu. Ya, semua orang pasti punya pandangan mesum pada kakaknya itu.

Tapi Lidya sendiri juga sangat cantik. Tubuhnya juga tidak kalah indah, walaupun kalau dibanding Alya yang memiliki ukuran BH 36, Lidya hanya 34C. Kecantikan keluarga mereka memang sudah terkenal. Kadang banyak laki-laki kampung sekitar berkumpul di depan rumah keluarga Alya kalau Dina, Alya dan Lidya sudah berkumpul.

###

Dina Febrianti sedang resah menghitung tagihan bulanan yang bertebaran di atas mejanya. Wanita cantik berusia 32 tahun yang masih terlihat seperti remaja belasan tahun itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan membolak-balik kertas berisi angka-angka. Tagihan listrik, telepon, air, credit card, cicilan motor, cicilan mobil, pembayaran kredit kontrak rumah dan cicilan kredit biaya rumah sakit mertua. Jumlah terhutang sangatlah besar, dan tiap bulannya seakan jumlah itu selalu bertambah besar karena bunga yang ditanggung juga meningkat.

Karena stress, Dina menarik nafas panjang, menyisihkan surat-surat tagihan dan mengambil sebuah amplop besar berwarna coklat yang berisi tagihan kredit pinjaman pembangunan rumah. Anton dan Dina tengah membangun sebuah rumah di kawasan pinggir kota karena sudah bosan selama ini mengontrak terus. Sayangnya, rumah yang sedang mereka bangun menurut Dina terlalu besar dan mewah untuk ukuran mereka. Dina sering membujuk Anton agar berhemat karena dia tahu untuk membangun rumah seperti yang diinginkan Anton akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan seandainya mereka mengambil kredit, maka biaya berikut bunganya akan sangat besar. Anton hanya tertawa dan mengatakan istrinya terlalu banyak khawatir. Saat menyesuaikan keuangan rumah tangga dan tagihan hari ini, Dina merasa kekhawatirannya menjadi kenyataan.

Untungnya jumlah uang yang mereka kumpulkan bulan ini cukup untuk membayar semua tagihan, Dina menarik nafas lega. Paling tidak mereka bertahan sampai bulan depan. Dina berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih hati-hati dalam hal keuangan. Dia berniat memaksa Anton untuk lebih bijaksana. Paling tidak mereka bisa memotong anggaran untuk credit card dan kembali ke pembayaran cash. Bunga yang ditarik oleh bank untuk credit card sangatlah besar dan membuat mereka mengalami defisit. Sayangnya permintaan Dina selalu ditampik oleh Anton.

“Biarlah yang terjadi esok hari, terjadi esok hari. Yang penting kita hari ini bisa bertahan.” Kata Anton setiap kali Dina mengajukan usulan. Seandainya Dina sadar kalau kata-kata Anton itu bagaikan ramalan, dia seharusnya lebih cemas lagi.

Kalau mengesampingkan kesulitan finansial yang dialami keluarganya, kehidupan Dina sangatlah sempurna. Dia amat mencintai Anton dan suaminya itu memang memiliki gaji yang lumayan untuk menghidupi keluarga. Bersama kedua putranya yang masih kecil, ibu muda yang cantik ini memiliki segala yang mereka inginkan. Hanya sayangnya, mereka tidak punya tabungan di bank seandainya sewaktu-waktu diperlukan pengeluaran mendadak.

Dina tersenyum saat teringat pada kedua anak kebanggaannya. Dani, putranya yang paling besar sudah kelas 5 SD, sedangkan Dion baru masuk ke kelas 1 SD. Mengingat kebutuhan mereka yang semakin besar, senyum Dina memudar. Alat tulis, buku dan seragam makin hari makin mahal. Belum lagi si Dani sudah waktunya disunat, tentu biaya yang dibutuhkan akan sangat besar kalau mereka mengadakan syukuran.

Dina mencari amplop berisi uang belanja bulanan yang biasa diberikan Anton. Begitu menemukannya, Dina langsung menghitung uang yang diberikan Anton bulan ini. Betapa kagetnya Dina begitu tahu jumlah pemberian uang belanja bulan ini sangat sedikit. Tidak akan mencukupi kebutuhan rumah tangga selama sebulan! Dina tidak meminta uang belanja yang berjuta-juta, cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja sudah bersyukur. Tapi jumlah uang yang mepet itu ternyata masih dipotong lagi oleh Anton. Dina memutuskan untuk menelepon suaminya. Ibu rumah tangga yang kebingungan itu segera memencet nomor HP Anton.

Sayangnya HP Anton tidak aktif. Dina menelepon ke kantor. Menurut Desi sekretaris Anton, suami Dina itu sudah meninggalkan ruangannya.

Dina meletakkan gagang telepon dengan terheran-heran. “Kemana lagi dia? Bukannya pulang malah keluyuran?”

Tanpa sepengetahuan Dina, Anton memiliki penghasilan lain yang tidak halal. Sudah bertahun-tahun Anton membohongi Dina. Anton adalah seorang pemain judi. Bahkan saat ini pun dia sedang berada di arena taruhan. Suami Dina itu sedang menyobek-nyobek kupon taruhannya karena lagi-lagi kalah memasang nomor. Perhitungannya meleset jauh padahal jumlah uang yang dijadikan taruhan tidak sedikit.

Saat Anton pulang ke rumah dan ambruk di ranjang, dia beruntung Dina tidak sedang dalam kondisi bad mood. Dina segera menanyakan perihal jumlah uang belanjanya yang berkurang, senyum Anton yang menawan membuat hati si cantik itu luluh. Dina sangat mencintai suaminya dan dia tahu Anton juga memujanya. Memangnya kenapa kalau suaminya itu sedikit boros? Uang belanja adalah uang Anton juga, sehingga kalau dia memang memerlukannya, tidak ada salahnya Dina rela. Apalagi Anton sudah memberikan banyak hal untuk Dina dan anak-anaknya. Anton sudah membuai mereka dengan harta benda.

“Shhh, anak-anak belum tidur. Jangan ribut,” Bisik Dina pada suaminya yang tiba-tiba saja ‘menyerangnya’.

“Oh, masa aku nggak boleh ngentotin istriku sendiri?”

“Anton Hartono! Bahasanya kok jorok gitu? Kampungan!”

“Hm, kalau tahu aku dulu akan menikahi perempuan lugu, aku pasti protes keras pada almarhum Bapak dan Ibumu,” canda Anton. “Mereka membesarkan seorang anak perempuan yang cantik jelita namun sangat naif.”

“Tidak lucu. Aku bukan perempuan lugu.”

Anton mengamati istrinya – rambutnya dipotong ala Dian Sastrowardoyo presenter acara kuis berhadiah 3 Milyar rupiah, matanya indah dengan bulu mata yang lentik, pipinya halus mulus tanpa bercak ataupun jerawat, kulitnya putih mulus bagai susu, buah dadanya masih membusung kencang dan tidak melorot, pinggang langsing, pinggul sempurna di atas pantat yang bulat merangsang dan kaki jenjang yang sangat menawan. Dulu pernah sekali waktu, seorang agen iklan meminta Dina menjadi model iklan sabun mandi terkenal, namun Dina menolaknya. Anton mengagumi keindahan istrinya yang hampir sempurna. Tangan-tangannya yang nakal menjelajahi perut Dina. Masih seperti perut seorang gadis remaja, walaupun kenyataannya Dina sudah melahirkan dua orang anak.

“Baiklah, kalau begitu wanita konservatif,”

“Maksudnya?” Dina mulai gusar.

Anton menyesal memulai percakapan ini. Dina sangat lugu dan naif dalam hal bercinta dan berpenampilan. Pakaian yang dikenakan istrinya selalu sopan dan tidak pernah menonjolkan kemolekan tubuhnya. Dina juga bukan seorang petualang di ranjang. Dia pemain seks yang konservatif dan monoton. Berciuman, saling menggesek dan bercinta dengan posisi missionary. Selalu begitu. Sekali dua kali, Anton bisa melakukan doggie style, tapi istri Anton itu tidak pernah mengijinkan sang suami menyentuh anusnya dalam kondisi apapun. Walaupun Dina pernah mengatakan kalau doggie style itu juga merendahkan diri sama seperti binatang, namun dalam kondisi ‘panas’ Dina biasanya menyerah pada keinginan suaminya.

Di awal pernikahan mereka, Anton pernah mencoba melakukan oral seks pada organ kemaluan Dina, tapi istrinya itu langsung menjerit dan melonjak-lonjak marah. Dia langsung menghardik Anton dan mengatakan kalau kemaluan mereka kotor. Dina tidak pernah mengerti kenapa Anton ingin menjilati bibir kemaluannya yang merupakan sumber penyakit. Sebaliknya pun begitu. Suatu ketika sesaat setelah Anton meminta Dina mengulum penisnya, istrinya itu langsung mengunci diri di dalam kamar mandi dan tidak mau keluar selama dua jam. Anton tidak pernah meminta posisi yang aneh-aneh lagi.

“Jadi? Ayo katakan saja! Kenapa aku ini wanita konservatif?”, lanjut Dina. “Apa karena aku ini bukan wanita murahan? Bukan pelacur?”

“Sudahlah. Lupakan saja.”

“Tidak mau. Kau yang memulai percakapan ini, jadi aku ingin mendengar lanjutannya.”

“Yah, kamu kan memang tidak ingin mencoba hal-hal baru saat bercinta denganku?”

“Aku melakukan apa yang menjadi tugasku,” kata Dina penuh emosi. “Aku seorang istri yang baik, setia, penurut dan telah memberimu dua orang anak!”

“Maafkan aku, sayang. Kamu benar,” Anton mengalah. Dia berusaha mengembalikan mood sang istri yang nampaknya mulai naik pitam.

“Aku sedang tidak ingin melakukannya,” kata Dina sambil melepaskan tangan Anton yang meremas payudaranya. Dina mematikan lampu dan menarik selimut.

Anton memahami nada suara istrinya yang tinggi dan memiringkan badan untuk mengecup bibir Dina. Setelah mencium bibir Anton, Dina membalikkan badan dan memunggunginya. Si cantik itu segera terlelap. Anton bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.

Entah kenapa, setelah 12 tahun menikah dan hapal dengan sifat-sifat Dina, dia dengan tololnya memutuskan untuk membicarakan hal yang menyinggung perasaan istrinya. ‘Dasar sial’ batin Anton. Suami Dina itu terpaksa coli di kamar mandi untuk melepas hasrat birahinya malam itu.

###

Pak Bejo Suharso yang pensiunan PNS bertubuh gemuk, dengan kulit hitam kecoklatan terbakar matahari dan berusia enam puluh dua tahun. Wajahnya sudah dipenuhi keriput, matanya kemerahan dan rambutnya yang ikal mulai membotak. Wajahnya bukan wajah seorang pria tua yang simpatik, bahkan cenderung buruk rupa. Walaupun bukan orang berada dan hidup serba kekurangan, Pak Bejo dikenal lumayan akrab dengan penghuni sekitar sehingga sering dimintai bantuan dan punya banyak kawan di kampungnya.

Tapi di balik penampilannya pada Alya sekeluarga, Pak Bejo sebetulnya adalah seorang preman yang sering judi, jajan PSK, mabuk-mabukan dengan anak-anak muda dan berkelahi dengan orang yang tidak disukainya. Satu lagi kejelekan Pak Bejo, orang ini sangat mesum.

Pak Bejo dan istrinya hampir tiap hari berkunjung ke rumah keluarga Hendra dan Alya. Biasanya Bu Bejo akan merawat Opi yang masih kecil setiap kali Hendra dan istrinya pergi bekerja. Pak Bejo dan istrinya memang suka dengan anak kecil apalagi yang selucu dan secantik Opi, tapi Pak Bejo lebih suka dengan ibunya yang luar biasa manis dan seksi.

Alya yang masih muda dan jelita adalah wanita impian Pak Bejo. Sejak pindah ke kampung ini, Pak Bejo tak pernah melewatkan mengamati ibu muda yang segar itu. Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang seksi, baunya yang harum, kakinya yang jenjang, kulitnya yang putih mulus, rambutnya hitamnya yang panjang sebahu, buah dadanya yang montok dan membusung, pantatnya yang bulat, semuanya Pak Bejo suka. Sejak Bu Bejo dipercaya dan sering dipanggil sebagai babysitter keluarga Hendra, Pak Bejo bisa memuaskan dahaga nafsunya dengan mencuri-curi pandang ke arah semua titik lekuk keindahan tubuh Alya.

‘Si Alya memang benar-benar dahsyat.’ Kata Pak Bejo dalam hati, “Coba lihat aja bibirnya. Uahahhh, pokoke maknyuuuss. Kalo dipake buat nyepong, baru nempel aja paling aku udah keluar.”

Hari ini dia lebih beruntung lagi, karena tadi pagi sempat mencuri celana dalam Alya yang belum dicuci. Dia sempat mencium bau harum belahan selangkangan Alya dari celana dalam bekas pakainya itu. Setelah istrinya tidur, malam ini Pak Bejo beringsut ke kamar mandi dengan sembunyi-sembunyi sambil membawa celana dalam Alya. Buat apa lagi kalau bukan buat coli? Ia segera bermasturbasi dengan membayangkan wajah Alya dan mimpi bercinta dengan istri Hendra itu dari segala macam posisi. Pak Bejo merem melek dan mendengus-dengus penuh nafsu.

‘Wah,’ pikirnya. ‘Kalau cuma begini terus, bisa rusak kontol ini aku betot. Gimana yah caranya bisa ngentotin si Alya yang semlohay itu? Aku musti cari cara buat bisa masukin kontol ini ke memeknya!’

Setelah orgasme dan melepaskan air mani ke lantai kamar mandi, Pak Bejo kembali ke teras dan kongkow-kongkow. Dia masih mengatur strategi untuk melaksanakan pikiran kotornya. Suatu saat, teringatlah Pak Bejo pada adik Alya yang juga sangat cantik dan seksi yang bernama Lidya.

‘Si molek itu kayaknya curiga sama aku. Suatu saat nanti aku harus memberi dia pelajaran di tempat tidur!’ kata Pak Bejo dalam hati. ‘Yang mana yah enaknya? Alya atau Lidya yang sebaiknya aku entotin duluan? Wah wah, satu keluarga kok semlohay semua. Belum lagi kakaknya yang paling gede, siapa itu namanya… Dina Febrianti? Wah… teteknya oke banget… ah ah… Dina, Alya atau Lidya?’

Pak Bejo lantas membuka folder-folder gambar di dalam HPnya. Di dalamnya terdapat tiga foto yang sangat dia sukai. Semuanya seronok dan diambil tanpa sepengetahuan sang target. Gambar Dina saat mengenakan kaos ketat yang memperlihatkan kemolekan buah dadanya, gambar belahan dada Alya saat pujaan Pak Bejo itu membungkuk dan gambar paha mulus Lidya. Dina sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari rumah Alya, berbeda gang tapi masih dalam satu komplek. Bersama suaminya, Anton, Dina memiliki dua orang anak yang sekarang sudah bersekolah di SD terdekat. Sedangkan Lidya adalah penganten baru yang tinggal di sebuah rumah agak jauh di pinggiran kota. Karena sering tugas keluar kota, maka Andi suami Lidya sering menitipkan istrinya ke rumah Alya.

Kedua orang tua kakak beradik Dina, Alya dan Lidya sudah meninggal dunia karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu.

Sambil menikmati gambar ketiga kakak beradik yang seksi itu, Pak Bejo Suharso terus melamun hingga larut malam sambil menggaruk-garuk selangkangannya yang makin gatal.

###

Alya sudah bekerja keras sepanjang hari Minggu ini dan dia kelelahan. Ibu rumah tangga muda yang cantik itu sudah mencuci baju, memasak, membersihkan rumah, memandikan Opi dan menidurkannya. Apalagi hari ini Alya harus melayani kunjungan ibu mertuanya yang baru pulang sore hari sementara Bu Bejo sedang mengunjungi relasi sehingga tidak bisa datang. Akhirnya Alya bisa beristirahat dengan tenang malam itu.

Setelah mandi dengan shower, keramas dan mengenakan piyama, Alya merebahkan diri di tempat tidur. Sayangnya, Hendra punya pikiran lain dan mulai bergerak mendekati istrinya yang tidur membelakanginya. Hendra memeluk Alya dari belakang, menepikan rambut dan menciumi lehernya yang putih.

“Jangan sekarang ah, Mas Hendra,” kata Alya manja. “Aku capek banget.”

Hendra tidak menjawab. Suami Alya itu terus menciumi lehernya dan meletakkan tangannya di payudara kiri Alya. Hendra meremas susu Alya perlahan dan menjilati daun telinganya, sementara tubuhnya kian mendekat dan akhirnya Hendra menempelkan alat vitalnya di belahan pantat Alya yang montok.

“Mas…” Alya menggeliat dan mencoba mendorong suaminya menjauh. Tidak enak juga rasanya menolak melayani suami seperti ini, karena biar bagaimanapun Alya sangat mencintai Hendra dan ingin melayaninya sampai puas. Sayangnya, Hendra sering memilih waktu yang tidak tepat saat meminta jatah.

“Ayolah, sayang,” kata Hendra sambil mencopoti kancing baju piyama yag dikenakan Alya. “Aku pengen.”

“Aku capek, Mas,” jawab Alya. Tapi karena Hendra terus merangsang payudaranya, Alya akhirnya mengalah. Akan lebih baik kalau dia menyerah dan pasrah pada kemauan sang suami.

Alya berhenti menolak dan mulai rileks saat Hendra selesai melepaskan semua kancing baju piyama yang dikenakannya. Telanjang dari perut ke atas, Hendra segera menyerang kedua payudara Alya yang ranum dan indah. Hendra memijat buah dada Alya dengan kedua belah telapak tangannya. Suami Alya itu lalu mengelus-elus susu Alya dan menciumi sisi-sisinya. Hendra hanya sekilas mencium puting susu Alya (tidak cukup lama untuk membuatnya mengeras), lalu bangkit dan berlutut. Ia meraih bagian atas celana piyama yang dipakai Alya dan mencoba menariknya. Alya dengan desahan panjang mengangkat pantatnya ke atas supaya celananya mudah ditarik.

Hendra melucuti celana panjang piyama Alya dan melakukan hal serupa dengan celana dalam istrinya. Kini Alya sudah telanjang bulat di depan suaminya.

“Seksi banget, sayang. Sudah lebih dari lima tahun kita menikah, tapi bentuk tubuhmu masih jauh lebih indah dari gadis manapun. Masih seksi, masih mulus dan hmm… tidak, aku salah. Tubuhmu jauh lebih seksi, lebih mulus dan lebih aduhai dari siapapun.” Kata Hendra memuji keindahan tubuh istrinya. Alya tersenyum, paling tidak dia masih mendapatkan pujian dari suaminya.

“Ini semua untuk kamu, Mas.” Kata Alya mesra.

Hendra ambruk di atas tubuh Alya dan istrinya itu otomatis merenggangkan kakinya yang jenjang. Alya mengaitkan kakinya diantara pinggang Hendra dan menjepitnya lembut. Beberapa saat kemudian, Alya merasakan ujung kemaluan Hendra mulai menyentuh ujung vagina Alya. Wanita cantik itu menarik nafas panjang. Hendra mungkin bukan orang paling romantis di dunia, tapi penisnya lumayan besar, dan itu biasanya mampu mengagetkan dan memuaskan Alya.

Alya menahan nafas sementara Hendra melesakkan penisnya ke dalam vagina istrinya dengan sangat perlahan. Setelah seluruh batang kemaluan Hendra masuk ke dalam mulut rahimnya, Alya melepas nafas. Hendra mulai menyetubuhi Alya dengan gerakan pelan dan lembut. Gerakan Hendra yang ajeg dibarengi dengan erangan dan lenguhan kenikmatan. Alya merintih pelan dan manja, untuk memberikan kesan dia menikmati permainan cinta yang diberikan suaminya. Padahal dalam hati Alya sama sekali tidak puas.

Sebenarnya permainan Hendra tidaklah terlampau buruk, tidak pula singkat, kadang Alya juga terpuaskan perlahan-lahan, tapi permainan Hendra tidak mampu melejitkan Alya ke puncak kepuasan yang optimal. Alya mencoba mengimbangi gerakan memilin suaminya dengan gerakan pinggulnya, mencoba menyamakan ritme dengan gerakan mendorong yang dilakukan Hendra, tapi lagi-lagi Alya harus berpura-pura karena tak berapa lama kemudian Hendra sudah orgasme. Alya tersenyum dan mencium suaminya lembut. Hendra menyentakkan penisnya dalam vagina Alya untuk kali terakhir sementara air maninya membanjiri liang kemaluan sang istri.

Setelah semuanya usai, Hendra bergulir dari atas tubuh Alya dan memejamkan matanya penuh kepuasan. Alya bangkit dari ranjang, membersihkan diri sebentar dan kembali ke tempat tidur sambil memeluk suaminya yang sudah tertidur lelap penuh rasa cinta.

Sementara itu, di luar sepengetahuan Alya dan Hendra, sesosok tubuh gemuk berhenti merekam adegan persetubuhan mereka. Sosok itu sedari tadi bersembunyi di luar jendela kamar Alya. Entah bagaimana, sosok itu bisa menemukan celah di antara tirai, mengintip ke dalam kamar lalu merekam adegan seks mereka dengan kamera HP.

Sosok itu melangkah puas sambil terkekeh-kekeh pulang ke rumah. Sosok Pak Bejo Suharso!

###

Dina duduk di kamar santai dan menyalakan televisi. Tapi ibu muda yang cantik itu tidak menonton tayangan sinetron di televisi. Dina terus memijat-mijat tangannya dengan gelisah di pangkuan dan bertanya-tanya apa yang diinginkan oleh Pak Pramono, bos kerja Anton. Pak Pramono telepon tadi pagi dan bertanya apakah dia boleh datang berkunjung. Pak Pramono mengatakan ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan. Anehnya, saat ini Anton justru tengah dinas keluar kota. Apa yang ingin disampaikan Pak Pramono padanya? Dina selalu merasa rikuh saat berhadapan dengan Pak Pramono.

Walaupun sudah tua, tapi pria yang rambutnya sudah beruban semua itu sangat besar dan masih terlihat gagah. Kulitnya yang hitam dan kumisnya yang lebat menambah sangar penampilan Pak Pramono. Dia lebih mirip seorang perwira militer ketimbang bos perusahaan IT. Dina bertanya-tanya dalam hati apa yang ingin dibicarakan oleh Pak Pramono saat kemudian bel pintu berbunyi.

Dina buru-buru membukakan pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. Dia mengantarkan sang tamu ke ruang duduk di mana mereka berdua akhirnya berhadapan. Dina merasa sedikit grogi berbincang-bincang dengan pimpinan suaminya. Sangat jarang pimpinan Anton berkunjung kemari, bahkan bisa dibilang ini baru pertama kalinya mereka berdua berhadapan langsung.

“Bagaimana kabar anda?” tanya Pak Pramono memulai percakapan.

Dina cukup terkejut dengan pertanyaan sopan ini. Pak Pramono bukan orang yang suka berbasa-basi dan wajahnya cenderung menyeramkan. Satu-satunya pertemuan empat mata antara Dina dan Pak Pramono berlangsung di sebuah pesta perusahaan. Saat itu Pak Pramono bahkan tidak tersenyum pada siapapun. Sebaliknya Bu Pramono adalah seorang istri yang sangat ramah. Dina memutuskan untuk tidak memasang wajah kaku dan berlaku santai. Dia duduk dengan tenang.

“Baik, terima kasih. Bagaimana kabar anda sendiri, dan Bu Pramono, sehat-sehat saja kan?” Dina menjawab ramah.

“Baik. Baik. Ibu juga baik baik saja. Semua sehat.”

Dina melihat wajah Pak Pramono mengeras, sehingga perasaan tegang kembali menyelimutinya. “Pasti Bu Anton bertanya-tanya kenapa saya ingin menemui ibu?”

“Betul Pak, saya cukup terkejut dengan telpon dari anda… apalagi saat ini Mas Anton sedang keluar kota dan…”

“Akan lebih baik kalau dia tidak ada di sini. Saya ingin berbincang-bincang soal serius pada Bu Anton perihal bapak.”

“Tentang suami saya? Apa ada masalah di tempat kerja?

“Pertama, apakah ibu tahu soal kebiasaan Pak Anton berjudi?”

Dina terkejut dan hampir pingsan, tapi setelah beberapa saat berdiam, dia mencoba menguasai dirinya sendiri dan menjawab. “Mas Anton tidak pernah berjudi, tidak tepat kalau disebut ‘kebiasaan’, Pak Pramono.”

Pak Pramono membuka tas kerjanya dan mengambil secarik amplop manila. Dia membukanya dan mengeluarkan beberapa carik kertas dari dalamnya. Memisahkan sebagian dan mengambil beberapa lagi. Dia lalu menunjukkannya kepada Dina. Kertas-kertas itu adalah foto. Dina duduk terdiam. Dia hampir pingsan.

“Ini buktinya,” kata Pak Pramono tenang.

Dalam foto-foto itu tergambar kegiatan Anton saat dia sedang di meja judi. Entah itu saat bermain kartu atau berbagai jenis kegiatan judi lain. Ada foto-foto saat Anton sedang memasang nomor taruhan, ada foto saat Anton merobek nomernya yang kalah dengan kesal dan ada foto Anton saat dia sedang minum bir bersama beberapa bandar.

“Darimana anda mendapatkan foto-foto ini?” tanya Dina kebingungan.

“Itu tidak penting. Jadi patut diketahui oleh ibu, kalau kami selalu melakukan penyelidikan mendetail pada seluruh karyawan, termasuk Pak Anton. Dalam kasus ini, kami memang mencurigai beliau.”

“Mencurigai! Kenapa?”

“Saya baru hendak menyampaikan alasannya. Auditor kami menemukan catatan sejumlah besar dana yang telah diselewengkan oleh seorang karyawan. Hal itu membuat kami harus memulai langkah penyelidikan. Setelah langkah-langkah diambil, semua bukti yang ada mengarah pada Pak Anton, suami ibu. Kami menghubungi pihak yang berwajib dan mereka mengirim beberapa intel untuk, mm, mematai-matainya.”

“Ini pasti kesalahan besar. Anton tidak mungkin mencuri. Dia tidak pernah berjudi!” Dina mulai gusar, matanya mulai basah.

“Tentunya, seperti yang terbukti dari foto-foto ini, suami ibu jelas-jelas berjudi.” Pak Pramono mengeluarkan beberapa foto lagi dari amplop manilanya. “Bahkan kami punya bukti kalau Pak Anton juga telah melakukan korupsi dan menggelapkan uang perusahaan untuk kegemarannya itu.”

Dina yang shock duduk dengan mulut terbuka lebar karena terheran-heran. Ruang tamunya seakan berputar dan perlahan menjadi gelap. Dina pingsan.

###

“Alya.”
“Iya Mas?”
“Dasiku yang biru kamu simpan dimana? Aku kok tidak bisa menemukannya dimana-mana?”
“Ada kok, di dalam lemari.”

Hendra selalu berharap Alya akan menyiapkan segala kebutuhannya sebelum berangkat ke kantor. Ketika mereka menikah beberapa tahun yang lalu, Alya sanggup melayani Hendra. Tapi kini, sebagai seorang wanita yang juga bekerja dengan seorang anak yang masih kecil, kesibukan pagi Alya sangatlah padat. Bangun pagi, menyiapkan makan, membangunkan Opi, menghidangkan sarapan… terus berlanjut sampai Hendra berangkat kerja, Opi diasuh Bu Bejo dan Alya sendiri berangkat bekerja.

Saat Bu Bejo tidak datang, kehidupan Alya jauh lebih hiruk pikuk. Untungnya suami istri Pak dan Bu Bejo gemar menolong dan mereka selalu datang untuk membantu. Bu Bejo tidak pernah menolak membantu dalam hal apapun juga, hubungan kedua tetangga inipun terjalin erat. Hendra dan Alya sering memberi uang lebih pada Pak Bejo dan istrinya sebagai balas jasa.

Sayangnya Alya kemudian mengetahui kehidupan gelap Pak Bejo Suharso. Pak Bejo adalah seorang suami yang pemabuk dan sering memukuli Bu Bejo dengan kasar. Tanpa alasan yang jelas (kemungkinan besar karena kalah judi), Pak Bejo bisa menghajar Bu Bejo sampai bengkak dan biru. Biasanya kalau sudah begitu, hanya Pak Bejolah yang datang ke rumah Hendra selama beberapa hari. Alya mengasihani Bu Bejo, kenapa dia masih tetap bertahan sebagai istri Pak Bejo? Mungkin kondisi ekonomi membuat kehidupan Pak Bejo menjadi keras, tapi itu bukan alasan untuk menganiaya istrinya sendiri.

Seandainya Hendra yang berlaku demikian, maka Alya akan minta cerai dan pergi sejauh mungkin dari rumah ini. Bukanlah penganiayaan fisik yang membuat Alya marah, tapi penghinaan berlebih terhadap kaum wanita yang membuatnya tersinggung. Alya hanya tertawa saat membayangkan Hendra menjadi seorang penganiaya istri, tidak mungkin terjadi. Mereka sudah pacaran sejak SMU dan Hendra adalah orang terbaik yang pernah ia kenal.

Suatu ketika Alya pernah menanyakan perihal alasan Bu Bejo bertahan, Bu RT itu hanya tertawa penuh kesabaran. “Kamu belum tahu apa-apa, nDuk. Mbak Alya belum mengerti apa-apa.”

Tapi, Bu Bejo berjanji, setiap kali Pak Bejo berlaku kasar, dia akan lari minta perlindungan pada Alya sekeluarga dan berusaha menyadarkan suaminya dari tindakan yang semena-mena itu. Hari ini Bu Bejo belum menampakkan batang hidungnya, dan Alyapun bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

“Opi, ayo habiskan makannya.” Kata Alya memperingatkan putrinya.

Putri kecil Alya punya kebiasaan buruk menghambur-hamburkan sarapan. Toh walaupun sudah masuk kelas 0 kecil, Opi masih seorang anak kecil. Alya melirik ke arah jam di dinding. Jam tujuh tiga puluh.

“Sayang, aku pergi dulu. Mungkin pulang agak telat hari ini. Ada meeting nanti sore dengan pemegang saham.” Kata Hendra sambil mencium pipi sang istri.

Melangkah keluar dari dapur, Alya dan Hendra mengangkat Opi dari meja makan. Kalau Bu Bejo tidak datang, Hendralah yang mengantarnya ke TK. Kalau sudah begitu, biasanya Opi dititipkan pada neneknya yang kebetulan tinggal di dekat TK dan juga bersedia menampung Opi. Hendra atau Alya akan menjemput Opi nanti sore sepulang kerja.

Alya merasa pusing hari ini, sehingga dia memutuskan untuk absen kerja. Setelah menelpon kantor untuk minta ijin, Alya juga menelpon mertuanya untuk menitipkan Opi. Saat melintas di depan kaca, tidak sengaja Alya memperhatikan tubuhnya sendiri. Sangat susah mempertahankan badan agar tetap langsing bagi sebagian orang. Tapi bagi Alya, dia bagai dikaruniai sebuah tubuh indah yang sangat sempurna. Alya merapikan rambut sebahunya yang agak kusut.

“Kamu memang seksi banget, sayang. Kalau jalan-jalan di mall, pasti banyak cowok pengen menggodamu.” Kata Hendra. Dia selalu memuji istrinya. Memang bukan hal aneh kalau Alya sering digoda cowok dimanapun dia berada karena sangat cantik dan seksi. Tapi Alya adalah seorang istri yang setia dan punya martabat yang ia junjung tinggi.

“Mama, Opi pegi dulu.” Kata si kecil sambil mencium pipi sang bunda.
“Iya. Ati-ati ya sayang.” Alya mengecup dahi Opi.
“Aku pergi dulu, say.” Hendra pamit sambil menggandeng Opi.

Alya melambaikan tangan pada mereka berdua.

Alya ambruk ke atas ranjang setelah Hendra dan Opi pergi. Pengaruh obat yang dia minum setelah sarapan tadi membuatnya sangat mengantuk. Ibu rumah tangga yang jelita itu tertidur selama hampir dua jam sebelum terbangun dan memutuskan untuk bersantai-santai sambil membaca tabloid. Alya bertanya-tanya kemanakah Bu Bejo hari ini.

###

Saat kemudian terbangun, Dina sedang berbaring di sofa dan Pak Pramono duduk di sampingnya.

“Anda ingin saya ambilkan segelas air?” tanya Pak Pramono.

“Apa yang terjadi? Ya Tuhan, saya ingat. Tidak mungkin. Anton tidak akan melakukan itu semua. Apa yang akan anda lakukan?”

“Itulah sebabnya hari ini saya memutuskan kemari dan menemui Mbak Dina. Saya punya penawaran.” Kata Pak Pramono.

“Penawaran? Untuk saya? Apa yang bisa saya lakukan?”

Pak Pramono tersenyum nakal. “Begini, Bu Anton, atau boleh saya panggil Mbak Dina saja supaya akrab? Anda terlalu muda dan cantik untuk dipanggil ibu.”

Dina mengangguk.

“Baiklah, Mbak Dina. Anda bisa membantu suami, dalam hal ini Mas Anton, dan juga seluruh keluarga Mbak Dina. Saya punya bukti-bukti kuat yang akan menggiring Pak Anton ke penjara untuk jangka waktu yang sangat lama. Saat melakukan penyelidikan, kami juga menerima berkas-berkas laporan keuangan dan bon tagihan bulanan keluarga anda.”

Dina sudah siap memprotes, tapi kemudian terdiam dan membiarkan Pak Pramono meneruskan keterangannya.

“Memang apa yang saya lakukan bersama tim terdengar ilegal, tapi saya bersumpah apa yang kami lakukan sah sesuai hukum. Saya memberitahu anda saat ini karena ingin anda mengerti posisi kami. Dari apa yang kami dapatkan, kami menemukan bukti bahwa keluarga anda telah berfoya-foya dengan membeli berbagai peralatan elektronik dan…”

“Berfoya-foya? Kami tidak minta apa-apa! Itu semua Mas Anton yang membelikan!” teriak Dina panik.

“Kami minta maaf, tapi saya tetap pada pernyataan saya. Suami anda menghabiskan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan seiring dengan kegiatan judi yang dia lakukan dan banyaknya hutang yang dia tanggung dari kegiatannya itu, saya rasa anda tidak sanggup mengeluarkan lebih banyak lagi dana dari anggaran belanja anda. Pak Anton harus kehilangan pekerjaan dan mendekam di penjara.”

“Ya Tuhan, lalu apa yang akan terjadi kalau anda melakukan itu?! Kami akan kehilangan rumah! Anak-anak! Apa yang terjadi pada mereka? Sekolah dan lain-lain!”

“Benar sekali. Itu sebabnya saya disini. Saya bukan pendendam. Saya memang sangat marah saat tahu Pak Anton telah mencuri uang perusahaan, tapi saya lalu teringat pada Mbak Dina dan… ahh, saya punya penawaran menarik.”

“Apa yang anda maksud… penawaran menarik?”

“Apakah anda berniat membantu Pak Anton mempertahankan pekerjaannya dan menjauhkan suami anda dari jeruji penjara?”

“Tentu saja.”

“Apa yang anda akan lakukan untuk itu?”

“Apa saja.”

Tentunya Dina bermaksud membayar kembali hutang Anton pada perusahaan, bahkan jika dia harus menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci untuk melakukannya.

Dina akan sangat terkejut saat Pak Pramono melanjutkan niatnya.

“Saya sangat lega anda berpendapat demikian, Mbak Dina. Tahu tidak, anda sungguh sangat cantik jelita. Sangat mempesona.”

“Terima kasih. Tapi sebaiknya kita tetap pada pokok permasalahan.”

“Itulah yang sedang saya lakukan. Saya ingin menolong keluarga anda keluar dari kesulitan ini. Dengar baik-baik apa yang hendak saya sampaikan: saya orang yang sangat kaya, jadi saya bisa melupakan uang yang dicuri suami anda dari perusahaan hanya jika… jika anda berlaku ‘baik’ terhadap saya.”

“Pak Pramono, apa saya tidak pernah berbuat baik pada anda? Apa pernah saya berlaku tidak sopan pada anda?”

“Mbak Dina. Anda selalu sopan terhadap saya. Tapi itu bukan ‘kebaikan’ yang saya maksudkan. Apa anda tahu maksud saya?”

“Mohon maaf, tapi saya tidak tahu. Pikiran saya sedang kalut dan saya tidak bisa berpikir jernih. Apa yang anda maksud?”

“Baiklah. Saya akan terus terang saja. Kalau kamu ingin aku melupakan kelakuan suamimu dan kerugian yang diderita perusahaan, aku ingin kamu melayaniku. Tidur denganku. Aku ingin menggauli tubuh indahmu.”

Mulut Dina menganga tak percaya. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat pasi dan dia duduk di kursi dengan menggigil ketakutan. Akhirnya, setelah mengumpulkan semua kekuatan karena shock, Dina berteriak kencang. “Keluar dari rumahku! Pergi! Orang tua tidak tahu diri!”

Pak Pramono perlahan memindahkan foto-foto yang berada di amplop manila dan meletakkannya di dalam tas kerja. Sengaja dia meletakkan tas itu dengan keras di atas meja sehingga membuat Dina terperanjat. Pak Pramono berdiri, membalikkan badan dan perlahan berjalan ke arah pintu. Setelah lima langkah, Pak Pramono berhenti dan melirik ke belakang.

“Penawaran ini tidak akan aku ulangi,” kata Pak Pramono dingin. “Saat aku melangkah keluar dari rumah ini tanpa kau turuti kemauanku, pihak yang berwajib – kepolisian, akan segera aku hubungi. Segera.”

Dina meloncat dari kursinya dan berusaha menahan kepergian Pak Pramono. “Tunggu! Saya mohon, Pak! Berhenti dulu!” Dina sangat kebingungan. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang sebaiknya ia perbuat? Seluruh tubuhnya bergetar karena takut dan dia tidak dapat berpikir jernih. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa banyak berpikir, Dina mengganguk lemah. “Baiklah. Anda menang.”

“Apa itu artinya kamu mau melakukan semua yang aku minta?”

Dina ragu-ragu sesaat, matanya menatap ke lantai dengan hampa dan akhirnya dengan suara lemah dia menjawab. “Iya. Saya tidak punya pilihan lain.”

“Bagus. Kalau begitu ayo kita buktikan saja.” Pak Pramono duduk di sofa dan menunggu dengan santai. Saat Dina berdiri terdiam, Pak Pramono pun tersenyum puas.

“Buka bajumu.” Perintah Pak Pramono.

###

Hari mulai siang dan Alya masih terus membolak-balik halaman tabloid Ibu & Anak. Dia masih menunda pekerjaan rumah seperti mencuci piring atau memasak. Setelah merasa sedikit sembuh dari pusing, barulah Alya bangkit dari bermalas-malasan dan melangkah menuju dapur.

Saat itulah terdengar pintu pagar dibuka.

Siapa yah? Apa mungkin tukang pos yang mengantarkan surat atau paket? Pikir Alya dalam hati. Saat membuka pintu, Alya menemui Pak Bejo sedang membawa tas kresek hitam besar.

“Oh, saya kira siapa. Gimana Pak Bejo?” tanya Alya.
“Mbak Alya kok di rumah? Tidak kerja hari ini?”
“Oh, nggak, Pak. Soalnya hari ini badan agak kurang sehat, kepala juga pusing.”
“Oh begitu. Ini saya mau ngambil sampah. Biasanya Bu Bejo yang ngambil sampah di keranjang belakang. Tapi tadi tiba-tiba saja Bu Bejo juga tidak enak badan.”

Meskipun sedang malas berbasa-basi, Alya tidak mau tidak sopan terhadap tetangganya ini. “Oh begitu. Sampahnya ditaruh depan rumah saja, Pak. Nanti diambil sama tukang sampah yang keliling kan?”

“Iya, Mbak,” jawab Pak Bejo. “Kalau diletakkan di keranjang depan, pasti diambil tukang sampah komplek.”

Alya mengangguk dan mempersilahkan Pak Bejo masuk.

“Em, maaf Mbak. Tapi boleh saya minta segelas air putih? Saya haus sekali.” tanya Pak Bejo.

“Tentu saja boleh, Pak. Kan sudah biasa? Anggap saja rumah sendiri. Sini, biar saya saja yang mengambilkan. Bapak duduk dulu.” Kata Alya sopan.

Ketika kembali dengan segelas air putih, Pak Bejo sudah duduk di ruang tengah. Dengan cepat Pak Bejo meneguk air putih dan mengembalikan gelasnya pada Alya. Ibu muda yang cantik itu mencoba mengambil gelas, tapi sebelum sempat menarik gelas, tangan Alya sudah ditarik oleh Pak Bejo. Tubuh Alya tertarik ke depan ke arah pelukan Pak Bejo. Dengan sigap Alya memutar tubuh sehingga Pak Bejo kini berada di belakangnya dan mencoba lari, tapi Pak Bejo terus memegang tangan Alya dan memeluk tubuhnya. Saat mereka bergumul gelas yang dipegang Alya terlempar hingga pecah berkeping-keping. Tangan Pak Bejo mulai nakal meraba-raba dada kenyal Alya dan meremasnya dengan sangat keras hingga terasa sakit. Alya membungkukkan badan ke depan mencoba melepaskan diri dari pelukan erat Pak Bejo.

Semua usaha Alya sia-sia. Untuk bisa mempertahankan keseimbangan diri, Alya harus mundur ke belakang. Tanpa dikomando, Pak Bejo segera beraksi. Pria tua itu menyelipkan selangkangannya yang sudah membusung besar ke lipatan pantat Alya. Tangannya juga meremas buah dada Alya dengan sangat kasar. Alya mengernyit kesakitan.

“He-Hentikan, Pak!! A-Atau saya akan teriak minta tolong!” kata Alya terbata-bata. Dia sangat ketakutan.

“Aku tahu Mbak Alya tidak akan melakukan itu. Apa yang dibutuhkan Mbak Alya adalah tidur dengan laki-laki sejati. Setelah kita bersetubuh nanti, Mbak Alya akan menjadi seorang wanita yang mendambakan kontol besar setiap hari.” Kata Pak Bejo sambil terengah-engah penuh nafsu.

Setelah berusaha mengatasi kepanikan, Alya mencoba melawan. Tangan Alya meraih rambut Pak Bejo, memaksa pria tua itu menunduk dan dengan sekuat tenaga Alya menyepak kemaluan Pak Bejo.

“Aduh! Lonthe!!”

Pria tua yang mesum itu pantas menerimanya. Dengan nekat Alya mencoba kabur ke pintu depan sambil melewati Pak Bejo yang sedang kesakitan. Salah besar. Tangan Pak Bejo menarik rambut Alya dan membanting tubuh si cantik itu ke lantai. Alya yang jauh lebih ringan terbanting dengan keras.

Pak Bejo melepaskan rambut Alya.

Alya mencoba berdiri dengan sempoyongan, ia berusaha mempertahankan kesadarannya. Dengan satu tamparan keras di pipi, tubuh Alya terlempar lagi ke lantai. Air mata mulai menetes di pipi mulus Alya. Tamparan kedua menyusul tak lama kemudian, membanting tubuh Alya ke arah yang berlawanan. Akhirnya pukulan dan tendangan Pak Bejo seakan tak berhenti menghajar tubuh Alya. Pak Bejo mengunci tubuh Alya, sehingga walaupun Alya berusaha melawan, semua tidak ada gunanya. Tak perlu waktu lama sebelum akhirnya perlawanan Alya mengendur dan tubuhnya mulai lemas. Tamparan demi tamparan Pak Bejo menjadi hajaran yang tak tertahankan.

“Pak!! Saya mohon!! Hentikan! Hentikan!!” ratap Alya sambil menangis.

Akhirnya Pak Bejo berhenti menghajar Alya. Alya mulai meraung-raung dan menangis sejadi-jadinya. Darah menetes dari hidungnya yang sembab.

“Nggak apa-apa. Sebentar lagi juga sembuh.” Pak Bejo menyeringai.

Tangan Pak Bejo mulai bekerja dengan cepat melucuti pakaian yang dikenakan Alya. Pak Bejo melepas rok dan rok dalam yang dipakai Alya. Akhirnya Alya bisa merasakan tangan kuat pria tua itu merobek celana dalamnya.

Alya tidak percaya ini semua terjadi padanya. “Ini pasti mimpi buruk.”

Pak Bejo juga tidak percaya melihat kemolekan tubuh Alya. Kaki yang jenjang, paha yang mulus dan rambut tipis tercukur rapi menutup gundukan memek yang bersih. Keindahan yang tidak ada duanya. Keindahan tubuh Alya persis seperti apa yang selalu diidam-idamkan oleh Pak Bejo ketika masturbasi sendirian di kamar mandi. Tubuh yang indah itu kini tergolek pasrah di atas lantai.

Pak Bejo tak perlu waktu lama untuk menyerang tubuh Alya. Dia membenamkan kepala di antara paha Alya dan mulai menghirup aroma wangi liang kewanitaannya. Pak Bejo mulai menjilati bibir kemaluan Alya.

“Ya Tuhan!” Alya menggigil tak berdaya sambil mencengkeram kepala Pak Bejo dengan kedua tangannya dan mencoba mendorongnya menjauh. Bahkan Hendra tak berani melakukan itu padanya. Lidah Pak Bejo makin lama makin meningkat intensitas iramanya dan Alya mulai kehilangan kendali pada tubuhnya. Dengan malu Alya mulai menyadari kalau tubuhnya perlahan menikmati apa yang dilakukan oleh Pak Bejo sementara batinnya mencoba mengingkari.

“Aaah!!” lenguh Alya keras sambil terus mencoba mendorong kepala Pak Bejo.

Lenguhan Alya makin lama makin keras dan tubuhnya menggigil penuh nafsu birahi di bawah rangsangan luar biasa dari Pak Bejo. Alya sudah tidak ingat lagi akan semua hal yang ia junjung tinggi, pekerjaan, pendidikan, latar belakang, keluarga, suami, anak… semua hilang ditelan nafsu. Tidak ada jalan keluar. Dia akan ditiduri oleh laki-laki ini, seorang pria tua yang ternyata memiliki hati busuk.

Dengan kecepatan tinggi, Pak Bejo mulai meloloskan baju dan celana yang ia kenakan. Saking nafsunya, ia bahkan merobek kaos oblongnya. Berbaring di lantai, Alya sekilas melihat batang zakar Pak Bejo sebelum dia akhirnya memeluk Alya. Kontol Pak Bejo sangat besar, bahkan lebih besar dari milik Hendra, batin Alya dalam hati. Kaki Alya yang jenjang diangkat ke atas oleh pria tua yang sudah nafsu itu, keduanya ditautkan di pundak Pak Bejo dan dengan secepat kilat, Pak Bejo sudah sampai di selangkangan Alya. Tanpa tunggu waktu terlalu lama, langsung dilesakkan kontolnya ke dalam memek Alya.

“Ya Tuhan!” lenguh Alya ketika penis Pak Bejo masuk ke dalam liang kemaluannya. Si cantik itu bahkan harus menutup mulutnya dengan tangan agar tidak berteriak kesakitan saat kontol Pak Bejo dipompa dalam rahimnya berulang-ulang kali.

Tapi Pak Bejo tetaplah seorang pria tua. Tidak sampai lima menit, Pak Bejo sudah melepaskan cairan pejuhnya di dalam rahim Alya. Alya menatap wajah Pak Bejo dengan perasaan campur aduk.

“Sudah kubilang kalau kau akan menikmati semua ini, Mbak Alya. Lenguhanmu terdengar sangat keras dan merangsang.” Kata Pak Bejo sambil meringis penuh kemenangan.

Alya yang malu memalingkan wajah.

Saat Alya berusaha bangun, Pak Bejo menarik tubuh Alya dan memeluknya.

“Mau kemana, sayang? Kita kan belum selesai. Kamu nggak pengen dikenthu lagi?”
“Mau ke kamar mandi.” Kata Alya berusaha melepaskan diri dari pelukan Pak Bejo.
“Tapi kamu kan nggak bisa pergi seperti ini.”

Pak Bejo berdiri dan membantu Alya ikut berdiri. Satu persatu dilepaskannya semua pakaian yang melilit tubuh indah Alya. Mulai dari baju, BH sampai rok dalam yang masih tersangkut di kaki Alya. Setelah selesai, dibaliknya tubuh Alya.

“Sekarang baru boleh pergi.” Kata Pak Bejo terkekeh sambil menampar kecil pantat Alya yang bulat dan mulus. Sambil menahan air mata, Alya pun pergi ke kamar kecil.

Saat kembali ke kamar tengah, Pak Bejo sedang menonton acara TV.

“Duduk di pangkuanku!” Perintah Pak Bejo sambil menepuk kakinya. Alya sempat ragu-ragu untuk sesaat, dia sangat sadar bahwa dirinya saat ini sedang telanjang tanpa sehelai benangpun di depan seorang pria yang bukan suaminya sendiri. Orang itu kini menghendaki tubuh indah Alya duduk di pangkuannya. Alya hanya bisa mendesah penuh kepasrahan. Air matanya kembali menetes.

Tak berapa lama setelah duduk di pangkuan Pak Bejo, tangan jahil pria tua itu mulai meraba-raba tubuh indahnya. Lama kelamaan, api yang tadinya padam mulai menyala lagi. Kali ini Pak Bejo ingin mengeluarkan pejuh di mulut Alya. Istri Hendra itu memang sangat jarang melakukan oral seks atau fellatio pada suaminya sendiri karena terlalu alim. Sekali dua kali dilakukannya dengan terpaksa. Alya selalu menganggap hal itu kotor dan menjijikkan. Hanya pemain film porno yang pernah melakukannya.

“Aku tidak mau melakukannya.” Kata Alya bersikukuh.

Tanpa banyak bicara Pak Bejo meraih kepala Alya dan akhirnya istri Hendra itu hanya bisa pasrah. Alya mulai mengoral kontol Pak Bejo.

Remasan tangan Pak Bejo di kepala Alya mengeras. Si cantik itu bisa merasakan denyutan di kontol yang diemutnya kalau Pak Bejo hampir mencapai orgasme. Kontolnya sangat besar dan keras di dalam mulut Alya sehingga dia mulai batuk-batuk dan kehabisan nafas tapi Pak Bejo tidak peduli. Alya berusaha mundur untuk menarik nafas, tapi tangan Pak Bejo meraih rambut belakang Alya dan mendorongnya maju sampai tertelan seluruh batang kemaluan sang pria tua. Karena kuatnya dorongan Pak Bejo, tubuh Alya menggelepar karena tercekik kehabisan nafas.

Alya berontak dan berusaha melepaskan diri, tapi Pak Bejo terlalu kuat untuknya. Lalu perlahan pria tua itu berhenti sesaat, memberikan kesempatan bagi Alya untuk bernafas sejenak. Sayang hanya sebentar, karena kemudian tiba-tiba saja kepala Alya didorong maju dan dipaksa menelan seluruh batang kontolnya. Tepat ketika ujung kepala kontol Pak Bejo menyentuh tenggorokan Alya, air mani pun meledak di dalam mulutnya.

Tidak ada jalan lain kecuali menelan seluruh pejuh yang dikeluarkan oleh Pak Bejo untuk menahan diri agar tidak tercekik. Saat dilepas oleh Pak Bejo, Alya rubuh ke belakang dan menarik nafas lega. Seluruh pipi dan dagunya belepotan air mani Pak Bejo yang keluar dari bibirnya yang merah.

Sadar apa yang baru saja diminumnya, langsung saja Alya merasa mual. Istri Hendra itu segera lari ke kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Setelah muntah, Alya merasa lebih baik dan tidak lagi merasa mual. Sesaat setelah muntah, barulah Alya sadar kalau Pak Bejo sudah berdiri di sampingnya. Alya tidak melakukan perlawanan apapun saat pria yang lebih pantas menjadi ayahnya itu memeluk tubuh indahnya yang telanjang dan mengelus rambutnya yang indah untuk menenangkan si cantik itu.

“Apa Mbak Alya sudah enakan sekarang?” bisik Pak Bejo. Mau tak mau Alya mengangguk pasrah.

Pak Bejo membantu Alya bersih-bersih sebelum membawa ibu rumah tangga yang cantik itu kembali ke ruang keluarga. Pak Bejo menyuruh Alya duduk di salah satu sofa sementara dia sendiri duduk tepat di hadapan Alya.

“Santai saja. Jangan dianggap masalah berat.” Kata Pak Bejo sambil mengeluarkan sebungkus rokok dan mulai menghisapnya. “Pindah channel TVnya.”

Dengan menurut, Alya meraih remote TV dan memencet tombol. Entah acara apa yang ingin ditonton Pak Bejo, Alya tidak peduli.

Pak Hasan adalah mertua Lidya dan ayah kandung Andi. Usianya sudah 58 tahun, bertubuh gemuk, botak dan sudah menduda sejak 12 tahun terakhir. Setelah kehilangan rumahnya yang berada di desa karena tidak bisa membayar hutang yang menumpuk, Pak Hasan sedianya akan ditampung sementara oleh Andi dan menantunya Lidya yang sama-sama baru berusia 26 tahun sebelum nantinya mendapat rumah kontrakan yang baru.

Pak Hasan mengetuk pintu depan dan menantunya yang ayu segera menyambutnya. Si seksi itu hanya mengenakan daster tipis yang menerawang, khas baju ibu-ibu rumah tangga. Tapi entah kenapa, saat Lidya yang mengenakan baju itu, terlihat sangat menggairahkan. Lidya terlihat sangat cantik dan segar.

“Lho? Bapak? Aku kira bapak baru akan datang besok lusa? Ayo masuk dulu,” kata Lidya sambil memutar badan. Walau tertutup daster, tapi Pak Hasan bisa melihat jelas lekuk pantat sempurna milik Lidya yang menerawang dibalik daster. Lidya, seperti juga kakak-kakaknya memiliki kecantikan natural yang sempurna. Walaupun menantu Pak Hasan itu memiliki perangai yang manis, ceria dan suka bercanda, tapi sosok ayu dan seksinyalah yang membuat setiap lelaki ingin menidurinya.

“Mas Andi belum pulang, tapi sebentar lagi pasti datang.”

“Tadi aku naik bis yang sore.” kata Pak Hasan sambil mencari sofa untuk duduk.

“Oh begitu. Istirahat dulu, Pak. Anggap saja rumah sendiri.” Jawab Lidya sambil membungkuk untuk mengambil cangkir yang ada di meja di depan Pak Hasan. Karena daster yang dipakai Lidya sangat longgar, gerakan ini membuat Pak Hasan bisa mengintip celah buah dada putih ranum yang menggiurkan di balik BH Lidya.

Melihat keseksian menantunya, kemaluan Pak Hasan langsung mengeras. Mertua Lidya itu segera menyembunyikan tonjolan di selangkangannya karena malu. Setelah menata meja, Lidya duduk di depan Pak Hasan dan menyilangkan kakinya, seakan memamerkan kakinya yang putih, mulus dan jenjang dengan bulu-bulu halus yang menggairahkan. Pak Hasan harus konsentrasi penuh untuk mendengarkan pertanyaan Lidya.

“Jadi bagaimana perjalanannya? Capek yah, Pak?”

“Lumayan melelahkan. Lima jam perjalanan.”

Mata Pak Hasan bergerak menelusuri seluruh lekuk tubuh Lidya, dari atas sampai bawah, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Hampir 5 tahun sudah Pak Hasan tidak melakukan kegiatan seksual. Setelah kematian istrinya, Pak Hasan sering memanggil pelacur saat masih tinggal di desa. Tapi kemudian berhenti karena hutang-hutangnya kian bertumpuk dan dia tidak bisa membayar seorang pelacurpun. Lidya mulai sedikit rikuh dengan tatapan mata Pak Hasan yang seakan menelanjanginya.

“Aku naik dulu ke kamar ya, Pak. Mau mandi sebentar lalu aku siapkan makan malam. Bapak pasti sudah lapar kan? Anggap aja rumah sendiri,” kata Lidya sambil menaiki tangga. Mata Pak Hasan tidak lepas dari goyangan pantat menantunya yang aduhai sampai ke atas tangga. Walaupun sudah uzur, tapi Pak Hasan tetap laki-laki normal, dia butuh melepaskan hasrat birahinya. Dia ingin masturbasi untuk melepaskan gejolak nafsunya.

Saat itu telepon berbunyi. Pak Hasan mengangkatnya.

“Halo?”

“Halo, ini Bapak ya?”, tanya suara di ujung, yang rupanya suara Andi.

“Iya, ini Bapak, Ndi,” kata Pak Hasan.

“Pak, aku minta maaf aku nggak bisa pulang hari ini, soalnya aku harus lembur di luar kota dan baru akan pulang sekitar hari Minggu sore. Mendadak banget dan tidak bisa ditunda. Tolong pamitin ke Lidya ya. Pesawatnya hampir berangkat, aku tidak bisa lama-lama. Maaf tidak bisa menemani Bapak. Aku telpon kalau sudah sampai di sana nanti.”

“Baik, Ndi. Nanti Bapak sampaikan. Iya.”

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Pak Hasan menutup telepon.

Pak Hasan berniat untuk membawa tas-tasnya yang berisi baju ke kamar atas. Perlahan dia menaiki tangga, melewati kamar utama — tempat tidur Lidya dan Andi. Terdengar deru suara air mengalir dari kamar mandi yang terletak di dalam kamar utama. Pak Hasan meletakkan tasnya di depan pintu kamar. Setelah berpikir keras, dia memutuskan untuk memasuki kamar tidur utama pasangan Andi dan Lidya.

Di atas ranjang terdapat celana jeans dan atasan kaos putih. Saat mengambil kaos itu Pak Hasan mendapati BH dan celana dalam tipis yang juga berwarna putih. Pak Hasan benar-benar tidak kuat lagi menahan birahinya. Diambilnya celana dalam Lidya, dibukanya celananya sendiri, dan mulailah ayah mertua Lidya itu coli dengan menggesekkan celdam Lidya di kontolnya yang mulai keriput.

Detak jantung Pak Hasan makin cepat karena ia tahu menantunya sedang mandi sementara dia coli menggunakan celana dalam yang akan dipakai Lidya. Gerakan Pak Hasan makin meningkat cepat karena saat coli Pak Hasan membayangkan enaknya menikmati tubuh Lidya di ranjang dan bagaimana rasanya memeluk menantunya yang cantik itu. Pak Hasan membayangkan asyiknya melihat tubuh molek Lidya terhentak-hentak didera sodokan penisnya.

Pak Hasan mengintip sedikit ke kamar mandi. Lidya rupanya lalai dan membiarkan pintu kamar mandi sedikit terbuka, memudahkan akses bagi mertuanya mengintip. Pak Hasan mendapati Lidya sedang menyabuni buah dadanya yang besar dan kenyal.

“Wow. Tubuh si Lidya benar-benar indah. Sangat seksi,” batin Pak Hasan. “Seandainya mungkin, aku ingin masuk ke dalam sana dan mengenthu menantuku yang aduhai itu.”

Pak Hasan meneruskan colinya di celdam Lidya saat menantunya itu membungkuk untuk menyabuni kakinya yang jenjang dan pahanya yang mulus. Tak lama kemudian, Lidya bersandar pada dinding sementara air shower membilas tubuhnya yang putih mulus. Tangan kiri Lidya menangkup buah dadanya yang indah. Jari jemarinya mulai mengelus dan menowel-nowel pentilnya. Pak Hasan terpana melihat menantunya itu memainkan payudaranya. Tangan kanan Lidya menuruni perutnya yang langsing dan masuk ke selangkangannya.

“Aaaaahhhhhh,” Lidya mendesah kecil.

Tangan kiri Lidya yang penuh gelembung sabun itu kini memilin dan meremas-remas pentil payudaranya hingga mengeras, lalu meremas buah dadanya bergantian. Tangan kanan Lidya masih berada di selangkangannya. Semakin mencondongkan tubuhnya ke belakang, Lidya membentangkan kakinya sedikit. Pak Hasan bisa melihat jari jemari lentik tangan menantunya keluar masuk memeknya sendiri. Pak Hasan terpesona melihat si cantik Lidya menggunakan jempolnya untuk menggosok dan menggerakkan daging menonjol yang ada di ujung atas bibir vaginanya.

“Ah! Ah! Ah! Ehm! Ehm! Ooooohhh!!!” kaki Lidya melengkung saat si jelita itu melenguh perlahan. Akhirnya tangan kirinya turun lemas ke samping badannya, sementara jari-jarinya tangan kanannya berhenti bergerak, namun tetap berada di dalam liang vaginanya.

Pak Hasan merasakan air maninya membanjir. Tangannya belepotan sperma dan ia membersihkannya menggunakan celana dalam Lidya. Terdengar suara shower dimatikan dan Lidya mulai keluar dari shower. Secepat kilat Pak Hasan meletakkan celdam Lidya seperti sediakala dan meninggalkan kamar itu. Pak Hasan menutup pintu kamar, namun masih membuka sedikit celah. Saat sudah beranjak meninggalkan tempat itu, terlihat Lidya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang terlilit di tubuhnya yang indah.

Pak Hasan sebenarnya bisa langsung orgasme hanya dengan melihat Lidya setengah telanjang dan hanya mengenakan handuk, ternyata mertua mesum itu jauh lebih beruntung daripada yang dia kira. Tak sengaja, Lidya menjatuhkan handuknya ke lantai. Tanpa sepengetahuan wanita ayu itu, sang ayah mertua yang nafsu birahinya sedang memuncak ada di luar kamar sedang mengawasi tiap gerak-geriknya yang molek. Karena memunggungi pintu, Pak Hasan bisa menyaksikan pantat putih mulus Lidya yang sempurna.

Perlahan-lahan Lidya berbalik dan Pak Hasan hampir tak kuat menahan nafsu. Baru kali inilah dia menyaksikan keindahan tubuh Lidya secara langsung tanpa sehelai benangpun. Rambut di atas kemaluan Lidya terlihat terawat karena dipotong rapi dan sangat lembut, sementara payudara Lidya yang montok sangat ranum dan besar. Si molek itu mengambil handuk lalu mengeringkan rambutnya yang dikeramas. Karena bergerak cepat, buah dada Lidya bergoyang ke kanan dan ke kiri dengan erotis. Pak Hasan meletakkan satu tas kresek yang dibawanya dan mulai mengocok kontolnya lagi.

Saat Lidya usai mengeringkan rambut, istri Andi itu mengambil celana dalamnya dengan sedikit membungkuk. Tentu saja Pak Hasan makin puas karena bisa melihat lebih jelas ke arah lubang anus sang menantu. Untung saja Pak Hasan kuat menahan diri, bisa saja ia masuk ke dalam dan menyetubuhi Lidya dari belakang dengan paksa. Warna merah muda anus mungil milik menantunya itu sangat mengundang selera sang pria tua. Pak Hasan berandai-andai apakah anaknya si Andi pernah menyodomi istrinya. Lidya mulai mengenakan celana jeansnya dan kembali payudara si cantik itu bergoyang-goyang. Pemandangan erotis ini makin lama makin memuaskan Pak Hasan. Tak perlu waktu lama, sperma pria tua itu akhirnya meledak di dalam celana.

Pak Hasan mengambil semua tasnya dan berjalan kembali ke kamar untuk berganti pakaian. “Situasinya menarik sekali!”, batin laki-laki tua itu sambil membersihkan tangan dengan tissue. “Aku sendirian di rumah selama beberapa hari dengan menantuku yang cantik jelita dan sangat seksi itu! Aku harus mendapatkan tubuh Lidya! Aku harus menanamkan penisku di memeknya yang wangi secepatnya!”

Entah apa yang akan dilakukan Andi seandainya dia mengetahui rencana ayah kandung pada istri yang dicintainya.

###

Setelah hampir setengah jam menonton TV dan menghabiskan rokok, Pak Bejo kembali mengajak Alya. “Sudah waktunya. Ayo.”

“Ayo kemana?” tanya Alya.
“Sini. Berlutut di depanku.” Perintah Pak Bejo sambil membuka kakinya.
“Pak Bejo! Saya mohon, jangan suruh saya melakukan hal itu lagi! Saya tidak pernah menyukai melakukan hal itu sebelumnya!”
“Oke. Oke.” kata Pak Bejo. Pria tua itu sepertinya memahami dan melangkah ke arah Alya.

Alya bahkan tidak punya kesempatan mengelak saat kemudian Pak Bejo menampar pipinya dengan keras. Alya pun menangis tersedu-sedu. Belum pernah seumur-umur dia diperlakukan dengan kasar oleh seorang pria. Airmatanya meleleh dan isak tangisnya terdengar hingga beberapa saat.

Pak Bejo kembali duduk di hadapan Alya.

“Berapa kali aku harus ngomong sama Mbak Alya kalau Mbak Alya sudah tidak punya pilihan lain lagi? Mbak Alya harus menuruti semua perintahku. Jadi ada baiknya kalau Mbak Alya juga mulai menikmati apa yang aku perintahkan. Jadi merangkaklah kemari dan jangan pernah membantah apa yang aku perintahkan lagi!” ancam Pak Bejo.

Kali ini tidak ada ulangan perintah. Dengan penuh kepasrahan, Alya menyepong tetangganya yang mesum dan berusaha menahan diri agar kali ini dia tidak mual lagi. Pak Hasan melenguh keenakan dan sesekali tertawa terbahak-bahak menikmati enaknya disepong wanita secantik Alya. Setelah usai menyepong, Alya duduk di lantai. Ia masih berada di daerah selangkangan Pak Bejo. Wajahnya yang jelita hanya beberapa centimeter saja dari kontol besar Pak Bejo. Si cantik itu bahkan sudah terlalu takut dan malu untuk mengamati bentuk kontol kebanggaan tetangganya itu. Pak Bejo tahu dia sudah menaklukan wanita cantik bertubuh indah ini.

Alya melihat ke arah jam dinding dan langsung kaget. Opi sebentar lagi pulang! Dengan buru-buru Alya melepaskan diri dari pelukan mesra Pak Bejo dan berdiri.

“Pak Bejo, anda harus pergi sekarang. Opi sebentar lagi pulang dan…”

“Ijinkan aku menciummu sekali lagi.” Kata Pak Bejo sembari melihat ke selangkangan Alya dengan pandangan nafsu.

Alya mendekatkan tubuhnya ke Pak Bejo dan merenggangkan kakinya, memberikan akses penuh pada pria tua itu untuk bisa mencium bibir kemaluannya. Pak Bejo segera mengulum-ngulum bibir vagina Alya dengan buas. Alya merem melek dan melenguh tak henti-henti. Kenikmatan bercampur rasa bersalah menguasai istri Hendra itu.

Setelah beberapa saat menjilati, Pak Bejo bangkit.

Pak Bejo mulai berpakaian. Alya merasa aneh karena kini dirinya mulai terbiasa dan tidak merasa malu lagi telanjang bulat dihadapan pria tua ini.

“Aku akan kembali lagi. Mungkin besok, waktu yang sama. Saat membuka pintu, aku harap Mbak Alya tidak mengenakan sehelai benang pun. Besok aku akan memberikanmu kenikmatan yang terhebat dan aku akan mengambil lubang keperawananmu yang tersisa.”

Alya mengangguk karena berharap pria tua brengsek ini segera meninggalkan rumahnya. Setelah berpamitan dan meremas-remas dada Alya, Pak Bejo pun pergi. Alya menutup pintu rumah sambil menangis tersedu-sedu. Dia ambruk ke kasur dan bertanya-tanya dalam hati. Apa yang dimaksud begundal tua itu dengan ‘lubang perawan yang tersisa?’.

Tapi karena Opi hampir pulang, Alya memaksakan diri untuk bangun. Dia mandi dan menggosok seluruh tubuhnya yang kotor. Dia telah dijilati oleh lidah seorang pria yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya akan menggaulinya. Alya membersihkan tubuhnya dan mandi lebih lama dari biasanya.

Saat itulah dia sadar.

“Aku memang bodoh.” Renung ibu rumahtangga yang jelita itu dalam hati. Jangan-jangan yang dimaksud Pak Bejo adalah lubang anusnya? Pasti akan sangat menyakitkan. Jari jemarinya yang lembut menelusuri bagian belakang tubuhnya, mengitari pantatnya yang bulat. Dia meremas pantatnya sendiri dan menangis sejadi-jadinya.

Pasti akan sangat menyakitkan.

###

Setelah mandi dan membersihkan diri, Pak Hasan kembali turun ke ruang keluarga. Dia duduk di sofa dan menonton berita di televisi, berharap bisa sejenak melepaskan hasrat birahinya yang liar kepada menantunya sendiri. Tidak lama kemudian, Pak Hasan mendengar suara lembut dari atas tangga.

“Pak, siapa tadi yang telepon?”

“Oh, itu si Andi dari bandar`,” jawab Pak Hasan. “Katanya dia harus langsung lembur dan berangkat ke luar kota malam ini juga. Baru pulang hari Minggu sore. Untuk keperluan bisnis atau yang lain, Bapak kurang paham.”

Pak Hasan mendengar gerutu kecil dari Lidya tentang kebiasaan Andi yang jarang pulang dan lain sebagainya. Tak lama kemudian Lidya turun ke ruang keluarga. Pak Hasan hanya bisa menatap takjub penampilan menantunya yang indah itu. Lidya memakai baju putih tanpa lengan yang membuat buah dadanya yang besar terlihat menonjol menantang dan celana jeans yang hampir-hampir tidak sampai ke pinggulnya. Dari belakang, Pak Hasan bisa mencuri pandang belahan pantat Lidya.

Pak Hasan mulai terangsang lagi saat membayangkan Lidya menggunakan celdam yang tadi digunakan oleh Pak Hasan untuk coli. Rambut indah panjang Lidya diikat kucir kuda dan membuat si cantik itu tampak lebih muda. Pak Hasan menahan diri dan kembali menatap layar televisi.

Lidya mulai menyiapkan makan malam sementara Pak Hasan menyusulnya ke dapur untuk melihat apakah dia bisa membantu Lidya. Sekitar dua puluh menit memasak dan bercakap-cakap, makanan pun siap. Tak disadari oleh Lidya kalau sedari tadi Pak Hasan memanjakan matanya dengan mengamati setiap lekuk tubuh Lidya dari atas sampai bawah sementara Lidya memasak. Pantatnya yang bulat dan montok itu makin terlihat sempurna karena ketatnya celana jeans yang dikenakan. Saat mengambil bumbu di atas lemari, celana dalam putih yang dipakai Lidya sedikit terangkat dan terlihat oleh Pak Hasan. Lelaki tua itu puas melihat menantunya memakai celdam yang sama yang dia gunakan untuk coli.

Pak Hasan langsung membayangkan nikmatnya menubruk tubuh Lidya, membungkukkan tubuh si cantik itu ke depan, dan melesakkan kontolnya ke dalam memek Lidya sementara tangannya meremas-remas susunya. Lamunan itu sirna begitu Lidya berbalik dan menghidangkan makan malam.

###

Tangan Dina bergetar hebat saat dia melepaskan kancing bajunya. Pandangan mata Pak Pramono tidak lepas dari payudara Dina yang masih tertutup kemeja, menunggu dengan penuh harap untuk menyaksikan susu Dina dalam kondisi tidak tertutup sehelai benang pun. Dina ingin berhenti, tapi terus membuka kancing dan melepas bajunya. Bh dan isinya yang putih mulus dan montok menjadi perhatian utama Pak Pramono. Dina meraih kancing BH di belakang dan melepaskannya. Saat BH itu menggantung di atas payudaranya, Dina mulai ragu-ragu dan berusaha menggunakannya menutup buah dadanya. Dina melepaskan celananya sambil masih memegang BH.

Pak Pramono jelas menikmati pertunjukan ala striptease ini. Sudah jelas bagi pria tua itu bagaimana malunya perasaan Dina, yang tentu malah menambah nikmat rangsangannya. Saat buah dada Dina keluar dari BH, Pak Pramono bisa melihat pentil payudara Dina sudah membesar, tentu karena udara dingin. Saat melepas celana panjang, Pak Pramono memperhatikan celana dalam yang dipakai Dina. Celana dalam putih biasa saja. Hal ini justru menambah minat Pak Pram. Lebih jelas lagi kalau Dina adalah seorang ibu rumah tangga yang sederhana dan mungkin orang yang pernah melihat Dina dalam kondisi setengah telanjang hanyalah Anton dan dirinya sendiri.

Dina menggigil ketakutan. Wanita cantik itu berdiri setengah telanjang di hadapan pria asing yang juga bos dari suaminya. Satu tangan mengapit BH yang sudah hampir copot agar tetap menutupi payudara dan tangan yang satu lagi menangkup selangkangannya. Dengan satu gerakan dilemparkannya BH ke samping sehingga Pak Pramono bisa menyaksikan tubuh bugil istri pegawainya.

Pak Pramono menatap si cantik Dina dan menikmati ketidaknyamanan wanita itu. Tapi dia kemudian menjadi tidak sabar. Pak Pramono membuka tasnya dan melambaikan amplop manila ke arah Dina. Istri Anton itu tahu apa yang dimaksud Pak Pramono dan mengambil nafas sekaligus keberanian ganda. Dina menarik celana dalamnya ke bawah secepat mungkin dan langsung menutup selangkangannya kembali dengan tangannya. Dina kini sudah berdiri tanpa sehelai benangpun di hadapan Pak Pramono, dan berusaha keras menutupi payudara dan vaginanya.

“Letakkan tanganmu di samping,” kata Pak Pramono dingin.

Dina tahu inilah saatnya. Saat-saat penentuan. Apakah dia akan menunjukkan tubuh telanjangnya pada laki-laki di hadapannya ini? Setelah mempertimbangkan resiko tidak melakukannya, Dina menarik nafas panjang dan menyerah. Berdiri tegap dan bergetar hebat, Dina akhirnya mempersembahkan keindahan tubuh telanjangnya yang luar biasa mempesona pada pria selain suaminya. Dina membenci pandangan asusila Pak Pramono pada dirinya, dia membenci pandangan laki-laki tua yang sedang memuaskan diri dengan menjelajahi sekujur tubuh Dina.

“Berbaliklah… perlahan,” kata Pak Pramono.

Dina menurut, dia berbalik memutar badan. Pantatnya yang mulus terangkat merangsang di hadapan Pak Pramono. Dina terus memutar sampai dia kembali berhadapan dengan Pak Pramono.

“Aku tadi bilang berbalik. Bukan memutar,” kata Pak Pramono galak.

Sekali lagi Dina memutar badan, tapi kali ini dia berhenti saat pantatnya berada di depan Pak Pramono. Ruangan itu menjadi sunyi dan bagi Dina semuanya menjadi lebih parah karena tidak bisa melihat ke arah Pak Pramono. Dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan laki-laki tua itu. Bagi ibu muda yang cantik dan sederhana itu, kesunyian ini seakan berlangsung amat lama.

“Renggangkan kakimu,” suruh Pak Pramono. “Bagus. Sekarang membungkuklah dan lihat kemari melalui sela-sela kakimu.”

Dina menahan nafas saat dia melihat ke arah Pak Pramono di antara sela-sela kakinya. Celana panjang sekaligus celana dalam Pak Pramono sudah copot dan penisnya yang mengeras bagaikan menantang langit. Tidak hanya keras, sepertinya kontol Pak Pramono juga lebih besar – lebih besar dan panjang – daripada milik Anton. Dina juga sadar kalau memeknya bisa dilihat jelas oleh Pak Pramono. Angin semilir membelai bibir vaginanya yang terbuka menantang. Sebelum ini belum ada satu orangpun yang pernah menyaksikan liang kemaluannya seperti ini, bahkan suaminya sendiripun belum pernah.

Saat Pak Pramono memintanya mendekat, Dina berdiri tegak dan menarik nafas lega. Tapi ketika dia berdiri di samping bos Anton itu dengan bertelanjang bulat, wajah cantik Dina langsung memerah karena malu. Dina melompat mundur ketika jari jemari Pak Pramono mengelus bagian dalam paha mulusnya.

“Kembali ke sini dan buka kakimu lebar-lebar!”

Dina berjalan gontai ke arah kursi tempat Pak Pramono duduk dan memejamkan mata saat jari jemari Pak Pramono masuk ke vaginanya. Kali ini walaupun tubuhnya menggigil, Dina tidak beranjak seinci pun.

“Memekmu kering. Aku pengen memekmu basah, masturbasi dulu!”

Dina tidak tahu seberapa jauh lagi dia bisa menahan malu. Bos suaminya tengah memasukkan sebuah jari ke dalam memeknya dan menyuruhnya bermasturbasi. Dina pertama kali bermasturbasi saat dia masih remaja. Dina tahu perbuatan ini tidak baik untuk pertumbuhan mental sehingga dia berhenti melakukannya. Tapi kini seorang pria asing memerintahkannya bermasturbasi langsung dihadapannya.

Dina mencari lubang kemaluannya dengan jari tengah dan menggosoknya dengan gerakan pelan. Wanita cantik yang dipermalukan itu kemudian merasakan desakan jari jemari Pak Pramono di dalam memeknya pada saat dia bermasturbasi. Dina tidak tahu mana yang lebih memalukan – saat mata Pak Pramono menatap jari tengahnya atau wajahnya. Kini jari jemari Pak Pramono makin bebas keluar masuk liang vagina Dina karena cairan pelumas dinding vaginanya mulai mengalir.

Pak Pramono mencabut jari jemarinya dan berkata. “Duduk di pangkuanku.”

Dina lega saat Pak Pramono menarik jemarinya sehingga Dina bisa berhenti bermasturbasi. Dina mencoba duduk di pangkuan Pak Pramono dengan sesopan mungkin, dia berusaha menutup kedua kakinya dengan rapat. Tapi Pak Pramono menggeleng dan kaki Dina segera dibuka lebar-lebar. Wanita cantik itu mencoba berdiri ketika melihat penis Pak Pramono berdiri tegak menantang.

Pak Pramono tersenyum saat melihat Dina memalingkan wajah dan berkata, “Masukkan ini ke dalam memekmu.”

“Kumohon, Pak Pramono! Aku tidak bisa melakukan ini! Aku sudah menikah! Ini- ini akan menjadi skandal! Ini zinah!”, Dina merengek.

“Masukkan ini ke dalam memekmu, atau…”

Dina tahu dia tidak punya pilihan lain. Duduk di pangkuan Pak Pramono, Dina mencoba melesakkan penis laki-laki mesum itu ke dalam memeknya tanpa menyentuh batang kemaluan bos Anton itu. Tapi usaha Dina gagal. Ibu rumahtangga yang cantik itu mendesah kecewa dan dengan tertunduk malu meraih batang zakar Pak Pramono dan menaikkannya ke atas. Dina memposisikan vaginanya di atas kontol yang sudah menghadap ke atas lalu perlahan melesakkannya sambil duduk di pangkuan Pak Pramono. Dina bisa merasakan kontol yang besar dan gemuk itu meraja di liang rahimnya. Dina dan Pak Pramono saling bertatapan saat kontol Pak Pramono melesak seluruhnya ke dalam memek Dina.

Tangan Pak Pramono meraih buah dada Dina. Dielus dan diremasnya buah dada putih mulus, molek dan montok itu. Jemarinya menjepit pentil susu Dina dan memutar-mutarnya dengan kasar. Dina merasa sangat malu saat pentil itu mulai membesar. Dina berusaha keras menahan dirinya agar tidak terangsang dengan remasan dan perlakuan Pak Pramono pada buah dadanya, tapi gagal. Payudara Dina menegang dan pentilnya membesar.

Tangan Pak Pramono melepaskan buah dada Dina, tapi kini giliran mulutnya yang nyosor ke susu putih mulus si Dina. Saat Pak Pramono mengelamuti satu pentilnya, Dina bisa merasakan jari jemari Pak Pramono menangkup bulat pantat Dina. Diangkat, lalu diturunkan, lalu diangkat lagi, berulang-ulang. Pak Pramono bergeser ke pentilnya yang lain, lalu menikmatinya untuk beberapa saat.

Setelah bosan, Pak Pramono menyandarkan kepala ke belakang dengan menggunakan lengan sebagai bantalannya. Dengan posisi relaks, Pak Pramono tersenyum sinis.

“Sekarang, genjot kontolku!”, perintah Pak Pramono.

Mulut Dina menganga tak percaya, dia telah dilecehkan, dihina dan diperdaya. Tapi wanita jelita itu melakukan apa yang diminta oleh Pak Pram. Karena membutuhkan sandaran, Dina meraih pundak Pak Pram dan perlahan mengangkat tubuhnya. Saat seluruh penis Pak Pram hampir keluar dari memeknya, Dina menghentakkan tubuh ke bawah dan kembali ke pangkuan Pak Pram. Lalu Dina naik lagi, lalu turun, lalu naik, turun, naik turun, naik turun berulang-ulang.

Dina mengentoti Pak Pramono, bosnya Anton. Dinalah yang bergerak naik turun, meskipun Pak Pram sekali-kali menggoyang pinggulnya untuk menumbuk gerakan turun tubuh Dina, tapi ibu muda itulah yang bekerja keras. Dinalah yang saat ini sedang menyetubuhi Pak Pram! Meskipun hal itu saja sudah memalukan, tapi Dina kian tak punya muka saat merasakan kehangatan yang nikmat merajai liang vaginanya. Penis Pak Pram yang jauh lebih besar dari penis suaminya menjejal liangnya yang sempit dan memenuhinya dengan nikmat. Gerakan naik turunnya menjadi lebih cepat.

Pak Pramono mulai melihat perubahan pada wajah Dina. Pada awalnya, Dina bersetubuh dengan perasaan malu dan sakit hati, tapi kemudian perasaan itu berubah menjadi birahi. Pak Pram tahu Dina mulai menikmati dientoti oleh pria tua itu. Bukan maksud hati Dina untuk bersetubuh dengan Pak Pramono, tapi tubuh Dina mengkhianatinya karena lama kelamaan ibu muda yang cantik itu mulai merasa kenikmatan yang tiada tara walaupun awalnya dia dipaksa untuk melayani bandot tua ini.

Pak Pramono mulai menelusuri tubuh istri Anton dengan satu tangan dan akhirnya mencapai ujung kelentit kemaluan Dina. Saat Pak Pramono menggosok klitoris Dina, mata istri Anton itu terbelalak dan menatap Pak Pram tak percaya. Tapi Dina tetap meneruskan gerakannya, naik turun dan membiarkan kontol Pak Pram menusuk tiap jengkal ruas liang kemaluannya. Pak Pram tidak berhenti menggosok klitoris Dina. Tak lama kemudian, Pak Pramono merasakan kuku jari Dina menancap makin dalam di pundaknya. Gerakan Dina makin lama makin cepat hingga Pak Prampun tidak sanggup lagi merangsang klitoris Dina. Dina melepaskan lenguhan keras dan tubuhnya bergetar hebat sebelum akhirnya berhenti. Dia sudah mencapai klimaks.

Pak Pramono menunggu Dina sampai si cantik itu membuka matanya. Wajah Dina yang dilanda kepuasan memerah karena malu. Pak Pramono menganggukkan kepalanya sebagai tanda agar Dina meneruskan pekerjaannya. Maka wanita cantik itu kembali menggunakan memeknya untuk memeras penis Pak Pramono. Dina kembali menyetubuhi pria tua yang telah membuatnya orgasme. Tadi Pak Pramono memang ingin memuaskan Dina agar ibu muda yang cantik itu malu, tapi kini Pak Pramono hanya menginginkan kepuasannya saja. Pak Pramono menarik bokong Dina dan membimbing tubuhnya naik turun batang kemaluannya dengan lebih cepat. Dia mendorong tubuh Dina turun ke pangkuannya dengan kasar sementara pinggulnya bergerak sembari menggoyang si manis itu. Makin lama makin cepat. Pak Pramono makin tersengal-sengal karena keenakan.

Tak lama kemudian Pak Pramono orgasme. Dina duduk di pangkuan Pak Pramono saat pejuh pria tua itu membanjiri liang senggamanya. Dina merasa malu, dia merasa dirinya sangat rapuh karena menyerah pada Pak Pramono. Dina merasa diperkosa, tapi lebih malu lagi, karena Dina merasa dirinyapun telah mencapai titik klimaks yang belum pernah dirasakannya selama ini. Walaupun awalnya terpaksa, Dina kini juga merasa bersalah pada Anton. Dia merasa dirinya telah ternoda dan bersalah karena mencapai orgasme.

Dina duduk terdiam penuh rasa malu pada diri sendiri saat Pak Pramono mulai kembali sadar dari kenikmatan orgasmenya. Perempuan molek itu itu bisa merasakan penis Pak Pramono mulai mengecil dan keluar perlahan dari memeknya sementara dia duduk di paha sang pria tua. Dengan posisi kaki terbentang, Dina bisa merasakan pula cairan mani Pak Pramono meleleh keluar dari lubang memeknya. Dina tidak bergerak sama sekali karena takut pada pria tua yang bengis itu. Pak Pramono membuka matanya dan tersenyum puas. Dia mendorong tubuh Dina ke samping.

Mengambil nafas dalam-dalam, Pak Pramono berkata. “Aku berterimakasih atas kerja samanya. Selama kamu terus menerus memberikan kepuasan padaku, maka aku jamin Pak Anton tidak akan pernah disentuh oleh pihak yang berwajib. Heh heh heh. Besok, datanglah ke Hotel Elok di Jalan Surabaya jam dua siang dan masuk ke kamar 224. Aku akan menunggu Mbak Dina untuk kesepakatan kita selanjutnya.”

Dina hanya memandang diam ke arah Pak Pramono saat pimpinan Anton itu mengenakan baju kerjanya dan bangkit. Dina duduk di ranjang tanpa berkeinginan untuk menutupi ketelanjangannya. Untuk apa? Dia baru saja bersenggama dengan pria tua ini dan Pak Pramono sudah melepaskan pejuh di dalam rahimnya. Apa akan ada perbedaan berarti kalau sekarang Pak Pram melihatnya bugil?

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Pak Pramono meletakkan amplop manila dan celana dalam milik Dina ke dalam tas kerja lalu berjalan pergi meninggalkan rumah Anton dan Dina.

###

Lidya sudah hampir terlelap ketika dirasakannya angin semilir masuk melalui selimutnya yang tebal. Baru disadarinya ternyata selimut itu diangkat oleh seseorang. Lidya yang masih terpejam tersenyum gembira, ternyata Andi tidak jadi berangkat ke luar kota.

Saat membalikkan badan, barulah disadari bahwa bukan Andi melainkan Pak Hasan yang berada di samping tubuhnya! Karena sangat mengantuk, Lidya lambat bereaksi, dan dengan cekatan Pak Hasan langsung memeluk tubuh menantunya.

Gesekan tubuh telanjang mereka menyadarkan Lidya akan gawatnya situasi yang sedang dihadapi. Lidya pun segera mendorong tubuh Pak Hasan dan berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Pak Hasan hanya tersenyum sinis dan menelikung tangan Lidya hingga dia tidak bisa berkutik. Tubuh keriput Pak Hasan menindih tubuh mulus Lidya sehingga istri Andi itu terengah-engah. Semakin Lidya memberontak dan mencoba melepaskan diri sergapannya, semakin Pak Hasan terangsang.

“Bapak! Lepaskan aku! Apa yang bapak lakukan di sini?” tanya Lidya.

###

Malam itu, rasa bersalah yang amat besar membuat Alya tidak bisa tidur. Dia tidak pernah bisa memaafkan dirinya karena memiliki nafsu birahi liar yang tersembunyi di balik kesetiaannya. Dia tidak pernah memaafkan dirinya sendiri yang menjadi hamba nafsu dan terlena oleh perkosaan yang dilakukan Pak Bejo. Awalnya dia mengira itu semua terjadi karena rasa takut, tapi perasaan nikmat itu tidak bisa ia bohongi. Seluruh kejadian bersama Pak Bejo terulang bagaikan film di benak Alya.

Apakah dia seorang korban yang pasrah? Saat itu dia teringat kalimat yang pernah diucapkan oleh Bu Bejo. “Mbak Alya belum mengerti apa-apa.”. Saat ini Alya baru sadar kenapa Bu Bejo bertahan walaupun didera semua penyiksaan fisik yang dilakukan oleh Pak Bejo. Pak Bejo memberikan kenikmatan seksual yang tidak ada bandingannya. Itu sebabnya Bu Bejo pasrah oleh perlakuan kasar sang suami. “Bahkan terhadapku pun dia kasar.” Pikir Alya. Dan seperti Bu Bejo pula, Alya harus melalui siksaan fisik luar biasa sebelum akhirnya menikmati puncak nafsu liarnya yang terpendam.

Dinginnya malam tak tertahankan. Alya melangkah keluar dari kamar dan duduk termenung sendirian di ruang depan. Berusaha menenangkan pikirannya yang kalut.

Bagaimana mungkin Alya mengkhianati Hendra demi nafsu birahi sesaat? Ibu rumah tangga yang cantik itu tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Hendra. Mereka saling mencintai satu sama lain. Hendra sangat mencintai Alya. Tapi apa yang bisa diharapkan Hendra dari istrinya? Alya telah ditiduri oleh tetangga mereka yang bejat dan berhati busuk. Dia pasti akan sangat shock jika tahu apa yang telah terjadi. Alya berusaha keras agar tidak menangis. Dia tidak akan mengijinkan Pak Bejo melakukan apapun pada tubuhnya lagi. Alya adalah milik Hendra. Istri sah Hendra. Alya tidak mau dirinya berakhir sebagai istri simpanan atau bahkan budak seks laki-laki busuk seperti Pak Bejo.

“Maafkan aku, Mas Hendra. Aku berharap Mas mau memaafkan aku. Aku berjanji tidak akan mengkhianati kepercayaan Mas Hendra lagi.” Gumam Alya pada dirinya sendiri. Dia berharap bisa menyelesaikan urusan dengan Pak Bejo besok. Dia akan menutup pintu rumahnya kuat-kuat supaya lelaki busuk itu tidak akan bisa masuk dan menodainya lagi. Dia ingin Pak Bejo tahu apa yang mereka lakukan kemarin tidak ada artinya bagi Alya. Istri Hendra itu merasakan beban yang ia pikul perlahan-lahan terangkat.

###

“Itu pertanyaan bodoh, menantuku sayang,” Kata Pak Hasan. “Kurasa kau tahu pasti apa yang sedang aku lakukan. Birahiku sedang tinggi dan aku bosan onani. Aku pengen memek yang enak, jadi aku masuk ke sini.”

“Gila!! Aku ini menantumu!!” protes Lidya. “Ini tidak mungkin! Bapak tidak bisa…”

“Memangnya siapa yang akan menghentikan aku?” tanya Pak Hasan. “Tidak ada orang lain di sini. Kamu boleh berteriak kalau mau tapi aku yakin tidak akan ada orang yang akan masuk dan menjebol tembok untuk menyelamatkanmu. Dan kau lihat sendiri, aku juga jauh lebih kuat daripada kamu.”

“Jika bapak memperkosaku, aku akan lapor pada polisi!” ancam Lidya.

“Bisa saja kau lakukan itu. Tapi menurutmu, bagaimana perasaan Andi?”

“Apa maksud bapak?”

“Seandainya kamu berani pergi ke polisi dan mengaku diperkosa oleh ayah mertuamu sendiri, Andi akan hancur perasaannya. Istrinya yang cantik dan mempesona diperkosa oleh ayahnya sendiri. Apalagi aku akan mengarang sebuah cerita kepadanya kalau istrinya, Lidya yang jelita merayu ayah mertuanya. Bahkan jika dia mencoba untuk tidak mempercayai ceritaku, dia tidak akan pernah percaya lagi padamu. Aku, tentu saja akan menceritakan bagaimana enaknya menyetubuhimu dan membuatmu orgasme. Semua detail akan aku ceritakan. Semua kenikmatan yang tidak pernah ia bisa berikan kepadamu. Oh ya, sayang. Jika kau cerita pada Andi atau polisi tentang perkosaan ini, kau akan menghancurkan hidupnya.”

Lidya terdiam dan tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya menganga lebar karena tiap perkataan Pak Hasan ada benarnya.

“Bapak tidak peduli pada Andi? Apa yang akan dirasakannya?” tanya Lidya dengan lirih. “Bapak benar-benar ingin menyakiti putra bapak sendiri?”

“Bukan aku yang akan menyakitinya. Kamu yang akan menyakiti perasaannya. Aku sih cuma pengen ngentotin kamu. Kalau kamu tidak cerita apa-apa sama dia, semua beres. Semua senang.”

“Kecuali aku.”

“Oh, kalau sampai kamu tidak puas bercinta denganku, namaku bukan Hasan.” Kata lelaki tua itu dengan bangga. Dengan berani dia mencium bibir Lidya.

Ciuman yang disosorkan oleh Pak Hasan bukanlah ciuman mesra seperti yang biasa diberikan oleh Andi pada Lidya. Ciuman Pak Hasan sangat kasar dan penuh nafsu, dengan buas Pak Hasan memaksa lidahnya masuk ke mulut Lidya, lalu mengeluarmasukkan lidahnya dengan cepat. Gerakan lidah Pak Hasan seirama dengan gerakan pinggulnya yang mendorong ke depan. Sekali lagi Lidya berusaha mendorong tubuh Pak Hasan. Kali ini usahanya hampir berhasil. Pak Hasan yang tidak siap terdorong mundur. Namun saat Lidya berusaha lari dari ranjang, Pak Hasan menarik kaki sang menantu dan merentangkannya lebar-lebar. Pria tua yang sudah kehilangan akhlak itu menarik lutut Lidya dan menjepitkan pinggangnya di antara dua paha Lidya.

Si cantik itu bisa merasakan jembut kasar Pak Hasan menyentuh bibir kemaluannya. Memek Lidya yang lama kelamaan basah bisa dirasakan oleh kulit Pak Hasan yang langsung menyentuh selangkangan Lidya. Istri Andi itu berusaha mendorong mundur mertuanya. Tak henti-hentinya Lidya memukul dan menampar Pak Hasan, tapi apa daya seorang wanita lemah? Pak Hasan tidak mempedulikan perlakuan Lidya dan meremas payudara sang menantu. Pria tua itu tidak lagi berlaku lembut pada buah dada Lidya. Dengan kasar diremas-remas dan dipelintirnya pentil susu Lidya. Lidya merasa malu saat kemudian puting susunya malah makin mengeras. Pak Hasan tidak melewatkan hal ini dan memelintir pentil Lidya dengan jari-jari tangannya. Lidya tidak berkutik, sambil merem melek dia melenguh keras. Pak Hasan mencium pentil Lidya dan menjilatinya dengan penuh nafsu.

Hangatnya mulut Pak Hasan terasa begitu nikmat sehingga Lidya lupa melawan. Dengan sadis Pak Hasan memangsa buah dada Lidya dengan lidahnya, sesuatu yang sudah dia idam-idamkan sejak lama. Pak Hasan menjilati pentil Lidya lalu menciumi buah dadanya. Kenikmatan yang dirasakan oleh Lidya begitu tinggi sehingga istri Andi itu melenguh keras dan menjambak rambut Pak Hasan. Dengan wajah senang dan puas, Pak Hasan tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.

“Susumu bagus sekali, nduk,” kata Pak Hasan. “Aku selalu memperhatikan buah dadamu dan bertanya-tanya bagaimana rasanya kalau dijilati. Tidak begitu besar dan tidak terlalu kecil. Cukupan. Sempurna. Pentilnya juga mempesona, lumayan besar.”

Lidya yang tersinggung oleh ejekan itu mulai melawan Pak Hasan lagi, kali ini si cantik itu bahkan berteriak-teriak meminta tolong. Sia-sia saja, tidak ada yang mendengar teriakan Lidya. Pak Hasan tertawa-tawa dan terus meremas payudara Lidya. Dijilati dan digigitinya susu putih Lidya, pria tua yang sangat nafsu itu berusaha menelan seluruh buah dada Lidya ke dalam mulutnya. Dia bahkan meremas payudara Lidya dan berusaha menelan keduanya bersama-sama. Walaupun tindakannya kasar, tapi Lidya mulai merasakan sensasi kenikmatan yang aneh dan kesulitan menolak Pak Hasan.

Pak Hasan mengagetkan Lidya saat mertuanya itu berbalik dan berlutut di atas tubuhnya. Kepala Pak Hasan menghilang di antara paha Lidya dan kontol Pak Hasan bergelantung di atas wajah cantiknya. Penis Pak Hasan sangat berbeda dengan milik Andi. Milik Pak Hasan jauh lebih pendek dan tebal, warnanya juga lebih hitam kemerahan. Lidya bergidik saat membayangkan kontol Pak Hasan memasuki tubuhnya. Rasa ngeri dan ketakutan membuat Lidya mengeluarkan cairan pelumas yang membanjir di selangkangannya. Lidya menggigit bibirnya saat tiba-tiba saja mulut Pak Hasan menjelajahi selangkangannya yang basah. Pak Hasan mulai mencium, menjilat dan menghisap memek sang menantu. Tangan Pak Hasan merenggangkan kaki jenjang Lidya supaya mendapatkan akses bebas ke vaginanya. Direntangkannya lebar-lebar sehingga Lidya tidak bisa menolak perlakuan ini.

Pak Hasan dengan mahir menggunakan lidahnya menjilati klitoris Lidya, lalu pada bibir vagina dan akhirnya lidah Pak Hasan menjelajah ke dalam liang cinta Lidya. Ia menjilat dengan gerakan memutar dan menusuk, membuat Lidya menggelinjang keenakan. Pak Hasan bahkan menggunakan giginya untuk menggigit-gigit kecil klitoris Lidya. Istri Andi itu masih terus berteriak dan melawan, bergerak mengelilingi tempat tidur dengan sekuat tenaga. Tapi Lidya sudah tidak tahu lagi, apakah teriakannya itu teriakan takut atau teriakan penuh nikmat. Tiba-tiba saja Lidya mengalami orgasme. Kenikmatan menguasai tubuh indahnya, Lidya bergetar hebat saat mencapai puncak. Sebuah kenikmatan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Tubuh Lidya tergolek lemas. Tapi bahkan saat orgasme itu sudah menghilang, Pak Hasan belum selesai menikmati tubuh molek Lidya.

Pak Hasan membalikkan badan dan sambil menarik pinggul Lidya, dilesakkannya kontolnya yang besar ke dalam nonok sang menantu. Lidya merem melek karena tidak bisa menahan kenikmatan yang diberikan oleh mertuanya. Seluruh memeknya seakan terulur sampai batas dan terisi penuh oleh kontolnya. Lidya bisa merasakan denyutan demi denyutan kontol sang mertua di dalam liang cintanya. Vaginanya terus memeras penis sang mertua yang keluar masuk dengan cepat. Tiap kali digerakkan, seakan tusukan Pak Hasan makin ke dalam, membuat Lidya mendesah-desah karena tak tahan. Desahan si cantik itu membuat Pak Hasan makin cepat memompa vagina Lidya.

Akhirnya Lidya mencapai puncaknya lagi, tubuhnya yang sempurna melejit karena mengeluarkan cairan cinta. Lidya bisa merasakan air mani Pak Hasan juga tumpah di dalam rahimnya.

Pak Hasan jatuh menimpa Lidya, tubuh mereka menggigil dan bermandikan keringat. Akhirnya dia berdiri dan keluar dengan santai dari kamar Lidya, meninggalkan istri Andi itu terlentang telanjang di kasur.

Saat Pak Hasan akhirnya tertidur, Lidya memutuskan untuk mandi keramas dan mengganti seprei yang baru saja dipakainya untuk melayani nafsu ayah mertuanya. Dia mencoba melupakan apa yang terjadi tapi getaran yang terasa di tubuhnya tak kunjung menghilang. Lidya tahu dia tidak mungkin mengatakan sejujurnya apa yang terjadi pada Andi ataupun pada pihak yang berwajib. Lidya tak punya bukti apapun dan dia takut kalau Andi bertanya padanya apakah Lidya menikmati bersetubuh dengan ayah mertuanya. Andi selalu tahu saat Lidya berbohong jadi dia pasti tahu kalau Lidya mendapatkan sensasi kenikmatan lain saat bersetubuh dengan Pak Hasan. Lidya tidak akan menceritakan apapun pada suaminya.

Saat membersihkan kamar keesokan paginya, Lidya menemukan sepucuk kertas di atas meja riasnya. Surat dari Pak Hasan.

“Aku berharap bisa tidur denganmu lagi, Lidya sayang. Kalau aku sudah tidak kecapekan tentunya. Membayangkannya saja sudah membuatku nafsu. Aku berjanji akan lebih perkasa.”

Walaupun Lidya berharap Pak Hasan hanya mengancam, tapi dia tahu mertuanya itu bersungguh-sungguh. Istri Andi itu gemetar ketakutan. Dia membayangkan ayah mertuanya akan menyetubuhinya lagi setiap ada kesempatan dan tidak ada satupun yang bisa dilakukan si cantik itu untuk menghentikannya.

###

Dina memasukkan kunci dan membuka pintu kamar hotel nomor 224. Sesuai dengan petunjuk yang ia peroleh dari Pak Pramono. Lampu kamar langsung menyala saat ia masuk. Dina lalu menaruh jaket dan tas jinjing yang ia bawa di dalam lemari pakaian. Memperhatikan ruangan kamar hotel, Dina tahu dia datang lebih awal daripada Pak Pramono. Dina melangkah ke arah jendela dan memperhatikan mobil-mobil yang berlalu-lalang di jalan dengan perasaan yang campur aduk.

“Kupikir kamu tidak jadi datang.”

Dina kaget dan hampir melompat saat suara berat di belakangnya terdengar. Dina tidak perlu membalikkan badan untuk tahu siapa yang datang.

“Aku tidak punya banyak pilihan kan, Pak Pramono?”

“Siapa bilang? Jalan hidup kita selalu tergantung pada pilihan.” Kata pria yang sangat percaya diri itu sambil memasukkan tas dan jaket ke dalam lemari. Dia meredupkan cahaya lampu supaya lebih temaram dan romantis.

Dina melirik ke arah jari jemarinya. Cincin emas putih yang melingkar di jari manis sebagai lambang pernikahannya dengan Anton membuatnya bergetar ketakutan. Demi cinta dan kesetiaan. Dina membalikkan badan. Tangannya memeluk pinggang seakan hendak menghangatkan badan yang kedinginan.

“Tidak ada yang memaksa Mbak Dina datang kemari. Ingat itu baik-baik.” Kata Pak Pramono sambil mendekati istri Anton. Sekitar satu meter jarak mereka, Pak Pram berhenti. Dina berusaha menantang pandangan tajam Pak Pramono, namun dia tidak sanggup. Pandangan mata Dina turun ke lantai.

“Apa yang Bapak inginkan?”

“Mbak Dina tahu apa yang aku inginkan.”

“Aku membencimu! Orang tua berhati busuk!” Desis Dina sengit.

“Bencilah aku sesukamu, sayang. Aku malah lebih suka kamu benci daripada kamu cintai.”, Dengan jarinya yang hitam Pak Pramono mengelus pipi dan rahang Dina yang halus mulus. “Sangat sempurna. Cantik sekali.”

Dina menarik wajahnya dan mundur ke belakang. Tapi Pak Pramono segera menahan Dina dengan menarik kembali bagian belakang leher Dina, mendekatkan tubuh moleknya ke depan.

“Aku sudah menginginkanmu sejak pertama kali kita bertemu, Mbak Dina. Begitu tenang, sopan, penuh percaya diri. Tapi aku bisa melihat watak aslimu.”

“Watak asli? Apa yang anda maksud?”

“Aku tahu sejak pertama kita bertemu, kamu ingin tidur denganku. Kamu ingin aku menusukkan batang penisku dalam-dalam di liang cintamu yang sempit itu. Kamu ingin menelan kontolku yang besar dan panjang lalu menelan semua pejuhku. Iya kan, sayang?”

“Dasar gila.” Kata Dina sambil mencoba menjauh.

“Gila?” Pak Pram membiarkan Dina menjauh hingga jarak mereka ada sekitar dua meter.

“Mungkin aku gila. Tapi saat ini, aku yang pegang kendali. Saat ini, tubuhmu yang indah itu adalah milikku!” Kata Pak Pramono sambil tersenyum penuh kemenangan.

“Pak Pramono, saya mohon. Pertimbangkanlah perasaan Mas Anton!”
“Anton? Apa menurutmu dia memikirkanku saat dia mencuri uang perusahaan?”

Dina terdiam tak berdaya.

“Memang tidak. Jadi beritahu aku, Mbak Dina tersayang, apa menurutmu aku harus menghentikan tindakanku ini?”

“Seharusnya.”

“Bah! Tidak akan! Dia sudah mencuri dariku, jadi aku akan mengambil miliknya yang paling berharga! Istrinya yang cantik jelita!”

“Apa anda akan membuka rahasia ini pada Mas Anton?” tanya Dina.

“Tergantung. Menurutmu apa yang akan terjadi jika dia mengetahui istrinya sudah melayani bosnya bermain cinta?”

“Dia pasti minta cerai.”

“Apa Mbak Dina mencintai Pak Anton?”

“Sangat. Mohon pertimbang…”

“Aku kan sudah bilang. Mbak Dina harus menuruti semua perintahku kalau ingin semua ini berakhir dengan baik bagi semua pihak. Anton tidak akan dipecat dan tidak akan masuk penjara. Aku dapat hiburan gratis dari seorang wanita yang cantik jelita dan molek, sedangkan Mbak Dina sendiri siapa tahu akan mendapatkan seorang keturunan yang berasal dari spermaku.”

Dina menundukkan kepala. Airmatanya mengalir.

“Semudah itu. Aku menginginkan tubuh Mbak Dina. Tiap kali aku butuh, aku telpon atau sms, Mbak Dina melakukan apa yang aku minta, dan Anton tidak perlu tahu apa yang kita lakukan.”

“Aku menjadi budak seks Pak Pramono?”

“Aku ingin kau melayaniku, sayang. Aku ingin kau menerima apa saja yang ingin aku lakukan pada tubuhmu yang lezat itu selama aku belum bosan. Setelah merasa bosan, aku akan melepaskanmu dan Anton.”

“Aku tidak bisa melakukannya.”

“Tentu saja bisa.”

“Aku belum pernah mengkhianati suamiku.”

Pak Pramono tersenyum sinis dan mengingatkan Dina. “Belum pernah? Lalu apa yang kita lakukan kemarin? Wah-wah, anda benar-benar seorang istri yang sempurna. Cantik, setia dan baik hati pula.”

Air mata semakin menggenang di pipi Dina.

“Kemarilah, sayang.”

Perlahan Dina bergerak mendekati Pak Pramono. Airmata mulai deras menuruni pipi ibu muda yang cantik itu. Dengan mata berkaca-kaca Dina menatap Pak Pramono.

“Cium aku.”

Dina membungkuk dan mencium bibir Pak Pramono.

“Dingin sekali. Kamu bisa lebih baik dari itu.” Kata Pak Pram saat Dina mundur.

Sambil meletakkan tangan di pundak Pak Pram, Dina membungkuk sekali lagi dan menangkup bibir hitam Pak Pram dengan bibirnya yang merah mungil. Dina bisa merasakan bibir Pak Pramono membuka dan lidahnya menjelajah ke dalam mulut Dina. Tangan Pak Pram memeluk pinggang langsingnya dan menarik tubuh Dina agar lebih mendekat. Lidah mereka beradu dan Dina memejamkan mata.

Beberapa saat kemudian ciuman itu berakhir. Dina merasa mulutnya sudah sangat kotor.

“Boleh juga.” Kata Pak Pramono sambil duduk di ranjang. “Sekarang buka bajumu. Aku ingin melihatmu bugil.”

Dina memang sudah pernah telanjang di hadapan pria ini, satu-satunya lelaki yang pernah menidurinya selain suaminya sendiri. Tidak ada jalan keluar kecuali menuruti semua permintaannya. Tangan Dina segera membuka kancing bajunya. Satu persatu pakaian Dina melorot ke lantai. Baju, rok, sepatu dan rok dalam sudah dilepas oleh Dina. Kini di hadapan Pak Pramono berdiri seorang ibu rumahtangga yang amat molek yang hanya mengenakan celana dalam dan BH.

“Tubuhmu memang benar-benar seksi.” Kata Pak Pramono, matanya nanar ingin segera melahap tubuh Dina. “Aku sudah sering meniduri banyak wanita, tapi tubuhmu adalah yang paling indah yang pernah aku entoti.”

Dina mencoba menutupi ketelanjangannya karena risih.

“Bukankah aku sudah bilang aku ingin melihatmu bugil?”

Dina mendesah pasrah dan mulai melepas BHnya. Perlahan-lahan Dina meloloskan BH melalui kedua lengannya dan melemparkannya ke dekat pakaian di lantai. Dina membungkuk dan melepas celana dalamnya.

“Lemparkan celdamnya.” Kata Pak Pramono.

Dina melempar celdamnya ke tangan Pak Pramono. Pria tua itu segera mencium dan menghirup bau memek Dina yang masih tertinggal di celana dalamnya.

“Hmmmmm… harumnya.” Kata Pak Pramono sambil memasukkan celdam Dina ke kantong celananya sendiri.

“Pak Pramono……”

Tanpa banyak bicara Pak Pram kembali menganggukkan kepala ke arah Dina. Dia masih duduk di pinggir ranjang.

“Berlutut di depanku, Mbak Dina.”

Dina berjalan perlahan ke arah Pak Pramono dan duduk berlutut di hadapannya. Dina tidak pernah menikmati oral seks. Anton sering menyuruhnya tapi Dina selalu menolak dengan berbagai alasan. Dina tidak pernah mau menelan sperma suaminya.

“Keluarkan burungku dari sarang, Mbak Dina. Aku kok ingin lihat kontolku diciumi oleh bibir semerah bibir anda.”

Dina membuka celana Pak Pram dan menarik semua ke bawah berikut celana dalamnya. Kontol Pak Pram langsung terbebas dan berdiri tegak di depan wajah Dina. Walaupun sudah pernah melihatnya, Dina selalu terkejut melihat kontol Pak Pram. Penis ini memang Pak pram begitu panjang, besar dan bertonjolan urat halus.

“Pak Pram……”

“Anda sudah pernah melakukan oral seks, kan?”

“Sudah. Hanya untuk Mas Anton. Tapi aku tidak suka melakukannya.”

“Sayang. Sesudah melakukannya denganku, Mbak Dina tidak akan ragu lagi untuk melakukan oral seks.”

Dina terus memperhatikan penis Pak Pram. Dia hanya pernah memasukkan satu penis ke dalam mulutnya dan itu adalah milik suaminya sendiri. Tapi hari ini, sambil berlutut di hadapan penis Pak Pramono, istri yang tadinya setia itu harus melayani nafsu hewani sang pria tua. Dina mengeluarkan lidah dan menjilat ujung gundul kontol Pak Pram, merasakan lendir yang keluar dari rekahan dengan lidahnya. Perlahan-lahan, ditelannya seluruh kontol Pak Pram.

“Ah, enaknya……” desis Pak Pram. Tangannya meraih rambut Dina dan menguntainya lembut. Dia mendorong penisnya lebih jauh ke dalam mulut Dina.

Dina menutup mata dan mencoba menahan diri agar tidak tersedak oleh desakan kontol Pak Pram yang terus didorong masuk ke tenggorokan. Dina berusaha keras agar bisa bernafas saat Pak Pram mulai mendorong pinggulnya. Kini kontol Pak Pram terbenam dalam di mulut Dina. Tangan Pak Pram memegang kepala Dina dan membimbingnya agar bisa mengocok penis Pak Pram dengan mulut. Tiap kali menarik kepala Dina, hidung si cantik itu terbenam sampai ke dalam keriting jembut Pak Pram.

“Terus sayang. Enak banget disepong istri orang!” kata Pak Pram sambil terus menggerakkan kepala Dina pada kontolnya.

Dina meletakkan tangannya di paha Pak Pram agar bisa meraih keseimbangan. Jari jemari Dina bisa merasakan sentuhan bulu-bulu kaki Pak Pram yang keriting.

“Pakai lidah.” Perintah Pak Pram sambil memompa lebih kencang.

Dina menggunakan lidahnya untuk memijat seluruh batang penis Pak Pram. Suara berkecap mulut Dina memenuhi ruangan yang sepi. Dina memejamkan mata, dia tidak ingin melihat dirinya sendiri menelan kontol Pak Pram.

“Ampun, Mbak Dina! Enak banget! Aku mau keluar nih!”

Dina berusaha menarik mulutnya, tapi Pak Pram menjambak rambut Dina dan memaksanya terus menelan kontolnya yang besar. Dina menggelengkan kepala dan berusaha melepaskan diri dari tangan Pak Pram. Dina tidak mau Pak Pram orgasme di dalam mulutnya. Dina bisa mendengar suara tawa pria tua itu ketika akhirnya pejuh Pak Pram meledak di dalam mulutnya. Pak Pram membanjiri tenggorokan istri Anton dengan spermanya.

“Telan.” Kata Pak Pram dengan geram, kontolnya dilesakkan sampai ke ujung.

Dina tidak bisa menahan lagi dan dengan satu tegukan, dia menelan semua muntahan sperma Pak Pramono.

“Anak baik.” Kata Pak Pramono sambil mengendurkan pegangannya dan membiarkan Dina jatuh ke lantai dengan lemas.

Dina menundukkan kepala, dia tidak bisa menghentikan air mata yang terus jatuh menuruni pipinya yang putih mulus. Bibirnya memar dan mulutnya terasa sakit usai mengoral penis Pak Pramono. Tenggorokan Dina juga terasa lecet karena dipaksa menelan kontol besar sampai ke ujung. Dina menunggu sampai Pak Pramono menyuruhnya mengenakan baju. Dia ingin segera pergi meninggalkan kamar ini. Pulang ke rumah, mandi besar lalu tidur. Dina ingin segera meninggalkan semua mimpi buruk ini.

Jari jemari Pak Pramono mengelus dagu sembari mengangkat wajah Dina.

“Mbak Dina kok menangis? Tidak menyukai oral seks?”

“Tidak.” Kata Dina pelan.

“Mbak Dina pintar sekali melakukan oral seks. Seharusnya bangga bukannya malah menangis. Belum pernah aku orgasme secepat itu.”

“Saya mohon Pak Pram, bolehkah saya pergi sekarang?”

“Pakai bajumu dulu.”

Wajah pria itu berubah menjadi sopan. Dina segera berdiri dan mengenakan pakaiannya.

“Pak Pram, celana dalam saya?” tanya Dina yang sudah bersiap mengenakan rok.
“Itu milikku sekarang. Beli yang baru.”

Dina tidak ingin berdebat dengannya. Setelah usai mengenakan pakaian, Dina langsung bergegas berdiri dan mengambil tas serta jaketnya di lemari. Dina sudah membuka pintu saat Pak Pramono memanggilnya.

“Mbak Dina.”

Dina terhenti di koridor. Dia hanya melirik sedikit ke belakang.

“Aku akan menghubungimu lagi.”

Dina tidak mengatakan apa-apa dan melangkah pergi meninggalkan Pak Pramono. Dia amat bersyukur Pak Pram tidak menidurinya hari ini.

Lidya tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri yang gegabah karena selalu tidur tanpa mengenakan pakaian, kebiasaan buruknya itu membuat mertuanya yang bejat bisa memanfaatkan situasi dengan mudah. Selain selalu tidur tanpa sehelai benang pun, satu lagi kebiasaan buruk Lidya adalah dia sering meremehkan situasi. Lidya dengan santainya tidur telanjang tanpa mengunci pintu kamar, padahal dia hanya berdua saja dengan mertuanya. Sungguh sebuah kesalahan yang sangat fatal. Ingatan Lidya tak bisa lepas dari kejadian di malam terkutuk saat Pak Hasan, mertuanya sendiri dengan leluasa memperkosa Lidya.

Lidya terjaga sepanjang malam, dia tidak bisa tidur karena masih teringat apa yang telah dilakukan Pak Hasan kepadanya. Dia berusaha melupakan semua kejadian, tapi amatlah sulit melupakan perkosaan yang terjadi pada diri sendiri. Jangankan melupakan, denyutan penis mertuanya yang melesak di dalam vagina seakan tidak pernah hilang dari memek Lidya. Pak Hasan mengancam akan melakukannya lagi, dan dengan kepergian Andi selama beberapa hari ini, tentunya amat mudah bagi Pak Hasan memperoleh kesempatan untuk menidurinya lagi. Lidya berusaha mencari cara untuk melarikan diri dari terkaman nafsu sang ayah mertua. Untungnya ayah mertuanya yang bejat itu seharian pergi entah kemana.

Sudah sepanjang pekan Lidya kesulitan menghubungi Mbak Alya, sejak kunjungannya yang terakhir kali, mereka tidak pernah bertemu lagi, kalaupun berhubungan hanya melalui sms singkat menanyakan kabar. Mungkin Alya dan Hendra sedang sibuk sehingga jarang berada di rumah. Satu-satunya harapan Lidya kini ada pada Dina. Tadi pagi Lidya sudah berusaha menghubungi Mbak Dina. Tapi ada sesuatu yang aneh dari nada suaranya. Kakaknya itu biasanya senang kalau ditelpon Lidya atau Alya, tapi hari ini sangat lain, sepertinya ada beban berat yang tengah dipikul Mbak Dina.

“Mbak, aku boleh tidur di sana seminggu ini? Paling tidak sampai Mas Andi pulang.”, tanya Lidya saat menelpon Dina. “A-aku takut di rumah sendirian, Mbak.”

“Eh… ehm… gimana yah… ehm… a-aku…” Dina terbata-bata menjawab.

Lidya mengernyitkan dahi. Aneh sekali, ada apa dengan kakaknya itu? Tidak biasanya Mbak Dina terbata-bata saat menerima telepon darinya. Pasti kakaknya itu tengah menghadapi satu masalah yang sangat berat.

“Mbak Dina? Mbak kenapa?”

“Eh… ehm, aku nggak apa-apa kok. Hanya saja untuk beberapa hari ini aku tidak bisa menerima tamu, dik. Karena… ehm… karena… karena… aku dan Mas Anton sangat-sangat sibuk, iya, kami sangat sibuk. Bahkan untuk mengurus anak-anak saja tidak sempat dan… dan… lalu… ehm…”

“Oh ya sudah kalau begitu. Mbak Dina baru sibuk ya? Nggak apa-apa kok, Mbak. Aku juga nggak pengen nggangguin kalau Mbak Dina lagi sibuk.”, Lidya jadi tidak enak hati. Tapi sebagai seorang adik yang hapal dengan sikap dan sifat kakaknya, Lidya tahu ada sesuatu yang tidak beres di rumah Dina. Itu sebabnya kakaknya itu menolak kedatangannya. Belum pernah seumur hidupnya Dina menolak kehadiran Lidya, Alya ataupun keluarga yang lain. Lidya paham benar ada masalah berat yang tengah dihadapi kakaknya. Dengan berat hati karena kecewa gagal melarikan diri dari rumah, Lidya pun pamit. “Kalau begitu, nanti aku telepon lagi yah, Mbak.”

“I-iya, dik. Sori banget yah. Aku baru…”
“Iya Mbak, nggak apa-apa. Dah Mbak Dina.”
“Dah Lidya.”

Klik.

Kekhawatiran mulai merasuk ke diri Lidya.

###

Alya menguap usai menonton film malam di televisi, karena sudah merasa mengantuk maka dimatikannya pesawat tv. Film yang diputar mulai jam 23.00 itu baru usai jam 01.00 dinihari. Hendra sudah terlelap setelah kelelahan seharian bekerja, Opi juga sudah nyenyak di kamar. Hanya tinggal Alya sendiri yang belum tidur. Akhir-akhir ini Alya mengalami kesulitan tidur, mungkin karena trauma akibat insiden yang dialaminya. Alya telah diperkosa oleh Pak Bejo Suharso, salah seorang tetangga di komplek.

Saat hendak melangkah dan mematikan lampu, tiba-tiba saja telepon berdering. Dengan langkah yang sedikit malas karena sudah sangat mengantuk, Alya mendekati meja telepon. Siapa yang menelpon jam segini? Alya khawatir kalau-kalau ada keluarganya yang tertimpa musibah.

“Halo?” Alya mengangkat telepon.

“Suaramu merdu sekali, manis. Ini aku, Bejo.”, terdengar suara dengung lembut khas telepon genggam di telinga Alya. Tetangganya yang mesum itu menelpon dengan HP.

Sudah beberapa hari ini baik Pak maupun Bu Bejo tidak terlihat datang ke rumah Alya dan Hendra. Sejak hari naas bagi Alya itu, hanya sekali Bu Bejo datang ke rumah. Alya merasa lega karena berharap Pak Bejo lupa akan niatnya yang jahat. Sayangnya harapan Alya tidak terwujud.

Suara Pak Bejo yang berat membuat jantung Alya langsung berdebar-debar. Seketika itu juga rasa kantuknya menghilang. Alya mengintip ke arah kamar tidur dan berharap mudah-mudahan Hendra tidak terbangun.

Pak Bejo terus menyerang. “Akhir-akhir ini aku sangat sibuk bekerja sampai-sampai tidak sempat mengunjungi Mbak Alya lagi. Jangan takut, aku akan selalu ingat saat-saat indah kita bermain cinta, sayang.”, bisik Pak Bejo.

“Pak Bejo sudah gila? Menelponku jam segini?” Alya mendesis marah. Suaranya bergetar karena ketakutan.

“Aku pengen menidurimu lagi malam ini. Bagaimana kalau Mbak Alya datang ke pos kamling yang sepi di ujung gang? Aku pengen memeluk tubuhmu yang seksi itu untuk menghangatkan diri di malam dingin ini.”

Alya mendengar suara dari arah kamar. Sepertinya Hendra, suaminya sudah terbangun.

“Sekarang?! Pak Bejo benar-benar sudah gila ya?” Bisik Alya sepelan mungkin.

“Alya? Sayang? Ada telpon ya? Dari siapa malam-malam begini?” tanya Hendra dari dalam kamar. Untunglah Hendra tidak terbangun. Dia hanya bertanya dari tempatnya berbaring.

“Bu-bukan siapa-siapa, sayang. Salah sambung. Tidur saja lagi.”

Pak Bejo terkekeh-kekeh. “Aku belum gila, manis. Cuma lagi pengen ngentotin kamu saja. Sudah dua hari ini aku tidak melihatmu, padahal aku selalu membayangkan tubuh indahmu yang telanjang dan bermandikan keringat. Aku selalu teringat suaramu merintih nikmat saat penisku menembus vaginamu yang wangi itu.”

Hendra menutup kembali tubuhnya dengan selimut. Dia sudah terlampau capek sehingga tidak bisa bangun. “Ya sudah.”, kata Hendra. “Aku tidur lagi ya.”

“Dengar, Pak Bejo.”, bisik Alya supaya Hendra tidak curiga. Dia takut suaminya itu belum benar-benar tertidur sehingga bisa mendengarkan percakapan ini. “Aku tidak mau melakukannya lagi. Tidak mungkin. Apalagi sekarang ?! Bapak tahu ini jam berapa?”

“Sayang sekali.” Pak Bejo terdiam agak lama. “Apa perlu aku yang ke rumahmu sekarang? Apa perlu kamu aku hajar sekali lagi? Atau mungkin perlu besok aku membawa Opi jalan-jalan dan meninggalkannya di tengah kota?”

Alya mulai berkaca-kaca menahan tangis. Tidak ada jalan lain melepaskan diri dari ancaman maut Pak Bejo. Alya ketakutan, dia tidak mungkin menceritakan semua perkosaan yang dilakukan Pak Bejo pada Hendra karena takut pria tua yang sangat kasar itu akan menyakiti tidak saja dirinya tapi juga suami dan anaknya yang masih kecil. Alya hanya bisa pasrah. Ancaman Pak Bejo sangat nyata. Tubuhnya bersandar di dinding dengan lemas.

“Tidak.”, desah Alya pasrah. “Tidak perlu kemari. Aku yang akan segera ke sana.”

“Manis…”

“Ya?”

“Aku ingin kamu menggunakan pakaian rumah paling seksi yang pernah kamu miliki dan juga jangan memakai BH dan celana dalam. Aku akan menunggumu.”

“Aku tidak punya pakaian yang seksi.” Bisik Alya sambil mengintip ke arah kamar. Hendra benar-benar sudah terlelap sekarang.

“Jangan bohong.”

“Aku tidak punya! Mas Hendra bukan orang yang pikirannya kotor seperti Pak Bejo! Dia menikahi aku karena mencintaiku, bukan hanya menginginkan tubuhku!”

Pak Bejo terdiam lagi. Alya takut pria tua marah karena nada suara Alya meninggi. Tapi terdengar suara kekehan pelan yang menyeramkan. “Kalau begitu aku menyerahkan keputusan itu padamu, sayang. Pokoknya aku pengen kamu segera ke pos kamling pakai baju seksi, daster yang tipis juga boleh. Ha ha ha ha!”

Alya menggerutu kesal. “Aku sudah bilang aku tidak pun…”

“Aku tunggu di pos kamling.” Klek. Pak Bejo menutup telpon.

Tetesan air mata Alya mulai deras. Dengan sesunggukan istri Hendra itu berusaha bangkit, tapi tubuhnya tak mau beranjak dari dinding tempatnya bersandar. Kepalanya terasa berat dan jantungnya terus didera detakan bertubi.

Tiba-tiba telpon berbunyi kembali. Alya bergegas mengangkat telpon. Terdengar suara kekehan Pak Bejo.

“Ada apa lagi?! Apa bapak mau orang satu kampung ini bangun? Bapak pengen Mas Hendra tahu?” desis Alya marah.

“Aku cuma mau mengingatkan, kalau-kalau suamimu nanti terbangun dan kebingungan mencari-cari istrinya yang tidak ada di rumah. Hendra pasti kalut. Kamu harus mencari alasan yang tepat untuk mengelabui Hendra karena aku pengen pakai memekmu agak lama malam ini.”

“Apa yang harus aku katakan pada Mas Hendra?”

Terdengar suara dari kamar. Hendra bergerak lagi. “Alya? Sayang? Ada telpon lagi?”

Sambil berharap Hendra tidak bisa menangkap getar rasa takut dari suaranya, Alya menengok ke arah kamar. “Ti-Tidak apa-apa kok, sayang. Bener. Tidur aja lagi.”

“Bilang saja Bu Bejo lagi sakit atau apa. Pikirkan sesuatu. Kamu kan pintar.” Klek. Sekali lagi Pak Bejo menutup telepon.

Alya kembali ke kamar dengan perasaan kacau. Dia berpikir dengan keras. Apa yang harus dikatakannya pada Hendra? Dia harus punya alasan secepat mungkin. Perlahan Alya kembali ke kamar dan duduk di samping Hendra memeluk selimutnya erat.

“Siapa yang telepon?”, tanya Hendra. Matanya masih tertutup. Alya mengelus rambut suaminya dengan penuh sayang. Hendra memeluk tubuh sintal istrinya.

“Itu tadi Pak Bejo.”, Alya mencoba mencari alasan, paling tidak memang benar Pak Bejo yang menelponnya. “Dia baru bepergian jauh dan ditelpon dari rumah, katanya Bu Bejo sakit. Aku disuruh menengok dan menemani Bu Bejo malam ini. Paling tidak sampai Pak Bejo datang. Boleh?”

“Boleh saja. Bu Bejo kan sudah banyak menolong kita. Perlu aku antar?”

“Tidak usah. Mas Hendra kan capek dan besok pagi harus berangkat ke kantor. Kalau aku besok bisa berangkat agak siang.”

Alya membungkuk dan mencium bibir Hendra. Pria itu tersenyum saat merasakan sapuan bibir mungil Alya yang basah. “Aku sayang Mas Hendra.” Untung saja Hendra terlelap dan tidak membuka mata sehingga tidak bisa melihat Alya yang hampir menangis.

“Aku juga sayang kamu.” Hendra menguap. “Mudah-mudahan Bu Bejo tidak apa-apa. Kalaupun tidak bisa ditinggal, kamu tidur di sana saja malam ini. Kasihan Bu Bejo sendirian. Pak Bejo kemana sih, kok istri sakit ditinggal sendiri?”

“Se-sedang mencari obat katanya.” Alya tergagap. Dia merasa sangat bersalah pada Hendra. Suaminya itu tidak tahu, kalau lelaki tua yang disebutkan namanya itu sebentar lagi akan melesakkan penisnya dalam-dalam di vagina Alya. “Katanya tadi sih begitu.”

“Baiklah, hati-hati di jalan ya. Sori, aku mengantuk sekali.” Hendra berbalik dan perlahan tenggelam lagi dalam tidurnya.

Setelah Hendra terlelap, Alya mulai membuka lemari pakaian dan mencari-cari baju. Pak Bejo tidak menginginkan Alya mengenakan BH ataupun celana dalam, tapi Alya tidak mau ambil resiko. Diambilnya satu celana dalam G-String yang sudah tidak pernah dipakainya sejak sangat lama. Hendra membelikannya saat bulan madu. Untung saja, Alya bukanlah tipe wanita yang melar tubuhnya saat melahirkan ataupun berubah ukuran celananya dengan drastis. Walaupun agak kesempitan, tapi celana dalam itu pasti masih cukup dikenakannya.

Alya mengambil daster terusan bermotif bunga yang ada di dalam lemari. Baju itulah yang menurutnya paling seksi yang ia miliki. Daster itu tipis sekali, sehingga dengan cahaya seredup apapun, kemolekan lekuk tubuh Alya akan terlihat menerawang. Selain itu dengan daster yang sedikit longgar di bagian leher dan bahu, belahan dada Alya akan terlihat sangat menantang, belum lagi bagian bawah daster sangat pendek hingga hanya bisa pas menutup sampai satu jengkal di atas lutut Alya. Kalau dia membungkuk sedikit pasti celana dalamnya kelihatan.

Saat melangkah ke pintu depan, terdengar suara panggilan kecil dari kamar Opi.

“Mama?”

Alya berbalik dan menemui Opi yang terbangun. “Shhh. Tidur lagi yah sayang.”, bisik Alya sambil memeluk dan mencium putri tersayangnya. Opi langsung terlelap dengan cepat. Si kecil itu tidak merasakan lelehan air mata yang menetes di pipi sang ibu.

###

Lokasi pos siskamling yang dimaksud oleh Pak Bejo ada di pojok jalan. Pos itu berbentuk bangunan kecil yang hanya memiliki dua jendela, satu di sisi kanan dan satu di kiri serta satu pintu di sisi luar sementara sisi lain menempel di tembok sebuah pagar beton tinggi milik rumah warga. Tidak ada apa-apa di dalam pos itu kecuali tikar, asbak dan kartu remi. Alya sangat berharap, tidak ada orang lain yang berada di luar rumah malam itu kecuali dirinya dan Pak Bejo.

Harapan Alya terkabul karena malam itu suasana sangat sepi. Hanya suara angin menggesek daun dan beberapa ekor kucing hilir mudik sambil mengeong mencari makan yang menemani suara jangkrik dan serangga malam lain.

Alya merasa aneh berjalan sendirian malam hari ini seperti ini dengan pakaian yang sangat tipis dan menerawang. Dia berjalan mepet di sisi tembok agar bisa bersembunyi di balik bayangan pagar yang tinggi. Walaupun suasana sepi, tapi Alya tidak mau mengambil resiko. Untung saja jarak antara rumah dan pos kamling tidak terlalu jauh.

Walaupun hanya mengenakan daster dan tidak mengenakan make-up apa pun, wajah Alya tetap mempesona. Hanya dengan memandangi keelokan paras dan keseksian tubuhnya saja, penis tua Pak Bejo bisa menegang. Bandot tua itu geleng-geleng. Dia masih belum bisa mempercayai keberuntungannya. Pria tua buruk rupa seperti dirinya akhirnya bisa juga meniduri wanita cantik dan alim seperti Alya.

Terdengar suara ketukan pelan di pintu pos kamling. Pak Bejo segera membukanya.

Alya terlihat sangat cantik dalam balutan daster tipis menerawang. Tubuhnya yang luar biasa indah terlihat semakin seksi dan kulitnya yang putih seakan menyala di kegelapan malam. Dia terlihat bagaikan seorang bidadari yang baru saja turun dari khayangan.

Pak Bejo Suharso terkekeh-kekeh melihat penampilan mempesona wanita yang akan segera disetubuhinya. “He he he, luar biasa, Mbak Alya. Benar-benar cantik.”

Alya terdiam dan memalingkan wajahnya yang memerah karena malu. “A-aku sudah datang kemari. Aku harap Pak Bejo…”

“Sstt, jangan membangunkan tetangga yang sudah tidur. Ayo masuk ke dalam.”

Alya menurut saja dan masuk ke dalam pos kamling. Hanya berdua dengan bandot tua yang bejat itu membuat tubuh Alya menggigil ketakutan. Dia hampir tak percaya apa yang sedang dilakukannya. Alya dengan rela menyerahkan diri untuk digauli tetangganya yang buruk rupa sementara suaminya yang tampan sedang tidur di rumah. Pak Bejo menutup pintu pos kamling dan menguncinya. Tak lupa dia juga menutup gorden agar tidak ada orang yang bisa mengintip adegan yang akan segera terjadi di dalam pos kamling ini.

Alya berdiri di tengah pos kamling sambil memeluk dirinya sendiri yang kedinginan terkena udara malam. Tubuh Alya masih terus bergetar, bukan dikarenakan oleh dinginnya semilir angin tapi karena perasaannya yang campur aduk.

“Uhhhhhmmm.” Desah Alya lirih saat tubuh hangat Pak Bejo memeluknya dari belakang. Pria tambun itu tidak perlu berbasa-basi dan ingin langsung menyantap hidangan utama yang lezat yang disuguhkan oleh ibu rumah tangga yang masih muda dan sangat cantik ini. Tangan Pak Bejo bergerak menyusur seluruh tubuh Alya sementara dia menempelkan tubuhnya sendiri di belakang sang ibu muda yang molek itu.

Alya memejamkan mata, setengah tak rela tubuhnya disentuh lelaki selain suaminya, setengahnya lagi menikmati rabaan Pak Bejo di setiap jengkal tubuhnya. Alya makin merinding ketika pria tua itu mulai menciumi bagian belakang leher dan telinganya. Suara kecupan Pak Bejo menjadi satu-satunya suara yang mengisi sepinya malam itu.

Alya melenguh lagi saat Pak Bejo menempelkan penisnya yang mulai mengeras di sela-sela pantat sang ibu muda. Pria tua yang makin bernafsu itu menggerak-gerakkan kontolnya di belahan pantat Alya dengan gerakan yang lembut sementara bibirnya terus menciumi bagian belakang kepala Alya. Tangan Pak Bejo mulai bergerak bebas, meraba buah dada Alya yang ranum.

Untuk beberapa saat lamanya Alya hanya berdiri di tengah pos kamling sementara Pak Bejo terus meraba-raba seluruh tubuhnya. Baru kali ini pria tua menjijikkan itu memperlakukannya dengan lembut.

Tak perlu waktu lama bagi Pak Bejo untuk segera melucuti pakaian yang dikenakan oleh Alya. Dia segera mendorong tubuh ibu muda jelita itu ke tikar yang kotor di lantai pos kamling. Satu persatu baju Alya dilucuti. Setelah pertahanan terakhir Alya yang berupa celana dalam mungil dilucuti oleh Pak Bejo, pria tua itu segera beraksi. Pak Bejo menciumi ujung jari kaki Alya dan perlahan turun terus hingga ke daerah betis, lutut, paha dan akhirnya selangkangan Alya. Ketika sampai di daerah rambut halus bibir vagina Alya, ibu muda itu menangis sesunggukan dan meremas ujung tikar dengan perasaan campur aduk, antara menikmati dan menolak.

Saat Pak Bejo menjilati memeknya yang manis, Alya menggerakkan pinggulnya tanpa sadar dan tubuh seksi wanita cantik itu melonjak-lonjak karena rangsangan luar biasa yang diakibatkan oleh jilatan lidah Pak Bejo. Ketika masih meresapi manisnya cairan cinta yang meleleh di pinggir bibir vagina Alya, Pak Bejo merasakan jemari Alya menjambak rambutnya. Pak Bejo gembira karena Alya rupanya telah tenggelam dalam nafsu birahi.

“Jangaaan… jangaaaan… aku tidak mauuuuu!!!” Alya megap-megap sambil menggeleng kepala menolak kenikmatan badani yang tiba-tiba saja mencapai puncak dan menguasai tubuh indahnya. Wanita cantik itu telah mencapai orgasme awal karena tidak bisa menahan gejolak nafsu birahinya sendiri.

Tubuh Alya melejit dan lepas dari pelukan Pak Bejo. Pria tua itu melepaskan Alya dan membiarkannya terbaring di tikar. Mata Alya terbelalak dan tubuhnya menggigil karena ketakutan saat melihat Pak Bejo melucuti pakaiannya sendiri.

Pria tua yang bertubuh gemuk dan berkulit gelap itu berlutut dan menempelkan ujung gundul kemaluannya yang basah di bibir vagina Alya. Saat dilesakkan kontolnya ke dalam memek Alya, ternyata liang cinta ibu muda itu belum sepenuhnya terlumasi. Hanya sebagian saja dari keseluruhan batang kemaluan Pak Bejo yang bisa masuk.

“Ahhhh… jangaaaaan diteruskaaan… saya mohon Pak! Sakiiiit!! Jangaaan… pelaaan! Pelaaan sajaaa!! Jangaaaan!! Hentikaaan!! Hentikann!!” Alya menjerit lirih karena takut membangunkan penghuni komplek di sekitar pos kamling, tapi rasa sakit yang dirasakannya terlalu menyiksa sehingga air mata menetes di wajahnya.

Alya berusaha mendorong tubuh Pak Bejo menjauh darinya walaupun sia-sia. Alya hanya bisa menangis sesunggukan dan berusaha tabah saat Pak Bejo malah menyodokkan sisa kontolnya ke dalam memek Alya.

“Siap-siap digenjot ya, Bu Hendra?” ejek Pak Bejo yang sengaja memanggil Alya dengan nama suaminya. Wajah Alya memerah karena dipermalukan seperti itu.

Pak Bejo menarik kaki Alya yang jenjang dan menempelkannya di kedua sisi wajahnya. Ibu rumah tangga yang cantik itu harus merelakan tubuhnya dibolak-balik oleh Pak Bejo yang memang berniat menikmati seutuhnya keindahan tubuh Alya. Dengan kaki terangkat ke bahu Pak Bejo, Alya memejamkan mata karena tahu apa yang akan segera dilakukan pria tua itu.

Pak Bejo menarik pinggul Alya dan menjebloskan penisnya ke dalam memek Alya.

“Aaaaaaaaaduhhhh!!! Jangaaaaaaaann!! Sakiiiiiiiiiit!! Aduuuhhhhh… jangaaaan… pelaaan sajaaa! Pelaaaan!!” pinta memelas Alya belum digubris oleh Pak Bejo.

Teriakan dan desis perih Alya ibarat musik yang merdu di telinga Pak Bejo yang bejat. Mendengarkan suara wanita idamannya menjerit kesakitan dan menggeram karena merasakan desakan penisnya di dalam vagina membuat Pak Bejo sangat terangsang. Pak Bejo menarik sedikit batang kemaluannya. Hal ini membuat Alya bisa bernafas sedikit lega, sayang tak berlangsung lama. Saat Alya masih terengah-engah dan menarik nafas, tiba- tiba Pak Bejo mendorong batang penisnya masuk ke rahim Alya sampai ujung terdalam! Alya menjerit kesakitan saat kontol itu menguasai liang cintanya yang sempit.

“Hiyaaaaaaahhh!!” teriak Alya di tengah sepinya malam. Dia sudah tidak peduli lagi kalau-kalau ada orang yang melewati pos kamling itu.

Kontol Pak Bejo masuk sepenuhnya ke lubang vagina Alya. Sekali lagi wanita cantik itu merasakan pahitnya disetubuhi lelaki menjijikkan seperti Pak Bejo.

###

Duduk di depan meja rias, Dina menyisir rambutnya dengan rapi. Ibu muda yang jelita itu menatap muram refleksi dirinya di dalam cermin. Dina tidak mempercayai nasib buruk yang telah dialaminya selama beberapa hari terakhir. Dina masih tetap cantik, masih tetap seksi, masih tetap molek dan masih tetap menggairahkan mata setiap orang yang menatapnya. Akan tetapi predikat istri setia dan ibu yang baik sudah jauh meninggalkan dirinya. Dina yang sekarang bukan lagi Dina yang lugu dan suci. Sudah dua kali Dina yang sebelumnya tidak pernah disentuh pria lain itu bermain api dengan Pak Pramono, atasan suaminya sendiri. Walaupun baru sekali disetubuhi, tetap saja Dina merasa sangat kotor, apalagi saat dengan kesadaran sendiri datang ke hotel yang diinginkan Pak Pram untuk melayaninya menuntaskan hasrat beroral seks.

Pernikahannya dengan Anton seakan lenyap terbakar hawa nafsu birahi yang menyala. Dina malu mengakui nikmat yang dirasakan saat disetubuhi laki-laki selain suaminya sendiri. Walaupun awalnya terpaksa melayani Pak Pramono agar keluarganya selamat dari malapetaka, namun kenikmatan luar biasa yang dirasakan Dina saat melakukan affair dengan Pak Pram tetaplah tidak bisa disembunyikan begitu saja.

Berawal dari sebuah ancaman akan memenjarakan Anton dan menyita seluruh harta mereka, Pak Pram kini menguasai seutuhnya jalan hidup ibu rumah tangga dua anak itu. Dina takluk pada semua perintahnya termasuk menjadi budak seks pribadi Pak Pramono. Apa yang akan terjadi seandainya Anton mengetahui semua kejadian ini? Tentunya dia akan langsung menceraikan Dina begitu tahu istrinya telah ditiduri Pak Pramono. Dina bahkan sangat malu berhadapan dengan adik-adiknya seperti Alya dan Lidya. Sebisa mungkin mereka tidak terlibat dalam masalah ini.

Seandainya saja Dina mampu menolak setiap keinginan Pak Pramono, dia akan melakukannya. Tapi tiap kali pria tua berwajah garang dan berperawakan gagah itu menyentuh dirinya, Dina seperti takluk pada semua perintahnya. Dina juga sangat khawatir dengan aksi Pak Pram yang tidak menggunakan alat pengaman apapun saat menyetubuhinya. Apa yang akan terjadi nanti seandainya Pak Pram menghamilinya? Bagaimana mungkin istri yang tadinya setia dan sangat alim itu terjatuh ke dalam jurang kenistaan dan berubah menjadi pekerja seks privat untuk Pak Pramono?

Tanpa sadar, Dina menyelipkan jari jemarinya ke selangkangan saat membayangkan apa yang telah dilakukannya dengan Pak Pramono. Jari jemari lentik ibu cantik itu masuk ke dalam celana dalam dan menggosok lembut daerah bibir kemaluannya. Lama kelamaan jari itu masuk ke dalam liang cinta Dina. Wanita jelita itu tenggelam dalam masturbasi sambil membayangkan sosok pria yang lebih pantas menjadi ayahnya yaitu Pak Pramono sedang menyetubuhinya dengan penuh nafsu.

Inikah sosok istri yang tadinya setia itu?

###

Pak Bejo mulai memompa penisnya dalam-dalam di memek Alya. Kenikmatan bersetubuh dengan Pak Bejo yang pernah dirasakan oleh Alya saat diperkosa pria tua ini kembali terulang. Pandangan mata Alya mengabur karena kenikmatan luar biasa yang ia rasakan. Tubuhnya menjadi lemas dan kepalanya ia sandarkan pada tubuh Pak Bejo. Mulut Alya menganga keenakan dan rahangnya mengeras saat si cantik itu akhirnya menyerah pada kenikmatan yang diberikan Pak Bejo.

“Uh! Uh! Uh! Uh!” lenguh Alya pasrah saat pria tua itu menyetubuhinya.

Pak Bejo meremas susu Alya yang montok dan menjilatinya dengan lidah. Dia melakukannya dengan sedikit kasar karena gemas oleh keindahan payudara Alya. Ibu rumah tangga yang cantik itu menarik nafas dalam-dalam karena bibir Pak Bejo yang besar seakan memoles seluruh buah dadanya dengan air liur. Jilatan Pak Bejo mengitari pentil Alya yang mengeras dan sekali dua kali dia menggigit ujungnya dengan lembut.

“Aaaaaaaahh!!” Alya menjerit karena sensasi yang ia rasakan. Sakit yang ia rasakan berasal dari selangkangannya berubah menjadi kenikmatan yang luar biasa. Memek Alya yang ditembusi penis Pak Bejo berulang-ulang akhirnya mengeluarkan cairan cinta yang langsung membanjir. Rasa malu dan puas bercampur menjadi satu sehingga wajah Alya memerah.

Pak Bejo melepas buah dada Alya dan menangkup pipi pantatnya yang bulat mulus. Alya melenguh saat Pak Bejo meremas dan memilin bokongnya yang halus dengan tangannya yang kuat. Penis Pak Bejo masih keluar masuk ke dalam memek Alya yang hangat dan becek. Pinggang Pak Bejo berulang kali bertamparan dengan paha mulus Alya. Karena dilepas oleh Pak Bejo, payudara Alya yang besar bergoyang-goyang erotis seiring gerakan maju mundur pria tua itu.

“Ah! Ah! Ah! Ah!” Alya terengah-engah tiap kali kontol Pak Bejo menerobos ke dalam liang cintanya yang hangat dan basah. Pria tua itu menyetubuhi Alya dengan kecepatan yang makin lama makin meningkat. Seiring makin cepatnya Pak Bejo mengentoti Alya, makin bertambah pula kepuasan mereka hingga hampir sampai ke puncak. Keringat mulai membasahi sekujur tubuh telanjang Alya yang putih mulus. Pak Bejo meringis menahan kekuatan dan giginya terkatup kuat-kuat.

“Huh! Hh! Huh! Hh!” Alya melenguh berulang, tubuhnya bergerak seiring desakan penis Pak Bejo dalam rahimnya.

“Ayo… Hunggh!! Kita… buatkan… Opi… adik baru…!! Huhnggh! Mbak Alya!!” kata Pak Bejo. Wajahnya yang berkeriput penuh keringat dan nampak cerah karena bisa menyetubuhi wanita idamannya.

Pak Bejo meraih ke belakang kepala Alya dan menarik rambut panjangnya. Ia mendekatkan wajah Alya ke wajahnya sendiri dan mulai menangkup bibir Alya dengan bibirnya. Bibirnya yang tebal mengelus-elus bibir Alya hingga basah kuyup oleh air ludah. Lidahnya yang panjang juga bergerak menyusur seluruh bagian dalam mulut Alya. Mata indah Alya terbelalak karena hampir tersedak.

“Hngghh!!” Alya melenguh parau. Pak Bejo melepaskan ciumannya.

“Bersiaplah menerima… uh! …spermaku…, manis!!” Pak Bejo meraung dan mengatupkan mata saat dia hampir mencapai titik puncak kepuasan. Tangannya mencengkeram bulat pantat Alya, melebarkan bibir memek istri Hendra itu agar bisa menerima penisnya yang besar.

“Engh! Engh! Engh! Huff! Ahhh!! Ahmm!!” Alya mengeluarkan lenguhan berirama tiap kali Pak Bejo melesakkan penisnya ke dalam vagina Alya. Ibu rumah tangga yang sintal itu tidak bisa mengumpulkan pikirannya dan berkonsentrasi, dia hanya mengikuti gerakan Pak Bejo. Alya telah dibuai kenikmatan sehingga tidak bisa berpikir apalagi mengucapkan kata-kata. Tubuhnya mental-mental dalam pelukan Pak Bejo. Alya melemparkan kepalanya ke belakang dan menyerah pada rasa nikmat yang ia rasakan di daerah selangkangan. Entah kenapa dia ingin sekali merasakan kehangatan sperma Pak Bejo di dalam liang cintanya. Dia ingin laki-laki tua itu segera menuntaskan permainannya.

“Hah! Hah! Hah! Hah!”, Pak Bejo melenguh penuh nikmat. Ia menarik pinggangnya ke belakang untuk menyiapkan satu tusukan akhir ke vagina Alya.

“Huuuuuuuuuuuunnngggghh!!”, raung pria tua saat akhirnya ia melesakkan penisnya dalam-dalam. “Hunngghh!! Hunghhh!! Engghhh!! Hahhhh!!”, Pak Bejo menggeram keenakan saat pinggangnya menampar paha Alya dan memuncratkan banjir air mani dalam liang kemaluan ibu muda yang seksi itu.

Alya bisa merasakan semprotan air mani yang hangat dan lengket di dalam rahimnya. Sensasi yang ia rasakan membuatnya sampai ke ujung kenikmatan. Kepalanya dilempar ke belakang, rambutnya melambai di udara dan Alyapun berteriak penuh kepuasan. “Ahhhhhhhh!!”. Seluruh sudut tubuhnya mengeras untuk sesaat dan kemudian orgasme pun meledak dalam tubuhnya. Tak pernah sebelumnya saat bermain cinta dengan Hendra Alya memperoleh kepuasan seksual seperti sekarang. Walaupun dalam hati Alya lebih baik mati daripada mengakui kenikmatan ini.

“Fuhh… fuhh… fuh…” Alya terengah-engah usai mengalami orgasme dan melayani nafsu iblis Pak Bejo. Pria tua itu segera menarik penisnya dari dalam vagina Alya.

Tubuh telanjang Alya tergolek tak berdaya dan air mani meleleh keluar dari dalam memeknya.

Pak Bejo masih belum selesai. Pria tua itu meringis bengis dan bersiap lagi.

Dia menginginkan lubang Alya yang lain.

###

Jam dinding sudah menunjukkan angka melebihi tengah malam saat Lidya mendengar pintu depan terbuka. Lidya yang kelelahan tertidur di sofa di depan pesawat televisi setelah menonton acara hiburan malam. Karena masih mengantuk, Lidya sedikit lambat bangun dari sofa dan lupa menghindari pertemuan dengan ayah mertuanya. Pria gemuk dan botak itu langsung mencari menantunya yang molek. Pak Hasan berhasil meraih lengan Lidya dan membungkukkan badan Lidya di dekat anak tangga menuju ke lantai atas sebelum si cantik itu berhasil lari ke kamar atas.

“Bapak! Apa yang bapak lakukan!? Aku tidak mau melakukannya lagi! Ini nista! Zina!” Lidya menjerit dan meronta mencoba melepaskan diri dari pelukan mertuanya.

“Percuma kamu menjerit. Di rumah ini cuma ada kamu dan aku, toh?”

Lidya mencoba meronta lebih keras lagi namun gagal, semua usahanya sia-sia. Dengan sekali sentak, Pak Hasan menarik tubuh Lidya dan melemparnya ke atas bantalan empuk bagian belakang sofa yang berada di dekat mereka. Tubuh Lidya melayang dan mendarat hanya bertumpukan perut yang sekarang berada di atas bagian sandaran empuk sofa. Wanita cantik itu tersentak dan hampir muntah.

Dengan cekatan Pak Hasan melucuti kaos santai yang dikenakan menantunya. Mertua yang sudah gelap mata itu sekaligus menarik BH yang dikenakan Lidya dan menggunakannya untuk mengikat tangannya. Kecepatannya menarik BH dan kaos cukup membuat Lidya kagum sesaat, seakan-akan pria tua itu sudah sering melakukan hal ini sebelumnya. Pak Hasan menarik rok pendek yang dikenakan Lidya ke pinggang dan dengan kasar melucuti celana dalamnya.

Lidya berusaha keras menendang ayah mertuanya, tapi karena posisinya yang kurang pas, Pak Hasan bisa menghindar. Setelah seluruh tubuh Lidya terekspos, Pak Hasan dengan leluasa bergerak bebas. Ia segera menampar pipi pantat Lidya dengan sekeras mungkin. Lidya menjerit kesakitan. Sayang, hal itu malah menambah semangat Pak Hasan yang kemudian tertawa terbahak-bahak dan mengulangi tamparannya beberapa kali lagi. Saat ia puas melakukannya, pantat Lidya memerah karena sakit dan istri Andi yang seksi itu hanya bisa sesunggukan menahan air mata. Pak Hasan menarik rambut Lidya dan membalik kepalanya sehingga mereka bisa saling berhadapan.

“Itu hukuman buat menantu nakal yang menghindari ayah mertuanya yang sudah kangen. Jangan pernah lari dariku lagi! Mengerti? Sekarang coba tebak apa yang bapak bakal lakukan sama kamu?” Pak Hasan tertawa terbahak-bahak melihat wajah Lidya yang memelas dan bersimbah air mata. “Bapak bakal entotin kamu sampai kamu tidak bisa berdiri tegak lagi!”

Setelah mengatakan itu, Pak Hasan melepaskan jambakannya pada rambut Lidya dan merenggangkan kedua kakinya melebar. Dia kini memiliki akses penuh ke memek Lidya yang sudah menantang. Pria tua menggunakan jempol tangannya untuk membuka lebar-lebar bibir vagina Lidya. Pak Hasan segera membuka celananya dan seketika penisnya yang ternyata sudah mengeras keluar dari sarang. Tanpa basa-basi lagi, Pak Hasan menekan penisnya ke dalam vagina Lidya dengan satu sentakan yang sangat menyakitkan Lidya.

Wanita cantik itu menjerit kesakitan dan berusaha keras melepaskan diri dari mertuanya, tapi usahanya gagal. Pak Hasan menarik penisnya dan kembali dia sentakkan ke dalam memek Lidya keras-keras. Lidya kembali menjerit kesakitan karena liang rahimnya belum terlumas secara menyeluruh, sehingga penetrasi yang dilakukan Pak Hasan membuatnya sangat kesakitan. Pak Hasan kembali tertawa terbahak-bahak melihat menantunya menjerit-jerit tanpa daya.

Tangan Pak Hasan mencoba meraih buah dada Lidya yang bergelantungan. Setelah mendapatkan yang dicari, tangan gemuk Pak Hasan mulai meremas-remas serta memilin payudara Lidya seiring gerakan penisnya yang keluar masuk di liang cinta sang menantu. Lidya menangis dan terus memohon pada Pak Hasan agar menghentikan perbuatannya, tapi yang dilakukan mertuanya yang gila itu malah terus menjejalkan kontolnya ke dalam vagina Lidya. Sempitnya liang cinta sang menantu membuat Pak Hasan serasa terbang ke langit nirwana.

Kemudian saat-saat yang ditakutkan Lidya akhirnya datang juga. Wanita cantik bertubuh indah mulai merasakan kenikmatan merambat naik ke seluruh penjuru badan. Mulai dari rangsangan Pak Hasan yang meremas-remas payudaranya sampai kecepatan penis sang mertua yang masih terus keluar masuk lubang vaginanya. Entah kenapa Lidya mulai menikmati perlakuan seperti ini. Rasa takut dan bersalah yang ada di benak Lidya bertarung dengan rasa nikmat yang melanda seluruh tubuhnya. Ada kenikmatan unik yang bercampur antara rasa sakit dan kenikmatan luar biasa yang diberikan oleh sang ayah mertua. Istri Andi itu makin kebingungan saat Pak Hasan akhirnya menyemprotkan maninya ke dalam liang rahim Lidya. Dia bingung karena entah harus merasa lega atau malah kecewa.

Tubuh Pak Hasan menegang dan sesaat kemudian penisnya mengecil. Dengan diiringi suara meletup yang nyaring, mertua Lidya itu menarik kontolnya dari memek sang menantu.

Lidya berbaring di atas sofa dengan perasaan campur aduk. Dia merasa lelah dan malu. Lidya merasakan sentakan kecil dalam tubuhnya, hampir saja si cantik itu mencapai puncak kenikmatan. Pak Hasan berjalan mengitari sofa menuju ke arah Lidya. Sekali lagi mertua cabul itu menjambak rambut Lidya dan menarik kepalanya. Dengan terpaksa Lidya duduk di sofa sementara Pak Hasan berdiri. Kepala Lidya tepat berada di depan selangkangan Pak Hasan.

“Bersihkan kontolku.” Perintah sang mertua.

“Apa?!”, seru Lidya heran. Dia tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Walaupun sudah mulai mengecil, tapi penis Pak Hasan itu masih cukup keras dan belepotan air mani. Tangan Lidya masih terikat oleh kaos dan Bhnya sendiri sehingga dia tidak bisa banyak bergerak.

“Jilati kontolku sampai bersih, nDuk. Cuma gitu aja kok repot? Lebih baik cepat kau lakukan apa yang aku suruh sebelum sebagian pejuhku menetes di sofamu yang mahal itu dan menimbulkan noda! Kalau tidak mau, akan kuhajar kau malam ini juga!”

Karena rasa takut yang amat sangat, tidak ada jalan lain bagi Lidya kecuali menyerah. Sebagai pengantin baru, Lidya amat sering mengoral penis suaminya, tapi hal itu bukanlah hal yang menyenangkan. Dengan perasaan segan, istri yang tadinya setia itu mulai menjilat ujung kontol ayah mertuanya yang masih belepotan air mani. Lidya membersihkan kontol Pak Hasan dengan bibir dan lidahnya. Pria tua itu merem melek karena akhirnya sang menantu tunduk di hadapannya. Perasaan nikmat karena disepong menyatu dengan pikiran erotis bahwa kontolnya sedang dijilati oleh menantunya sendiri yang luar biasa cantik dan seksi.

Penis itupun perlahan kembali mengeras. Pak Hasan menarik kepala Lidya dan menggerakkannya maju mundur. Menantunya yang cantik itu hampir kehabisan nafas dan tersedak karena penis Pak Hasan terus didesak masuk makin dalam. Lidya merintih dan mencoba menarik kepalanya, tapi Pak Hasan jauh lebih kuat darinya. Entah kenapa rintihan Lidya membuat Pak Hasan berhenti mengeluarmasukkan penisnya ke dalam mulut Lidya.

“Wah wah, sepertinya aku terlalu berlebihan ya, nDuk?” tanya Pak Hasan. “Untung kamu hentikan, soalnya kita belum selesai ngentotnya, toh?”

Sebelum Lidya mampu berpikir jernih tentang apa yang dikatakan mertuanya, pria gemuk dan botak itu menarik tubuh sang menantu dan menyandarkannya ke tembok. Di samping pesawat televisi. Perasaan sesak yang diderita Lidya menyebabkan tubuhnya lunglai dan lemas sehingga tidak mampu berdiri tegak. Hal ini dimanfaatkan Pak Hasan untuk melucuti seluruh pakaian menantunya hingga telanjang bulat. Pak Hasan sendiri juga melepas seluruh pakaian yang dikenakannya dengan cepat dan mendorong tubuh Lidya mepet kembali ke tembok.

Tiba-tiba Pak Hasan menampar Lidya. Lagi dan lagi. Dengan kasar Pak Hasan menampar Lidya berulang-ulang kali. Lidya menjerit-jerit kesakitan dan mohon ampun. Airmatanya mengalir deras. Akhirnya Pak Hasan menghentikan siksaannya.

“Jadi begini situasinya, nDuk.” Bisik Pak Hasan galak. Wajahnya sangat dekat dengan Lidya sehingga wanita jelita itu bisa merasakan hembusan nafas penuh nafsu Pak Hasan di pipinya. “Aku masih terangsang dan pengen menyetubuhimu lagi malam ini. Hanya saja karena aku baru saja orgasme, tentunya kali ini akan membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai ke klimaks kedua. Aku ingin mencapai orgasme keduaku malam ini, bahkan kalau untuk mencapai kesana aku harus menyetubuhimu sampai pagi. Aku harap kamu mau bekerja sama, karena kalau sampai aku tidak mencapai apa yang aku inginkan, aku akan menghajarmu sampai mati!”

Lidya panik. Si cantik itu tidak tahu mertuanya itu serius atau tidak, tapi yang jelas tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan dirinya sendiri kecuali menurut pada permintaan Pak Hasan.

“Jangan, Pak. Aku mohon…” bisik Lidya lemah, “aku mohon jangan sakiti aku lagi.”

“Mengemis tidak akan mengubah pendirianku. Bahkan rengekanmu malah membuat kontolku jadi lemas lagi, nDuk. Tentunya kamu tidak ingin itu terjadi setelah bekerja keras mengeraskannya dengan mulutmu. Ayo. Entoti aku.”

Dengan terpaksa Lidya menurut saat Pak Hasan mengangkat tubuh telanjang sang menantu dan menyandarkannya ke tembok. Pak Hasan melesakkan penisnya masuk ke dalam vagina Lidya dengan lebih lembut kali ini. Wanita cantik itu mengangkat kakinya dan mengaitkannya di pinggang Pak Hasan sementara tangannya menggantung di leher ayah mertuanya, tangan Pak Hasan sendiri menahan beban tubuh Lidya dengan mengangkat pantatnya. Rasanya luar biasa nikmat bagi keduanya berada dalam posisi seperti ini.

Memek Lidya masih licin oleh air mani yang tadi disemprotkan Pak Hasan ke dalam liang rahimnya sehingga dia bisa melesakkan penisnya dengan mudah. Kali ini jejalan kontol sang mertua di dalam liang cinta sempitnya membuat Lidya merasa nyaman dan bergairah, seluruh tubuhnya bergetar merasakan liang rahimnya yang sempit kini meremas-remas penis besar Pak Hasan yang meraja di memeknya.

Dengan punggung Lidya bersandar pada tembok, kedua manusia berlainan jenis itu mulai bergerak bersamaan. Lidya mulai merasa nikmat karena Pak Hasan kali ini memperlakukannya lebih lembut. Rasa sakit yang diderita kedua pipinya karena tamparan Pak Hasan menghilang berganti rasa nikmat yang meraja di selangkangannya. Lidya berusaha keras menyembunyikan perasaan nikmatnya agar tidak terlihat terlalu jelas di depan sang mertua yang cabul. Klitoris Lidya menempel di tubuh Pak Hasan dan setiap gerakan naik turun membuatnya tergesek seirama, tambahan bulu-bulu halus yang menyentuh ujung klitoris Lidya membuatnya melejit ke nirwana. Lidya memejamkan mata dan berusaha keras tidak mendesah keenakan.

“Mana susumu, nDuk?” perintah Pak Hasan lagi tiba-tiba.

Dengan wajah memerah karena terhina, Lidya menyorongkan buah dadanya dengan satu tangan ke arah mulut Pak Hasan. Pria tua itu meringis penuh kemenangan dan menikmati wajah malu sang menantu. Dengan penuh nafsu, Pak Hasan segera menyerang pentil payudara Lidya. Dia tidak lembut lagi kali ini, tapi sangat lihai memainkannya. Dia menarik dan menghisap pentil itu dengan mulutnya, lalu menjilati pinggiran puting payudara Lidya, setelah itu dia mengelamuti pentil itu dan menggigitinya dengan penuh nafsu.

Rangsangan yang dirasakan Lidya terlalu hebat sehingga menggiring wanita jelita itu ke puncak kenikmatan. Tanpa sadar dia menggerakkan pinggangnya lebih cepat dan kuku-kuku jarinya menancap di punggung Pak Hasan sampai akhirnya Lidya orgasme. Lidya bisa merasakan memeknya meremas batang kemaluan Pak Hasan dengan sebuah remasan hebat dan dia mulai merintih serta menjerit lirih penuh nikmat. Akhirnya setelah selesai mengejang dan memeknya banjir cairan cinta, Lidya membuka matanya. Pak Hasan meringis penuh kemenangan. Kontolnya tetap keras dan dia masih terus menumbuk vagina Lidya.

Tak lama setelah Lidya mencapai klimaks, Pak Hasan dengan sengaja menarik penisnya keluar. Pria tua itu lalu duduk di anak tangga. Dia memberi isyarat supaya Lidya menghampiri dan duduk mengangkanginya. Dengan patuh, menantu yang baru saja digauli sampai orgasme oleh mertuanya itu duduk di pangkuan Pak Hasan.

Lidya menurunkan badannya perlahan dan membiarkan kontol Pak Hasan yang masih keras menusuk vaginanya dari bawah. Seluruh tubuhnya melejit begitu penis itu menguasai bagian dalam lubang rahimnya. Rangsangan yang memberikan nafsu hewani dan kenikmatan pada Lidya kembali terpusat pada selangkangannya. Kali ini Pak Hasan tidak perlu meminta karena Lidya tahu apa yang diinginkan mertuanya. Si cantik yang seksi itu pun bergerak naik turun dan mulai menyetubuhi mertuanya.

Buah dada Lidya yang memantul-mantul terlihat sangat erotis di hadapan Pak Hasan. Pria tua itu segera memainkan kedua payudara Lidya dan menghisap pentilnya dalam-dalam. Lidya melenguh manja dan merintih keenakan. Dia tidak peduli lagi, seluruh pikirannya, seluruh kesetiaan dan perasaan bersalahnya seakan menghilang ditelan gelombang nafsu birahi yang diberikan ayah mertuanya. Semakin kasar perlakuan Pak Hasan, semakin memuncak nafsu Lidya. Setelah beberapa lama tubuh Lidya meremas-remas kontol Pak Hasan, akhirnya pria tua itu sampai juga pada ujung klimaksnya. Pak Hasan meremas pinggul Lidya dan menyemprotkan air mani ke dalam lubang rahimnya.

Untuk beberapa saat lamanya Lidya dan Pak Hasan terbaring berpelukan telanjang di anak tangga. Tubuh mereka basah bermandikan keringat dan nafas mereka mendengus karena kecapekan. Perlahan kesadaran akan kejadian yang telah berlaku menyentakkan Lidya. Dia kembali sadar akan nistanya perbuatan ini. Bagaimana mungkin dia malah melayani nafsu binatang sang ayah mertua? Kemana istri Andi yang telah bersumpah setia itu?

Lidya menangis sejadi-jadinya. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena terlena oleh nafsu birahi. Lidya meronta dari pelukan Pak Hasan, mengumpulkan pakaiannya yang tercecer dan lari ke kamar, langsung menuju kamar mandi.

Saat Pak Hasan masuk ke kamar dan menyusul Lidya, istri Andi yang cantik itu tengah menggosok seluruh tubuhnya dengan sabun. Wajahnya penuh dengan kemarahan dan perasaan geram.

“Enak juga punya menantu seksi kayak kamu. Tiap kali butuh ngentot tinggal ambil. Beberapa hari lagi Andi pulang. Kalau tidak mau semua terbongkar, sebaiknya mulai sekarang kamu turuti kemauanku! Besok pagi kalau aku masuk ke sini, aku tidak ingin melihatmu mengenakan sehelai pakaianpun, mengerti? Aku ingin melihat tubuh indahmu telanjang dan jangan lupa untuk merentangkan kakimu lebar-lebar!”

Pak Hasan melangkah keluar kamar meninggalkan Lidya yang terhina, putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan diri dari situasi ini.

Air mata menetes deras di pelupuk mata Lidya. Kisahnya masih jauh dari usai.

###

Pak Bejo mengelus seluruh tubuh Alya tanpa ada perlawanan berarti. Seluruh perasaan dan keinginan Alya untuk melawan hilang ditelan oleh kenikmatan orgasme yang baru saja dirasakannya. Pak Bejo mengecup pantat Alya yang bulat, mulus dan kencang. Beberapa kecupan meninggalkan bekas cupang memerah di pantat Alya. Pak Bejo merenggangkan kedua sisi pantat itu dan mulai menjilat lubang kecil yang berada di tengah, tepat di atas bibir vagina Alya yang masih meneteskan air mani. Lubang anus Alya dibuka sedikit melebar.

Tanpa aba-aba, Pak Bejo mencelupkan jari ke dalam vagina Alya, menciduk cairan cinta yang leleh di dalam lubang kemaluan wanita jelita itu dan mengoleskannya di seluruh anus Alya yang menantang. Pak Bejo melumasi dubur Alya dengan cairan cintanya sendiri, dia berniat menusukkan jari jemarinya ke dalam lubang kecil yang sangat sempit itu.

“Renggangkan kakimu!” bentak Pak Bejo. Alya hanya bisa menurutinya dengan isak tangis yang tertahan, ibu muda yang cantik itu pasrah dan merenggangkan kakinya melebar. Jari jemari Pak Bejo terus melumasi dubur Alya dan masuk ke dalam tanpa mengindahkan rasa sakit yang menyiksa Alya. Wanita cantik itu mengernyit kesakitan. Siksaan Pak Bejo sangat tak tertahankan olehnya. Alya melompat ke depan dan berusaha menggeliat melepaskan diri dari tusukan jari jemari Pak Bejo di anusnya. Tapi Pak Bejo ikut bergerak maju dan menindih tubuh Alya.

Pak Bejo terus memasukkan jari demi jari ke dalam dubur Alya sementara ibu muda itu meronta-ronta kesakitan. Rongga di dalam anus Alya perlahan melebar karena jari yang masuk ke dalam makin lama makin banyak. Alya menjerit-jerit tapi Pak Bejo tetap melaksanakan niatnya. Setelah dirasa cukup melumasi, Pak Bejo menarik jarinya keluar.

“Membungkuk! Ayo cepetan! Lelet amat sih?” maki Pak Bejo. “Naikkan pantatmu tinggi-tinggi! Aku ingin memerawani lubang anusmu!”

Walaupun hatinya menolak, tapi Alya sangat ketakutan. Apa yang harus dilakukannya? Apakah dia harus menyerahkan lubang anusnya pada pria tua yang sangat bejat ini? Tidak ada jalan lain. Alya menurut dan membungkuk. Dia mengangkat pantatnya yang bulat dan mulus tepat di hadapan Pak Bejo. Alya bisa merasakan penis Pak Bejo dieluskan di tengah-tengah pantatnya. Wanita cantik itu melelehkan air mata saat ujung kontol Pak Bejo ditempelkan di bibir anusnya. Pak Bejo memejamkan mata dan menikmati saat-saat terindah hidupnya ini. Sudah saatnya. Dia memeluk tubuh Alya.

“Masukkan ke dalam!” desis Pak Bejo. Dengan tangan bergetar Alya meraih kontol besar pria tua bejat yang sedang memeluknya.

Alya memejamkan mata dan menahan nafas saat Pak Bejo meraih pinggangnya dan menarik tubuhnya ke belakang. Alya menggunakan perasaannya dan membimbing kontol besar Pak Bejo di bibir duburnya yang sempit dan kecil. Alya bisa merasakan penis yang besar dan tegang seperti sebatang kayu itu melesak ke dalam, ujung gundulnya mendesak masuk ke liang terlarang Alya dan memerawani anusnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Alya mengijinkan seorang lelaki melesakkan penis ke dalam lubang duburnya.

Saat rasa sakit mulai menguasai Alya, wanita cantik itu sadar kontol Pak Bejo tidak akan muat masuk ke dalam anusnya. Tidak akan cukup! Pak Bejo menggeram dan menusuk lubang anus Alya dengan tenaga ekstra.

Alya menjerit. Seandainya ada warga sekitar yang masih terbangun saat itu pasti mereka mendengar jerit kengerian Alya. Ibu muda yang cantik itu menggeliat dengan panik dan berusaha menarik diri dari desakan penis Pak Bejo. Tapi pria tua yang sudah bernafsu itu tidak membiarkannya pergi dan memegang tubuh Alya erat-erat. Alya tidak bisa melepaskan diri dari pelukan Pak Bejo.

“Ampuuuun!! Sakiiiit!! Sakit sekaliiiii!! Terlalu besaaar!! Jangaaan!! Hentikaaan!! Bisa robeeek!!” teriak Alya yang tersiksa. Dia sudah tidak peduli lagi seandainya ada orang yang bisa mendengarkan teriakannya. Ia tak tahan lagi pada rasa sakit yang dideritanya. “Hentikaaaan!! Ampuuuuuuuun!!”

Tapi Pak Bejo tidak mengindahkan teriakan Alya. Dia terus saja mendorong penisnya maju tanpa belas kasihan sambil menarik pinggul indah ibu muda yang molek itu. Pak Bejo melesakkan kemaluannya makin dalam ke dalam lubang mungil yang berada di tengah pantat Alya. Anus Alya belum pernah dilesaki penis sepanjang hidupnya, inilah pertama kali dia merelakan lubang pengeluarannya dijadikan alat pemuas nafsu.

“Dorong ke belakang! Dorong ke belakang!!” suara Pak Bejo terdengar parau. “Goyang bokongmu! Dorong ke belakang! Pasti bisa masuk!”

Alya sudah tidak bisa lagi berpikir jernih. Dia hanya bisa merasakan rasa sakit yang tak tertahankan yang menembus sampai ke tulang sumsum. Rasa nyeri yang ia rasakan membenamkan seluruh kesadaran Alya hingga dia tidak ingat apa-apa lagi. Seakan-akan ada sebatang kayu besar yang ditusukkan ke dalam anusnya.

“Ayo! Dorong ke belakang! Terus! Dorong bokongmu ke belakang!” bentak Pak Bejo dengan penuh emosi, keringat sebesar jagung memenuhi alisnya yang tebal.

Alya mendorong, menggeliatkan badan dan mundur ke belakang. Dengan hati-hati dia mencoba membuka lubang anusnya agar penis Pak Bejo bisa masuk dan memerawani lubang pembuangannya. Alya menjerit-jerit kesakitan tapi Pak Bejo menutup mulutnya dengan tangan, sehingga ibu muda yang cantik itu hanya bisa memendam rasa sakit yang dirasakannya. Alya menggelengkan kepala kesana-kemari dengan panik saat perlahan-lahan batang kemaluan Pak Bejo masuk ke dalam lubang yang sempit itu. Alya terus saja memberontak, tapi eratnya kuncian Pak Bejo membuat istri Hendra itu tidak bisa berbuat banyak. Alya bisa merasakan lubang anusnya yang sempit sobek ketika penis Pak Bejo masuk.

“Hyarrrrgghhh!!” lenguh Alya kesakitan saat pinggul Pak Bejo menghantam pantatnya yang bulat. Bukan hantaman itu yang menyakitkan, melainkan desakan kontol pria tua bejat yang kini tengah menyumpal lubang anusnya. Alya bisa mendengar suara lengkingan Pak Bejo yang sangat bernafsu mengeluarmasukkan penis ke dalam duburnya.

Akhirnya, detik demi detik berlalu dan rasa sakit yang tadinya merajai anus Alya perlahan menghilang. Kini, anus Alya malah terangsang oleh penis Pak Bejo yang masih memenuhi liang pembuangannya. Alya mengatupkan gigi dengan erat sementara kepalanya terombang ambing dari kanan ke kiri. Rambutnya yang sebahu acak-acakan dan menutupi hampir seluruh wajahnya. Alya melenguh keras saat Pak Bejo terus melesakkan penisnya ke dalam anus Alya berulang-ulang, lagi dan lagi dan lagi dan lagi… Alya telah berhasil disodomi Pak Bejo.

Perlahan-lahan kesadaran mulai menyeruak di benak sang ibu muda yang cantik itu. Dia mulai sadar apa yang telah dilakukan Pak Bejo pada dirinya. Alya telah direndahkan derajatnya hingga titik yang paling nista. Wanita yang tadinya alim dan setia itu kini telah terjerembab ke jurang yang paling dasar. Tidak seharusnya wanita semulia Alya mendapatkan perlakuan yang busuk dan cabul seperti yang telah dilakukan Pak Bejo. Pria bejat itu telah memanfaatkan ketidakberdayaan wanita seperti Alya dan rasa malu yang amat sangat membuat istri Hendra itu hanya bisa menangis tersedu-sedu. Rasa bersalah, jijik dan malu silih berganti menaungi kesadaran Alya, namun rasa nikmat yang dirasakan di lubang duburnya membuat ibu muda itu mulai menyukai perlakuan Pak Bejo ini.

Tanpa kekuatan untuk menguasai diri sendiri dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, membuat Alya pasrah dan menyerah pada gairah seksual yang semakin menguasai tubuh dan perasaannya. Alya mulai bergerak menumbuk ke belakang dan menerima kontol Pak Bejo di dalam anusnya. Gerakan mereka berdua mulai seirama, sodokan demi sodokan yang dilancarkan Pak Bejo dibalas oleh gerakan mundur Alya yang menghentak. Penis Pa k Bejo makin lama makin melesak ke dalam. Permainan cinta mereka telah melewati ambang batas yang baru.

Keringat yang menetes deras membuat dahi Pak Bejo basah kuyup, namun pria tua itu memaksakan diri mencapai kenikmatan yang didapatkan terutama karena sempitnya lubang dubur Alya yang terus menerus digenjotnya. Pak Bejo kagum dengan bibir anus Alya yang mungil dan ketat yang meremas-remas penisnya yang keluar masuk dengan cepat. Senyumnya makin melebar saat merasakan kantong kemaluannya menumbuk bibir vagina Alya tiap kali dia menyodokkan kontolnya ke dalam anus wanita jelita itu. Pak Bejo menatap bangga penisnya yang keriput dan gemuk saat batang kemaluannya itu masuk ke dalam celah di antara pantat putih mulus Alya dan lenyap masuk ke dalam lubang anusnya.

Sempitnya lubang anus Alya memang tidak bisa mengalahkan nikmatnya menyetubuhi memek ibu muda yang cantik itu, tapi tiap kali melesakkan kontolnya, seakan Pak Bejo memasukkan penis ke dalam mesin penggiling daging. Perlahan-lahan pria tua itu bisa merasakan makin meningkatnya simpanan sperma yang menggunung dan siap meluncur kapan saja. Alya melenguh, menggila, meronta dan kebingungan. Wajahnya yang cantik memerah dan bola matanya bergerak naik turun seperti sedang kesurupan semetara keringat deras membanjir di seluruh tubuhnya. Alya sedang mengalami pengalaman luar biasa.

Alya mengembik seperti seekor kambing muda di bawah pelukan Pak Bejo. Teriakannya tercekat dan seluruh tubuhnya dipasrahkan kepada lelaki tua yang lebih pantas menjadi ayahnya itu. Alya hanya bisa mengembik dan melenguh penuh nafsu. “Eungh, Pak Bejo! Pak Bejoooo!! Eunghhh!! Ahh! Ahh! Ahh! Ahh!”

Seluruh desahan yang keluar dari bibir merah Alya membuat Pak Bejo Suharso makin bersemangat. Tiap sodokan membawa Pak Bejo selangkah menuju kepuasan seksual yang prima. Pak Bejo menarik penisnya sampai ke ujung dan menikmati pemandangan di bawah pantat Alya. Anus Alya yang elastis dan sempit itu mengerut di ujung gundul kepala penisnya, Pak Bejo sengaja membiarkan ujung gundul itu tertinggal di dalam liang. Dengan satu sodokan yang mantap, Pak Bejo melesakkan lagi seluruh batang pelirnya. Alya mendesah manja karena kenikmatan yang dirasakannya. Pak Bejo menumbuk lagi lubang anusnya dan menarik tubuh indah ibu muda yang cantik itu ke belakang. Berulang-ulang Pak Bejo menyodomi Alya. Sempitnya anus mungil Alya membuat Pak Bejo seakan sedang memerawani memek seorang gadis berusia belasan tahun. Nikmatnya luar biasa.

Pak Bejo membelalakkan mata. Spermanya sudah mulai terkumpul di ujung gundul kepala penisnya dan setiap saat bisa meledak. Tubuh pak tua yang mesum itu tersentak-sentak merasakan kenikmatan luar biasa yang disediakan oleh lubang di pantat Alya. Pria tua itu mendorong penisnya ke dalam sekali lagi, dia juga menarik pantat Alya agar penisnya bisa masuk lebih dalam lagi. Rapatnya anus Alya membuat Pak Bejo merem melek keenakan. Tinggal sekali sentakan lagi, Pak Bejo akan mencapai orgasme.

“Argh! Aku mau keluar! Dorong ke belakang! Dorong pantatmu ke belakang! Lagi! Lagi! Lagi! Argh!!” Pak Bejo berteriak-teriak dan memejamkan mata penuh kenikmatan.

Alya yang berada dalam pelukan Pak Bejo untuk pertama kali sepanjang hidup akhirnya merasakan semprotan cairan sperma yang berwarna putih dan lengket memenuhi lubang anusnya. Semprotan mani Pak Bejo menyiram bagian dalam saluran pembuangan Alya bagaikan banjir besar yang mengantarkan kedua orang yang sedang bercinta itu ke titik klimaks persetubuhan mereka. Klimaks kedua Alya ini membuatnya menjerit lega, ia melepaskan gairahnya ke awang-awang. Alya bisa merasakan air mani Pak Bejo yang membanjiri lubang anusnya menetes ke bawah ke bibir memeknya.

Pak Bejo menggeram dan jatuh sambil memeluk tubuh telanjang Alya, mengunci tubuh indah itu di atas tikar dengan berat badannya sendiri. Pak Bejo melenguh puas. “Hebat! Itu tadi luar biasa! Memekmu memang masih sempit dan enak sekali dientoti, tapi lubang anusmu yang masih perawan itu luar biasa nikmatnya! Lezat! Ha ha ha! Aku puas sekali menjadi orang yang pertama kali memerawani bokong wanita secantik Mbak Alya! Ha ha ha!”

Di bawah tubuh Pak Bejo, sosok indah Alya bergetar karena perasaannya sangat kacau. Nikmat sekaligus menyakitkan. Ibu muda itu bingung dengan perasaannya sendiri. Ya Tuhan, apa yang telah dilakukannya dengan pria hidung belang ini? Dia telah menyerahkan lubang anus yang bahkan belum pernah disentuh oleh suaminya sendiri pada Pak Bejo. Kini tidak ada lagi lubang yang tersisa dari tubuhnya yang belum pernah dilesaki kontol pria tua itu. Isak tangisnya tertahan karena takut pada Pak Bejo.

Perasaan malu dan kotor menyergap Alya. Wajahnya memerah karena dia tidak bisa melawan nafsu bejat tetangganya yang menjijikkan ini. Tubuh Alya bergerak mencoba melepaskan diri, tapi pelukan Pak Bejo terlalu erat.

“Ijinkan aku istirahat, Pak Bejo… aku harus bekerja besok pagi…”

Pak Bejo bersungut-sungut. Tapi pria tua itu melepaskan pelukannya dari tubuh indah Alya. Penisnya mulai mengecil dan ditariknya keluar dari anus Alya. Terdengar bunyi letupan kecil saat kontol Pak Bejo ditarik keluar dari dalam dubur Alya yang menyempit.

Tubuh telanjang kedua sosok manusia berbeda jenis dan bertautan usia hampir 30 tahun itu berpelukan di tengah dinginnya udara malam. Keduanya lemas setelah bersetubuh di pagi ini. Pak Bejo merasa di puncak kebahagiaan karena ia mendapatkan kesempatan meniduri istri Hendra yang muda dan segar ini. Sedangkan bagi Alya, sekali lagi dia merasa malu dan bersalah baik kepada dirinya sendiri maupun pada keluarganya. Inilah dia, seorang istri yang tadinya setia dan alim dalam pelukan seorang laki-laki tua yang hanya menginginkan tubuhnya.

“Sana pulang.” bisik Pak Bejo sambil mengelamuti daun telinga Alya. “Aku puas sekali malam ini. Sayang sekali besok pagi kamu harus masuk ke kantor.”

“Iya, aku harus bekerja besok pagi.”, Alya mendongak dan menatap mata Pak Bejo dalam-dalam. Inilah saatnya menyampaikan isi hatinya. “Pak Bejo, ini tidak bisa diteruskan. Aku istri sah Hendra. Apa yang kita lakukan adalah perbuatan yang salah dan sangat terkutuk. Ijinkan aku pulang dan melupakan semua ini pernah terjadi. Biarlah yang sudah berlalu kita lupakan. Aku tidak akan melaporkan kepada siapapun tentang perkosaan yang dilakukan Pak Bejo kepadaku, tapi kumohon dengan sangat, Pak. Inilah terakhir kali Pak Bejo menyentuhku.”

“Enak saja! Kapan saja aku pengen, kamu akan aku entoti! Awas, kalau sampai kamu lapor pada orang lain! Kuhajar kamu! Kubunuh anakmu! Tidak usah banyak tingkah! Pulang dan tidur! Besok kita ngentot lagi!” Pak Bejo dengan kasar melempar tubuh Alya yang sudah dinikmatinya ke samping. Bandot tua itu segera mengambil celana dan bajunya lalu memakainya tanpa mempedulikan Alya yang masih telanjang bulat.

Tak lama kemudian, Pak Bejo yang sudah berpakaian kembali meninggalkan ibu muda yang cantik itu sendirian di dalam pos kamling.

Air mata menetes deras di pelupuk mata Alya. Kisahnya masih jauh dari usai.



Dasar panjang umur, pria tua busuk itu tiba-tiba saja muncul dan berdiri di samping Lidya.

“Aku pengen jalan-jalan ke mall, Nduk.”

Lidya meneguk ludah, dia diam saja dan pura-pura tidak mendengar. Biasanya Pak Hasan akan pergi selama berjam-jam dan Lidya terbebas darinya. Pria tua itu biasanya pergi begitu saja tanpa pamit, entah kenapa hari ini dia pamit pada Lidya. Karena perasaannya masih kacau balau, Lidya diam membisu.

Tidak mendapat tanggapan dari Lidya membuat marah Pak Hasan. Dengan geram Pak Hasan mendekati menantunya yang sedang membaca. Tabloid wanita yang sedang dipegang Lidya disambar Pak Hasan dengan kasar sampai jatuh berserakan di lantai.

“Kamu dengar tidak? Aku mau mengajak kamu jalan-jalan ke mall!”

Ajakan Pak Hasan pada Lidya itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Ke mall? Apa lagi yang diinginkan kali ini?

“Ke mall?” tanya Lidya sambil merapikan rambutnya yang jatuh ke kening. “Ngapain kita jalan-jalan ke mall? Kebutuhan dapur dan yang lain masih ada. Besok lusa Mas Andi juga sudah pulang… kita tidak perlu…”

Wajah Pak Hasan memerah menandakan kemarahannya makin lama makin memuncak.

Pak Hasan menarik tubuh Lidya dan memeluknya dengan kasar. “Justru karena besok lusa Andi sudah pulang, aku mau menikmati saat-saat terakhir bersamamu, Nduk! Aku tidak ingin menyakitimu lagi, jadi sebaiknya kau turuti semua permintaanku tanpa mengeluh, atau aku akan berubah pikiran! Hari ini kita mulai dengan jalan-jalan ke mall karena aku pengen memamerkan menantuku yang cantik jelita pada orang-orang sekota.”

Pak Hasan mencium bibir Lidya dengan kasar bahkan menggigitnya sampai menantunya itu kesakitan. Akhirnya setelah Lidya meronta-ronta, Pak Hasan melepaskannya. “Aku juga tidak suka kamu bertanya padaku dengan sinis! Lain kali pikir dulu sebelum mengajukan pertanyaan!”

Lidya yang sudah lepas dari pelukan Pak Hasan meringkuk di sofa dan menundukkan kepala, dia sangat ketakutan sampai-sampai tubuhnya bergetar. “Aku minta ma-…”

“Maaf? Sudah seharusnya!” dengan sombong Pak Hasan memalingkan muka dan duduk di sofa. “Ganti pakaianmu, dandan yang cantik! Aku menunggu di sini, jangan lupa bawa uang yang banyak dan kartu kredit. Siapa tahu aku ingin belanja-belanja.”

Lidya melangkah lemas ke kamar atas, entah apa lagi maksud Pak Hasan.

###

Paidi Sutrisno bukanlah orang yang beruntung. Di usianya yang sudah mencapai angka 55, pria tua ini masih hidup berkekurangan. Masa mudanya yang suram membuatnya sering keluar masuk penjara, dia bahkan sangat terkenal sebagai preman pasar dengan sebutan Paidi Tatto, tentunya karena tatto gambar wanita bugil yang menghias sebagian besar punggungnya. Karena kehidupannya yang keras, Paidi diceraikan oleh istrinya dan bekerja sebagai penjaga pintu sarang PSK. Hanya sebentar bekerja di sana, Paidi terlibat perkelahian dengan seorang pelanggan. Hal ini menyebabkan Paidi kembali masuk penjara.

Saat terakhir di penjara, Paidi berkenalan dengan seorang mantan dosen yang berasal dari keluarga baik-baik dan dipenjara entah karena masalah apa. Pria itu memberikan ilmu pengetahuan dan mengajarkan banyak hal pada Paidi. Berkat orang ini pulalah Paidi berani menghapus semua tatto di tubuhnya walaupun akhirnya meninggalkan bekas luka permanen di kulit punggungnya. Punggung Paidi yang tadinya bergambar seorang wanita cantik berubah menjadi kulit carut marut. Kemahiran Paidi berlipat ganda berkat pengetahuan yang diberikan oleh pria itu.

Setelah keluar bui untuk yang terakhir kalinya di usia 45, Paidi ternyata tak kunjung bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Entah karena sejarahnya yang buruk atau karena pengaruh krisis ekonomi. Di jaman seperti sekarang ini, sangat susah mencari pekerjaan yang halal dengan mudah. Apalagi Paidi tidak memiliki modal besar dan wajahpun tidak menunjang, codet besar bekas luka menghias wajahnya sehingga banyak perusahaan menolak memperkerjakannya.

Akhirnya, Paidi mengerjakan apa yang bisa dia kerjakan. Paidi memperoleh modal kecil dari temannya dan berjualan bakso keliling. Paidi Tatto kini berubah menjadi Paidi tukang bakso.

Tubuh Paidi yang dulu gagah dan tegap kini kurus kering dan hitam legam terbakar matahari. Wajahnya yang dulu bersih kini menjadi kurus dan kasar, kulitnya tipis dan tulangnya terlihat menonjol di seluruh badan. Paidi sadar masa-masa keemasannya sebagai preman sudah sirna dan kini dia berniat melakukan yang terbaik yang dia bisa untuk membalas kebaikan sahabat yang telah memberinya pengetahuan dan modal berjualan bakso. Demi mencari nasi untuk sekedar mengisi perut, Paidi menjalankan pekerjaannya tanpa mengeluh. Tapi, sesungguhnya tidak semudah itu Paidi berubah menjadi orang baik, dia masih seorang pria oportunis yang menghalalkan segala cara, dalam hatinya dia masih seorang penjahat.

Hidup Paidi akan segera berubah.

Beberapa malam yang lalu, Paidi baru saja pulang dari nongkrong di warung kopi yang buka sampai jam dua pagi. Paidi sengaja lewat jalan komplek yang sepi karena ada jalan tikus yang bisa lebih cepat sampai ke pasar di seberang komplek. Paidi memang biasa begadang, jam dua minum kopi, lalu pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk bakso, dan paginya keliling lagi. Pasar di seberang komplek memang sudah buka sejak jam empat pagi dan biasanya pembeli yang datang jam segitu akan mendapatkan potongan harga yang lumayan langsung dari distributor, apalagi barangnya masih segar dan fresh.

Malam itu, entah kenapa Paidi memilih untuk beristirahat sebentar di pojok pengkolan jalan di dekat pos kamling. Kebetulan tempat Paidi beristirahat agak pojok dan terlindung oleh bayangan. Jadi siapapun yang melintas jalan akan terlihat oleh Paidi, namun sebaliknya, orang itu tidak akan melihat si tukang bakso.

Paidi tidak akan pernah melupakan pemandangan indah yang lewat di depannya.

Malam itu, Paidi melihat seorang bidadari berjalan terburu-buru menuju ke pos kamling. Bidadari dalam balutan daster tembus pandang. Rambutnya sebahu, kulitnya putih mulus, hidungnya mancung, dadanya membusung dan pantatnya bulat menggemaskan. Entah kenapa bidadari itu seperti ketakutan dan kebingungan.

Malam itu, Paidi memergoki Alya sedang menemui Pak Bejo.

###

Mall yang dituju taksi yang ditumpangi oleh Lidya dan Pak Hasan berada di tengah kota. Sejak berangkat dari rumah sampai ke lokasi, Pak Hasan lebih banyak diam. Untunglah Pak Hasan tidak turut campur mendikte pakaian yang akan dipakai Lidya sehingga dia bisa pergi menggunakan baju yang lumayan sopan. Lidya mengenakan rok mini selutut dan baju yang tidak terlalu ketat. Walaupun berpenampilan seadanya, Lidya masih tetap terlihat cantik mempesona.

Walaupun mulutnya terdiam, tapi tangan Pak Hasan masih tetap beraksi. Duduk berdampingan dengan Lidya di kursi belakang, Pak Hasan dengan nakal mengelus-elus kaki menantunya itu dengan santai. Berulang kali Lidya merasa tidak enak karena melihat mata sang sopir melirik ke belakang menggunakan kaca.

Bahkan Pak Hasan kadang nekat membelai paha Lidya yang mulus atau sesekali meremas payudaranya. Wanita cantik itu sudah memperingatkan mertuanya agar tidak nekat karena sang sopir bisa melihat mereka. Tapi Pak Hasan hanya tersenyum. Beberapa kali suara sang sopir meneguk ludah bisa terdengar dari belakang.

Akhirnya setelah menempuh jarak cukup jauh, Pak Hasan dan Lidya sampai di pusat pertokoan yang dituju. Ketika Lidya hendak membuka dompet untuk membayar taksi, Pak Hasan menggeleng. Dia melirik ke arah argo dan memberikan uang dari kantong celananya.

Sang sopir melongo melihat uang pemberian Pak Hasan. “Wah, gak salah nih, Pak? Duitnya kurang dong! Argonya aja segitu, masa bayarnya cuma segini? Yang bener aja!” Wajah sang sopir memerah karena merasa dipermainkan.

“Ini, ada kok…” Lidya kembali hendak membuka dompet. Tapi tangannya diremas Pak Hasan yang langsung menggeleng dan melotot galak, Lidyapun mengurungkan niatnya. Kenapa lagi Pak Hasan ini? Mau cari perkara dengan sopir taksi? Keringat mulai menetes di dahi istri Andi itu.

“Menurut mas sopir, menantu saya ini cantik tidak?” tanya Pak Hasan tiba-tiba. Lidya langsung mengernyitkan dahi, perasaannya tidak enak.

Sang sopir meneguk ludah. Pandangannya beralih ke arah Lidya. Bagaikan seekor macan yang siap menerkam mangsa, dia memperhatikan Lidya dari atas ke bawah. “Gila, kirain tadi ini istrinya, soalnya mesra banget, ternyata menantunya ya?”

“Menantu saya ini orangnya sangat pengertian dan baik. Dia senang kalau bisa menghibur orang lain yang kesusahan, contohnya saya ini, saya sudah lama jadi duda. Jadi bagaimana menurut mas, menantu saya cantik tidak?” Pak Hasan mengulang pertanyaannya.

Lidya merasa jengah mendengar percakapan dua orang ini, apalagi sang sopir kemudian memandang ke arahnya dengan remeh dan tersenyum menjijikkan.

“Wah, Pak! Bukan cantik lagi namanya kalau yang seperti ini!” jawab sang sopir taksi, “Cuantikkk!! Kayak bintang sinetron!”

“Bagaimana pendapat mas tentang tubuhnya, bagus tidak?” tanya Pak Hasan lagi. Lidya sudah bersiap keluar dari taksi tapi ditahan oleh Pak Hasan.

“Seksi, Pak!”

“Baiklah, bagaimana kalau untuk membayar kekurangan saya tadi, saya tawarkan bibir menantu saya ini? Masnya boleh mencium dia selama satu menit plus meremas susunya selama itu pula. Bagaimana?” tanya Pak Hasan.

Sopir itu melongo.

Tubuh Lidya langsung lemas. Dia tidak menyangka Pak Hasan akan menggunakan dirinya sebagai alat pembayaran. Geram sekali rasanya Lidya karena diperlakukan seperti pelacur hina oleh mertuanya sendiri. Tapi cengkraman tangan Pak Hasan yang tidak bisa dilepaskannya menyadarkannya akan satu hal, dia harus melakukan apapun perintah sang mertua, separah apapun perintahnya itu.

Sang sopir taksi yang bertubuh kurus dan berkulit gelap terbakar matahari kembali meneguk ludah. Gila, kalau begini caranya orang ini membayar, bisa kurang nanti duit setoran ke bos, tapi kapan lagi dia bisa mencium orang secantik bidadari? Walaupun cuma semenit, tapi bibir Lidya yang ranum itu membuatnya sangat nafsu, belum dekat dengannya saja si otong yang di bawah sudah ngaceng, apalagi kalau boleh mencium, wah, asoy sekali. Bininya di rumah jelas kalah jauh. Hatinya bimbang, tapi nafsu akhirnya mengalahkan akal sehat sang sopir.

Lidya makin merasa tertampar saat melihat sopir berwajah ketus itu mengangguk sambil cengengesan. “Bolehlah, Pak. Sekali ini saja. Kapan lagi saya bisa ngerasain yang begini?”

Pak Hasan tersenyum. “Silahkan mas sopir pindah ke kursi belakang, saya yang akan menghitung waktunya.”

Buru-buru sopir itu pindah ke belakang dan duduk di samping Lidya.

“Pak, aku…” Lidya mencoba memprotes.

Pak Hasan kembali mencengkeram lengan Lidya. Tidak ada gunanya melawan pria tua yang busuk ini, Lidyapun menunduk pasrah.

Sang sopir tidak membuang waktu, begitu Pak Hasan mengangguk memberi ijin sambil memegang erat tubuh Lidya yang sudah siap meronta, dia langsung mencium bibir Lidya. Lidya memejamkan mata karena tidak tahan melihat wajah sopir taksi yang sudah mupeng abis, mulutnya yang terkatup perlahan-lahan dibuka karena ia takut Pak Hasan akan menyakitinya seandainya ia menolak membalas ciuman sang sopir.

Awalnya mereka berciuman dengan lembut, bibir sang sopir yang sudah basah dan bau rokok membelai bibir Lidya yang ranum dan membasahinya pelan-pelan. Lalu pria itu menghisap lembut bibir bawah Lidya sebelum akhirnya benar-benar menangkupkan seluruh bibirnya ke bibir Lidya. Menantu Pak Hasan itu melenguh kesakitan saat kemudian sang sopir meremas buah dadanya dengan kasar dan penuh nafsu. Karena ukuran buah dada Lidya lebih besar dari milik istrinya, sang sopir makin bernafsu, remasan tangan sang sopir makin lama makin cepat.

Lenguhan Lidya membuat mulutnya terbuka, sang sopir menyorongkan lidahnya masuk ke mulut menantu Pak Hasan yang cantik itu. Lidah sang sopir bertemu dengan lidah Lidya dan keduanya bertautan. Perasaan takut mengkhianati suami dan rasa bersalah yang menebal malah membuat Lidya makin pasrah. Dia sudah tidak tahu lagi mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang tidak. Bibirnya selalu menjadi milik Andi sang suami, tapi kini, mertuanya dan bahkan seorang sopir taksi tak dikenal telah mencicipi keranuman bibir Lidya.

Pak Hasan tersenyum kegirangan melihat menantunya kembali melenguh, jelas sekali kalau Lidya lama kelamaan terangsang juga walaupun pada awalnya menolak mati-matian. Dengan sengaja Pak Hasan memberikan kesempatan pada sang sopir untuk menikmati bibir Lidya lebih dari satu menit yang dijanjikan. Dari tonjolan besar di selangkangan, terlihat jelas sopir itu pasti sudah ngaceng sedari tadi, Pak Hasan terkekeh melihatnya.

Ciuman Lidya dan sang sopir taksi berakhir saat Pak Hasan menepuk pundak sang sopir. “Oke, mas. Sudah satu menit lebih dua puluh detik”. Kata Pak Hasan sambil menunjuk jam digital di dashboard taksi. “Yang dua puluh detik aku hitung bonus.”

Sopir taksi itu mengangguk puas. “Wah, bapak beruntung sekali punya menantu seperti ini, dicium semenit aja udah bikin blingsatan! Apalagi kalau dipake!”

Sambil mengucapkan terima kasih, Pak Hasan dan Lidya keluar dari taksi dan masuk ke dalam mall. Sopir taksi itu tidak bisa melepaskan pandangan dari Lidya, sayangnya, beberapa saat kemudian ada seorang penumpang masuk sehingga dia harus segera pergi Entah kapan lagi dia bisa berjumpa dengan si cantik itu, mungkin inilah yang dinamakan pengalaman sekali seumur hidup. Sopir itu menggelengkan kepala mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi dan membawa penumpangnya meninggalkan mall.

###

Anissa Wibisono merasakan kegembiraan yang meluap-luap seakan meledak di dalam dadanya. Tunangannya, Dodit Darmawan masih berada di belakang setir mobil saat Toyota Avanza hitam yang mereka naiki mulai memasuki jalan menuju komplek perumahan yang cukup terkenal di daerah pinggiran kota. Pepohonan yang rindang dan sejuk menyambut mobil yang menggelinding dengan lembut di jalan yang sepi. Anissa melirik ke arah Dodit dan mencubit paha tunangannya dengan genit. Dodit melirik ke arah Anissa dan tersenyum penuh rasa sayang.

Dodit sebenarnya agak ragu berkunjung ke rumah kakak Anissa, mereka belum terlalu akrab sehingga dia khawatir kunjungannya akan mengganggu kegiatan keluarga Mas Hendra. Tapi karena Mas Hendra ditunjuk sebagai calon wali dari Anissa kelak di pernikahan mereka, Dodit mau tidak mau harus mengakrabkan diri dengan Mas Hendra dan Mbak Alya, dalam hatinya yang paling dalam Dodit berpikir mungkin akan jauh lebih mudah mendekati putri kecil mereka, Opi.

Baru beberapa bulan bertunangan setelah hampir dua tahun pacaran membuat pasangan Anissa dan Dodit kembali hot. Dodit yang juga senior Anissa di kampus sudah lulus tahun lalu dan sekarang magang di sebuah perusahaan swasta. Tahun ini Anissa juga dipastikan akan lulus dan pernikahan yang sudah mereka nanti-nantikan akan segera menjadi kenyataan.

Anissa sangat mengagumi Dodit dan bisa berkunjung ke rumah Mas Hendra dan Mbak Alya bersama tunangannya tercinta sudah menjadi keinginannya sejak lama. Karena kesibukannya, Mas Hendra sempat menengok rumah lama. Atas perintah ibunya, Anissa dan Dodit diminta berkunjung dan menginap selama akhir pekan di rumah Hendra agar mereka bisa lebih akrab.

Dodit sedikit grogi, walaupun sudah bertunangan dengan Anissa, dia masih grogi kalau disuruh bertemu dengan keluarganya, apalagi weekend ini mereka berdua diminta menginap di rumah Mas Hendra. Berulang kali Dodit melirik ke arah spion untuk memperhatikan penampilannya.

“Kamu ganteng kok, sayang.” Kata Anissa sambil membenahi make-upnya sendiri. “Tampan, seperti biasa.”

Wajah Dodit memang cukup lumayan, dia pantas bersanding dengan Anissa yang cantik dan menggairahkan. Walaupun masih muda dan tidak memiliki perawatan khusus, tapi tubuh Anissa benar-benar indah dan menggiurkan. Didukung wajah cantik melankolis, kulit putih mulus, buah dada menggunung dan rambut panjang sepunggung, penampilan gadis ini sangat sempurna.

Dodit tertawa mendengar sindiran Anissa. “Ah, kamu ini. Aku kan grogi, say. Ini pertama kali aku menginap di tempat Mas Hendra. Aku harus tampil serapi mungkin. Takut tidak direstui nantinya…”

Anissa tersenyum manis dan dengan rasa sayang membelai rambut Dodit. “Jangan khawatir, sayang. Mas Hendra dan Mbak Alya pasti akan menyukaimu. Mudah-mudahan kamu juga bisa menyukai mereka.”

“Ah, sudah jelas aku menyukai mereka. Kakakmu orangnya baik hati walaupun sedikit pendiam. Mbak Alya apalagi, sangat ramah dan baik hati, cantik pula,” Dodit merapikan kemejanya yang berkerut, “tapi menurutku yang paling enak diajak ngobrol sebenarnya si Opi. Aku sudah kangen ingin menemuinya.”

Anissa tertawa. “Opi memang lucu, menggemaskan sekali. Aku juga sudah kangen.”

Mobil mereka melaju melewati sebuah komplek pemakaman.

“Tapi dengar-dengar, lokasi komplek perumahan ini cukup seram lho. Aku dengar dari beberapa orang teman, katanya di tempat ini banyak setannya.” Kata Dodit dengan sengaja menakut-nakuti tunangannya yang jelita, tentunya dia hanya bohong belaka. “Kalau tidak tahan, boleh tidur seranjang denganku nanti malam.”

“Ha ha! Dasar otak mesum! Aku tidak mudah kau takut-takuti seperti itu!” Anissa tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Dodit, dengan manja gadis itu menggelayut di samping Dodit. “Biarpun ada suster ngesot dan hantu jeruk purut, aku punya pahlawan perkasa di sampingku!”

Dodit tersenyum sipu, wajahnya memerah tapi dia meneruskan godaannya, “Kalau tidak salah dengar pula, informasi ini berasal dari sumber yang bisa dipercaya lho, kabarnya ada hantu cabul yang hobi memangsa anak perawan orang!”

Dengan manja Anissa memukuli pundak tunangannya. “Udah ah! Bercandanya nggak asyik! Mas Dodit jahat! Aku nanti nggak bisa tidur!”

“Kamu kan masih perawan, say. Kalau aku jadi kamu… hmmm…” Dodit tersenyum sok ngeri. “aku akan lebih berhati-hati nanti malam… lebih baik aku tidur minta ditemani Mbak Alya atau… atau minta ditemani sama Mas Dodit tersayang! Ha ha ha!”

Anissa mencibir dan menjulurkan lidah, wajahnya yang malu memerah, makin manis saja gadis ini. “Huh, itu kan maunya Mas Dodit! Dasar otak mesum!”

Entah kenapa, ada angin dingin yang bersemilir di udara dan menghembuskan udara dingin di tengkuk Anissa dan Dodit. Perasaan mereka menjadi tidak enak, seakan suatu hal yang buruk akan segera terjadi.

Tiba-tiba saja Dodit menghentikan mobilnya. Dia mengedip ke arah Anissa. “Kau tahu tidak, say. Kau terlihat sangat mempesona.”

###

Lokasi pusat pertokoan yang didatangi oleh Pak Hasan dan Lidya berada di tengah kota dan sangat ramai pengunjung. Hilir mudik orang berjalan keluar masuk toko. Pandangan Lidya masih kabur, entah karena pusing melihat banyaknya pengunjung mall atau perasaan jengahnya yang tidak juga mau hilang setelah mencium seorang sopir taksi yang tak dikenal. Dia merasa seperti seorang pelacur hina dan ini semua karena ulah ayah mertuanya yang bejat.

Pak Hasan menarik tangan Lidya dengan kasar memasuki sebuah toko baju yang cukup terkenal. Pria tua itu berkata, “Ayo, nduk. Kita cari baju yang lebih cocok untuk pelacur seperti kamu.”

Lidya menggeram kesal tapi tak bisa berbuat banyak, mertuanya memang benar-benar tidak tahu malu, berani-beraninya dia mengatainya pelacur, padahal ini semua ulahnya. Lidya hanya diam saja di pojok saat Pak Hasan berkeliling dan menarik beberapa lembar baju wanita, dia bahkan tidak malu saat mengambil beberapa helai pakaian dalam untuk Lidya. Beberapa orang SPG menatap heran pada pasangan aneh ini.

Akhirnya, Pak Hasan menarik lengan Lidya untuk ikut berkeliling bersamanya. “Aku akan memilihkan baju yang terbaik dan bisa membuatmu tampil seksi, nduk. Jangan khawatir, kau pasti akan terlihat sangat mempesona. Baju yang sekarang kamu pakai itu kesannya kuno, aku carikan yang baru.” Kata Pak Hasan.

Lidya melotot galak dan disambut cengiran cabul sang mertua. Setelah mengikuti Pak Hasan berkeliling dan mengambil beberapa baju, akhirnya Lidya digiring ke kamar ganti. Sekilas lihat Lidya langsung tahu jenis baju yang dipilih Pak Hasan, baju-baju yang hanya pantas dikenakan seorang pelacur. Bahkan menurut Lidya, pelacur yang paling menjijikkan sekalipun hanya berani mengenakan pakaian seperti itu saat sedang ‘menawarkan dagangannya’, sementara Lidya akan mengenakannya di dalam mall yang ramai pengunjung.

Lidya dan Pak Hasan masuk ke kamar ganti bersamaan. Lidya melirik ke arah Pak Hasan, dia berbalik ke arah mertuanya dan memandangnya heran, dalam hati Lidya bertanya-tanya kapan mertuanya itu akan keluar dari kamar ganti. Pak Hasan menggelengkan kepala. “Aku tetap di sini. Aku sudah pernah lihat kamu telanjang, apa salahnya melihatmu berganti pakaian? Tidak perlu pura-pura sok suci. Ayo cepat ganti!”

Dengan perlahan Lidya melucuti pakaiannya, walaupun air matanya sudah di ujung pelupuk karena merasakan pahitnya nasib yang ia alami, tapi wanita cantik itu berusaha menahan diri agar tidak menangis. Dia tidak mau Pak Hasan lebih marah lagi. Satu persatu pakaian yang dikenakan dilepasnya, sampai kemudian Lidya hanya mengenakan BH dan celana dalam.

“Kamu memang benar-benar seksi, nduk. Bapak bangga punya menantu seperti kamu.” Celoteh Pak Hasan. “Dilihat saja enak apalagi kalau ditiduri. Lezat sekali.”

Pak Hasan menatap tubuh Lidya untuk beberapa saat. Saat menantunya itu hendak mengambil pakaian, Pak Hasan menggeleng dan melarang. Pria tua itu mengambil sesuatu dari dalam tumpukan baju dan memberikannya pada Lidya, rupanya sebuah celana dalam yang sangat mungil, g-string.

Lidya menatap tak percaya celana dalam yang diberikan Pak Hasan padanya. Dia juga terheran akan dua hal. Satu adalah bagaimana mertuanya itu bisa tahu ukuran celana dalamnya dan yang kedua adalah ukuran celana g-string yang sekarang berada di tangannya. Bagaimana mungkin barang sekecil dan semungil itu bisa dipakai? Terlalu kecil untuk bisa menyembunyikan apa-apa. Celana itu bagaikan tali kecil yang hanya melingkar di selangkangannya.

“Cepat dipakai.” Desis Pak Hasan galak. Dia mencubit pantat Lidya sampai memerah. Lidya meringis kesakitan dan mengangguk.

Dengan malas Lidya melepaskan celana dalam krem yang dipakainya dan menggantinya dengan g-string. Ternyata celana kecil itu pas sekali, bisa dirasakannya temali celana g-string itu menggaris bibir kemaluannya. Hanya dengan mengenakan celana ini saja sudah bisa membuat Lidya sangat terangsang. Wajah Lidya memerah karena malu saat melihat Pak Hasan tersenyum cabul menatapnya di cermin.

“Masih ada yang kurang…” Pak Hasan memperhatikan tubuh menantunya yang hanya mengenakan BH dan celana dalam. “Lepaskan BHmu,” perintahnya kemudian, “dadamu itu bagus, nduk. Dada seperti itu seharusnya dibanggakan dan dipamerkan, bukannya malah disembunyikan di balik BH yang sesak.”

Belum sempat Lidya memprotes, Pak Hasan sudah melangkah ke belakang Lidya, pria tua itu dengan cekatan membuka kait di bagian belakang BH. Wajah Lidya memerah ketika BHnya jatuh ke lantai ruang ganti. Tanpa perlindungan BH, payudara Lidya yang ranum bergelantungan dengan erotis di dada wanita cantik itu.

Pak Hasan meraih ke tumpukan baju yang dibawanya dan mengambil sebuah rok mini berwarna hitam, dia memberikannya pada Lidya untuk segera dipakai. Lidyapun segera mengenakannya. Rok yang diberikan Pak Hasan itu adalah rok mini yang paling pendek yang pernah dipakai Lidya sepanjang hidupnya. Rok itu sama sekali tidak cocok dikenakan seorang wanita dengan kaki jenjang seperti Lidya, karena jika dia membungkuk sedikit saja maka orang-orang di belakangnya akan bisa mengintip isi roknya dengan jelas dan gratis padahal dia hanya mengenakan g-string tipis. Sementara bagian atas rok yang rendah akan membuat orang lain bisa menikmati bagian atas celana dalam yang dipakai Lidya dan celah pantatnya yang menggaris. Dia tidak akan bisa berdiri dengan nyaman.

Lidya mendesah. Dia hanya bisa pasrah, dalam situasi normal, dia hanya mau mengenakan pakaian seksi seperti ini di hadapan suaminya seorang. Tapi saat ini Lidya tidak sedang berada dalam situasi yang normal. Mertuanya yang bejat membuatnya tak bisa berbuat apa-apa kecuali menurut padanya.

Lidya menarik baju dari tumpukan pakaian pilihan Pak Hasan. Sebuah kemeja berwarna putih yang tipis. Tubuh Lidya bergetar ketakutan melihat pakaian yang dipilih Pak Hasan itu. Jika dia tidak diperbolehkan mengenakan BH, maka buah dadanya yang kencang dan besar akan terbentuk jelas di kemeja, bagian lehernya juga rendah sehingga akan mempertontonkan belahan dada Lidya, belum lagi puting susunya pasti akan menjulang maju ke depan. Kemeja itu membuat kemontokan dada Lidya bisa dinikmati oleh banyak orang. Dia akan semakin terlihat seperti seorang pelacur murahan. Dengan panik Lidya memilih baju lain dari tumpukan pakaian, ternyata semua sejenis, malah beberapa pakaian ada yang lebih parah lagi.

“Aku tidak bisa mengenakan baju ini.” Protes Lidya dengan keringat mengalir deras di dahinya. “Tidak mungkin aku bisa mengenakan pakaian seperti ini di luar sana. Pak, kumohon… kasihani aku… tolong, Pak! Carikan baju yang lebih pantas! Aku ini masih menantumu, Pak! Kumohon…”

“Itu baju bagus, nduk. Kenapa tidak mau? Kamu akan terlihat sangat mempesona.” Jawab Pak Hasan sambil menggeleng kepala menolak protes Lidya. “Kamu harus memakainya. Kalau tidak mau, aku akan membiarkanmu keliling mall tanpa menggunakan celana dalam. Pilih mana?”

Lidya tidak percaya ini semua terjadi, ini sudah keterlaluan! Mertuanya benar-benar sudah kehilangan akal sehat! Tidak saja dia sudah memperkosa Lidya, memukulinya, menggunakan bibir dan dadanya untuk membayar taksi, masih ditambah sekarang hendak mempermalukannya di depan orang banyak! Emosi wanita cantik itu memuncak dan wajahnya memerah, dia marah pada diri sendiri karena lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak sanggup menjalani ini semua. Bagaimana nanti seandainya ada orang yang dia kenal melihatnya berjalan-jalan dengan pakaian seperti ini? Atau bagaimana nanti seandainya Mbak Dina atau Mbak Alya melihatnya? Atau… atau…

“Aku tidak bisa melakukannya…” Lidya berbisik lirih.

Sayang Pak Hasan tak bergeming dan menatapnya galak. Tangannya mencengkeram lengan Lidya hingga terasa sakit sampai ke tulang. Tubuh Lidya bergetar ketakutan. Tidak mungkin ayah mertuanya itu begitu tega, tapi Pak Hasan tidak main-main. Istri Andi itu akhirnya pasrah dan hanya bisa menganggukkan kepala pertanda setuju. Ia mencoba mengenakan pakaian yang dipilih oleh sang ayah mertua.

Dalam sekejap, pakaian Lidya sudah berganti. Pak Hasan memasukkan pakaian yang tadinya dikenakan oleh Lidya ke dalam tas plastik. Saat sudah menggunakan pakaian ala pelacur ini, barulah Lidya sadar susahnya berjalan tanpa mempertontonkan bagian tubuhnya yang mulus. Dia harus berhati-hati agar tidak mengangkat kaki terlalu tinggi atau membungkuk terlalu dalam karena bagian pantatnya yang hanya mengenakan celana dalam g-string akan terlihat jelas oleh orang di belakangnya.

Kemeja yang dikenakan Lidya juga lebih mengerikan, kemeja itu seharusnya dikenakan dengan kamisol melihat bagian lehernya yang rendah, tapi Pak Hasan tidak mengijinkan Lidya mengenakannya, seakan-akan belum parah, Pak Hasan juga membuka kancing teratas kemeja Lidya sehingga belahan dadanya makin terlihat jelas, sangat menggoda birahi laki-laki yang menatap. Buah dadanya yang montok dan kencang menyeruak ke depan sementara pentilnya makin lama makin menegang karena ac mall yang dingin. Tiap kali berjalan, Lidya khawatir payudaranya suatu saat akan terpantul dan mental keluar tepat di depan pengunjung mall. Jelas hal itu tidak diinginkan olehnya.

Akhirnya, setelah Pak Hasan puas, mereka berdua pergi membayar ke kasir. Entah sial bagi Lidya entah kebetulan, seorang pemuda tanggung sedang bertugas di meja kasir, kemana para pegawai wanita yang biasa berjaga di kasir? Pak Hasan dan Lidya berdiri di depan pemuda itu.

“Saya beli baju yang sudah saya pakai ini…” desah Lidya lirih. “Juga celana dalam yang saya pakai sekarang…”

Saat melihat ke arah Lidya, rahang si pemuda seakan mau copot. Gila, wanita cantik ini berani sekali berpenampilan seksi! Si otong di selangkangan pemuda penjaga mesin kasir langsung ngaceng melihat penampilan Lidya. Dengan hati-hati pemuda itu melepaskan tag harga dan penjepit anti-maling dari baju dan rok yang dikenakan Lidya, dia melakukannya sambil hati-hati sekali karena takut dianggap tidak sopan, wangi tubuh Lidya membuatnya terbang ke awang-awang. Untung saja Pak Hasan sudah melepaskan tag harga dari celana dalam yang dikenakan Lidya sehingga dia tidak perlu mempertontonkannya pada sang pemuda yang masih terlihat sangat lugu ini.

Beberapa orang customer laki-laki yang kebetulan menemani pasangan mereka belanja juga tidak bisa melepaskan pandangan dari Lidya sambil meneteskan air liur. Penampilan seksi Lidya benar-benar membuat mereka nafsu. Lidya merasa malu dan memperhatikan pentil susunya sendiri perlahan mengeras dan menyodok kemeja yang dikenakannya. Dengan buru-buru Lidya mengeluarkan dompet dan mengambil kartu kredit.

Pemuda yang menjadi kasir menggesek kartu kredit Lidya dengan tangan gemetar. Beberapa kali dia salah memencet tombol karena terganggu oleh pemandangan indah di hadapannya. Penisnya juga makin ngaceng dan menghunjuk ke luar, pemuda itu dengan malu mengempit otongnya sendiri. Keadaan ini makin membuat Lidya khawatir, sayangnya makin khawatir wanita cantik ini, makin besar puting payudaranya mengembang.

Pemuda kasir itu memberikan kesempatan bagi Lidya untuk menandatangani berkas yang keluar dari mesin kartu kredit. Saat tanda tangan, Lidya terpaksa membungkuk karena posisi kasir yang pendek. Saat itulah satu buah dada Lidya tiba-tiba saja melompat keluar dari dalam kemejanya.

“Ya Tuhan!!” desah si pemuda yang langsung terperanjat.

Dengan cekatan Lidya merapikan kemejanya dan memasukkan buah dadanya kembali ke dalam sebelum ada orang yang melihat. Walaupun hanya beberapa detik saja, tapi pemuda kasir itu jelas sangat beruntung. Wajah Lidya memerah karenanya dan secepat mungkin meninggalkan meja kasir setelah urusan pembayaran usai. Pak Hasan terkekeh bahagia saat mereka akhirnya sampai di luar toko.

“Kamu lihat tidak tadi wajah bocah itu?” Pak Hasan tertawa cekakakan sambil menggandeng Lidya yang pucat pasi menuju tempat lain. Seandainya mungkin, Lidya ingin pingsan saat ini juga.

Berjalan-jalan di sebuah mall besar yang ramai oleh pengunjung dengan mengenakan busana minim jelas bukan ide yang baik menurut Lidya. Berkali-kali wanita muda yang cantik itu membenahi rok dan baju yang dikenakannya agar tidak terlalu mencolok. Tapi seperti apapun usaha Lidya untuk membenahi, kemolekannya mengundang birahi. Kepalanya terus menunduk karena Lidya tidak mau dikenali oleh teman atau siapapun yang kebetulan berjumpa dengannya. Seandainya tidak kenalpun, Lidya tetap merasa malu dengan penampilannya yang seronok. Entah mana yang lebih parah, berjalan di tengah mall dengan pakaian seperti pelacur atau sekalian saja telanjang. Yang jelas saat ini Lidya merasa dirinya sangat telanjang.

Seorang satpam garuk-garuk kepala karena indahnya pemandangan yang disajikan oleh Lidya. Walaupun sudah sering melihat seorang wanita cantik berpakaian seksi, baru kali inilah satpam itu melihat cewek yang sepertinya perempuan baik-baik mengenakan baju super minim. Kalau saja RUU Anti Pornografi & Pornoaksi disahkan, Lidya pasti akan langsung ditangkap polisi.

“Pak, sudah saja ya, Pak. Kita pulang saja.” Wajah Lidya memelas memohon ampun pada ayah mertuanya. Wanita cantik itu terus meratap manja. “Aku malu sekali. Kita pulang saja.”

Pak Hasan menggelengkan kepala sambil tersenyum sadis. “Baru masuk kok sudah mau pulang?”

“Aku malu sekali…”

“Sini, mendekat kesini, nduk!”

Satu-satunya cara bagi Lidya untuk menutupi kejengahan dan rasa malunya yang membuncah adalah dengan merapatkan tubuhnya dengan sang ayah mertua. Pak Hasan tertawa saat sang menantu yang seksi itu mendempel erat. Pak Hasan merangkul pundak Lidya sehingga mereka berdua nampak seperti sepasang kekasih. Beberapa orang yang berpapasan atau nongkrong di pinggir koridor menatap heran ke arah sepasang manusia ini. Bagaimana mungkin bidadari secantik dan seseksi Lidya mau bergaul dengan pria gemuk buruk rupa seperti Pak Hasan?

Saat mereka berjalan berdua, Pak Hasan memperhatikan banyak laki-laki tua muda yang sedang berjalan-jalan melirik penuh minat ke arah Lidya. Buah dadanya yang terpantul naik turun bisa dilihat dengan jelas, sementara kaki Lidya yang jenjang terlihat seksi dan sangat mulus dengan rok super mini yang dikenakannya. Beberapa orang meneteskan air liur melihat kemolekan menantu Pak Hasan itu. Makin bangga mertua bejat itu pada menantunya.

###

Dodit menghentikan mobil tidak begitu jauh dari gerbang utama komplek perumahan kakak kandung Anissa. Tunangannya yang lugu itu terheran-heran.

“Lho? Kok berhenti, Mas? Apa ada yang salah?” tanya Anissa.

Dodit tersenyum. “Tidak ada yang salah. Kamu manis sekali, say. Manis dan seksi.”

Dodit menggeser posisinya duduk agar bisa sedikit mendekati Anissa. Gadis itu langsung bisa melihat perubahan ukuran gundukan di selangkangan Dodit. Tangan Dodit membawa jari-jemari Anissa ke arah gundukan itu. Sembari dibimbing oleh Dodit, tangan Anissa mengelus kemaluan tunangannya yang makin lama makin membesar di balik celana. Tangan Dodit sendiri tidak diam begitu saja. Dia mengelus seluruh tubuh Anissa dari atas sampai ke bawah.

Dengan berani Dodit menciumi wajah dan leher sang kekasih.

“Mas Dodit! Jangan Mas! Apa yang Mas lakukan?” tanya Anissa sambil merem melek, walaupun sepertinya menolak, tapi gadis cantik itu cukup menikmati serangan tangan dan banjir ciuman dari Dodit. Dengan penuh semangat Dodit meremas-remas buah dada Anissa yang montok dan menggemaskan. Anissa berusaha mendorong Dodit menjauh tapi tunangannya itu jelas lebih kuat.

Anissa melenguh keenakan saat Dodit mengecup dan melesakkan tangannya ke balik baju yang dikenakan Anissa. Tangan Dodit kian merajalela di balik baju yang dikenakan gadis cantik itu. Dengan nekat tanpa takut ketahuan orang yang kebetulan lewat, Dodit menyelipkan tangan ke balik BH Anissa yang masih dikenakannya dan memainkan pentilnya dengan memilin dan meremas gumpalan dagingnya yang indah. Berulang kali Anissa melenguh.

Baju Anissa terbuka dan BHnya terangkat naik. Dodit makin leluasa menikmati bagian dada dari Anissa yang memang besar dan indah itu. Makin lama makin tidak kuatlah Dodit menahan gejolak nafsu birahinya, dia menggumuli Anissa dan mencoba melepaskan kancing celana jeans tunangannya. “A-aku ingin bercinta denganmu, say…” bisik Dodit lirih di telinga Anissa. Laki-laki muda yang sudah horny itu memeluk tubuh indah Anissa dan mengulum bibirnya dengan nafsu, kedua tangannya bergerak bebas meremas-remas gundukan indah buah dada Anissa.

Anissa menggelengkan kepala, walaupun merasa panas dan siap bercinta, tapi Anissa tidak mau menyerah pada nafsu birahinya. Dengan sedikit memaksa, Anissa mendorong Dodit menjauh. “Jangan, Mas. Aku mohon… sudah cukup, jangan melakukan sesuatu yang akan kita sesali nantinya… aku tidak bisa… aku mohon, kalau Mas Dodit benar-benar mencintaiku… Mas harus menghargai keputusanku untuk mempertahankan milikku yang berharga sampai pernikahan kita nanti…”

Dodit mundur sambil ngos-ngosan. Nafasnya tersengal dan tidak teratur. Dodit memandang ke arah Anissa dengan kesal.

###

Pak Hasan meninggalkan Lidya sendirian duduk seorang diri di sebuah bangku panjang di depan toko yang menyediakan peralatan elektronik. Pria tua itu cekikikan melihat kegelisahan sang menantu dari jarak jauh. Pria busuk ini memang sengaja membiarkan Lidya sendirian, dia ingin melihat menantunya yang cantik itu digoda laki-laki lain. Dengan pakaian yang super seksi seperti itu, pasti mudah bagi Lidya memperoleh perhatian seorang lelaki, apalagi yang hidung belang. Tanpa mengenakan pakaian seksipun Lidya sudah mampu membuat mata seorang pria terpukau, bagaimana seandainya dia mengenakan baju super seksi?

Keringat dingin mulai membasahi tubuh Lidya. Duduk di depan sebuah toko elektronik yang ramai dikunjungi oleh laki-laki berbagai usia dengan pakaian seperti seorang pelacur murahan membuatnya ingin lari. Tapi Lidya takut dengan ancaman Pak Hasan yang tidak saja bisa menghajar tubuhnya secara fisik tapi juga menghancurkan masa depannya bersama Andi. Dia hanya bisa pasrah dan berharap mertuanya itu segera keluar dan menjemputnya. Saat ini Lidya hanya ingin segera pulang ke rumah.

Untungnya Lidya membawa handphone. Walaupun simcard yang tadinya berada di dalam hp sudah dicabut dan disita oleh Pak Hasan sebelum mereka berangkat ke mall, tapi dia masih bisa menggunakannya untuk kamuflase. Tidak peduli berapa jumlah lelaki yang menggoda ataupun nanar menatapnya seperti akan menelan tubuh indah Lidya bulat-bulat, wanita cantik itu berkonsentrasi menatap layar mini di hpnya dan berpura-pura memencet tombol.

Sialnya, bukannya cuek, malah makin banyak pria-pria nakal yang memperhatikan Lidya. Seorang pria yang berusia sekitar 40 tahun keluar dari toko yang dimasuki Pak Hasan dan langsung berdiri di depan Lidya. Pria itu membawa tas jinjing plastik yang berisi mainan anak-anak. Lidya yang melirik diam-diam langsung tahu kalau pria ini pasti sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang masih kecil, tapi sepertinya dia pergi sendirian. Lidya makin gelisah, dia berusaha menyilangkan kakinya sesopan mungkin untuk menutup bagian selangkangannya yang terbuka lebar. Tapi dengan cara itu, kini pahanya yang mulus bisa dinikmati oleh sang lelaki hidung belang yang sedang memanjakan mata.

Lidya kian jengah, dia terus menanti-nanti Pak Hasan yang tidak kunjung keluar dari toko elektronik. Paha mulus Lidya sudah melambai-lambai seakan minta dielus, walaupun sudah berusaha sebisa mungkin untuk menutupinya, penampilannya tetap terlihat seronok. Mata wanita cantik itu memerah karena menahan air mata. Lidya melirik lagi ke arah sang pria hidung belang, ia berharap pria itu sudah pergi. Ternyata dugaan Lidya salah, orang itu malah makin mendekat. Terlihat jelas dari posisi Lidya, sebuah gundukan kian membesar di bagian selangkangan pria itu. Lidya memalingkan wajahnya yang memerah karena malu.

Pria hidung belang itu memutari etalase toko seperti seorang anak kecil yang tersesat, berputar tanpa arah yang jelas, tapi satu hal yang pasti, pandangan matanya selalu kembali ke arah paha Lidya yang putih mulus tanpa cacat. Entah harus khawatir atau malah bangga, Lidya sedikit menyunggingkan senyum karena sikap orang itu malu-malu. Tapi Lidya tidak mau bermain api, dia segera membenahi posisi duduknya dan berpura-pura tidak memperhatikan.

Orang itu ternyata malah mendekati Lidya dengan berani. Dia mengira senyuman Lidya tadi ditujukan untuknya!

Lidya mengejapkan mata tak percaya dan menahan nafas saat pria itu datang mendekatinya.

“Sedang menunggu teman?” tanyanya, “saya juga. Boleh saya duduk di sebelah anda? Rasanya capek sekali berdiri di sini.”

Lidya mengangkat bahu dengan cuek, jantungnya mulai berdetak dengan kencang, matanya bergerak mencoba mencari Pak Hasan. Kemana lagi pria tua brengsek itu? Lidya makin gelisah dan ingin segera pergi dari sini. Pria yang genit itu duduk di samping Lidya. Dia sengaja duduk sedikit merapat ke arah si cantik. Lidya bisa merasakan senggolan-senggolan kecil di daerah pinggul dan pantatnya.

“Wah, hp seri **** ya?” tanya pria genit itu lagi sambil menunjuk telpon genggam yang dipegang Lidya. “Saya selalu ingin memiliki hp seperti itu. Sayang di tempat ini sangat susah mendapatkan hp seperti yang anda miliki, hp seri baru stoknya terbatas. Padahal saya tidak peduli dengan harganya yang mahal. Berapapun harganya, pasti saya beli. Saya selalu mengatakan pada diri saya sendiri, kalau saya menginginkan hp, harus yang memiliki fitur lengkap. Kebetulan hp itu memiliki fitur-fitur seperti yang saya butuhkan.”

Lidya mengangguk dan mengangkat bahu, dia masih cuek dan tidak peduli apa yang dikatakan laki-laki di sebelahnya. Pria itu mendekat dan makin nekat, kini lengan mereka bersinggungan dan saling menempel sisinya. Lidya berusaha menyembunyikan hpnya karena toh telpon genggam itu menyala tanpa simcard. Dia tidak ingin ketahuan oleh si hidung belang ini sedang berpura-pura. Untungnya pria hidung belang itu lebih tertarik memperhatikan paha dan belahan buah dada Lidya yang putih mulus dan menggoda daripada hp yang sedang ia sembunyikan.

Sekali lagi, pria hidung belang itu masih terus mencoba mendekati Lidya.

“Hpnya bagus, cocok dengan pemiliknya yang cantik.” puji si hidung belang dengan rayuannya. “Anda sangat cantik.”

“Terima kasih.” Jawab Lidya mencoba ramah.

“Sebelumnya belum pernah saya memuji seorang wanita yang baru saya temui seperti saat ini.” Kata si hidung belang lagi. “Tapi anda benar-benar mempesona.”

“Terima kasih. Saya beruntung menjadi yang pertama yang pernah anda puji.” Jawab Lidya. Dia menarik nafas lega karena sepertinya orang ini cukup sopan untuk tidak berbuat yang aneh-aneh di tengah keramaian.

“Saya tidak tahu apa yang merasuki diri saya, mudah-mudahan anda tidak tersinggung.” Kata pria itu lagi.

“Ah tidak.” Jawab Lidya pendek. “Saya tidak tersinggung.”

Lidya berusaha membenahi caranya duduk agar pria di sebelahnya tidak bisa menikmati pahanya yang putih mulus dengan bebas. Matanya masih terus mencari Pak Hasan. Kalau hanya digoda oleh laki-laki sudah jadi langganan bagi Lidya, yang membedakan kali ini adalah caranya berpakaian. Dengan busana yang ia kenakan, Lidya seakan seperti seorang pelacur yang sedang menunggu pelanggan. Memalukan sekali!

“Saya juga sangat menyukai pakaian yang anda kenakan, sangat modern dan seksi. Jujur saja saya sangat kagum dengan kecantikan anda. Apakah anda seorang model iklan atau bintang sinetron?” pria itu mulai berani melancarkan serangan.

“Bukan. Saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa.”

Kata-kata ‘ibu rumah tangga’ membuat lelaki itu sedikit terkejut. Jarak mereka merenggang. Lidyapun akhirnya bisa menarik nafas lega. Tapi pria itu masih juga belum mau menyerah.

“Apa anda sedang menunggu suami anda?” tanya laki-laki itu.

“Tidak.” Kali ini Lidya menjawab jujur. “Suami saya sedang berada di luar kota. Saya bersama ayah mertua saya.”

Di saat genting, Lidya malah keceplosan mengatakan hal-hal jujur pada laki-laki ini, tapi memang Lidya mulai kebingungan mencari kata-kata karena ditelan oleh perasaan gelisah yang makin lama makin membuncah, dan pada akhirnya, dia mengatakan hal jujur di saat dia harus berbohong. Keringat si cantik mengalir deras. Laki-laki itu merasa kembali mendapatkan angin, dia merapat lagi, kali ini bahkan agak mendesak tubuh Lidya.

“Wah, kalau begitu suami anda adalah seorang pria yang sangat beruntung karena memiliki seorang istri yang cantik dan seksi yang juga sangat sayang pada mertua.” Katanya. “Saya selalu berharap istri saya berani mengenakan pakaian yang lebih membuat saya bergairah tapi dia selalu menolaknya.”

“Saya yakin istri anda punya alasan sendiri.” Jawab Lidya sambil menjauh.

Lidya tidak berani menatap mata laki-laki di sebelahnya, pria itu menatapnya nanar seperti ingin menjilat seluruh tubuh Lidya. Lidya ingin pergi, dia ingin cepat-cepat meninggalkan pria ini, dia takut sekali, tapi Lidya jauh lebih takut pada Pak Hasan sehingga dia tidak beranjak meninggalkan bangku.

“Tentunya kaki istri saya yang gemuk tidak bisa dibandingkan dengan keindahan kaki anda yang langsing. Suami anda benar-benar seorang laki-laki yang beruntung.” Kata pria itu lagi. “Sayang dia tidak mempedulikan anda dan pergi ke luar kota sendirian…”

“Dia sedang dinas keluar kota .”

“…mungkin saja. Tapi hari ini, di mall ini, pasti banyak orang yang mau meninggalkan istri mereka dan mengajak anda pulang ke rumah.”

“Anda sungguh berani mengatakan hal itu.”

Pria itu tersenyum penuh percaya diri, tangannya perlahan mengelus lengan Lidya yang putih mulus, dia benar-benar yakin Lidya akan jatuh ke tangannya. Si cantik itu mulai jengah, kata-kata orang ini terdengar sopan dan terpelajar, sayang kelakuannya menjijikkan.

“Apakah anda termasuk pria tidak mempedulikan istri anda?” tanya Lidya menantang. Dia menepis tangan pria hidung belang tak dikenal yang mulai keterlaluan itu.

“Bagaimana pendapat anda? Apa anda mau saya ajak pulang?” tanya pria itu sambil cekikikan, wajahnya terlihat sangat nafsu dan menjijikkan. Dalam benaknya pasti sudah terbayang beribu macam cara menunggangi Lidya. Dia pasti sudah gatal ingin melesakkan batang kemaluannya dalam-dalam di liang rahim si cantik ini.

“Maaf sobat. Tapi nampaknya menantu saya tidak tertarik pada anda.” Sebuah suara menyelamatkan Lidya.

Pak Hasan sudah datang.

Beberapa hari ini Lidya merasa jijik dan marah pada mertuanya, baru kali ini dia merasa sangat lega Pak Hasan datang dan menyelamatkannya dari godaan seorang lelaki hidung belang. Lidya segera bangkit dan berlindung di balik tubuh Pak Hasan. Laki-laki itu tahu diri dan mundur teratur sambil memasang muka masam. Tapi dia masih sempat melirik ke arah Lidya dan menjilat bibirnya penuh nafsu.

Dasar hidung belang!

Pak Hasan memeluk pinggang menantunya dan mereka berjalan lagi menyusuri lorong-lorong mall. Karena sudah diselamatkan dari lelaki iseng dan terlindungi, Lidya diam saja saat tangan mertuanya itu nakal meraba dan meremas-remas pantatnya saat mereka berjalan bersama. Lidya seakan sudah tidak peduli seandainya ada orang yang saat itu menatap mereka.

Satu perasaan bangga memenuhi batin Pak Hasan. Seumur hidupnya, dia belum pernah memiliki suatu hal yang bisa dibanggakan. Kini, saat berjalan bersanding dengan seorang wanita yang masih muda, cantik dan seksi yang bisa ditunggangi setiap saat, banyak lelaki menatapnya iri. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Pak Hasan bisa memamerkan sesuatu yang membuat orang lain ingin menjadi dirinya. Pak Hasan benar-benar puas.

“Bagaimana rasanya, nduk?” bisik Pak Hasan di telinga Lidya.

Sekujur tubuh wanita jelita itu merinding karena bisikan Pak Hasan disertai pula dengan ciuman dan jilatan kecil di telinganya.

“Ra-rasanya apa, Pak?” Lidya menggelinjang geli.

“Bagaimana rasanya digoda laki-laki?”

“Bu-bukan yang pertama kali. Aku tidak suka…” Lidya tidak meneruskan kalimatnya karena sekali lagi Pak Hasan mengendus telinganya yang wangi. Lidya tidak bohong, walaupun terkesan sombong tapi memang dia sudah sering sekali digoda laki-laki hidung belang. Sebenarnya Lidya benci sekali pria semacam itu, karena meskipun Lidya sudah mengenakan pakaian yang sopan, tidak seksi dan tidak menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah, masih banyak yang mendekatinya dengan tidak sopan. Kali ini situasinya sedikit berbeda, karena Lidya jelas-jelas menggunakan pakaian seksi yang mengundang birahi, dia bagaikan seorang pelacur yang sedang menawarkan dagangan dengan mempertontonkan keindahan lekuk tubuhnya. Lidya meneruskan kalimatnya dengan lirih sambil memejamkan mata sesaat ketika lidah Pak Hasan nekat menjelajah daun telinganya di tengah keramaian mall. “…tidak suka…”

“Kamu tidak suka digoda?”

“Ti-tidak…”

Pak Hasan menyeringai jahat.

###

“Kamu kecewa, Mas?”

Dodit yang sedang merapikan bajunya terdiam membisu. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan Anissa itu? Jujur saja dia kecewa karena tidak bisa melampiaskan nafsu birahinya yang sedang memuncak, tapi di sisi lain, dia juga sangat bangga pada kekasihnya karena masih menjunjung tinggi nilai dan budaya timur yang kini sudah mulai luntur. Sangat jarang menemui gadis seperti Anissa.

“Kamu pasti kecewa ya, Mas?” Anissa mengulangi pertanyaannya.

Dodit tersenyum dan mengelus rambut tunangannya yang panjang dan indah dengan mesra. “Kenapa harus kecewa? Aku bangga sama kamu, say. Di jaman sekarang ini, susah sekali menemukan gadis yang masih memandang penting keperawanan seperti kamu. Aku bangga dan merasa terhormat. Pernikahan kita sudah hampir tiba, jadi kenapa harus kecewa? Aku hanya perlu sabar dan menunggu sebentar lagi.”

Anissa tersenyum mendengar perkataan Dodit. Dia tidak tahu apakah Dodit berbohong untuk sekedar menenangkan dirinya atau benar-benar jujur, tapi Anissa yakin Dodit pria yang baik, dia bersedia menunggu sampai datang hari pernikahan mereka untuk bisa bersatu dengannya. Anissa tahu saat ini Dodit sudah sangat horny, tapi kemampuannya mengendalikan diri memang pantas diacungi jempol. Dia dengan bangga akan menyerahkan segalanya untuk Dodit di hari pernikahan mereka. Dia akan memberikan miliknya yang paling berharga, kegadisannya yang sudah dia jaga sejak kecil.

“Terima kasih, sayang,” kata Anissa sambil lembut mengecup pipi Dodit, “kau tahu seandainya kau teruskan, aku tidak akan bisa menolakmu karena aku sangat mencintaimu, tapi aku ingin malam pertama kita benar-benar menjadi malam pertama yang sangat berharga.”

Dodit tersenyum dan balas mengecup pipi Anissa, dia kembali terdiam dan membisu. Dodit memutar kunci dan menghidupkan mesin mobil.

###

“Pak, kenapa kita harus mencarinya? Dia menjijikkan! Dia menggodaku… dia… dia…” kata-kata Lidya patah-patah karena bingung mencari kata yang cocok. Dia kesulitan berjalan cepat sambil tetap mempertahankan pakaiannya agar tidak terbuka dengan vulgar, meskipun saat ini dia sudah seperti seorang pelacur hina.

“Itu sebabnya kita harus menemuinya! Bapak akan memberinya pelajaran berharga!”

Pak Hasan mencari-cari pria hidung belang yang tadi menggoda Lidya. Setelah berkeliling dari lantai ke lantai, mereka menemukannya sedang duduk di sebuah restoran siap saji, dia segera menarik tangan Lidya dan menghampirinya. Lidya yang sudah berharap tidak akan bertemu lagi dengan orang itu menjadi sangat kecewa, bagaimana mungkin di mall sebesar dan seramai ini, Pak Hasan bisa menemukan orang itu lagi?

“Selamat siang, mas.” Kata Pak Hasan. Orang itu memang lebih muda dari Pak Hasan, dengan pandangan curiga dan ragu pria hidung belang yang tadi menggoda Lidya menatap ke arah Pak Hasan dan menantunya.

“Ya?” pria genit itu mengernyitkan dahi.

“Kenalkan, nama saya Hasan dan ini menantu saya, Lidya.” Kata Pak Hasan sambil mengajak pria mupeng itu bersalaman.

“Saya Nyoto.” Pria itu masih menjawab dengan pendek, tapi dia tidak melewatkan kesempatan untuk menjabat tangan Lidya dan mengelusnya sedikit. Pria itu terkekeh pelan menikmati halusnya tangan Lidya. Si cantik itu sendiri ingin mati rasanya.

“Saya lihat tadi Mas Nyoto tertarik dengan menantu saya, apa benar?”

“Kalau iya kenapa?” Nyoto menjilat lidahnya ke arah Lidya dengan sengaja, membuat Lidya makin jengah. Dia menarik-narik ujung baju Pak Hasan dan mengajaknya pergi, tapi rupanya mertuanya itu punya rencana lain.

“Yah, menantu saya ini rupanya juga sangat tertarik pada anda. Bahkan dia tadi mengatakan kalau seandainya diberikan kesempatan sebentar saja dia ingin merasakan kehangatan yang mungkin bisa anda berikan padanya. Berulang kali dia meminta untuk kembali dipertemukan dengan anda.” Kata Pak Hasan sambil melirik Lidya puas.

Lidya benar-benar ingin mati, dua pria ini pantas dibunuh. Seandainya bisa, dia ingin mengambil sebilah pisau dan menancapkannya di dada Pak Hasan dan Nyoto. Pria yang bernama asli Sunyoto itu bagaikan baru saja menjadi pemenang undian berhadiah, dia hampir-hampir melompat dari kursinya dan hendak memeluk Lidya. Tapi Pak Hasan menghentikannya.

“Tapi tentu saja, saya tidak bisa mengijinkan Mas Nyoto memakai menantu saya ini, karena biar bagaimanapun juga, dia masih menantu saya dan istri sah dari anak saya. Saya tidak akan mengijinkan siapapun juga menidurinya.” Kata Pak Hasan sambil menatap Nyoto galak.

Nyoto yang ternyata cukup pengecut kembali duduk ke kursinya. Pria genit itu menatap Pak Hasan heran. “Kalau tidak boleh dipakai, buat apa ditawarin?”

“Berhubung anak saya sedang keluar kota, menantu saya ini sangat kesepian. Bagaimana kalau Mas Nyoto bermain-main sebentar dengan buah dadanya? Seperti yang mas Nyoto lihat, Lidya tidak mengenakan BH dan ingin dibelai-belai sebentar di kamar kecil.” Kata Pak Hasan.

Perlahan Lidya meneteskan air mata. Dia sudah tidak mampu lagi berucap ataupun mengeluarkan protes. Penghinaan Pak Hasan sudah hampir membuatnya pingsan, dia sama sekali tidak mengira mertuanya itu akan menyerahkannya pada pria menjijikkan ini.

Nyoto melonjak lagi. “Berapa perlu saya bayar untuk melakukan itu?”

“Mas Nyoto hanya perlu membelikan makan siang untuk kami berdua.”

“Setuju.” Nyoto langsung mengangguk. Dia meraih dompet dan mengeluarkan lembaran ratusan ribu pada Pak Hasan. “Terserah kalian mau makan di mana.”

Dengan buru-buru Nyoto menggandeng lengan Lidya dan menariknya ke kamar kecil di ujung gang yang untungnya sedang sepi. Dia tidak peduli lagi dengan makan siangnya yang belum habis di restoran siap saji tadi. Dia lebih bernafsu menikmati buah dada Lidya. Pak Hasan tertawa sambil mengikuti mereka berdua dari belakang.

Nyoto tidak menunggu terlalu lama, saat berada di gang menuju kamar kecil yang sepi, dia segera menubruk Lidya. Dengan kasar dia membuka kancing baju kemeja Lidya dan tidak mempedulikan airmata yang menetes di pipi wanita cantik itu. Lidya benar-benar sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali pasrah.

“Kamu pikir kamu bisa lolos dariku, yah?” kata Nyoto sambil terkekeh pada Lidya. “Untung sekali kamu punya mertua yang pengertian. Dasar sombong, rasakan sekarang pembalasanku!”

Dengan sekali sentak, kemeja Lidya terbuka lebar. Perempuan cantik itu menjerit lirih tak berdaya, tangisannya makin menjadi. Buah dada Lidya meloncat keluar tepat di hadapan Nyoto dan pentilnya yang menunjuk ke depan mempesona pria genit itu. Lidya kembali menjerit dan terisak saat Nyoto dengan kasar meremas buah dadanya dengan gemas dan memainkannya dengan nakal. Lidya bisa merasakan jari jemari Nyoto melingkari pentilnya dan perlahan memencetnya. Karena tubuh Lidya dan Nyoto berdempetan, Lidya bisa merasakan gumpalan kemaluan di selangkangan Nyoto makin lama makin membesar.

Cukup lama Nyoto meremas-remas buah dada Lidya dan mereguk kenikmatan darinya, sebelum ada orang yang melewati gang itu, akhirnya Pak Hasan menghentikan ulah cabul Nyoto pada menantunya. Nyoto mengangguk tanda mengerti dan menghentikan serangannya pada dada Lidya. Wanita cantik itu jatuh luruh ke lantai sambil terus menangis terisak-isak.

“Maaf, Mas. Waktunya habis.” Kata Pak Hasan.

“Wah… nanggung sekali, Pak. Saya belum menjilatinya, saya belum menikmati buah dada itu seutuhnya.” Nyoto ngos-ngosan menahan birahi yang sudah hampir memuncak. “Saya ingin lebih, saya ingin menidurinya.”

Nyoto meraih dompet dan bersiap mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu lagi. Pak Hasan tersenyum dan menggeleng. “Maaf sekali, tapi perjanjian adalah perjanjian. Dia masih menantu saya, Mas. Saya masih harus menghormati dia.”

Nyoto menunduk kesal, dengan setengah membentak, dia mendorong Pak Hasan. “Berapapun saya bayar, Pak! Berapapun!! Saya punya ATM, kartu kredit, semua buat Bapak! Saya hanya ingin memeknya! Saya ingin memek menantu bapak ini! Sekali saja!!”

Pak Hasan menyeringai marah dan balas mendorong Nyoto, di luar dugaan, ternyata Pak Hasan jauh lebih kuat dari pria yang sedang birahi ini. “Saya sudah katakan berulang-ulang, perjanjiannya hanya soal buah dada Lidya, bukan memeknya! Dia bukan pelacur!!”

Nyoto menunduk lagi. Akhirnya emosinya perlahan menyurut. Dengan langkah lemas dia meninggalkan Pak Hasan dan Lidya. Di luar dugaan, Pak Hasan mendatangi Lidya dan memeluknya mesra. Lidya memeluk Pak Hasan erat dan menangis sejadi-jadinya. Pak Hasan mengelus-elus rambut Lidya dan memberinya penghiburan. Walaupun merasa aneh, Lidya sedikit merasa terlindung ulah sikap Pak Hasan yang tiba-tiba baik ini.

Nyoto ternyata masih belum menyerah. Dia mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya dan menaruhnya di lantai. “Seandainya bapak butuh uang dan berniat melakukan perjanjian lagi, silahkan hubungi saya. Saya bukan orang yang kaya raya, tapi berapapun saya bayar untuk bisa menikmati memeknya.”

Pak Hasan menatap Nyoto sambil meringis sadis. Dia mengambil kartu nama itu dengan terkekeh. “Yah, kita toh tidak tahu kapan butuh uang. Siapa tahu Lidya suatu saat nanti kangen pada Mas Nyoto.”

Lidya kaget dengan ucapan mertuanya dan mendorongnya menjauh. Pak Hasan dan Nyoto tertawa berbarengan.

“Kurang ajar! Kalian anggap apa saya ini? Barang dagangan? Pelacur murahan?” Lidya menjerit marah. Kesabarannya sudah habis. “Pak, saya ini menantumu! Istri dari anakmu! Teganya kamu melakukan ini semua?”

Plakk!! Tamparan Pak Hasan mendarat di pipi Lidya. Bekas merah merona tertinggal di pipi mulus wanita cantik itu. Lidya kembali menangis tak tertahankan.

“Jangan pernah bicara kurang ajar di depan kenalan baru!” bentak Pak Hasan. “Maafkan menantu saya, Mas Nyoto. Seandainya dia nanti merindukan remasan-remasan anda, pasti saya hubungi anda lagi.”

“Baik, saya tunggu telpon anda.” Kata Nyoto sambil menyeringai puas. Sebelum pergi, pria genit itu mengerlingkan mata pada Lidya yang masih menangis.

Lidya menatap mertuanya ketakutan.

“Bersihkan wajahmu di kamar kecil. Benahi make-upmu! Kuberi waktu sepuluh menit. Kalau selesai dalam sepuluh menit, kita pulang. Kalau tidak, akan aku cari orang lain lagi untuk meremas-remas buah dadamu!”

Lidya segera lari ke kamar kecil dengan terburu-buru.

###

“Bang! Baksonya tiga ya, Bang!”

“Iya Bu!”

Akhir-akhir ini Paidi sering lewat di komplek rumah di sekitar pos kamling lokasi dia memergoki wanita cantik idamannya. Pagi siang malam Paidi berkeliling untuk mencari tahu siapa sebenarnya sosok bidadari yang kemarin lusa dia lihat. Wanita itu sangat cantik dan terlihat seperti wanita baik-baik. Paidi tidak habis pikir apa yang dilakukan wanita seperti itu malam-malam di pos kamling. Bisa dipastikan wanita cantik itu adalah warga komplek ini, itu sebabnya Paidi bersemangat mencarinya. Walaupun nanti kalau sudah bertemu, Paidi tidak tahu apa yang akan dia lakukan.

Hari ini, Paidi kembali berusaha mendapatkan jawabannya. Kebetulan sekali ada tiga orang ibu-ibu komplek yang sedang ngerumpi dan membeli bakso dagangannya. Dengan hati-hati Paidi mendekati mereka dan berpura-pura memotong-motong sayuran, Paidi menguping pembicaraan ibu-ibu yang sedang asyik ngobrol, siapa tahu ada informasi yang bisa dia simpan.

“Eh, Bu Syamsul, katanya Pak Bejo punya cewek simpanan baru lho.”

“Cewek simpanan? Pak Bejo yang gemuk itu? Pak Bejo Suharso? Masa sih, Bu? Siapa yang mau sama Pak Bejo? Istrinya aja nolak-nolak!”

Ibu-ibu itu tertawa.

“Bener kok, Bu. Ini gosip dari Bu Bejo sendiri. Katanya akhir-akhir ini Pak Bejo jadi lebih sering dandan dan lebih wangi. Dia jadi lebih memperhatikan diri. Kalau dulu boro-boro dia mau pakai minyak wangi, sikat gigi aja jarang!”

“Ah, Bu Tatang ini…”

“Kalau berita itu bener, saya jadi heran sendiri. Siapa sih wanita bodoh yang mau sama Pak Bejo? Meskipun di depan orang kelakuannya baik, tapi sebenarnya itu kedok karena di belakang dia punya perangai dan watak yang jelek! Busuknya kan sudah terkenal sampai kemana-mana! Kasihan istrinya.”

“Iya tuh, saya juga sering ngeri kalau melihat Pak Hendra dan Bu Hendra mempercayakan rumah dan anak pada Pak Bejo. Mungkin mereka satu-satunya warga yang tidak tahu seperti apa Pak Bejo sebenarnya.”

“Yah, kalau soal itu sih, awalnya juga tidak ada yang tahu, Bu Syamsul. Soalnya Bu Bejo kan orangnya baik banget! Suka menolong dan ramah. Bu Hendra juga baik, tidak pernah mencurigai orang dan sifatnya lemah lembut, jadi saya yakin keluarga Pak Hendra pasti mempercayai keluarga Pak Bejo.”

“Eh, jangan-jangan cewek simpenan Pak Bejo itu Bu Hendra yah?”

Ibu-ibu itu kembali tertawa.

“Ah, Bu Tatang ini ngaco terus! Mana mau Bu Hendra sama Pak Bejo! Suaminya saja cakep banget, belum lagi Pak Bejo itu gemuk, botak dan jelek! Buat apa Bu Hendra yang cantik dan seksi itu selingkuh sama Pak Bejo? Kalau beneran mau selingkuh kan dia bisa cari laki-laki lain yang lebih cakep? Ah ada-ada saja.”

“Bener, Bu Syamsul. Bu Hendra itu bener-bener tipe ibu rumah tangga idaman di komplek kita. Masih muda, cantik, seksi, setia, baik, ramah, sopan, udah gitu lemah lembut pula. Gak ada kurang-kurangnya. Suami saya aja sering diam-diam melirik nakal kalau sedang berpapasan di jalan dengan Bu Hendra.”

“Wah, suami saya juga, Bu Sani. Kalau sudah ketemu Bu Hendra, itu mata kayaknya nggak mau lepas-lepas! Dilalapnya sampai habis penampilan Bu Hendra dari atas ke bawah! Kakinya yang jenjang, kulitnya yang putih mulus, bodinya yang aduhai, buah dadanya yang indah, wajahnya yang cantik, semua ditelan mentah-mentah. Dasar laki-laki, kalau sudah lihat yang bening lupa sama istri sendiri!”

Ibu-ibu itu tertawa lagi.

Paidi mengangguk-angguk sambil memainkan mangkok baksonya. Pria itu sepertinya mulai menemui titik terang.

Paidi mencatat informasi yang didapatkannya dari percakapan ibu-ibu itu dalam benaknya. Sepertinya ada seorang wanita yang sangat cantik dan seksi yang tinggal di komplek ini dan menjadi idola tidak saja bagi kaum pria tapi juga kaum wanita. Perempuan itu adalah istri dari seorang warga komplek yang bernama Hendra, apakah mungkin dia wanita yang dia lihat malam itu?

Paidi jelas berniat mencari tahu.

###

Lidya masuk ke kamarnya dengan langkah lunglai. Badannya lemas dan capek, wajahnya kuyu, seluruh kekuatannya telah diserap habis oleh kegiatannya sehari bersama Pak Hasan. Dia sudah tidak bisa lagi menangis sedih karena sangat lelah. Dia hanya ingin bisa tidur dengan tenang malam ini.

Lidya menatap dirinya sendiri dalam cermin, dia seolah melihat seorang pelacur yang sudah kelelahan melayani pelanggan. Tidak nampak lagi sosok wanita cantik yang ceria seperti dahulu, tidak ada lagi senyum tersungging di bibirnya yang mungil. Semua hilang karena ulah mertua yang cabul.

Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan Pak Hasan masuk sambil cengengesan.

Untuk beberapa saat lamanya Lidya berdiri kebingungan tanpa tahu apa yang sebaiknya ia lakukan. Mulutnya sudah terbuka, tapi tak kunjung keluar kata-kata yang bisa ia ucapkan. Seluruh pikirannya sudah kabur. Akhirnya Lidya hanya berkata lirih. “Apa yang Bapak inginkan? Aku capek sekali.”

“Apa yang aku inginkan? Kamu ini benar-benar bodoh atau cuma pura-pura saja, nduk? Tidak usah pakai basa-basi, langsung dibuka saja bajumu.” Perintah Pak Hasan. “Sejak tadi pagi aku menahan diri tidak memakai memekmu, sekarang saat yang tepat”

Wajah Lidya berubah menjadi muram. Dalam hatinya dia sudah berharap Pak Hasan tidak akan menyetubuhinya lagi malam ini. Harapannya jelas tidak terwujud. Lidya berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Mertuanya yang cabul itu sudah pernah menidurinya beberapa kali dan pakaian yang dikenakannya sendiri saat ini sangat terbuka, apalah bedanya kalau saat ini dia bugil atau tidak?

Senyum yang tersungging di bibir Pak Hasan makin melebar saat melihat Lidya melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. Seluruh pakaian yang dibelinya siang tadi di Mall akhirnya terlepas dari tubuh sang menantu. Kemeja tipis menerawang tanpa BH, rok mini hitam yang seksi dan celana dalam g-string super kecil jatuh satu persatu ke lantai.

“Indah sekali.” Pak Hasan tertawa puas menyaksikan menantunya sendiri berdiri telanjang bulat dan kedinginan dihadapannya. Pria tua itu juga meringis melihat Lidya berusaha keras menutupi rasa malu luar biasa yang ditimbulkan karena berdiri tanpa sehelai benangpun di depan mertuanya sendiri. “Berbaliklah, nduk. Aku ingin melihat pantatmu.”

Lidya menggigit bibir bawahnya dengan geram dan menurut pada perintah Pak Hasan. Wanita cantik itu berbalik dengan sangat perlahan sehingga mertuanya bisa melihat dengan jelas gelombang gerakan erotis yang ditimbulkan oleh pantat Lidya. Pantat sang menantu sangat mempesona Pak Hasan. Pantat yang bulat, putih mulus dan tanpa cacat, kemolekan yang sempurna.

“Menakjubkan.” Kata Pak Hasan. Matanya nanar menatap keindahan bokong sang menantu. “Berbaringlah di ranjang dan buka kakimu lebar-lebar. Aku pengen ngentot sekarang.”

Lidya menahan nafas karena terkejut dan mulai panik. Dia berusaha menghindar dari Pak Hasan. Setelah seharian mendapatkan rangsangan demi rangsangan, Lidya takut dia mulai rindu pada kontol sang mertua yang beberapa hari ini telah membuatnya orgasme berkali-kali. Hal ini berusaha dihindarinya sedini mungkin. Dia tidak mau tenggelam dalam nafsu pada sang mertua. Dengan rasa takut yang amat sangat, Lidya berusaha menghindar. Dia masih memiliki kesadaran untuk menolak. Walaupun sudah pernah diperkosa, Lidya tetap menolak untuk pasrah. Tapi apalah daya seorang wanita lemah sepertinya? Apalagi kini Lidya sudah bugil di hadapan sang mertua.

“Baiklah, sepertinya kau mendapat kesulitan berkomunikasi dengan Bapak, ya nduk?” kata Pak Hasan sambil tersenyum lebar. “Bagaimana kalau kita adakan perjanjian saja?”

“Pak, aku mohon. Cukuplah apa yang Bapak lakukan ini. Perbuatan kita sangat nista, Pak. Ijinkan aku…”

“Shhh, jangan ribut to, nduk. Kita buat perjanjian saja ya? Soalnya aku masih penasaran sama tubuhmu yang seksi itu,” kata Pak Hasan. Wajahnya terlihat sangat sadis dan membuat Lidya bergidik ketakutan, tamparannya siang tadi di mall masih terasa panas di pipinya, “Kali ini kau akan memperbolehkanku menyetubuhimu tanpa perlawanan. Tidak hanya itu saja, kali ini kau juga harus membuatku orgasme dan kalau kau tidak bisa membuatku orgasme secepat mungkin, ah, resiko ada di tanganmu…”

Lidya menatap Pak Hasan heran. “Kenapa resiko ada di tanganku?”

“Oh ya, Lidya sayang. Ada sesuatu yang lupa aku sampaikan padamu.”

Lidya menatap mata ayah mertuanya dengan pandangan bertanya-tanya. Tubuhnya yang telanjang menggigil terkena angin. Lidya berusaha menutup ketelanjangannya dengan memeluk dirinya sendiri. Tangan kanan menyilang menutupi pentil dan tangan kiri menutup gundukan lembut di selangkangan.

“Aku bohong soal Andi.” Kata Pak Hasan.

Jantung Lidya berdetak kencang, perlahan rasa takut menyebar di seluruh tubuhnya. Pak Hasan tersenyum menghina, dia bergerak mendekati Lidya dan memeluk tubuh menantunya itu erat-erat. Tangan-tangannya yang nakal mengelus dan meraba lekuk-lekuk tubuh Lidya. Wanita cantik itu masih tak bergeming, kedua tangannya juga masih berusaha menutup auratnya. Pak Hasan terkekeh, dia dengan berani menyentakkan tangan kanan Lidya dan meremas-remas payudaranya perlahan.

“Andi pulang hari ini. Dia baru saja telpon dari bandara.” Kata pria tua itu.

Mata Lidya terbelalak.

“Dia akan segera sampai di rumah.”

Dengan panik Lidya mencoba melepaskan diri dari pelukan ayah mertuanya. Menantu Pak Hasan yang cantik itu menjerit-jerit dan menangis tak tertahankan, dia berusaha menarik tubuhnya dari kuncian sang mertua namun tidak berhasil. Tubuhnya yang indah dan basah oleh keringat tak bisa lepas dari pelukan Pak Hasan.

“Lepaskan aku! Lepaskan! Andi sudah mau pulang! Kita tidak boleh terlihat seperti ini! Kumohon, Pak! Kasihani aku! Kasihani akuuu!!”

Pak Hasan meringis sadis dan tak memberi ampun sedikitpun. Gerakan tangannya meremas buah dada Lidya malah makin kencang.

“Aduh, sial sekali! Aku lupa mengunci pintu depan!” goda Pak Hasan.

Lidya menjerit-jerit ketakutan. Pelukan Pak Hasan makin erat.

“Bagimana menurutmu, nduk? Aku janji akan segera melepaskanmu begitu aku mencapai klimaks. Sebaiknya kita segera bersetubuh dengan cepat karena Andi hampir sampai. Aku tidak berani menjamin apa yang akan dilakukan anakku itu padamu seandainya dia pulang mendapati istrinya yang cantik jelita telanjang bulat digauli oleh bapaknya sendiri. Jujur saja, aku tidak peduli seandainya Andi pulang dan menemui kita dalam posisi seperti ini, tapi aku yakin pendapatmu pasti sebaliknya. Pasti kau ingin ini semua cepat selesai, iya kan?”

“Ba-bapak benar-benar sudah gila… aku… aku tidak bisa melakukannya! Mas Andi… mas Andi sudah mau pulang! Ti-tidak akan sempat! Kita tidak akan sempat ber…” Lidya menjerit putus asa, tubuhnya yang telanjang kian bersinar indah karena derasnya kucuran keringat bercampur dengan air mata. Wajahnya yang menunjukkan rasa takut dan gelisah malah membuat Pak Hasan kian terangsang dan bergairah. Pria tua itu melepaskan pelukannya dan berdiri di dekat ranjang.

“Tidak sempat bercinta, maksudmu? Kalau begitu, tidak ada waktu lagi untuk berpikir, nduk,” kata Pak Hasan sambil menyeringai, “Andi bisa setiap saat pulang ke rumah. Berapa jam sih waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sini dari bandara?”

“Tidak bisa. Tidak sempat. Tidak … aku tidak mau!” Lidya terus menggeleng. Pikirannya kalut. Dia meremas-remas jemarinya dengan perasaan gelisah.

“Waktu terus berjalan, nduk,” Pak Hasan terkekeh menghina, “Sebenarnya kau tidak punya banyak pilihan, kalau tidak mau melayaniku, ya berarti kau lebih memilih kuperkosa saja. Karena kalau itu yang kau mau, aku tidak yakin Andi bisa menerima kenyataan yang harus dihadapi. Bayangkan, istri dan ayahnya…”

“Hentikan!! Jangan bapak teruskan kata-kata itu!!” Lidya makin panik.

Desah nafas Lidya yang memburu kian keras terdengar, bahkan sampai ke telinga Pak Hasan. Dadanya naik turun dengan cepat dan nafasnya yang cepat terdengar berat. Lidya berusaha mencari jalan keluar dari situasi ini tapi sepertinya tidak ada pilihan yang bisa menyelamatkannya.

Lidya menundukkan kepala dengan pasrah. Tidak ada jalan lain.

Lidya berbisik lirih memohon maaf kepada suaminya. Sambil terburu-buru Lidya segera menghampiri Pak Hasan, menarik celana pendeknya dan meraih tongkat kemaluan kebanggaan sang mertua. Mata Lidya terbelalak melihat ukuran penis Pak Hasan yang terlihat jauh lebih besar dari sebelumnya.

“Nah, gitu kan enak, bagaimana kontolku, nduk? Pas di tanganmu yah?” Pak Hasan tertawa melihat menantunya akhirnya mau melayaninya tanpa paksaan. Selama ini Pak Hasan hanya berhasil memperkosa Lidya, belum bisa membuat menantunya yang cantik itu bercinta dengannya dengan kesadaran sendiri. Kali ini akhirnya apa yang diimpikannya menjadi kenyataan.

Lidya tidak menjawab sindiran Pak Hasan. Matanya berulang kali menatap ke arah jendela dengan takut. Lidya segera mulai mengocok kontol Pak Hasan. Jemari lembut Lidya bergerak cepat mengocok penis Pak Hasan naik turun dengan harapan pria tua yang bejat itu segera mencapai klimaks.

“Ayo cepat, cepat…” desis Lidya, matanya terus beralih dari jendela ke kemaluan Pak Hasan. Lidya makin tidak sabar dan bertanya-tanya butuh waktu berapa lama lagi Pak Hasan akan menembakkan spermanya.

“Menyenangkan, sayang,” kata Pak Hasan, “Tapi percayalah, kalau cuma begini terus aku tidak akan cepat mencapai klimaks.”

Lidya mulai merasa pening. Dia benar-benar sangat stress. Pandangan matanya terus beralih dan berputar, cukup lama dia menatap penis Pak Hasan yang besarnya luar biasa itu. Mertuanya itu benar, kalau hanya begini saja pasti akan memakan waktu yang sangat lama.

“Dasar!” teriak Lidya kalut, dengan serta merta dia melepaskan pegangan pada kontol Pak Hasan dan menarik celana pendek sang mertua sampai ke bawah. Kontol besar milik mertuanya itu bergelantungan di depan wajah Lidya.

Lidya menarik nafas panjang karena lagi-lagi harus melakukan hal yang tidak begitu disukainya. Seandainya ini Andi, Lidya akan melakukannya dengan sukarela dan penuh rasa cinta, tapi kontol di depan wajahnya ini justru milik ayah dari Andi, mertuanya sendiri.

Lidya menarik batang penis Pak Hasan yang menegang dan berukuran besar. Si cantik itu sempat melirik ke arah mertuanya yang tersenyum meringis dengan wajah menghina. Lalu sambil mencoba menahan nafas agar tidak tersedak, kepala Lidya maju ke depan dan mulutnya membuka. Perlahan lidahnya yang mungil mulai menjilat ujung gundul kepala penis Pak Hasan. Gerakan Lidya makin lama makin cepat, dia berusaha menelusuri setiap jengkal penis Pak Hasan dengan lidahnya itu. Pak Hasan mendesah penuh kenikmatan.

Lidya menggelengkan kepalanya dengan jengkel karena penis Pak Hasan tidak segera mencapai klimaks walaupun dia sudah berusaha keras. Panik mulai merasuk ke dalam diri Lidya.

“Memang enak dijilati seperti itu, sayang,” kata Pak Hasan, “tapi aku tidak akan mengeluarkan sperma dan mencapai kepuasan maksimal hanya dengan cara seperti itu. Bersiap-siaplah. Sebentar lagi Andi akan segera pulang…”

“Ahhhhhhhh!” Lidya menjerit keras-keras karena panik dan bingung.

Setelah berpikir keras dan tak kunjung mendapat solusi, akhirnya Lidya menyerah. Tubuh indah wanita cantik itu pasrah dalam mendekap sang mertua yang bejat. Pak Hasan makin bergairah saat merasakan gesekan buah dada Lidya pada tubuhnya, baru kali inilah Lidya mau memeluknya. Menantunya yang cantik itu kini sedang meletakkan penis Pak Hasan tepat di pintu masuk surgawinya. Dengan jemarinya yang lentik, Lidya memasang penis sang mertua tepat di bawah lubang memeknya.

“Nah, gitu dong! Dari tadi kek!”, Pak Hasan terkekeh-kekeh dan menyandarkan tubuhnya ke belakang dengan santai.

Lidya sempat ragu-ragu ketika dia mulai merasakan ujung kepala kontol mertuanya mengelus bibir vaginanya dengan lembut, tapi perasaan ragu itu hilang karena Lidya kemudian teringat apa yang akan terjadi seandainya dia tidak segera melayani Pak Hasan. Setelah menarik nafas panjang dan memejamkan mata menahan sakit, Lidya menurunkan badannya dan merasakan batang kemaluan sang mertua perlahan memasuki lubang vaginanya.

Kedua orang yang tengah bersenggama itu melenguh bersamaan. Mereka mendesahkan gairah dengan alasan yang berbeda. Lidya mendesahkan rasa gelisahnya karena telah melayani seorang pria yang bukan suaminya. Wanita itu merasa bersalah dan tidak berdaya karena diharuskan melayani ayah mertuanya sampai dia bisa orgasme dan ini semua berlangsung karena paksaan mertuanya yang bejat itu. Lenguhan panjang Pak Hasan adalah lenguhan kepuasan. Kebalikan dari apa yang dirasakan oleh Lidya, Pak Hasan merasa sangat puas bisa menyetubuhi menantunya yang memiliki tubuh luar biasa seksi itu. Semua paksaan dan intimidasi yang dilakukannya pada Lidya akhirnya berbuah juga, Lidya akhirnya mau melayaninya. sebenarnya Lidya tidak ingin ini semua terjadi karena Pak Hasan yang menyuruhnya melakukannya. Pria tua bejat itu amat menyukai kekuatan, dia bangga bisa membuat seseorang melakukan hal-hal yang di luar kebiasaannya, melakukan suatu hal yang biasanya tidak pernah atau tidak mungkin akan mereka lakukan dalam kondisi normal.

Lidya meremas pundak Pak Hasan karena rasa nikmat yang dia alami sudah di ambang batas. Wanita jelita itu bisa merasakan rasa hangat yang melanda seluruh tubuhnya. Cengkraman Lidya di pundak sang mertua membuat tubuh indah Lidya bergerak naik turun dengan kecepatan tinggi mengendarai penis Pak Hasan. Tidak pernah terbayangkan dalam benak Lidya dia akan bersetubuh dengan Pak Hasan, apalagi harus memberikan pelayanan ekstra.

Pak Hasan makin menikmati permainan kali ini. Sudah dua kali dia bersetubuh dengan menantunya yang bohay itu, tapi baru kali ini Lidya sendiri yang mau melayaninya tanpa harus diperkosa. Pak Hasan menyandarkan tubuh ke belakang dan memejamkan mata menikmati detik demi detik saat memek Lidya naik turun dengan cepat mengendarai batang penisnya yang berdiri tegak menjulang ke atas. Batang kemaluan Pak Hasan mulai basah oleh cairan cinta Lidya. Buah dada Lidya yang indah mental ke atas dan ke bawah seiring gerakan tubuhnya. Keringat yang mengucur deras membasahi tiap inci bagian tubuh Lidya termasuk di puting susunya yang menegang ke depan.

Lidya berusaha mengenyahkan semua pikiran erotis dan nafsu birahi yang melanda seluruh badannya. Namun sebuah perasaan aneh membuatnya terangsang secara perlahan. Perasaan itu adalah wujud ketidakmampuannya untuk mengendalikan situasi, Lidya yang biasanya ceria dan enerjik itu kini berada dalam kendali seorang pria yang seharusnya menjadi figur ayah, bukannya malah melesakkan penisnya dalam-dalam ke tubuhnya. Tiap kali penis Pak Hasan melesak masuk dan menghantam dinding vaginanya dengan penuh kekuatan, Lidya mengeluarkan desahan demi desahan menyuarakan kenikmatan, tapi Lidya tidak akan mau mengakuinya.

Lidya berusaha keras membuat pria tua ini segera mencapai klimaks. Dia menggunakan seluruh kekuatan dan kecepatannya. Lidya bahkan mencoba melakukan gerakan-gerakan erotis yang selama mungkin bahkan belum pernah dia praktekkan pada suaminya sendiri. Wanita cantik itu sesekali memutar pinggulnya, membuat gerakan melingkar tiap kali bibir memeknya sudah menyentuh ujung batang penis Pak Hasan.

“Bagus sekali, nduk!” pria tua itu tertawa puas. “Begitu baru enak! Kenapa nggak dari tadi? Ayo teruskan! Teruskan!”

Lidya tidak akan sudi menjawab kata-kata sang mertua. Dia melanjutkan gerakan naik turun mengendarai batang kemaluan Pak Hasan dengan kecepatan yang makin meningkat. Makin lama makin cepat. Lidya menghantamkan pantatnya ke arah paha Pak Hasan yang gemuk, mengocok penis keriput sang mertua dengan memeknya dan berusaha keras membuat pria tua bejat itu mencapai titik akhir permainan cinta mereka.

Makin lama Lidya makin berani mengangkat pantatnya lebih tinggi dan menghantamkannya ke bawah dengan kekuatan penuh dan kecepatan tinggi. Lubang vagina Lidya yang sudah basah oleh cairan cinta menelan seluruh batang kemaluan gemuk milik Pak Hasan. Lidya meneriakkan jeritan kekecewaan dan rasa panik, tapi bagi Pak Hasan, teriakan itu terdengar seperti kenikmatan yang makin memuncak.

Lidya melakukannya berulang-ulang kali, ia mengendarai batang kemaluan mertuanya dengan kecepatan tinggi seperti kesetanan. Lidya menghantamkan memeknya ke bawah sampai ke batas pangkal kemaluan Pak Hasan dengan keras. Naik turun naik turun. Berulang-ulang.

Pak Hasan serasa berada di nirwana. Pria tua itu menjerit dan melenguh dengan puas, dia sangat menikmati setiap detik saat memek menantunya yang cantik meremas penisnya yang besar dan menyukai tiap kali bibir memek Lidya mengatup dan menjepit batangnya saat tubuh indah Lidya naik turun dengan cepat. Sungguh sangat nikmat.

“Hampir!!” teriak Pak Hasan.

“Cepaaat! Cepaaaaat!!” jerit Lidya panik. Lidya memperkirakan sang mertua akan segera mengeluarkan air maninya. Seluruh desah dan tangisannya adalah karena paksaan Pak Hasan, tapi entah kenapa Lidya tidak yakin lagi. Dia tidak yakin apakah dia sudah berhasil membuat mertuanya itu mencapai klimaks, atau malah dirinya sendiri yang keenakan dan mendapatkan kepuasan batin.

Lidya masih bergetar dan tidak mampu mengembalikan kesadarannya dengan sempurna. Penis Pak Hasan masih terus berdenyut dan bergerak maju mundur tanpa terhenti di liang cintanya. Campuran antara kenikmatan dan rasa bersalah membuat Lidya tidak mampu melakukan apa-apa, seluruh tubuhnya lemas.

Cairan bening mengalir melalui sela-sela memek Lidya yang kini tersumpal oleh batang penis mertuanya sendiri. Lidya tidak peduli apakah dia sudah mencapai orgasmenya atau belum. Dia tidak peduli seandainya cairan cintanya meleleh, kalaupun benar dia sudah klimaks, istri Andi itu tidak ingin mengetahuinya. Lidya hanya punya satu keinginan saat ini dan itu adalah membuat Pak Hasan orgasme. Tubuh indah wanita muda itu terus bergerak naik turun, membiarkan penis sang mertua merajai liang cinta yang seharusnya hanya diserahkan pada sang suami.

Bibir memek Lidya menjepit kontol Pak Hasan lebih erat lagi dan sang mertua melenguh keenakan, mertua bejat itu kembali melesakkan satu sentakan keras ke dalam vagina Lidya. Gerakan tubuh Lidya yang turun ke bawah disambut oleh gerakan pinggul sang mertua yang mendorong batang kemaluannya ke atas. Sekali lagi Pak Hasan melenguh puas sebelum akhirnya menembakkan spermanya ke dalam vagina sang menantu.

“Akhirnyaa… keluaaar…” desah Lidya lemas. Seluruh tubuh wanita jelita itu basah oleh keringat dan dia juga terengah-engah kelelahan. Lidya hampir-hampir tidak bisa bernafas.

Terdengar bunyi bel berdentang.

Pak Hasan tersenyum mesra menatap menantunya yang ketakutan mendengar bel itu. Mertua bejat itu mencium bibir Lidya dan menampar pipi pantatnya dengan lembut. “Itu, anakku sudah pulang.” Kata pria tua itu. “Sana kau sambut suamimu, Nduk.”

Lidya segera bergegas melepaskan diri dari pelukan Pak Hasan. Dia buru-buru mengenakan pakaiannya dan berlari ke bawah menuju pintu depan.

Anissa Wibisono. Cantik. Seksi.

Pak Bejo geleng-geleng kepala dengan takjub, pria tua cabul itu sedang asyik memotong rumput dan memperhatikan kegiatan Anis, Opi dan Dodit yang sedang bermain-main di halaman rumah Hendra dan Alya. Gadis muda itu mengenakan celana jeans pendek dan kaos tipis yang bisa dibilang gagal menyembunyikan balon payudara pemiliknya yang sempurna, BHnya yang berwarna merah jambu bisa terlihat dari kejauhan karena diterawang sinar matahari.

Pak Bejo tersenyum sendiri saat menyaksikan buah dada Anissa melonjak-lonjak ketika sedang berlarian bersama Opi. Payudara sempurna itu mental ke atas dan ke bawah dengan mempesona, membuat pria tua itu meneteskan air liur mesum. Belum lagi menatap pantatnya yang hanya dibungkus celana jeans ketat yang ukurannya sangat mungil. Kakinya yang jenjang begitu mulus dan seputih pualam, ingin rasanya Pak Bejo mengelus paha indah milik Anissa.

Tubuh yang indah, seperti apa ya kira-kira tubuh itu kalau telanjang? Pasti lebih menggiurkan lagi. Pasti segar rasanya menyetubuhi tubuh gadis muda seperti Anissa. Pak Bejo terkekeh, sebentar lagi gadis itu akan menikah, dia bertanya-tanya apakah Anis masih perawan atau tidak, mungkin perlu ditest dulu sebelum menikah. Pak Bejo terkekeh mesum.

Mungkin sedang beruntung, tiba-tiba saja Anissa membungkukkan badan menghadap ke arah Pak Bejo ketika sedang bermain bersama Opi. Bagian atas kaosnya yang longgar memberikan kesempatan pada Pak Bejo untuk menikmati belahan dada gadis muda itu.

“Wah, wah, pagi-pagi sudah disuguhi susu non Anis. Enak enak enak. Putih mulus, besar bulat, wah, pasti lezat sekali dijilati.” Pak Bejo mengecap lidah menatap keindahan belahan dada Anis yang bisa dilihat jelas olehnya. “Lihat ginian saja aku ngaceng, apalagi kalau pegang.”

Tiba-tiba saja Anissa berbalik dan kali ini Pak Bejo disuguhi keindahan bulat pantatnya yang juga sempurna. Bokong gadis itu begitu indah menopang kedua kaki jenjangnya, menyeruak ke atas seakan minta dielus seseorang.

“Kalau sampai tidak bisa menjejalkan kontolku ke dalam anus Anissa, namaku bukan Bejo Suharso!” batin Pak Bejo sambil pelan mengelus kemaluannya yang kian membesar. “Akan kubelah memek dan anusnya sampai gadis itu tidak bisa lagi berdiri tegak!”

“Ayo, semuanya! Sarapan dulu!” panggil Bu Bejo dari dalam rumah, menghancurkan lamunan suaminya yang cabul.

###

Air hangat yang menyegarkan seluruh badan Alya yang terasa pegal membuatnya rileks. Gelembung sabun yang meletup-letup seakan mengingatkan Alya pada permainan cintanya yang panas dengan tetangganya yang cabul, Pak Bejo. Ketika menyabuni kakinya yang panjang dan jenjang, Alya berusaha keras untuk tidak bermain-main dengan kemaluannya, dia membuang jauh-jauh semua birahi yang setiap saat dikobarkan oleh Pak Bejo. Wanita cantik itu bersungut dan memaki pria tua itu dalam hati, Pak Bejo telah membangkitkan gairah seksual liar di dalam dirinya dan karenanya Alya membenci pria tua itu setengah mati. Alya hanyalah seorang wanita lemah yang dimanfaatkan dan tidak bisa melepaskan diri dari cengkramannya. Alya beruntung karena kehadiran Anissa dan Dodit membuat Pak Bejo sedikit menarik diri karena tidak bisa diam-diam mendekatinya.

“Mandinya enak, manis?” tiba-tiba saja sesosok tubuh yang sangat ia kenal hadir di hadapan Alya tanpa diundang.

“Pak Bejo?!” Alya yang kaget spontan menutup dadanya dan menenggelamkan diri di dalam bak mandi. Hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan karena pria tua itu toh sudah pernah melihatnya telanjang berulang kali.

“Pak Bejo!” teriak Alya lagi ketika Pak Bejo membuka celananya. Batang kemaluannya yang besar dan keras dikeluarkan dari dalam celana dan pria menjijikkan itu kemudian kencing sembarangan. Alya panik namun tidak bisa berbuat apa-apa, bagaimana mungkin laki-laki ini bisa masuk ke kamar mandi pribadinya? Alya yakin sekali dia sudah mengunci pintu kamar, jangan-jangan Pak Bejo sudah menduplikat kunci semua pintu di rumah ini? Ketegangan Alya memuncak karena Hendra belum berangkat kerja dan masih sarapan di belakang bersama Anissa, Dodit dan Opi. Alya tidak tahu di mana Bu Bejo berada, mungkin sedang bersih-bersih. Walaupun marah, pandangan Alya langsung terpatri pada kemaluan Pak Bejo yang memang besar itu.

“Kamu kangen sama kontolku, manis?” Pak Bejo tersenyum meringis.

“Pak Bejo sudah gila? Mas Hendra ada di belakang! Anissa! Dodit! Opi! Bu Bejo! Kalau sampai ketahuan Pak Bejo masuk kemari…”

“Santai saja, Mbak Alya. Suamimu memang masih di belakang dan aku memang tidak berencana lama-lama di sini. Aku hanya mampir untuk memastikan tubuhmu masih seindah beberapa malam yang lalu. Aku kangen sekali sama kamu.” Pak Bejo dengan santai mendekati Alya dan duduk di tepian bak mandi tanpa menaikkan lagi celananya. Dia membiarkan saja kemaluannya tergantung di hadapan Alya.

“Aku ingin mandi tanpa diganggu, Pak. Silahkan meninggalkan kamar mandiku sebelum aku berteriak.”

“Ha ha ha. Beraninya kamu mengancamku, manis. Untung saja hari ini aku sedang tidak mood menamparmu, jadi kamu selamat, tidak perlu kerepotan lagi menyembunyikan lebam di wajahmu dengan bedak. Jangan khawatir, aku tidak akan lama.”

Pak Bejo memiringkan tubuhnya ke dalam bak mandi, tangannya yang kasar menarik leher Alya supaya lebih maju ke depan. Dengan hati-hati Pak Bejo menarik tubuh Alya dan mendekatkan kepala mereka. Bibir Pak Bejo segera mencumbu bibir Alya, lidah pria tua itu tidak kesulitan menyeruak masuk ke dalam rongga mulut Alya. Sambil melenguh lirih, Alya menerima ciuman Pak Bejo dan memejamkan mata. Alya beruntung ciuman itu tidak berlangsung lama, Pak Bejo melepaskan Alya kembali ke dalam bak mandi.

“Pak Bejo sudah gila! Nekat! Bagaimana kalau sampai ada yang tahu Pak Bejo masuk ke kamar mandiku?!”

“Aku sudah bosan main di belakang terus. Aku ingin bisa menidurimu siang malam tanpa khawatir, soalnya tubuhmu yang seksi itu benar-benar membuatku blingsatan tidak bisa tidur.”

“Dasar cabul!”

“Setelah apa yang Mas Hendra dan Mbak Alya lakukan dengan membantu aku dan Bu Bejo sekeluarga, tentunya aku bertekad untuk mengembalikan semua bantuan itu tanpa pamrih pada kalian.”

“Apa maksud Pak Bejo?”

“Tak lama lagi aku pasti bisa menidurimu tiap kali aku mau tanpa harus menunggu suamimu pergi bekerja atau tertidur lelap.” Bisik Pak Bejo mesra di telinga Alya. “Kenikmatan yang kau rasakan akan menjadi seratus persen murni berasal dariku dan memekmu yang lezat itu akan melupakan penis Hendra yang kecil dan tak bisa lepas dari kontolku ini.”

“KELUAR! KELUAR SEKARANG JUGA!” bentak Alya. Dia berusaha keras menahan suara agar tidak ada mendengar keributan di kamar mandi ini. Selain kemarahannya memuncak, ibu muda yang panik itu juga tidak ingin skandalnya dengan pria mesum ini terkuak karena ulahnya yang berengsek dan nekat.

Pak Bejo tertawa-tawa, sambil membenahi celananya dia keluar dengan lagak sombong, dia merasa sudah berhasil menaklukan Alya yang jelita dan diidolakan banyak orang, dia pantas untuk sombong.

Setelah Pak Bejo meninggalkan kamar mandi dan menutup pintu, Alya berulang kali membenamkan kepalanya ke dalam air. “Pria tua mesum itu makin tak terkendali. Nekat sekali dia masuk kemari dan menciumku…” batin Alya.

###

Dengan gelisah Dina menunggu panggilan.

Sudah hampir setengah jam ia menunggu panggilan Pak Pramono. Entah apa maksud pria tua itu memanggilnya ke kantor. Dina punya cukup alasan untuk gelisah, dia baru saja bertemu dengan beberapa orang teman Anton dan menurut mereka suaminya itu sudah menghilang sejak pagi tadi. Mereka memperkirakan, itulah alasannya Pak Pram memanggil Dina ke kantor, dengan karir yang makin tersendat sungguh tidak bijaksana bagi Anton kalau tiba-tiba saja dia memutuskan untuk pergi tanpa pamit.

Mungkin saja Anton tiba-tiba kalut setelah mengetahui skandal finansial yang dilakukan olehnya telah menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan. Tanpa mengetahui perjanjian rahasia yang dilakukan oleh Dina dan Pak Pram, Anton lantas melarikan diri entah kemana. Dina takut Pak Pramono mengingkari perjanjian yang sudah mereka sepakati, Dina bersedia diapakan saja oleh Pak Pram asal mengampuni kesalahan suaminya. Seharian ini Dina tidak bisa menghubungi telpon genggam sang suami, kekhawatirannya makin memuncak ketika Pak Pramono kemudian juga menghubunginya lewat sms. Tapi pesan sms dari Pak Pramono di hp Dina sudah jelas mengatakan kalau dia memanggilnya karena ‘alasan’ lain. Untuk kesekian kalinya, dia harus melayani nafsu pria biadab itu.

Sekretaris Pak Pram sudah meninggalkan ruangan sejak istirahat makan siang, seorang satpam yang tadinya berada di lantai atas juga sudah turun ke lantai bawah, Dina hanya sendirian saja menunggu panggilan Pak Pramono di ruang tunggu kantornya. Ruangan Pak Pram yang eksklusif dan luas dan terletak di lantai atas gedung perkantoran ternyata cukup sepi, di lantai ini hanya ada seorang satpam, seorang sekretaris dan tentunya Pak Pram seorang. Saat ini, satpam dan sekretarisnya sedang istirahat dan Dina harus menunggu sendiri. Dina curiga, jangan-jangan satpam dan sekretaris Pak Pram itu memang sengaja meninggalkannya seorang diri di sini.

“Ibu Dina, silahkan masuk.” Terdengar suara entah dari mana dan pintu masuk ke ruang pribadi Pak Pram terbuka.

Dengan langkah berani dan berusaha mempertahankan harga diri, Dina masuk ke dalam. Pak Pram rupanya sedang berbincang-bincang dengan seorang laki-laki yang sudah terlihat sangat tua dan keriput. Walaupun begitu, terlihat binar mata ceria berkilat di mata lelaki tua itu.

“Ibu Dina, kenalkan ini Pak Bambang Haryanto.”, kata Pak Pramono sambil mengenalkan sosok kakek tua di sebelahnya. Entah kenapa Pak Pramono tidak memanggil Dina dengan sebutan ‘mbak’ seperti biasa. “Pak Bambang, wanita cantik ini adalah Ibu Dina Febrianti, istri dari salah satu pegawai saya, Pak Anton Hartono.”

“Oh, Anton yang itu.” suara Pak Bambang terdengar berat dan serak, sangat tidak enak didengar. Dari nada kalimat yang diucapkannya, Dina menduga Pak Bambang mengetahui kejadian penggelapan uang perusahaan yang dilakukan oleh Anton suaminya. Pasti mereka ingin menanyakan keberadaan suaminya yang sejak pagi tadi menghilang. Dina mulai ketakutan.

Dina segera menyalami Pak Bambang. Sepertinya Pak Pramono sangat menaruh hormat kepada kakek tua ini. Rambut di kepala Pak Bambang sudah beruban, putih semua. Wajahnya sudah keriput dan alisnya yang tebal panjang juga sudah memutih, sekilas penampilannya mengingatkan pada presiden kita yang kedua. Tubuh Pak Bambang lebih pendek dari Pak Pram, bahkan lebih pendek dari Dina. Hanya saja tubuh Pak Bambang jauh lebih gemuk sehingga terlihat sangat besar dan mengintimidasi.

Kalau Pak Pramono walaupun sudah berusia di atas kepala lima tapi masih terlihat gagah, sebaliknya dengan Pak Bambang. Kakek gemuk ini mungkin sudah 70 tahun, wajahnya juga terlihat sangat tua dan keriput, walaupun pada kenyataannya sangat sehat dan segar.

Berhubung tubuh Pak Bambang pendek, tentunya saat menyalaminya Dina harus sedikit membungkuk supaya terlihat sopan. Saat menegakkan badan, Dina melihat mata Pak Bambang nanar melihat belahan dadanya yang indah dan tentunya terlihat jelas di hadapan kakek tua itu. Wajah Dina memerah karena malu dan segera membenahi cara berdirinya. Mata Pak Bambang tidak bergeming dan terus menatap kedua buah dada Dina. Ibu rumah tangga yang cantik itu ingin menyilangkan tangan di depan dada karena merasa sangat malu, tapi pandangan mata galak dari Pak Pramono membuatnya mengurungkan niat. Dia tidak mau membuat Pak Pramono marah.

Ketiga orang itu segera duduk di tempat masing-masing. Pak Pram duduk di belakang meja kerjanya, sementara Dina dan Pak Bambang duduk bersebelahan.

“Pak Bambang adalah pendiri dan direktur dari PT Sasana, salah satu owner baru perusahaan ini.”, kata Pak Pram. “Setelah suksesnya pengambilalihan perusahaan melalui pembelian saham yang dilakukan oleh PT Sasana serta merger dengan anak perusahaan lain yang akan dilakukan sesegera mungkin, kami dari pihak perusahaan hendak memberikan kenang-kenangan untuk Pak Bambang selaku pemegang saham terbesar.”

Entah kepada siapa Pak Pram menerangkan panjang lebar. Dina hanya terdiam dan duduk dengan sopan. Pak Bambang terus saja mencuri-curi pandang ke arah payudara montok wanita cantik di sebelahnya.

“Nah, Ibu Dina. Karena Pak Anton belum juga memberikan laporan yang sangat penting dan amat kami butuhkan sehubungan dengan pengambilalihan perusahaan oleh PT Sasana dan keberadaan Pak Anton juga entah di mana saat ini, maka saya harapkan Ibu Dina sebagai istri dari Pak Anton bersedia memberikan down payment sekaligus kenang-kenangan pada Pak Bambang.”

Perasaan Dina mulai tidak enak. Pak Pram menatapnya tajam. Pandangan mata itu seakan-akan hendak mengatakan – jangan berani-berani melawan –.

“Kita mulai saja pertemuan ini dengan membuka baju Ibu Dina. Saya pribadi sangat menyukai pilihan baju yang Ibu Dina kenakan, tapi kalau saya tidak salah, nampaknya Pak Bambang jauh lebih tertarik pada isi yang ada di balik blus Ibu Dina. Silahkan blusnya dibuka dulu.”

Dina hampir pingsan. Dia tidak percaya apa yang dikatakan oleh Pak Pram. Dia hendak menyerahkan tubuh Dina pada kakek tua pendek menjijikkan ini? Benar-benar gila! Dina sudah siap berdiri dan meninggalkan ruangan itu, namun dia segera teringat perjanjiannya dengan Pak Pram dan tubuhnya pun langsung lemas. Selama Anton masih belum didepak dari pekerjaan dan posisinya aman, maka Dina masih harus melayani Pak Pram sampai dia bosan. Tidak ada gunanya melawan, semua sudah terjadi dan harus dihadapi. Dina menundukkan kepala sambil menahan air matanya agar tidak tumpah. Walaupun terdesak Dina tidak ingin terlihat lemah di hadapan dua laki-laki tua yang mesum ini.

Dengan tangan bergetar, Dina berusaha membuka kancing bajunya. Sekilas Dina melirik pada Pak Bambang yang menatapnya penuh nafsu. Karena dalam sms sebelumnya Dina dilarang mengenakan pakaian dalam oleh Pak Pram, maka Dina sempat mampir ke kamar kecil di lantai bawah untuk melepas pakaian dalamnya, dia sengaja mengenakan pakaian yang sopan dan tertutup rapat sehingga tidak menarik perhatian orang. Setelah dibuka seluruh kancing bajunya, Pak Bambang bisa segera menikmati keindahan buah dada sempurna milik Dina. Ibu rumah tangga yang cantik itu sengaja tidak segera melepas blusnya dan beralih membuka roknya.

Pandangan mata Dina yang mulai berlinang air mata memohon ampun pada Pak Pram, karena selain dilarang mengenakan BH, Dina juga dilarang mengenakan celana dalam, seandainya roknya dilepas, Dina akan langsung bugil di hadapan kedua orang ini, dia malu sekali. Tapi pria tua itu tidak mengindahkan tatapan Dina. Dia bahkan bangkit, menghampiri Dina dan membantu menarik resleting rok pendek istri Anton itu. Dina beruntung karena rok yang ia kenakan sangat ketat sehingga walaupun resletingnya sudah ditarik sampai ujung, tapi rok itu tidak lepas. Pak Pram menahan diri untuk tidak menarik dan melepas rok Dina, sebaliknya ibu rumah tangga itu panik dan berusaha menahan rok serta blusnya agar tidak terlepas dan membuatnya telanjang bulat di depan Pak Bambang.

“Nah. Nah. Begitu baru seksi. Anda setuju dengan saya, Pak Bambang?”

Dina melirik ke arah kakek gemuk yang terkekeh-kekeh di sebelahnya. Selain wajahnya yang menatap tubuh Dina lumat-lumat, dia juga memperhatikan adanya tonjolan yang makin lama makin besar di selangkangan Pak Bambang. Pandangan mata Pak Bambang beralih dari dada ke kaki jenjang Dina, lalu ke paha dan tentunya selangkangan si seksi itu. Pak Bambang nampaknya tidak terlalu memperhatikan pertanyaan dari Pak Pram.

“Ibu Dina sayang, tolong antarkan Pak Bambang beristirahat di sofa yang ada di samping sana.” Kata Pak Pram sambil menunjuk sebuah sofa panjang yang berada di dalam ruangan pribadi Pak Pram. “Temani beliau duduk di dalam.”

Pak Bambang terkekeh-kekeh lagi saat tangannya dibimbing oleh Dina bak seorang jompo yang sudah tidak mampu berdiri dengan tegak. Dina sendiri berusaha keras berada di belakang langkah Pak Bambang sehingga kakek gemuk itu tidak bisa menyaksikan langsung perjuangan kerasnya mempertahankan blus dan roknya agar tidak melorot. Walaupun begitu, berkali-kali lengan Pak Bambang dengan sengaja disenggolkan ke payudara Dina.

Setelah duduk di sofa dan disusul oleh Pak Pram, Dina duduk di samping Pak Bambang. Saat duduk, salah satu bagian blus yang dikenakan Dina melorot dan susu sebelah kanannya pun bisa dilihat jelas oleh kedua laki-laki yang ada dalam ruangan. Dina hendak membenahi bajunya tapi Pak Pram menggelengkan kepala sehingga diurungkannya niatnya itu.

Dina tersentak saat tangan Pak Bambang meraih buah dadanya yang terbuka. Dina bisa melihat kilau emas cincin kawin di jemari Pak Bambang. Dina baru teringat kalau dia juga masih mengenakan cincin kawinnya. Nama Anton terngiang berulang-ulang kali dalam benak Dina, begitu pula nama kedua anaknya. Ini semua untuk keluarga. Dia melakukan ini semua untuk keutuhan keluarga. Dina berusaha menenangkan dirinya sendiri. Belum pernah seumur hidupnya Dina membayangkan hal seperti ini akan menimpa dirinya.

Tangan Pak Bambang meremas-remas buah dada Dina dengan lembut dan beralih ke payudara yang sebelah lagi. Karena merasa terganggu, kakek bejat itu segera melepaskan blus yang dikenakan Dina. Setelah melepaskan blus Dina, Pak Bambang segera meremas-remas kedua payudara si cantik itu.

“Ibu Dina, tolong keluarkan kemaluan Pak Bambang agar tidak sesak di dalam.” Kata Pak Pram. “Sekalian digosok agar tidak kedingingan. Ruangan ini ACnya dingin sekali.”

Dina memejamkan mata dan berusaha tidak memikirkan apa yang saat ini sedang dialaminya. Dengan tangan bergetar, Dina meraih sabuk celana Pak Bambang dan membuka kaitannya. Setelah sabuk itu tidak terkait lagi, Dina menarik resleting celana Pak Bambang ke bawah. Dina memasukkan tangan ke dalam dan mencari batang zakar Pak Bambang. Setelah beberapa kali mencari dengan grogi, Dina menemukan penis Pak Bambang yang berada di balik celana dalamnya. Dina membuka celana dengan tangan kiri dan menarik keluar penis Pak Bambang dengan tangan kanannya.

Dina mengocok penis Pak Bambang dengan jemarinya yang lembut.

###

Hendra meninggalkan Anissa dan Dodit yang masih duduk di meja makan sambil menonton TV. Setelah menelpon taksi, Hendra siap berangkat kerja. Sudah beberapa hari ini Hendra tidak mengendarai mobilnya sendiri.

“Bagaimana mobilnya, Mas Hendra? Sudah dibawa ke bengkel yang saya sarankan?” tanya Pak Bejo yang tiba-tiba saja muncul dan mengagetkan Hendra.

Hendra tersenyum, “Wah, sudah Pak. Bengkelnya bagus dan murah. Nanti sore mobil saya sudah jadi, saya ambil sepulang kerja. Terima kasih banyak buat rekomendasinya, Pak Bejo. Kalau tahu dari dulu ada bengkel yang murah seperti itu pasti saya sudah langganan sejak lama.”

“Ah sama-sama, Mas. Saya kan juga sudah sering dibantu Mas Hendra.”

Hendra tersenyum dan masuk ke dalam kamar untuk menemui istrinya.

Pak Bejo menengok ke dalam sejenak kemudian meraih ke dalam saku celana dan mengambil telpon genggamnya. Dia mulai mengetikkan sms dan mengirimnya ke sebuah nomor.

- Bgmn psnku td? Kalian sdh sabot mobil si Hndr? Truk si Somad sdh siap? -

Tak lama kemudian, balasan sms itu datang, Pak Bejo terkekeh membaca pesan singkat yang masuk ke hpnya.

- Semua sdh diatur. Brs bos. -

###

Alya sedang memandangi dirinya sendiri di dalam cermin ketika suaminya masuk ke dalam kamar, ia terkejut dan bersiap karena mengira yang masuk adalah Pak Bejo. Wanita cantik itu langsung menghembuskan nafas lega begitu tahu yang masuk adalah suaminya.

“Kamu selalu cantik, sayang. Tidak perlu berkaca terlalu lama.” Kata Hendra sambil mendekap tubuh istrinya dengan mesra.

Alya tersenyum manis dan membiarkan kehangatan penuh cinta yang diberikan suaminya memberikan kedamaian setelah tadi sempat tegang dikejutkan Pak Bejo. Tangan Hendra yang nakal membelai tubuh istrinya yang masih mengenakan kimono. Dengan hati-hati sekali Hendra membuka bagian atas kimono itu dan membelai payudara Alya. Puting susu Alya menonjol ke depan dan dimainkan Hendra dengan lembut.

Alya mendesah penuh kenikmatan. “Aku menyukai sentuhanmu.”

Hendra memeluk istrinya erat-erat. “Aku sangat mencintaimu.”

“Aku lebih mencintaimu daripada kau mencintai aku, mas.”

Hendra mengecup bibir istrinya dengan lembut, tidak ada kekasaran yang dirasakan oleh Alya, hanya usapan bibir penuh cinta yang sangat didambanya. Sayangnya Hendra tidak tahu kalau bibir yang sama juga baru saja dinikmati oleh tetangganya yang cabul.

“Sudah mau berangkat kerja, Mas?”

“Aku sudah telpon taksi tadi.”

“Opi?”

“Diantar Bu Bejo. Kamu berangkat siang?”

“Iya. Katanya Anis sama Dodit mau jalan-jalan ke mall, aku mau numpang.”

“Ya udah kalau begitu, tadinya aku kira kamu mau dianter Pak Bejo pakai motor.”

Nama itu bagaikan kilat yang menyambar batin Alya. Tiap kali Hendra menyebut nama pemerkosanya, seluruh tubuh Alya terasa lemas tak berdaya. Batinnya menjerit-jerit namun tidak ada kata-kata yang terucap. Maafkan aku, Mas. Maafkan istrimu yang telah membiarkan diri dinodai oleh tetangga yang kurang ajar itu. Maafkan istrimu yang tidak mampu menjaga diri. Banyak yang ingin terucap, tapi bibir Alya tetap terkatup rapat.

“Nanti pulangnya jangan malam-malam ya, Mas.”

“Memangnya kenapa? Mungkin agak sore, aku ambil mobil dulu di bengkel.”

Alya menggelayut manja di pelukan sang suami. “Sudah beberapa hari ini kita tidak bercinta, aku kangen sekali sama kamu.”

Hendra tertawa dan mencium bibir Alya sekali lagi. “Gampang, nanti bisa diatur.”

Terdengar bunyi klakson taksi.

“Taksinya udah datang, aku berangkat dulu ya, sayang.”

“Iya, mas. Hati-hati.”

Hendra meninggalkan istrinya dan membuka pintu kamar lalu melangkah keluar. Belum sampai satu menit, Hendra kembali lagi ke kamar dengan keringat bercucuran.

“Mas? Kamu kenapa?” Alya terkejut melihat suaminya dan mengambil sapu tangan, dengan hati-hati diusapnya keringat Hendra. “Kamu sakit?”

“Nggak tau nih, nggak sakit kok, hanya saja perasaanku tiba-tiba tidak enak.”

Alya mulai khawatir. “Kamu yakin tidak apa-apa? Aku telpon ke kantor saja ya, minta ijin?”

Hendra tersenyum dan mencium dahi Alya. “Aku tidak apa-apa kok, sayang. Bener. Apapun yang terjadi, aku selalu mencintai kamu.”

“Aku juga, mas.”

“Aku berangkat ya.”

“Iya, mas.”

Perasaan Alya tidak enak.

###

Saat ini Dina sedang berada di sebuah ruangan di kantor suaminya. Tepatnya di sebuah ruangan pribadi yang berada di dalam kantor pimpinan Anton. Dina sedang mengocok seorang pria tak dikenal sementara tangan pria itu meremas-remas buah dadanya. Tak tahan lagi akan keindahan susu Dina, Pak Bambang mengelamuti payudara ibu muda itu. Dina mengernyit saat tangan Pak Bambang yang tadi meremasi payudaranya kini beralih mengelus bagian bawah pahanya yang mulus. Kaki Dina masih tertutup rapat sehingga tangan Pak Bambang harus mendesak ke dalam jepitan paha agar bisa masuk ke selangkangan kaki Dina.

Tangan Pak Pram menepuk bahu Dina sedikit keras. Karena kerasnya, suara tepukan itu mengagetkan Dina.

Dina tahu apa yang diinginkan Pak Pramono. Dengan penuh kepatuhan, Dina membuka kakinya. Tangan Pak Bambang langsung masuk ke selangkangan dan meraih belahan memek Dina. Tidak perlu waktu lama bagi Pak Bambang untuk menjelajahi bibir vagina Dina. Jari jemari gemuk pria tua itu beraksi dengan cepat, mencubit, menusuk dan mengelus bagian dalam memek Dina. Jempol Pak Bambang digunakannya untuk mengelus-elus klitoris Dina sementara jari tengahnya masuk ke liang cinta ibu rumah tangga yang cantik itu.

Dina mendesis lirih saat jari tengah Pak Bambang memasuki vaginanya dengan kasar.

Saat memperhatikan ke bawah, Dina melihat Pak Bambang masih asyik menjilati kedua buah dadanya dan mengelamuti puting susunya. Dengan sekali tarik, rok Dina dilepas oleh Pak Bambang sehingga memudahkannya mengakses memek Dina. Kakek itu segera sibuk dengan vagina Dina yang wangi.

Dina memejamkan matanya lagi. Betapa rendahnya diri Dina saat ini, beberapa hari yang lalu Dina adalah seorang istri setia yang tidak sudi melayani pria lain selain suaminya. Bahkan Anton sendiri kadang ditolaknya bermain cinta. Kini, sudah ada dua orang laki-laki lain yang tidak saja menyaksikannya bugil, tapi juga mempermainkannya seperti seorang pelacur. Dina merasa lebih rendah dari seorang pelacur, dia adalah seorang istri yang berzina dan mengkhianati kepercayaan suaminya. Tapi ini semua demi masa depan keluarga, ini semua untuk Anton dan kedua anaknya, Dina bersedia mengorbankan apa saja.

Gerakan mulut dan jemari Pak Bambang tidak ada hentinya menghujani tubuh indah Dina dengan rangsangan. Sebagai perempuan normal, rangsangan kakek mesum itu lama kelamaan berpengaruh juga pada tubuh Dina. Dina membuka kakinya yang jenjang makin melebar tanpa sadar. Bau cairan cinta Dina yang kian membanjir memenuhi seisi ruangan yang berAC, begitu pula bunyi becek memek Dina yang terus disodok jari jemari Pak Bambang yang keluar masuk dengan cepat. Kali ini tidak perlu waktu lama sebelum Dina akhirnya menyerah pada nafsu birahinya sendiri. Istri Anton itu meraih kepala Pak Bambang dan ditekannya ke arah buah dadanya sementara pinggul Dina bergerak seiring sodokan jemari Pak Bambang di memeknya. Tangan Dina yang lain terus mengocok penis Pak Bambang dengan gerakan yang makin lama makin cepat.

“Uaaaahhhhh!!” Dina menjerit lirih karena rangsangan hebat yang dilakukan Pak Bambang. Kakek mesum itu terus menyerang payudara dan vagina sang ibu muda yang cantik. Bagaikan seorang pekerja seks komersial yang binal, Dina menggerakkan pinggangnya agar tusukan jemari Pak Bambang masuk lebih dalam, Dina sudah lupa pada statusnya sebagai seorang istri dan ibu yang setia. Entah kemana Dina yang beberapa saat tadi masih teringat pada Anton dan dua orang anaknya.

Saat membuka matanya yang terpejam sedari tadi, Dina menyadari tubuhnya sudah hampir jatuh dari pinggir sofa. Kakinya terbentang sangat lebar dan memeknya dapat diakses dengan mudah oleh Pak Bambang. Bibir vagina Dina terlihat lebih merah dari biasanya dan rambut-rambut di sekitar lubang cintanya itu basah oleh cairan pekat. Baik pakaian maupun roknya sudah terbuka. Dia sudah telanjang bulat.

Pak Bambang meraih kepala Dina dan menariknya ke bawah, ke arah selangkangannya. Sebelum Dina menyadari apa yang terjadi, penis Pak Bambang sudah masuk ke dalam mulutnya.

Walaupun sudah keriput dan tidak terlalu besar, tapi penis Pak Bambang masih tetap bisa membuat Dina tersedak saat pria tua itu memaksa kepala Dina naik turun dengan cepat. Tangan Dina menggapai-gapai lengan Pak Bambang dan berusaha meronta. Tapi walaupun sudah uzur, kakek tua yang bejat itu masih tetap perkasa dan Dina tidak semudah itu bisa menghentikan aksinya.

Tiap kali kepala Dina turun ke arah selangkangan Pak Bambang, penisnya yang besar masuk ke tenggorokannya. Dina tersedak dan makin lama makin kehilangan kesadarannya karena tidak bisa bernafas. Pria tua yang dihormati oleh Pak Pram itu mencekik Dina dengan kontolnya sampai ibu rumah tangga itu hampir mati lemas. Untungnya Pak Bambang mengakhiri aksinya dan menarik kontolnya dari mulut Dina. Wanita cantik itu segera jatuh ke lantai dan terbatuk-batuk. Dina berusaha menarik nafas dalam-dalam dan menghirup udara walaupun terasa sangat berat.

Akhirnya, sambil mengangkat pinggul indah Dina ke arahnya, Pak Bambang menyelipkan kemaluannya yang mengeras ke dalam lubang vagina ibu muda yang cantik itu. Pak Bambang bisa merasakan gerakan spontan Dina yang mencoba melawan dengan beringsut menjauh, tapi itu malah membuat sang kakek tua mendesah keenakan karena tubuh mereka saling bersinggungan dengan lembut. Dengan pandai, kakek tua yang banyak pengalaman itu mengelus-elus paha Dina yang terbentang lebar dan mulai bergerak maju mundur sementara lubang rahimnya terus menyedot penis Pak Bambang dengan nyaman. Gerakan penis kakek tua itu makin lama makin dalam menjelajah rapatnya pertahanan vagina Dina. Walaupun mendesak ke dalam terus menerus, tapi Pak Bambang tidak ingin menusukkan penisnya sampai ke ujung, dia merasakan pelan-pelan katupan bibir memek Dina yang menjepit kontolnya bagaikan penghisap debu, liang cinta ibu muda yang hangat dan basah ia rasakan dengan nikmat dan perlahan. Dina hampir-hampir gila dibuatnya.

Tiap sentakan, tiap putaran dan tiap kali kontol Pak Bambang berpilin di dalam lubang vagina membuat Dina tidak bisa menahan gairah sensual yang makin lama makin meraja dalam dirinya. Dina tidak mampu menahan hausnya diri sendiri akan kenikmatan bercinta, dia ingin penis Pak Bambang menusuk lebih dalam dan lebih dalam lagi. Dia ingin menurunkan vaginanya sampai mentok ke paha Pak Bambang agar batang penisnya bisa masuk semua ke dalam vaginanya. Tapi Pak Bambang menahan diri dengan menikmati tubuh Dina selama mungkin dan itu membuat istri Anton itu melenguh tak berdaya.

Saat akhirnya penis itu menusuk lebih jauh ke dalam dan membelah vaginanya yang masih cukup rapat, Dina seakan hampir mati oleh gelombang kenikmatan yang mengubur dirinya. Sayangnya, sekali lagi Pak Bambang menahan diri dan tidak memasukkan seluruh kontolnya masuk ke dalam memek sang ibu rumah tangga yang cantik.

Dina menggeleng frustasi, walaupun dia malu mengakui kalau dia menginginkan penis Pak Bambang lebih dalam lagi tapi gairah sensual yang makin dirasakan membuatnya lupa diri. Dengan penuh keputusasaan, wanita cantik itu hanya bisa melenguh panjang dan meminta dengan dengan manja. “Pak… masukkan…”

Dina merasakan jemari kakek tua yang dengan nakal meremas, meraba dan memijat pipi bokongnya yang bulat putih mulus, mata Dina memejam dan seluruh tubuhnya bagaikan disetrum jutaan volt llistrik ketika tangan Pak Bambang menyibakkan pantat Dina dan jari tengah kakek tua itu masuk ke dalam lubang anusnya.

“Hngghh!!” Dina mengernyit menahan rasa sakit bercampur nikmat yang disebabkan oleh jari sang kakek nakal.

“Masukkan apa… Ibu Dina?” tanya Pak Pram yang kemudian menyadari kalau istri Anton itu sudah di ambang batas penyerahan diri yang total.

“I-itu… dimasukkan…”

“Apanya?”

“I-itunya…”

“Itunya apa?”

“Penisnya… masukkan… masukkan lebih dalam!!”

Pak Pram mengerling pada Pak Bambang dan kakek tua itu lagi-lagi mempermainkan Dina, dengan sengaja dia menggerakkan pinggulnya dengan gerakan sangat pelan yang menyiksa sang ibu rumah tangga. Dia tidak mau membuat Dina puas dan tak pernah mau melesakkan penisnya sampai mentok jauh ke dalam. Dia belum mau membuat Dina puas, dia ingin Dina lebih responsif, dia ingin Dina lebih binal lagi, dia ingin ibu muda yang cantik itu melupakan eksistensinya sebagai seorang istri dan ibu dan berubah menjadi budak seks yang haus disetubuhi saat itu juga.

Dengan penuh keputusasaan, Dina merayapkan bibir vaginanya yang haus kemaluan lelaki dan menangkup penis kakek tua yang walaupun keriput tapi berukuran besar dan memenuhi seluruh liangnya dengan sangat rapat, dinding vagina Dina seakan tidak rela diserang dan liang rahimnya itu langsung mengeluarkan cairan cinta yang menjadi pelumas. Dina sudah pasrah, dia sudah siap dihina sampai serendah-rendahnya, dia hanyalah seorang wanita biasa yang ingin merasakan disetubuhi saat ini juga.

Rangsangan hebat dari Dina membuat Pak Bambang tak tahan lagi. Dengan sebuah teriakan keras, kakek tua itu menghunjamkan seluruh kontolnya yang mengejang keras ke dalam vagina Dina dengan kekuatan penuh, dia tidak main-main lagi sekarang, seluruh batang kemaluannya melesak ke dalam sampai paha mereka saling tampar. Pak Bambang membiarkan kontolnya berada di dalam untuk sesaat sambil mendengarkan desahan kekalahan yang keluar dari mulut Dina. Dengan kekuatan penuh, kakek tua yang masih perkasa itu mulai menggiling memek sang ibu rumah tangga yang cantik dan menusukkan kemaluannya dalam-dalam sampai seluruh batangnya selalu tertelan habis.

Pak Pramono bisa merasakan lesakan dahsyat kemaluan Pak Bambang di seluruh tubuh Dina, dia bisa merasakan pahitnya kekalahan yang tentunya menguasai diri Dina yang kini hanya bisa pasrah disetubuhi Pak Bambang. Pak Pramono bergerak ke hadapan Dina, tubuh wanita cantik yang tersengal-sengal dientoti Pak Bambang itu terkulai pasrah di atas lantai. Dengan gerakan ringan, Pak Pram mengangkangi dada Dina dan duduk di atas buah dadanya. Satu tangan Pak Pram meraih rambut Dina, menjambaknya dan menarik kepalanya ke depan. Tangan Pak Pram yang lain menggiring penisnya yang sudah tegang ke bibir mungil Dina. Mata Dina terbelalak karena terkejut dan dia memalingkan wajah dengan marah, walaupun sedang dilanda gairah birahi yang sangat tinggi tapi Dina tahu dia tidak mau melayani dua orang sekaligus! Dia masih waras dan tidak ingin disamakan seperti seorang pelacur!

Dina merintih, “Jangan! Aku mohon… aku tidak bisa melayani kalian berdua bersamaan!”

“Kenapa tidak? Sekarang saat yang tepat, Ibu Dina… ayo kulum penis saya.” Kata Pak Pram tenang.

“Tidak! Jangan… aku tidak mau!!” Dina menolak. “Aku bukan pelacur! Aku tidak mau… dua orang… aku…”

Pada saat bersamaan Pak Bambang menusuk kontolnya lebih jauh lagi ke dalam liang rahim Dina, entah sudah berapa jauh ia menguasai memek Dina, yang jelas, ia sudah lebih jauh dari apa yang pernah dicapai oleh Anton, suami Dina. Wanita cantik itu melenguh nikmat dan hal itu memberikan kesempatan untuk Pak Pramono menyerang Dina. Dengan sedikit kasar Pak Pram menyodokkan penisnya ke dalam mulut Dina.

“Atas kena bawah bisa, Ibu Dina sayang.” Bisik Pak Pram menggoda.

Rongga mulut Dina langsung sesak begitu penis Pak Pram masuk ke dalam dengan paksaan, ibu muda yang cantik itu hampir saja tersedak dan merasakan daging berotot milik Pak Pram melindas lidahnya sampai ke dalam. Tubuh Dina tersentak dan dia menggelinjang tak berdaya. Di bawah, Pak Bambang terus saja membenamkan kontol raksasa yang keriput ke dalam memeknya sementara di atas Pak Pram menghunjamkan penis ke dalam rongga mulutnya. Air mata Dina meleleh saat dia menyadari betapa rendah dirinya saat ini, apalagi jika ia teringat pada sang suami yang tentunya masih mengira dia seorang istri setia. Penghinaan dan rasa malu apalagi yang masih bisa ia hadapi saat ini? Dia disetubuhi oleh dua orang sekaligus. Jari jemari Pak Bambang yang sesekali masuk ke dalam lubang anus membuat Dina menyadari satu hal lagi, seluruh lubang di tubuhnya sudah mereka kuasai, seluruh tubuhnya sudah menjadi milik dua laki-laki tua biadab ini. Dia sudah tidak berharga lagi. Dia sudah tidak punya harga diri lagi.

Sementara Dina menghisap-hisap penis Pak Pram, Pak Bambang kian liar mengendarai memek sang ibu muda yang cantik itu. Dengan sisa tenaga yang entah didapat dari mana, kakek tua itu terus menggerakkan kontolnya keluar masuk, Dina juga menggerakkan pinggulnya seiring gerakan penis Pak Bambang dan melayani permainan kakek tua itu. Pak Bambang dengan pandangan mata bahagia menyaksikan batang kemaluannya yang masih tetap keras keluar masuk dari memek Dina dengan perkasa, dengan sengaja kakek tua itu menarik penisnya hingga ujung gundulnya saja yang tersisa di dalam. Kemudian dengan kekuatan penuh, Pak Bambang kembali melesakkan kontolnya masuk ke memek Dina.

Disepong oleh wanita secantik Dina sungguh nikmat rasanya, Pak Pram menekan penisnya jauh lebih dalam ke mulut Dina, memasuki rongga tenggorokannya sampai perempuan cantik itu sesak dan hampir tersedak. Gerakan tubuh Dina yang didorong oleh Pak Bambang juga membuat sensasi tersendiri bagi Pak Pram, seakan-akan ibu muda yang cantik itulah yang bergerak naik turun, padahal dorongan itu datang dari bawah.

Dalam keadaan tidak berdaya, tubuh Dina menjadi bulan-bulanan kedua laki-laki tua yang kini menguasai dirinya itu. Berkali-kali Pak Bambang membolak-balik tubuh Dina agar bisa mendapatkan posisi yang enak dan kini ibu rumah tangga yang cantik itu turun ke lantai dan menelungkup ke bawah. Wajahnya berada tepat di bawah perut Pak Pramono sementara di belakang, Pak Bambang mengendarai Dina secara ‘doggie-style’. Wajah Dina semakin pucat dan sayu, dengan memelas Dina memohon pada Pak Pramono agar menyelamatkannya dan segera mengakhiri semua ini. Sayangnya tidak ada harapan bagi Dina.

Dengan satu tusukan penuh tenaga, Pak Bambang melesakkan penisnya ke dalam liang cinta Dina.

“Hnnghh!” Dina menggeram dan memejamkan mata menahan sakit.

Tubuh pendek Pak Bambang berada di belakang tubuh Dina. Tangannya memeluk pinggang Dina agar seimbang sementara dia melesakkan penisnya ke dalam rahim Dina. Tidak ada kelembutan saat kakek mesum itu menyetubuhi Dina, Pak Bambang bergerak dengan sangat cepat dan kasar. Agar tidak tergoyang terlalu hebat, Dina mencengkeram lutut Pak Pram yang duduk di sofa. Dina menengadah dan Pak Pram kembali menyodorkan kontolnya. Lagi-lagi Dina harus menyepong Pak Pram. Dina segera menjilati batang kemaluan Pak Pramono sementara Pak Bambang mengentoti vaginanya dengan kecepatan tinggi.

Hampir sepuluh menit posisi ini tidak berubah. Pak Pramono menjambak rambut Dina dengan gemas. Dina merasakan semprotan air mani membanjiri mulutnya. Agar tidak tersedak, Dina menelan seluruh sperma yang disemprotkan oleh atasan Anton itu. Walaupun sudah mencapai klimaks, Pak Pram tidak segera menarik kontolnya dari mulut Dina. Sementara itu, Pak Bambang masih terus menggerakkan pinggulnya menyetubuhi Dina dari belakang. Gerakan Pak Bambang sangat cepat dan penuh nafsu, mengingat usianya yang sudah uzur, Dina takjub pada kekuatan dan kecepatan Pak Bambang. Belum pernah seumur hidupnya Dina merasakan dientoti sedemikian cepat dan lama. Makin lama makin cepatlah kocokan kontol Pak Bambang di dalam memek Dina sampai pria tua itu melenguh keras dan menyemprotkan pejuhnya membanjiri vagina Dina.

Kedua lelaki busuk itu mencapai klimaks hampir bersamaan, dua laki-laki buas yang mencengkeram erat tubuh Dina berebut ingin memeluknya, masing-masing ingin melesakkan penisnya jauh lebih dalam ke dalam mulut dan vagina wanita cantik itu dan menembakkan air mani mereka dalam dalam. Pak Pram beralih ke sisi kiri Dina, dia menarik kontolnya yang mulai lemas meskipun si cantik itu masih saja menyedot air mani yang masih keluar dari ujung kemaluannya. Pak Bambang mundur ke belakang dan menarik keluar kontolnya dari dalam memek Dina, terdengar suara letupan kecil dan desahan nikmat dari kakek tua yang mesum itu. Pak Bambang berbaring di sisi kanan Dina.

Mereka bertiga kelelahan… kenyang oleh nikmatnya regukan birahi yang telah diraih. Dina memejamkan mata kecapekan, dia tidak mengira bahwa sekali ini dia benar-benar sudah mengkhianati suaminya dengan cara yang paling menjijikkan, tidak saja dia berselingkuh dengan atasannya, tapi dia juga melayani tamu Pak Pram secara bersamaan. Bagaimana mungkin wanita seperti dia bisa melayani dua orang sekaligus? Dulu bersetubuh dengan Pak Pram saja sudah seperti kiamat, rasa malu dan jijik yang hinggap tidak bisa hilang oleh apapun. Tapi kini? Dia disetubuhi oleh dua orang lelaki sekaligus. Seorang pria tua yang masih gagah dan seorang kakek-kakek yang keperkasaannya menakjubkan. Rasa malu pada diri sendiri kian membuncah karena Dina merasa mendapatkan kenikmatan yang luar biasa disetubuhi oleh mereka berdua.

Ibu rumah tangga seksi yang baru saja dinikmati dua pria tua itu ambruk ke lantai kantor. Nafasnya terasa berat hingga Dinapun terengah-engah. Belum sampai lima menit beristirahat, rambut Dina sudah dijambak oleh Pak Bambang. Pria tua itu menarik kepala Dina dan menyorongkan kontolnya yang basah oleh air mani ke mulut Dina. Dina segera menjilati kontol Pak Bambang dan membersihkan semua pejuh yang ada di batang kemaluan kakek tua itu.

Setelah Dina selesai membersihkan penis Pak Bambang dengan mulut, kakek mesum itu mendorong kepala Dina menjauh. Sekali lagi Dina duduk dengan lemas di lantai sementara dua pria yang baru saja menyetubuhinya duduk di sofa dan bersantai tanpa mempedulikannya.

“Bagaimana rasanya, Pak Bambang?” tanya Pak Pram dengan sopan sambil merapikan celananya kembali.

“Luar biasa, memeknya kok masih sempit ya? Padahal anaknya sudah dua, enak sekali. Untung saja tadi aku sempat minum obat kuat. Kamu beruntung punya koleksi seperti dia. Sudah berapa lama kamu pakai?”

“Sekitar dua minggu.”

“Buat aku saja. Dia cantik sekali.”

“Wah, saya tidak tahu apakah Ibu Dina…”

“Kalau di luaran, harga lonthe yang cantik dan seksi seperti ini mahal sekali, padahal kebanyakan memeknya sudah melar, aku sering rugi kalau beli. Yang dia punya masih sempit, padahal sudah pernah melahirkan, mungkin prosesnya melalui operasi caesar ya? Luar biasa, masih rapat, aku puas.” Suaranya yang serak terdengar semakin menyeramkan di telinga Dina. “Bagaimana kalau aku beli saja dia? Berapa harganya?” Pak Bambang mencari-cari buku cek di dalam saku bajunya.

“Wah-wah…” senyum Pak Pramono makin melebar. “Kalau dijual harganya mahal sekali, Pak Bambang. Dia ini masih orisinil. Ibu rumah tangga biasa yang…”

“Berapapun harganya aku beli. Aku bisa membeli perusahaanmu, Pram. Kalau hanya membeli lonthe semacam ini tentunya aku lebih dari sekedar mampu.”

Sudah jelas kalau Pak Bambang memang lebih kaya dibanding Pak Pram. Tapi selain lebih kaya dan jauh lebih tua, kakek-kakek yang bertubuh pendek dan gemuk ini nampaknya juga menjadi panutan Pak Pramono sehingga dia sangat hormat kepadanya. Kekhawatiran makin menyeruak ke dalam batin Dina.

Dina sadar sepenuhnya kalau dia sebelumnya telah berjanji bersedia menjadi budak seks Pak Pramono. Apa yang terjadi saat ini sudah menyalahi janji dan seandainya Pak Pram memberikannya pada Pak Bambang maka bisa dipastikan hidupnya akan lebih sengsara lagi. Pak Bambang jelas tidak selembut dan segagah Pak Pramono. Walaupun telah membuatnya menderita, tapi ada sisi-sisi lembut Pak Pramono yang kadang membuat Dina merasa sedikit dihargai. Dari dua bajingan tua ini, Dina jelas tahu siapa yang dia pilih.

“Pak Pram,” bisik Dina lirih, “perjanjiannya kan tidak seperti ini…”

“Diam! Siapa yang menyuruhmu bicara?” bentak Pak Pram galak.

Dina kaget oleh bentakan Pak Pram, ibu muda cantik itu lantas diam membisu karena takut, airmatanya meleleh membasahi pipi. Bagaimana mungkin ini terjadi? Dulu dia adalah seorang wanita baik-baik yang tidak mungkin akan berselingkuh dengan lelaki lain, tapi kini tubuhnya diperjualbelikan bagaikan seorang pelacur di pasar budak. Dina merasa sangat terhina. Dina meyakinkan dirinya sendiri kalau ini adalah jalan untuk menyelamatkan keluarga sehingga tidak ada jalan keluar dari masalah ini kecuali menjalankan semua perintah Pak Pram. Pandangan mata Dina kian mengabur karena pikirannya yang shock berat. Dia berusaha menahan tangisnya.

Tiba-tiba terdengar suara gemerincing di balik sebuah tirai yang tertutup sedikit di pojok ruangan. Karena sibuk meladeni nafsu kedua bandot tua tadi, Dina tidak memperhatikan sudut itu. Dina melirik ke arah Pak Pramono, entah kenapa orang itu tersenyum sinis.

“Pak Bambang.” Kata Pak Pram kemudian. “Rasa-rasanya saya tidak bisa memutuskan hal itu karena terkait dengan banyak hal. Tapi seandainya Pak Bambang memang berminat pada Ibu Dina, mungkin bisa ditanyakan langsung pada yang bersangkutan.”

Dina bingung dengan maksud Pak Pramono, jantungnya berdetak dengan kencang karena nasib dan masa depannya ada di tangan Pak Pramono, bagaimana mungkin dia melanggar perjanjian dan memberikannya pada kakek menjijikkan ini? Namun belum sempat Dina memprotes, suara gemerincing terdengar lagi. Suara dari sudut itu makin keras dan mengganggu. Pak Pram mendengus kesal.

“Ibu Dina, tolong buka tirai itu.” perintah Pak Pram jengkel.

Dina yang lemas dan masih telanjang hendak mengambil pakaiannya. Namun Pak Pram menggeleng.

“Aku ingin Ibu Dina membuka tirai. Bukan mengenakan baju.”

Dina menatap Pak Pram pilu dan mencoba berdiri. Tetesan air mani masih leleh dari sela selangkangannya yang sudah dinikmati Pak Bambang.

Dengan langkah kaki yang masih lemas dan bergetar, ibu rumah tangga yang cantik itu berjalan telanjang menuju ke arah sudut ruangan yang terus mengeluarkan suara gemerincing. Nampaknya ada sesuatu yang tersembunyi di balik tirai itu.

Sesuatu atau… seseorang?!

Seseorang sedang duduk di kursi yang berada di balik tirai!

Selama Dina melayani Pak Pram dan Pak Bambang, tentunya orang ini bisa melihat semua aksi mereka. Dina bisa melihat garis tali temali, orang yang duduk di atas kursi di balik tirai sedang terikat erat. Suara gemerincing itu berasal dari lonceng kecil yang ada di ujung tirai. Orang itu pasti berjuang keras agar bisa membunyikan lonceng kecil karena diikat sedemikian erat di kursi, mulutnya juga disumpal oleh kain.

Dengan sedikit ketakutan dan berusaha menutupi ketelanjangannya, Dina membuka tirai.

Dina menjerit karena shock melihat sosok di balik tirai.

Sosok itu adalah Anton! Suaminya!

###

Alya terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Dia baru sadar ternyata dia tertidur di depan televisi sepanjang malam, suara telepon di tengah malam mengejutkannya. Alya tidak menyukai suara telpon yang berdering di tengah malam. Suara dering telpon yang terus berbunyi mengingatkannya pada kejadian bersama Pak Bejo beberapa malam yang lalu dan itu terus menghantuinya. Masih belum terlalu malam, jam sebelas lebih sedikit, Hendra belum pulang dan Opi sudah terlelap. Anissa dan Dodit juga belum pulang, mungkin mereka masih jalan-jalan ke kota.

Alya berharap telpon itu bukan datang dari Pak Bejo. Dengan berat hati diangkatnya gagang telpon dan ditempelkannya ke telinga.

“Halo…”

Suara seorang wanita kemudian bertanya. “Selamat malam. Apa benar ini rumah Bapak Hendra Wibisono?”

Jantung Alya berdegup kencang. “Benar.”

“Dengan siapa saya bicara?”

Makin berdebar. “Saya Alya, istrinya. Maaf, ini siapa?”

“Ibu Alya, kami dari Rumah Sakit ***** hendak memberitahukan kalau malam ini Pak Hendra Wibisono mengalami kecelakaan, mobil yang dikendarai beliau bertabrakan dengan sebuah truk di jalan *****. Keadaan Pak Hendra cukup parah dan membutuhkan perawatan medis yang serius. Sampai saat ini beliau belum sadarkan diri dan kami membutuhkan kehadiran ibu segera.”

Dunia Alya berputar dan semua berubah menjadi gelap.

“Halo? Halo? Ibu Alya? Ibu masih di sana?”

Dina sangat kaget, ia tidak menyangka ternyata sejak awal suaminya berada di dalam ruangan tempat ia melayani nafsu dua bos tua yang penuh nafsu terkutuk. Ibu muda yang cantik itu sama sekali tak mengira, Pak Pramono tega melakukannya.

Anton ternyata berada di dalam ruangan kantor Pak Pramono sepanjang hari ini. Ia bisa mendengar dengan jelas dan melihat bayangan Dina dari balik kelambu tempatnya disembunyikan dengan badan terikat dan mulut tersumpal. Suami Dina itu bisa melihat tubuh sang istri dipermainkan dengan buas oleh dua lelaki tua yang haus seks, perasaan Anton hancur melihat istrinya menderita, apalagi semua ini terjadi karena ulahnya yang menggunakan aset kantor. Ia tak mengira sama sekali perbuatannya yang merugikan perusahaan tertangkap basah dan berdampak langsung pada kehancuran kehidupan rumah tangga Anton dan Dina.

Dina mengusap pipinya yang basah oleh air mata, ia tidak menduga akan bertemu Anton dalam situasi seperti ini. Entah kenapa, Dina merasa malu dan berusaha menutup ketelanjangannya dari tatapan nanar mata Anton yang menyala penuh kebencian. Kedua tangan Dina bergerak menutup dada dan selangkangannya, walaupun usaha itu tentunya tak berhasil. Sementara itu, dua sosok lain yang juga telanjang, Pak Bambang dan Pak Pramono tertawa melihat Anton yang terikat erat di kursi tak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan istrinya.

Sambil bermain-main, Pak Pram merenggut tangan Dina dan membimbingnya ke arah kemaluannya yang kembali menegang. Dengan gerakan berulang, didorongnya tangan Dina naik turun mengocok kemaluannya. Mulusnya tangan Dina membuat Pak Pramono kembali terangsang, penis itu membesar dan ukurannya membuat Anton terbelalak takjub. Dina menggelengkan kepala dan merintih memohon ampun dengan air mata menetes. Tidak ada seorangpun yang akan percaya, ia – seorang ibu muda yang alim – sedang mengocok kemaluan pria lain di hadapan suaminya. Tetesan air mata Dina deras menuruni wajah membasahi lantai. Hebatnya, setelah berkali-kali menegang hari ini, Pak Pram tidak menunjukkan tanda-tanda kecapaian, malah kemaluannya kembali menegang menantang usai dikocok perlahan oleh jari-jari lentik Dina.

Pak Pramono menjambak rambut Dina agar kepala perempuan jelita itu tak bergerak kemana-mana. Dengan nakal Pak Pram mengoleskan ujung gundul kemaluannya ke mulut Dina dan menggesekkannya di pipi, mata dan hidung istri Anton itu. Dina tahu apa maksud Pak Pram, dengan terpaksa ibu muda dua anak itu membuka mulut. Tanpa menunggu aba-aba, Pak Pram langsung melesakkan penisnya yang besar menjejal masuk ke mulut Dina. Anton terbelalak melihat kemaluan Pak Pram yang besar dan panjang bisa masuk ke mulut Dina, ia bisa membayangkan penderitaan sang istri yang harus membuka mulutnya lebar-lebar agar benda itu bisa masuk.

Ada sensasi aneh melihat seorang suami berada dalam posisi tak berdaya menyaksikan istrinya sibuk menyepong lelaki lain tepat di depan matanya, apalagi sang istri adalah seorang wanita molek yang sangat cantik dan seksi seperti Dina. Sensasi itu membuat Pak Pramono mencapai klimaks dengan sangat cepat. Hanya beberapa menit disepong Dina, Pak Pram menyemprotkan pejuhnya membanjiri mulut istri Anton. Dina terbatuk-batuk dan berusaha memuntahkan kembali sperma Pak Pram yang dijejalkan ke tenggorokannya, untunglah Pak Pram segera menarik batang kemaluannya sehingga wanita cantik itu tidak sampai kehabisan nafas. Karena Pak Pramono menarik penisnya dengan terburu, air maninya menyemprot juga ke wajah Dina.

Dengan penuh kemenangan, Pak Pramono menyorongkan wajah Dina yang belepotan air mani ke arah sang suami. “Lihat ini baik-baik, Pak Anton. Lain kali anda berbuat kesalahan, yakinkan diri anda untuk menebus kesalahan itu sebelum sesuatu seperti ini terjadi.”

Anton menatap jijik wajah istrinya yang belepotan sperma lelaki lain, ia menatap geram ke arah Pak Pramono. Dina yang merasa kotor menunduk malu tak berani menatap mata Anton sementara pejuh bercampur air mata menetes dari pipi turun ke lantai.

Sambil duduk di kursi, Pak Pramono dengan santai mengelus-elus tubuh Dina yang duduk lemas di lantai. Wanita cantik itu bahkan tak berani menatap mata suaminya yang terikat erat, ia tahu nasib dan masa depan mereka berada di tangan Pak Pramono dan rekannya yang bernama Bambang.

Pak Pram melirik ke arah Pak Bambang yang ternyata sudah kembali menyiapkan kemaluannya. Dengan senyum menghina Pak Pram menatap Anton yang menatap tak percaya gerakan Pak Bambang menarik Dina dan membaringkannya di lantai. Tubuh gemuk Pak Bambang masuk di antara kaki jenjang Dina yang putih mulus. Dengan main-main pria tua itu menepuk penisnya yang besar di selangkangan sang ibu muda.

“Aku tidak akan menjamin istrimu bisa menikmati penisku ini, Pak Anton. Tapi aku bisa menjamin kalau AKU pasti menikmati detik demi detik mencicipi tubuh seksi istrimu.” Kata kakek tua itu.

Anton meraung namun karena mulutnya tersumpal kain, tak ada suara keluar dari mulutnya. Dina menggelengkan kepala karena kelelahan, ia tidak mengira Pak Bambang akan menyetubuhinya lagi dan kali ini, langsung di hadapan suaminya!

“Siap Ibu Dina? Mudah-mudahan yang kali ini bisa membuatmu hamil ya.” Pak Bambang terkekeh lagi. Ia menarik pinggulnya ke belakang dan dengan kecepatan tinggi menghunjamkan penisnya masuk ke dalam kemaluan Dina.

“Ahhhhh!! Sakit!!” jerit Dina sambil memejamkan mata, air mata menetes dari ujung pelupuknya. Bermain cinta tanpa foreplay sangat menyakitkan bagi seorang wanita, karena liang rahimnya belum benar-benar basah oleh cairan pelumas yang keluar dari dinding vagina. Kali ini Pak Bambang menusukkan penisnya di saat Dina belum siap, membuat penis yang lebih besar dari milik Anton itu meraja di liang kemaluan sang ibu muda. Dina menjerit kesakitan tiap kali penis Pak Bambang menusuk masuk ke dalam memeknya.

Anton tidak bisa mempercayai pemandangan yang kemudian berlangsung di depan matanya. Selama hampir seperempat jam istrinya yang cantik jelita disetubuhi oleh monster tua bertubuh gemuk menjijikkan. Lebih pedih lagi bagi Anton, istrinya itu berulang kali mengejang dan berteriak-teriak kesakitan tiap kali Pak Bambang melesakkan kontolnya ke dalam. Karena tak tahan dengan sodokan demi sodokan penis Pak Bambang, Dina akhirnya mengangkat kakinya dan menggunakan kaki jenjang itu untuk memeluk pinggang Pak Bambang yang lebar sementara tangannya mengait di leher. Istri Anton yang merem melek akhirnya mencoba menikmati permainan ini, bahkan dengan berani Dina menggoyang pinggulnya untuk membalas sodokan penis sang kakek tua.

“Ehhhmmmm… a-aku sudah mau keluaaar…” begitu nikmatnya Dina dientoti Pak Bambang sampai-sampai wanita cantik yang tadinya alim itu meracau tak jelas. “Auuuhh… ehmm… jangaaan… teruuuus… sakiit… ugh… ahhh… ahh…”

Akhirnya Dina tak kuat lagi menahan nafsu birahinya yang sudah memuncak, tubuhnya langsung mengejang dan tak lama kemudian liang rahimnya dibanjiri oleh cairan cinta. Pak Bambang menyusul Dina tak lama kemudian, tubuhnya menegang, lalu bergetar, lalu tanpa bisa ditahan, air mani menyemprot tanpa henti di dalam memek Dina yang masih dijejali kemaluannya. Air mani mengalir dari sela-sela penis yang melesak di dalam memek Dina dan menetes keluar.

“Ha ha ha. Lihat ini, Pram. Gadis kecilmu ini benar-benar pelacur, mudah sekali dia dibikin orgasme. Berani taruhan, pasti kontol suaminya tidak sanggup memuaskannya seperti ini.” kata Pak Bambang. “Pak Anton! Istrimu jago ngentot nih, aku puas sekali. Mudah-mudahan ada spermaku yang bisa menembus ke dalam dan menghamilinya. Pengen lihat aku, kalau bapaknya sejelek aku, ibunya secantik istrimu, anaknya jadi kayak apa…”

Pak Pram melangkah dengan penuh percaya diri menghampiri suami Dina yang terikat tak berdaya di kursi, penisnya masih berdiri tegak seakan menantang kejantanan Anton yang tak mampu berbuat apa-apa menyaksikan istrinya digumuli dua orang bejat. “Istrimu enak sekali dientoti, Pak Anton. Susunya empuk, memeknya rapet, bibirnya mungil, bokongnya bulet, pokoknya enak sekali dientoti. Mudah-mudahan kami tidak merusak memeknya, karena penis kami ukurannya jauh lebih besar daripada milikmu yang sebesar pensil itu. Memek Ibu Dina masih terhitung rapat untuk kami berdua, tapi saya tidak yakin ukuran penis Pak Anton akan sanggup memuaskan Ibu Dina. Apalagi Ibu Dina sudah merasakan nikmatnya dientoti dua laki-laki sejati.”

Pak Bambang tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan Pak Pramono yang menyakitkan bagi Anton itu. Di samping Pak Bambang, Dina terbaring lemas dengan memek yang masih terus mengeluarkan sperma tumpahan sang kakek bejat. Berkali-kali ibu muda itu terbatuk sambil mengeluarkan air mani Pak Pramono yang masih tersisa di mulutnya.

“Lihat keadaan istrimu sekarang, Pak Anton. Bisa dibayangkan berapa banyak pejuh yang sudah kami tumpahkan dalam rahim Ibu Dina. Mungkin saja kelak Ibu Dina akan melahirkan anak kembar, yang satu mirip Pak Bambang dan yang satu lagi mirip saya.”

Kembali Pak Bambang tertawa, Pak Pramono amat pintar memanipulasi kata-kata untuk mengumbar emosi Anton.

“Untuk mengakhiri semua penderitaan ini…” kali ini Pak Pram tidak main-main, ia mendekat ke arah Anton, menatapnya tajam dan mencengkeram kedua lengannya dengan sekuat tenaga, “aku sangat berharap Pak Anton mau bekerja sama untuk terakhir kalinya dengan kami.”

Keringat Anton mengucur deras, apalagi yang diinginkan bosnya yang kejam ini? Dia sudah menghancurkan hidupnya, hidup Dina, hidup keluarganya. Apalagi yang diinginkannya?

“Pak Bambang adalah orang yang sangat kaya dan sangat mampu membiayai kehidupan Ibu Dina selanjutnya, termasuk biaya untuk menyekolahkan kedua anak kalian dan biaya hidupmu yang menyedihkan itu. Kami akan berbaik hati menyediakan sebuah rumah di kota lain dan modal untuk usaha bagi Pak Anton, sekaligus menjamin kehidupan kedua anak kalian, dengan syarat… Pak Anton bersedia menceraikan Ibu Dina dan menyerahkan kepemilikan Ibu Dina pada Pak Bambang. Itu artinya, Pak Anton tidak boleh bertemu lagi dengan Ibu Dina… selamanya.”

Mata Anton dan Dina terbelalak tak percaya, mereka tidak mempercayai pendengaran mereka, benarkah Pak Pram mengajukan proposal pada Anton untuk menjual Dina? Anton menggeram marah dan melompat-lompat gemas. Pria itu meraung-raung dan menggeram penuh emosi, tapi dalam keadaan terikat ia tidak bisa berbuat banyak, air matanya menetes membanjiri wajah, ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, semua ini terjadi karena kesalahannya. Ia harus tunduk pada indecent proposal yang diajukan oleh bosnya ini kalau ingin selamat.

Dina menangis tersedu-sedu, ia terlalu lemah untuk menolong Anton, wajahnya menunduk ke bawah dengan pasrah. Yang akan terjadi terjadilah.

“Aku tidak tertarik menikahi wanita ini.” tiba-tiba saja Pak Bambang berucap. “Akan tetapi, aku punya seorang anak yang usianya kurang lebih sama dengan Pak Anton, bedanya kalau Pak Anton lulusan universitas terkenal, anakku itu lulusan SLB. Sangat tidak membanggakan seorang konglomerat punya anak idiot, tapi akan sangat membanggakan memiliki cucu cantik seandainya anakku itu menikah dengan wanita secantik Dina.”

Kali ini giliran Pak Pramono yang menganga heran. Ia memang sudah tahu kalau Pak Bambang memiliki seorang anak idiot yang disembunyikan di sebuah villa jauh dari kota besar. Tapi ia tidak menyangka pria tua ini berniat menikahkan Dina dengan anaknya itu, benar-benar tindakan yang di luar perkiraannya.

Mendengar kata demi kata yang diucapkan Pak Bambang, mata Dina menjadi berkunang-kunang, pandangannya pun mengabur. Wanita cantik itu ambruk ke lantai dan pingsan.

Kisah penderitaan Dina belumlah usai, justru baru akan dimulai.

###

Ruang Dokter Wibowo menjadi sepi ketika sang dokter berusia lanjut itu menerangkan dampak kecelakaan yang menimpa Hendra, suami Alya.

“Kecelakaan fatal yang dialami oleh Pak Hendra mengakibatkan beliau menderita trauma atau benturan di kepala dan akibatnya terjadi kerusakan syaraf motorik pada jaringan fungsi otaknya. Sejauh pengamatan kami hingga saat ini, mulai dari bagian bawah perut hingga ke ujung kaki syaraf beliau tidak bisa berfungsi secara normal dan mengakibatkan terjadinya kelumpuhan. Saluran pengeluaran beliau sejauh ini tidak mengalami masalah, tapi tidak ada jaminan beliau akan mampu melakukan kegiatan-kegiatan lain seperti berjalan ataupun berlari secara normal, termasuk melakukan hubungan suami istri. Walaupun kelumpuhan semacam ini tidak permanen tapi bisa dikatakan kelumpuhan Pak Hendra adalah kelumpuhan jangka panjang.” Kata Dokter Wibowo.

“Ja-jadi suami saya lumpuh, Dokter?” Seluruh tubuh Alya bergetar dan airmatanya tidak berhenti meleleh membasahi pipi. Lidya memeluk kakaknya yang sedang tertimpa musibah dan berusaha menenangkannya agar tetap tabah. Tubuh Alya bergetar menggigil karena perasaannya panik dan kalut, Lidya hanya bisa berdoa agar semua masalah yang menimpa keluarga mereka segera bisa terlewati.

“Lumpuh dari bagian perut ke bawah, beliau tidak akan bisa menggunakan kedua kaki dan tidak akan lagi mampu melakukan hubungan suami istri, walaupun seperti yang saya katakan tadi, tidak ada masalah dengan saluran pengeluarannya.” Lanjut Dokter.

“Apakah kelumpuhan itu bisa sembuh nantinya, Dokter?” tanya Alya lagi.

Sang dokter menggeleng, “belum bisa dipastikan, Bu Hendra. Dalam beberapa kasus, kelumpuhan semacam ini memang bisa sembuh karena sifatnya tidak permanen dan hanya menimpa bagian tubuh tertentu saja, walaupun tidak bisa dipungkiri kemungkinan Pak Hendra bisa kembali pulih seperti sediakala dalam waktu singkat mungkin hanya hanya sekitar 5 sampai 6%, itupun dalam jangka waktu yang sangat panjang bahkan mungkin hingga menahun, apalagi semakin tua umur seorang penderita, makin berkurang pula kemampuan syarafnya bisa pulih. Sangat tipis kemungkinan Pak Hendra bisa sembuh total.”

Ruangan Dokter Wibowo yang berada di RS ***** menjadi sangat panas, ac memang sudah menyala, tapi perasaan orang-orang yang berada di dalam ruangan itu semua sangat kacau balau. Alya, Lidya dan Anissa sedang berada di dalam ruang periksa dokter sementara Andi, Dodit dan Pak Bejo menanti di luar. Opi tidak ikut menemani mereka dan dititipkan pada Bu Bejo di rumah.

“Berapa lama kakak saya harus menjalani rawat inap, Pak Dokter?” tanya Anissa, seperti halnya Alya, gadis cantik itu juga menangis sesunggukan meratapi nasib kakak kandungnya yang malang.

“Paling cepat sekitar dua minggu dan paling lambat mungkin satu bulan, tergantung dari kondisi Pak Hendra sendiri. Saat ini beliau sangat lemah dan tidak bisa melakukan aktivitas apapun, walaupun bagian perut ke atas bisa dibilang tidak mengalami cidera serius.” Jawab Dokter.

“Seandainya suami saya tidak mengalami masalah dengan saluran pengeluaran, kenapa dia tidak bisa melakukan kegiatan suami istri, dok?” tanya Alya lagi.

“Sayangnya, kecelakaan itu juga membuat beliau mengalami impotensi. Saya masih belum bisa memastikan apakah impotensi Pak Hendra juga bersifat temporer atau permanen. Hasil testnya baru bisa diperoleh dalam beberapa hari ke depan.” Jawab Dokter Wibowo.

Air mata Alya kembali meleleh, tapi ia mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada dokter yang telah merawat suaminya. Ketiga wanita cantik itupun meninggalkan ruang dokter.

“Mbak Alya tidak apa-apa, kan?” tanya Lidya khawatir melihat kakaknya.

“Tidak apa-apa. Aku bersyukur Mas Hendra selamat dari kecelakaan itu.” kata Alya kemudian. “Aku tidak peduli dia cacat atau lumpuh, aku akan selalu berada disisinya, aku sangat mencintainya. Di saat sulit seperti inilah, aku wajib menemaninya.”

Anissa dan Lidya saling berpandangan dan kagum pada Alya yang sedang berusaha kuat menabahkan diri. Tapi sesungguhnya, kisah penderitaan Alya belumlah usai, justru baru akan dimulai.

###

Annisa memperhatikan Alya yang masih duduk di samping ranjang Hendra dengan setia. Tidak mudah mengajak Mbak Alya pulang walaupun mungkin kakak iparnya itu sudah sangat kelelahan. Mbak Lidya dan suaminya sudah pulang dan Mbak Dina belum juga menunjukkan batang hidungnya sedari tadi. Harus ada seseorang yang menemani Mbak Alya seandainya dia butuh makan atau mengurus administrasi rumah sakit yang belum selesai. Anis segera mendiskusikan masalah itu dengan Dodit dan Pak Bejo.

“Begini saja, Non.” Usul Pak Bejo. “Karena Mbak Alya belum mau diajak pulang, sebaiknya salah satu dari saya atau Mas Dodit mengantar dulu Non Anis pulang karena hari sudah mulai gelap. Nanti kalau Mbak Alya sudah merasa capek dan ingin pulang, yang tinggal di sini bisa mengantar pulang setiap saat. Kalaupun Mbak Alya mau menginap di sini, lebih baik ada seseorang yang menemani.”

Annisa menganggukkan kepala, “wah, kalau begitu biar Mas Dodit saja yang tinggal di sini, kalau-kalau nanti Mbak Alya mau cari makan atau mengurus surat-surat, Mas Dodit bisa lebih cepat membantu.”

“Saya juga tidak apa-apa kok, Mbak.” Kata Pak Bejo.

“Terima kasih, Pak, tapi sepertinya kami sudah terlalu banyak ngrepotin Pak Bejo.” Kata Dodit. “Kamu pulang dulu aja ya, say. Aku tinggal di sini sama Mbak Alya.”

Annisa mengangguk sementara Pak Bejo tersenyum malu-malu. “Wah, Mas Dodit ini bisa aja, saya gak merasa direpotkan kok Mas, kan keluarga Mas Hendra sudah saya anggap keluarga sendiri.”

“Iya sih, tapi siapa tahu Bu Bejo juga ada urusan yang gak bisa ditinggal? Kan kasihan anak-anak Pak Bejo kalau di rumah gak ada yang ngurus? Lagipula mobil yang dibawa Pak Bejo kan mobil pinjaman dari saudara, pokoknya, kami sekeluarga berterimakasih banyak sama Pak Bejo.” Kata Dodit lagi, sambil tersenyum dia mengambil dua lembar lima puluh ribuan berwarna biru dan memberikannya pada Pak Bejo saat bersalaman. “Ini Pak, buat beli rokok.”

“Lho? Mas Dodit gimana sih? Gak usah, Mas! Beneran, gak usah!” Pak Bejo menggeleng kepala sambil berusaha mengembalikan uang Dodit, pria tua itu memang jagonya sandiwara, pura-pura nolak padahal pengen. Pemuda baik hati itu tetap memaksa sambil memasukkan uang ke dalam saku baju Pak Bejo.

“Cuma seadanya kok, Pak. Buat beli rokok atau ganti bensin nganterin Non Anis.”

“Iya, Pak. Gak apa-apa, diambil aja.” Rayu Anissa sambil tersenyum manis.

Pak Bejo yang pintar bersandiwara pun pura-pura luluh dan menerima uang pemberian Dodit. “Wah, sebenarnya saya melakukan ini semua tanpa pamrih apa-apa, Mas Dodit. Beneran. Keluarga saya sudah sangat sering ditolong Mas Hendra dan Mbak Alya, ini kesempatan saya untuk membalas kebaikan hati mereka. Terima kasih banyak ya, Mas Dodit. Non Anis.”

Dodit dan Anissa mengangguk dan tersenyum ramah. Setelah Anissa dan Dodit berbincang-bincang berdua, akhirnya mereka menemui Pak Bejo di teras rumah sakit.

“Ayo, Pak. Kita pulang sekarang.” Ajak Anis, gadis itu melambaikan tangan pada Dodit. “Aku pulang dulu ya, say. Titip Mbak Alya sama Mas Hendra.”

“Iya. Hati-hati di jalan.” Balas Dodit.

“Mari, Mas Dodit. Saya duluan.” Ujar Bejo.

“Iya, Pak Bejo. Saya titip Anissa ya.”

“Pokoknya beres, Mas.” Pak Bejo menyeringai aneh sambil meninggalkan Dodit di tangga rumah sakit dan mengiringi kepergian Anissa menuju mobil. Dodit menatap kepergian orang tua itu dengan perasaan yang tidak enak, tapi dia percaya penuh pada tetangga Mas Hendra itu karena Pak Bejo sekeluarga sudah seperti saudara sendiri. Kenapa orang tua itu menyeringai aneh? Dodit menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan masuk kembali ke gedung utama rumah sakit.

Sementara itu, kemaluan Pak Bejo bergerak menegang karena gembira. Kesempatan berduaan dengan Anissa telah datang. Pantat bulat si cantik itu akan jadi miliknya.

Anissa tidak sadar, ia kini sedang berada dalam ancaman hebat lelaki yang sudah memperkosa kakak iparnya. Anissa sudah berada dalam genggaman Pak Bejo Suharso!

###

Nada tunggu.

Tidak ada yang mengangkat, Lidya menutup gagang telpon.

Lidya bertanya-tanya kemana Mbak Dina sebenarnya. Sudah sejak pagi dia tidak bisa menghubungi HP dan telepon rumahnya. Mas Anton juga sama saja, tidak bisa dihubungi. Kemana mereka pergi? Mas Andi sudah mencoba menjemput tapi ternyata rumah mereka kosong dan terkunci rapat, anak-anak juga tidak terlihat berada di rumah. Padahal ada musibah yang menimpa salah satu anggota keluarga, tapi Mbak Dina gagal dihubungi. Kasihan Mbak Alya, dia amat butuh dukungan dari keluarga. Kemana Mbak Dina sebenarnya?

Usai gagal mencoba menghubungi Mbak Dina, Lidya melangkah masuk ke dapur untuk menghangatkan lauk makan malam. Pikiran wanita muda itu sangat kalut, ia sama sekali tidak menyangka, di saat dia mengalami masalah berat ternyata kesulitan yang tak kalah hebatnya dialami oleh Mbak Alya. Apa sebenarnya yang terjadi pada keluarga mereka? Lidya merasa beruntung suaminya sudah pulang, kedatangan Andi membuat Pak Hasan tidak berani macam-macam terhadapnya, walau sekali dua kali Pak Hasan dengan nakal menepuk pantat atau mencolek buah dadanya.

Lidya mulai mengambil bahan makanan dari dalam lemari es dan menyusunnya dengan rapi di tempat yang sudah ia sediakan. Ketika sedang sibuk menyiapkan bahan masakan itulah tiba-tiba saja ada sepasang tangan perkasa memeluk tubuh Lidya dengan sangat kuat. Wanita cantik itu tidak bisa bergerak dan pucat pasi. Mulut yang berbau minuman keras, tangan yang nakal menggerayang, tubuh yang masih tegap dan kasar. Orang ini jelas Pak Hasan, Andi akan memperlakukannya dengan lebih lembut.

“Pak! Jangan ah! Mas Andi kan ada di atas! Dia sedang mandi… bagaimana kalau dia nanti…”

“Memangnya kenapa kalau Andi sedang mandi di kamar atas? Kita pasti akan mendengar suara langkah kakinya kalau dia turun lewat tangga. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan, Nduk. Sejak anakku datang, kamu selalu menghindari aku dan tidak pernah lagi mau berdua denganku.” Desis Pak Hasan menahan emosi. “Aku kangen sekali dengan tubuhmu yang molek ini, aku ingin tidur denganmu.”

“A-aku…” Lidya kebingungan mencari kata-kata yang tepat.

Kepanikan Lidya dimanfaatkan dengan baik oleh Pak Hasan. Pria tua itu menggunakan kedua tangannya untuk menjelajah keseksian tubuh sang menantu. Tangan kirinya masuk ke dalam celana pendek Lidya dan meremas-remas pantatnya yang bulat, sementara tangan kanannya memainkan buah dada Lidya yang ranum. Pantat Lidya putih mulus dan sangat halus tanpa cacat, sangat merangsang nafsu Pak Hasan. Sedangkan buah dada menantu Pak Hasan itu tidak perlu lagi diceritakan, bulat besar menggiurkan.

“A-aku tidak mau melakukan ini lagi …” Lidya mencoba meronta dan melepaskan diri dari pelukan ayah mertuanya, sia-sia saja karena pria tua itu jauh lebih kuat. “Lepaskan aku… Mas Andi…”

“Bayangkan apa yang akan dilakukan oleh anakku itu seandainya dia turun ke bawah dan melihat kita sedang bermesraan seperti ini, hmm? Ayah kandungnya sedang bermain-main dengan pantat mulus dan payudara molek istrinya.” Pak Hasan membisikkan kata-kata yang membuat Lidya urung melakukan perlawanan. “Aku hanya ingin menikmati keindahan tubuhmu, Nduk. Bukan hal yang aneh kan? Kita sudah berulang kali bermain cinta dan…”

“Aku tidak ingin melakukan ini lagi!” Lidya mencoba tegas.

Karena jengkel, Pak Hasan menggeram dan mendorong tubuh menantunya sampai menempel ke tembok. Karena posisi tubuhnya yang terjebak pelukan Pak Hasan dari belakang, Lidya tidak mampu melawan, dia terdorong ke depan sampai menempel ke tembok. Untunglah dorongan Pak Hasan tidak cukup keras sehingga menyakiti sang menantu. Lidya menjerit kecil tapi karena takut Andi akan mendengar suaranya, si cantik itu menutup mulutnya sendiri.

Dengan terengah-engah Pak Hasan menahan agar tubuh Lidya tetap menempel di tembok dapur, pria tua berbisik perlahan ke telinga Lidya. “Aku sudah berusaha ramah padamu, Nduk. Tapi kalau kau mengajak main kasar, aku tidak akan segan-segan meladenimu. Aku ingin kau mendengarkan kata-kataku karena aku tidak akan mengulanginya lagi… paham?”

Lidya mengangguk dengan ketakutan.

“Aku ingin menidurimu lagi. Aku tidak peduli Andi sedang berada di rumah atau pergi bekerja, tapi saat aku ingin memasukkan kontolku ke dalam memekmu yang wangi, maka kau wajib membuka lebar-lebar kakimu agar aku bisa menikmatinya. Aku tidak suka perlawananmu hari ini, dan sebagai hukumannya, selama seminggu ini aku akan memberikan perintah-perintah yang harus kau turuti. Kalau tidak mau melakukannya, aku akan tetap menjepitmu dalam posisi ini sampai Andi turun ke bawah.” Ancam Pak Hasan. “Pendek kata, aku ingin kau menjadi budakku seminggu ke depan, bagaimana?”

Lidya menggeleng kepala, “A-aku tidak ingin melakukan ini lagi… ini salah… ini…”

Terdengar langkah kaki di lorong kamar atas, sepertinya Andi sudah bersiap turun ke bawah menyusul Pak Hasan dan Lidya. Keringat istri setia itu menetes sebesar jagung, apa yang harus dilakukannya? Ia tidak mau lagi melayani kebejatan sang mertua, tapi kalau Mas Andi sampai tahu, seluruh dunia mereka pasti akan hancur berantakan. Detik demi detik berlalu, terdengar langkah kaki Andi turun melalui tangga, Lidya makin panik, ia berusaha meronta tapi gagal karena jepitan kunci Pak Hasan sangat kuat. Dengan hati remuk redam, akhirnya Lidya mengangguk pasrah.

“Baiklah…” bisik Lidya lemah.

“Baiklah apa?” Pak Hasan meringis keji penuh kemenangan sambil mengulum-ngulum daun telinga Lidya. “Baiklah kau akan menjadi budakku atau baiklah kau akan nekat membiarkan Andi melihat kita sedang bermesraan?”

“Baiklah aku bersedia menjadi budak bapak…” desahan yang keluar dari mulut Lidya terdengar panjang dan pasrah.

Kisah penderitaan Lidya belumlah usai, justru baru akan dimulai.

###

Mobil yang dikendarai Pak Bejo berkelak-kelok melalui jalan yang belum dikenal Anissa, karena memang belum mahir menyetir mobil, Anissa kurang begitu mengenal wilayah dan tidak hapal jalan-jalan kecil yang dilalui Pak Bejo. Tapi kali ini Pak Bejo melalui jalan yang tidak biasanya dilalui, berkelak-kelok melalui jalan sempit dan melewati daerah yang sepi hunian. Kendaraan yang berpapasan dengan mobil mereka bisa dihitung dengan jari.

Rumah sakit tempat Mas Hendra dirawat dan rumah tempat tinggal Mbak Alya memang cukup jauh, tapi jalan yang dilalui Pak Bejo ini seakan-akan membuat perjalanan mereka pulang menjadi lebih jauh dan lama. Karena hari mulai gelap, Anis memberanikan diri bertanya pada Pak Bejo.

“Pak, kita lewat jalan apa sih? Kok kayaknya malah jadi lebih jauh?” tanya Anissa.

“Oh, maaf. Saya belum menjelaskan ya? Kita mampir sebentar ke rumah adik saya, Non Anis. Kebetulan tadi dia sms katanya ada titipan untuk istri saya.”

“Oh gitu. Sms yang masuk saat kita keluar dari rumah sakit ya?”

“Iya. Nggak apa-apa kan, mampir sebentar?”

“Nggak apa-apa kok, tapi sebentar saja ya, Pak.”

“Iya.”

Walaupun jengkel karena tidak diberitahu sebelumnya kalau Pak Bejo akan mampir ke tempat lain, Anissa diam saja. Perjalanan berlanjut tanpa ada percakapan lagi, Anissa terus melirik ke arah jam tangannya karena walaupun hari semakin larut, tidak ada tanda-tanda mobil akan berhenti.

Tiba-tiba saja mobil berhenti mendadak di tengah kawasan perbukitan yang dipenuhi pohon rindang dan amat sepi, mereka jauh dari jalan utama dan sudah cukup jauh untuk kembali ke rumah sakit. Annisa mulai khawatir, walaupun ia sangat percaya pada Pak Bejo tapi karena hari sudah gelap, Anissa mulai berpikiran macam-macam.

“Kok berhenti di sini, Pak?” Anissa makin ragu. “Pak Bejo yakin ini jalan pulang ke rumah Mbak Alya?”

Ada sesuatu yang ganjil pada kelakuan Pak Bejo sore ini dan makin lama kecurigaan Anissa makin besar, walaupun masih muda, Anis bukanlah gadis bodoh. Rute pulang yang tidak seperti biasa, alasan mampir di rumah saudara, berhenti mendadak di tengah jalan, situasinya makin aneh. Anissa memeluk dirinya sendiri yang menggigil dan mulai membayangkan hal yang tidak baik.

“Aduh, saya minta maaf, Non Anis. Tiba-tiba saja saya ingin buang air kecil, sebentar saja ya Non…” rayu Pak Bejo. Anissa tidak bisa melihat senyum licik tersungging di bibir Pak Bejo karena gelapnya malam.

“Iya deh, tapi jangan lama-lama ya Pak, saya takut.” Anissa tersenyum, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dan meyakinkan bahwa Pak Bejo bukanlah orang jahat.

Pria tua itu meninggalkan kursinya dan melangkah keluar mobil sambil menahan tawa iblisnya.

###

Anissa sedang menikmati lantunan lagu jazz lembut yang mengalun di radio ketika terdengar ketukan pelan di jendela mobilnya. Wajah Pak Bejo yang tiba-tiba muncul mengagetkan dara itu. Anis memencet tombol membuka jendela.

“Ada apa, Pak?” tanya Anissa.

“A-anu, non… sepertinya saya kehilangan kunci mobil sewaktu buang air kecil tadi.”

“Aduuuh… Pak Bejo ini gimana sih?” nada suara Anissa meninggi karena jengkel, tapi gadis itu segera memperbaiki nada suaranya agar Pak Bejo tidak marah. Mereka hanya berdua saja di tempat sepi ini dan hal terakhir yang diinginkan Anissa adalah membuat Pak Bejo marah. “Saya temani deh mencari kuncinya.”

Anissa melangkah keluar dari mobil, karena hari mulai gelap, ia menggunakan nyala HP-nya sebagai penerang sementara Pak Bejo menyiapkan lampu darurat bertenaga baterei yang ia ambil dari bagasi mobil. Karena sering memakainya, Pak Bejo sudah sangat hapal dengan mobil yang ia pinjam dari salah seorang sepupunya ini.

Sementara itu, tanpa sepengetahuan Anissa, di suatu tempat di lokasi itu, Pak Bejo baru saja menggelar koran yang sudah ia bawa sedari tadi sebagai alas, tempat di mana nantinya Pak Bejo akan menikmati malam terindah bersama Anissa, tempat di mana Anissa akan kehilangan kegadisannya.

Anissa mulai khawatir karena Pak Bejo menggiringnya makin masuk ke tengah pepohonan rindang dan sudah cukup jauh dari jalan utama. Gadis itu mulai merasa seakan-akan dia sedang memasuki satu jebakan.

Akhirnya Anis menyerah, “Saya telpon Mas Dodit aja deh, Pak… hari sudah terlalu malam, saya takut…”

Belum sempat Anissa melanjutkan kata-katanya, Pak Bejo dengan sigap menubruk gadis itu! Anissa menjerit ketakutan karena tiba-tiba disergap Pak Bejo yang bertubuh besar, ia ambruk ke tanah dan HP yang sedari tadi ia bawa terlempar jauh.

“PAK BEJO! APA-APAAN INI?!” Anissa mencoba menyadarkan pria tua yang sudah lupa diri itu, tapi Pak Bejo sudah berubah menjadi setan dengan hawa nafsu tak terkendalikan. Bagaimanapun Anissa mencoba meronta dan melawan, Pak Bejo tetap tak bergeming. Dengusan nafas Pak Bejo yang berat membuat Anissa makin panik, ia tahu apa yang diinginkan Pak Bejo saat ini, ia tahu pasti dari dengusan nafas penuh nafsu itu. “LEPASKAN SAYA!! LEPASKAAAAN!!”

Jeritan, pukulan, cengkraman, semua upaya silih berganti dilakukan oleh Anissa yang terus meronta dalam pelukan lelaki tua berotak mesum itu. Sayangnya Pak Bejo adalah seorang preman yang sangat kuat, semua perlawanan Anis malah membuat pria tua itu semakin terangsang, makin Anis melawan, makin ingin rasanya Pak Bejo menaklukkan si cantik ini. Setelah si jelita itu takluk nanti, Pak Bejo akan menidurinya tanpa ampun!

Cukup lama dua sosok manusia itu bergumul di tanah, Pak Bejo yang mulai merasa jengkel akhirnya mengeluarkan pisau lipat dari dalam kantong celananya dengan susah payah dan menempelkannya di leher Anissa.

“Kalau begini terus, kita berdua yang akan rugi dan kelelahan, Non Anis.” bisik Pak Bejo sambil menekan leher Anissa dengan pisau dan mengancamnya. Anissa yang menyadari adanya sebilah pisau yang siap menggorok lehernya akhirnya menghentikan semua aksi perlawanan.

Dengan senyum kemenangan dan terkekeh pelan, Pak Bejo mengelus pipi Anissa. “Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah ingin mencicipimu, gadis manis.”

“Dasar lelaki tua busuk! Bajingan! Laknat! Lepaskan aku sebelum…”

JLEB!

Pak Bejo menancapkan pisau tepat di sebelah kepala Anissa dengan penuh kemarahan, gadis itu langsung lemas dan menggigil ketakutan. Mata Anissa mulai berkaca-kaca karena ia sadar bencana apa yang saat ini sedang mengancam dirinya. “Jangan… jangan…”

Pak Bejo kembali menarik pisaunya dari tanah dan menempelkannya ke leher Anissa.

“Kamu sudah dewasa, sudah tahu permainan apa yang sedang kita mainkan saat ini. Aku tidak akan segan menyakitimu baik dengan pisau ini ataupun dengan tangan kosong seandainya kau berani melawanku. Lebih baik kita bekerja sama maka aku tidak akan menyakitimu, setuju?” dengan sengaja Pak Bejo menekan pisaunya lebih dalam ke leher Anissa namun tidak sampai menyayat kulitnya yang putih mulus seperti pualam.

“I-Iya…” lirih Anissa menjawab, ia sangat ketakutan. Air mata gadis itu mulai menetes.

“Cup cup, tidak perlu menangis, sayang. Aku janji tidak akan menyakitimu, semuanya pasti baik-baik saja dan menyenangkan. Kalau sampai tidak enak, jangan panggil aku Bejo. Heh heh heh…”

Dengan penuh percaya diri, Pak Bejo memeluk Anissa dan menempelkan kemaluannya yang sudah membesar ke paha sang gadis cantik. Tangan pria tua itu bergerilya menyusuri seluruh tubuh Anis, bergerak turun dari atas, mulai rambut, hidung, pipi, leher, hingga ke payudara.

“Kamu cantik sekali, sayang.” Bisik Pak Bejo di telinga Anis.

Anissa memejamkan mata ketika bibir hitam pria tua itu menelusuri leher dan pipinya, sentuhannya membuat bulu kuduk sang dara berdiri dan merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Belaian demi belaian Pak Bejo disarangkan, semua demi mencoba membuai angan Anissa yang masih dilanda shock dan ketakutan yang amat sangat.

Tangan Pak Bejo dengan mahir membuat gadis itu rileks dan mulai pasrah pada tangan jahil sang pria tua. Nafas Anissa mulai berat, walau pasti tidak mau mengakui, tapi gadis itu pasti mulai terangsang. Kali ini Pak Bejo menarik tangan dan menjelajah masuk ke perut Anissa dari bagian bawah pakaian yang dikenakan dara cantik itu.

Sentuhan lembut Pak Bejo mau tidak mau membuat Anissa merinding, pria tua itu bisa merasakan gelinjang tubuh Anis ketika tangannya bergerak ke atas menuju ke buah dada sang dara yang ranum. Gadis itu menatap Pak Bejo dengan mulut terbuka kecil dan mata yang menerawang entah ke mana.

Mengetahui Anissa sudah mulai terangsang, Pak Bejo memberanikan diri menyingkap baju dan BH gadis muda itu. Sekejap saja, gundukan payudara sentosa sang dara menyambut dinginnya malam dan siap dinikmati oleh sang pria tua. Pak Bejo mengusap dan meremas payudara Anis, membuat gadis itu menjerit lirih karena tak kuat menahan nafsu.

“Ouuughhh…” desah Anissa lirih ketika puting susunya dipermainkan lidah Pak Bejo.

Kecupan demi kecupan membuat Anissa yang masih minim pengalaman bercinta menjadi merem melek menahan diri agar tidak terangsang.

“Aheemm… haaahhh… ahhh…” erangan sensual Anissa terdengar sangat erotis bagi Pak Bejo, ia menggigit puting payudara gadis itu dengan gigitan kecil dan meninggalkan cupang di balon buah dadanya.

Kepasrahan Anissa membuat Pak Bejo dengan bebas melucuti satu demi satu pakaian yang dikenakan gadis itu. Sesuai dengan namanya, Pak Bejo adalah orang yang ‘bejo’ atau beruntung. Ia menjadi orang pertama yang menikmati keindahan utuh tubuh seksi sang gadis muda rupawan ini. Akhirnya kedua sosok berlainan jenis itu bertelanjang bulat.

“Benar-benar bidadari turun dari langit.” Walaupun hanya diterangi oleh lampu darurat, tapi setiap lekuk keindahan tubuh Anissa bisa terlihat jelas oleh Pak Bejo. Pria tua itu menundukkan kepala dan mendekatkan bibirnya ke bibir Anis. dengan satu sapuan, bibir mereka saling bersentuhan. Bibir mungil yang ranum, basah dan sensual. Dengan penuh nafsu, Pak Bejo melumat bibir Anis.

Pak Bejo memaksakan lidahnya masuk ke mulut Anissa, sementara tangannya menarik tangan Anis dan memaksanya memegang kemaluan Pak Bejo yang sudah mengeras seperti batang kayu. Gadis polos itu hanya diam saja dan menurut perintah Pak Bejo, ia sangat takut pada pria tua yang nekat itu.

Tiba-tiba saja Pak Bejo berdiri, setelah berdiri tegak di hadapan Anissa, Pak Bejo menjambak rambut indah Anis supaya bangkit dari posisi berbaring dan dengan kasar pria tua itu mendorong kepala Anissa ke depan selangkangannya supaya wajah dara itu bisa mendekat ke arah penisnya, Anissa meronta dan menolak, tapi Pak Bejo mengunci tubuhnya dengan erat sehingga sang dara tidak bisa bergerak banyak.

Anissa masih terus meronta hendak melawan ketika akhirnya, PLAKK!! Satu tamparan mendarat di pipi mulusnya. Tamparan itu begitu keras sehingga pipinya memerah dan air matanya meleleh seketika, Anis tidak mengira Pak Bejo akan menyakitinya setelah beberapa saat memperlakukannya dengan lembut.

“Kalau tidak mau mati kuperkosa sebaiknya kamu berlutut sekarang juga dan melayani apa mauku!” Kata Pak Bejo tegas, kata-kata pria tua itu diucapkan pelan namun sangat menakutkan hati Anissa karena penuh ancaman. Mata gadis itu berlinang air mata dan tubuhnya merinding karena tidak tahu harus berbuat apa. Melihat Anissa kebingungan, Pak Bejo malah terangsang, akhirnya penis Pak Bejo berdiri tegak tepat di hadapan sang dara, ukurannya yang besar mengagetkan Anis.

“Berlutut, kulum kontolku.” Perintah Pak Bejo pada gadis yang sedang ketakutan itu.

Walaupun masih perawan, tapi Anissa sudah pernah menyepong penis Dodit, itupun karena Anissa yakin Dodit adalah pria yang kelak akan menikahinya sehingga Anissa mau melayani sang kekasih beroral-seks. Dodit yang baik juga menahan diri dengan tidak melanjutkan petting dan foreplay mereka sampai ke tahap penetrasi. Satu-satunya penis milik seorang laki-laki yang pernah dilihat oleh Anissa adalah milik Dodit, tapi kini dia menatap satu kontol besar yang ukurannya melebihi milik sang kekasih, perasaannya bercampur antara kalut dan takjub. Tangan Pak Bejo yang sudah tak sabar membimbing Anissa menggenggam kemaluannya.

“Ampuuun… jangan paksa saya, pak… jangan… ter-terlalu besar…” rengek Anissa tanpa dihiraukan oleh Pak Bejo. Tangannya yang halus tanpa cacat menggenggam batang kemaluan sang pria tua dengan ragu-ragu.

Setelah menunggu lama tanpa ada reaksi dari Anissa, dengan jengkel Pak Bejo menampar lagi pipi Anissa yang tadi sudah memerah. Pria itu memang sangat kasar dan memuakkan, dia semena-mena menyakiti gadis muda yang tak berdaya. Anissa jatuh terjerembab karena tamparan Pak Bejo, wajahnya kian sembab membiru karena terus dihajar.

“Sudah ditampar masih berani melawan! Kalau tidak mau kubunuh sebaiknya cepat kau kulum kontolku!!”

Tangis Anissa makin menjadi, dia meringkuk di bawah dan tidak mau berdiri, tapi setelah Pak Bejo mengancam dengan mengangkat tangannya, Anissa buru-buru berlutut dan meraih kembali penis Pak Bejo yang tadi ia lepaskan dan meletakkan batang kontol itu tepat di depan mulutnya. Anis masih ragu-ragu hendak menyepong kemaluan Pak Bejo.

“CEPAT!” kembali Pak Bejo membentak.

Dengan nakal pria tua itu mendorong pinggulnya ke depan sehingga kemaluannya berulang kali menyentuh wajah Anissa. Gadis muda yang cantik itu terpaksa menahan tangis dan membuka mulut dengan berat hati. Pak Bejo tertawa-tawa dengan sadis sambil menyorongkan kemaluannya pada gadis jelita itu.

“Nah… begitu… baru… anak… baik…” kata-kata Pak Bejo terpatah-patah karena merasakan enaknya disepong gadis secantik Anissa. Mulut Anis yang mungil menerima sodokan demi sodokan kemaluan Pak Bejo. Dengan lembut Pak Bejo mengelus-elus rambut Anissa.

“Jilati batangnya… anak manis…” kata sang pria bejat sembari menahan kepala Anissa dan menarik penisnya dari mulut gadis itu. Walaupun malu dan ragu, Anissa terpaksa membiarkan lidahnya menari di batang kemaluan Pak Bejo. Beberapa saat kemudian, kembali Pak Bejo menahan kepala Anis dan memasukkan ujung gundulnya ke mulutnya. Sedikit demi sedikit Anissa mulai diajari cara menyepong oleh pria bejat itu, beberapa kali Anissa tersedak ketika penis Pak Bejo menyodok hingga ujung. Pria tua itu hanya tertawa melihat penderitaan Anissa.

“Sudah ya, Pak? Saya sudah capek… saya mohon… kasihan …” pinta Anissa memohon ampun. Air matanya deras mengalir, tapi Pak Bejo menatapnya galak. Dengan kasar dijambaknya rambut Anis sehingga mereka saling bertatapan.

“Aku yang bilang kapan harus berhenti.” Geram sang pria tua mengancam Anissa, ia mengambil kembali pisau lipatnya yang tadi ia simpan di dalam saku baju. Gadis cantik itu menggigil ketakutan dan mengangguk pasrah.

“Sekarang, berbaringlah menghadap ke bawah.” Perintah Pak Bejo sambil memasukkan kembali pisau lipat yang ia gunakan untuk mengancam Anis kembali ke saku.

Dengan hati-hati Anissa berbaring, walaupun sudah beralaskan kertas koran, berbaring di atas rumput di alam bebas membuat tubuh Anissa menggigil kedinginan, apalagi dengan posisi menelungkup. Dengan berani Pak Bejo mengangkangi tubuh Anissa, kakinya yang besar dan penuh bulu mengempit sisi kanan kiri paha Anissa. Lalu tangan pria tua itupun mulai bergerilya dan meraba tubuh si cantik, perlahan sekali ia menikmati setiap jengkal tubuh telanjang Anissa yang memang sangat seksi. Gadis itu terhenyak ketika merasakan tangan jahil Pak Bejo masuk ke sisi bawah lengan dan meremas payudaranya yang empuk.

“Pak Bejo! Sudah Pak! Jangan diteruskan! Aku mohon…!”

Pria tua itu hanya tertawa dan menarik tangannya dari payudara Anissa, tapi ia tidak berhenti begitu saja, Pak Bejo beralih ke kaki jenjang si jelita dan mengelus-elusnya penuh nafsu birahi. Makin lama tangan Pak Bejo makin naik, dari betis ke paha. Anissa berusaha menutup kaki agar Pak Bejo tidak bisa dengan mudah meraba bagian dalam pahanya, tapi pria itu lebih kuat dan membuka lebar-lebar paha Anissa. Elusan tangan Pak Bejo makin lama makin naik ke atas ke arah selangkangan Anissa sampai akhirnya dengan nekat pria tua itu menyentuh bibir vagina sang dara.

Anissa menjerit tertahan, merasakan sentuhan tangan pria yang lebih pantas menjadi ayah atau kakeknya itu meraba-raba bagian tubuhnya yang paling sensitif. Pak Bejo menangkupkan tangan di atas memek Anissa.

“Jangan!” keluh Anissa tanpa daya, ia berusaha meronta kembali, tapi Pak Bejo sudah siap, tubuhnya menubruk Anissa hingga gadis itu tak berdaya dalam pelukannya.

Terjebak di bawah tubuh pria tua berotak busuk seperti Pak Bejo, Anissa bagaikan seekor kijang muda yang takluk dalam sergapan seekor singa lapar. Gadis muda yang jelita itu harus memutar kepalanya ke kiri kanan hanya untuk bisa menarik nafas yang berat karena seluruh tubuhnya ditekan ke bawah. Anissa meneteskan air mata pasrah ketika merasakan tangan Pak Bejo beraksi dengan berani mengelus-elus bibir memek Anissa. Gadis itu mulai sesunggukan dan menangis tersedu-sedu, tapi Pak Bejo tak mau berhenti, tangan pria tua itu malah masuk ke dalam bibir memek Anissa dan merogohnya bagai kantong mainan.

“Hebaaat! Rapet banget! Siapa sangka? Tubuhnya seksi, wajahnya cantik seperti bintang sinetron, tapi memeknya masih rapet dan orisinil. Ini baru namanya perawan!” Pak Bejo menarik tangannya dari dalam memek Anissa. “Dengan tubuh indahmu itu, kamu pasti berharga mahal kalau mau jadi pelacur. Siapa tahu dapat langganan anggota DPR, mau?”

Anissa menjerit marah karena merasa dipermalukan, kembali ia meronta, tapi kali ini Pak Bejo melawan dengan mengeluarkan senjata andalannya. Pak Bejo menempelkan penisnya di antara selat dua bokong indah Anissa. Gadis itu menjejakkan kakinya dengan panik, ia tahu sebentar lagi pria tua busuk itu pasti hendak memperkosanya! Tubuh Pak Bejo terlalu berat dan kuat, Anissa tak bisa melawan kehendak sang pria tua yang sudah tertelan nafsu birahi liar. Kemaluan Pak Bejo yang besar dan tegang menyelip di antara paha mulus Anissa.

“Jangan, Pak… jangan…” lemas suara Anissa memohon.

“Ssst… kamu menurut saja, ya manis. Pasti enak kok.” Jawab Pak Bejo tanpa belas kasihan. “Aku ingin jadi orang pertama yang merasakan lezatnya memekmu.”

Pak Bejo menggesek-gesekkan kemaluannya di celah bukit bokong Anissa, ia dibuat merem melek oleh pantat bulat seksi milik gadis muda itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, pantat Anissa menerima sentuhan langsung penis menegang milik seorang pria, sayang pria itu bukanlah calon suaminya. Gadis itu tersengal-sengal karena didorong maju mundur oleh Pak Bejo, ia sangat berharap Pak Bejo kelelahan dan mengurungkan niat memperkosa dirinya.

“Teruuuus… terussss…” Pak Bejo merem melek keenakan.

Setelah beberapa saat lamanya keenakan menggesekkan penis di belahan pantat Anis, Pak Bejo membalik tubuh gadis itu sehingga wajah mereka saling berhadapan. Pak Bejo mencium bibir mungil Anissa sementara tangannya bergerilya meremasi buah dada sang dara jelita. Tubuh gemuk besar Pak Bejo menindih tubuh mungil Anis di bawah langit malam terang, udara dingin berhembus menerpa kedua tubuh telanjang yang bermandikan keringat.

Pak Bejo menarik puting payudara Anissa dengan gigi dan menggigitinya kecil-kecil, ia juga mencupang balon buah dada gadis itu hingga membekas merah. Ketika gadis itu lengah, Pak Bejo menempatkan kemaluannya di mulut vagina Anissa sebelum dara cantik itu sadar apa yang akan segera dilakukan oleh sang pria tua bejat.

“Jangan Pak! Jangaaaaaaan!!!” rengek Anissa mencoba menghalangi Pak Bejo mengambil miliknya yang sangat berharga dan tak tergantikan itu. Tapi Pak Bejo jauh lebih kuat dan nafsu birahinya sudah sampai ke ujung ubun, Anis tak berdaya dalam pelukan Pak Bejo. Rengekan mohon ampun dari Anis malah semakin membuat Pak Bejo bernafsu, ia menyiapkan penisnya untuk melakukan tugas yang paling menyenangkan, merenggut kegadisan Anissa.

Pak Bejo bertanya-tanya dalam hati, benarkah gadis ini masih perawan? Hanya ada satu jalan untuk membuktikannya. Pak Bejo mengangkat tubuh dan melesakkan kemaluannya ke dalam memek Anissa dengan sekuat tenaga. Karena kerasnya usaha Pak Bejo, akhirnya bobol juga pertahanan terakhir Anissa. Pria pertama yang berhasil mencicipi madu kenikmatan dari kegadisannya bukanlah Dodit yang diharapkan menjadi suaminya, melainkan seorang pria tua bejat bernama Bejo Suharso.

“Jangaaan!! Kumohon, Pak Bejo! Sudah! Sudaaaah!!” Anissa meronta dan memukuli Pak Bejo sekuat tenaga, tapi mantan preman itu jauh lebih kuat daripada sang gadis muda. Karena jengkel, Pak Bejo menampar gadis itu di pipi kanan dan kiri. Saat itulah Anissa berhasil ditundukkan.

Anissa mendengar lenguhan Pak Bejo yang mulai melesakkan penisnya pelan-pelan, “Duuuh… enaknya memek kamu, Non Anis. Rapet banget! Wah, beneran nih Non Anis masih perawan!”

Kemaluan Pak Bejo maju sedikit demi sedikit, Anissa memejamkan mata ketika merasakan ujung gundul penis pria tua itu mulai melesak masuk melewati bibir vaginanya. Anissa ingin menjerit tapi tenaganya sudah habis, batang kemaluan Pak Bejo masuk ke dalam liang rahim Anissa dengan lembut. Gadis jelita itu hanya bisa pasrah dan menangis sesunggukan tanpa daya.

“Jangan…” bisik Anissa memohon ampun untuk yang terakhir kali sebelum Pak Bejo mengambil miliknya yang paling berharga. Calon pengantin itu mengerang ketakutan dan kesakitan namun tak berdaya, ia tak bisa mempertahankan diri dan gagal menahan serangan pria tua menjijikkan yang menginginkan kesuciannya ini. Jika Pak Bejo berhasil mendapatkan keperawanannya, maka Anissa akan kehilangan Dodit. Anissa tahu dia akan menjadi gadis kotor yang tidak lagi pantas menjadi istri kekasihnya itu. Pernikahan mereka terancam berantakan.

“Ahhhhhhhhh!!” jerit Anissa setengah berteriak ketika seluruh batang kemaluan Pak Bejo berhasil menembus masuk ke dalam memeknya, selaput daranya berhasil disobek. Pak Bejo menikmati tiap detik kenikmatan memerawani Anissa.

“Wow, surprise! Non Anissa bener-bener masih perawan!” teriak Pak Bejo sambil tertawa puas, ia bahagia menjadi orang pertama yang memasuki liang kewanitaan Anissa dan menembus selaput daranya.

Merasakan kenikmatan luar biasa menjadi pembobol keperawanan Anissa yang sebentar lagi akan menikah itu, Pak Bejo menyetubuhinya tanpa ampun. Ia menusukkan kemaluannya ke dalam vagina Anissa yang terbaring tak berdaya di bawahnya. Gadis itu tak henti menggigil sambil bergetar dan menangis sesunggukan. Pak Bejo menatap mata Anissa lekat-lekat dan tertawa terbahak. “Nggak nyangka sama sekali, di jaman seperti sekarang masih ada cewek yang mempertahankan keperawanannya sebelum menikah. Tadinya saya pikir Non Anis sudah berkali-kali ditiduri Mas Dodit. Sayang sekali dia tidak berani melakukannya, tentunya sekarang Non Anis akan mengingat saya seumur hidup ya, cinta pertama memang tak akan terlupakan, ha ha ha.”

Anissa kembali menjerit-jerit karena tak rela dirinya diperawani pria sebejat Pak Bejo. Pria tua itu hanya tertawa terbahak melihat gadis itu mencoba meronta. Gerakannya malah justru membuat gairah birahi Pak Bejo melejit tak tertahan.

“Ahh… enakgh… enak sekali… ahhh memekmu top banget, Non Anis!” kata pria tua sambil merendahkan martabat gadis yang tengah diperkosanya dengan mengeluar masukkan penisnya sekuat tenaga.

“Ohhhh… ampuuuun! Ampuuuun, Pak! Sudaaaah! Cukuppp! Ahhhh! Ehhhmm…!!” rintihan suara Anissa bercampur antara rasa sakit dan nikmat, sangat menyenangkan di telinga Pak Bejo yang terus menggenjot kemaluannya.

“Gadis cantik seperti kamu memang harus diperlakukan seperti ini… unghhh… enak banget memek kamu, Non Anis… ungh… ungh… ungh…” Pak Bejo merem melek merasakan sempitnya kemaluan gadis yang ada di pelukannya.

Anissa menyeringai menahan sakit ketika penis Pak Bejo berulang-ulang menjejal di dalam liang rahimnya, air mata Anis menetes tak tertahan. Pak Bejo tak kunjung usai, ia menarik paha si cantik dan menumbukkan kemaluannya sampai ke ujung leher rahim, sangat menyakitkan bagi Anissa yang baru pertama kali ini bersetubuh dengan seorang lelaki. Belum cukup rasa sakit ditimbulkan oleh Pak Bejo, pria tua menjijikkan itu juga meremas-remas payudara Anissa dengan ganas.

“Aduuuhh… sakit! Sakit! Ampuuun…” rintih Anissa tanpa henti sementara Pak Bejo menyetubuhinya dengan berbagai macam gaya. Pria tua itu tidak puas hanya dengan posisi misionaris biasa, ia menarik Anissa dan menyetubuhi dari belakang dengan gaya doggie-style. Berkali-kali Anissa merengek minta ampun ketika Pak Bejo menjambak rambutnya hingga wajah gadis itu mendongak menatap ke atas. Karena waktunya sempit, Pak Bejo tidak bisa terlalu banyak melakukan eksperimen posisi, tapi dia merasa puas merasakan memek Anissa yang masih sangat rapat hingga penisnya terasa sangat enak di dalam memek gadis itu. Tidak hanya asyik melesakkan penisnya keluar masuk memek Anissa, Pak Bejo juga menggigiti pundak dan menciumi leher gadis itu sementara tangannya asyik meremas-remas buah dada si cantik.

“Aduuuh! Aduuuh! Aku tidak tahaaan lagiiii!!” erang Pak Bejo setengah berteriak. Sesaat kemudian Anissa merasakan ujung gundul penis Pak Bejo seperti membengkak dan berdenyut di dalam liang kewanitaannya. Tiba-tiba saja terpancar cairan hangat yang keluar dari ujung penis Pak Bejo, kemaluan Anissa dipenuhi oleh air mani pria tua bejat itu. Setelah hampir satu jam Pak Bejo menyetubuhi Anissa dengan kejam, diapun menyemprotkan air maninya di dalam liang rahim sang gadis manis yang sudah direnggut kesuciannya itu.

Bukannya takut dilaporkan pihak yang berwajib karena telah memperkosa calon istri orang, Pak Bejo malah berharap ia bisa menghamili Anis. Pak Bejo tetap mendiamkan penisnya berada di dalam memek Anis untuk beberapa saat lamanya, sementara gadis itu terdiam tak berdaya di bawah pelukan sang pria tua. Setelah beberapa menit mereka beristirahat, Pak Bejo melepaskan penisnya dari dalam vagina Anis. Pak Bejo menangkup selangkangan Anis dengan nakal dan terkekeh menghina.

“Memang paling enak acara belah duren.” Pak Bejo menggesekkan penisnya di dada ranum dan wajah cantik Anissa tanpa rasa dosa. “Dengarkan baik-baik, anak manis. Ada baiknya kejadian ini tidak kau sebarkan ke semua orang. Aku punya banyak kawan di luar sana, jadi seandainya kau lapor polisi atau membacot pada Mas Hendra, Mbak Alya atau Mas Dodit dan yang lainnya, siap-siap saja. Tidak hanya menyiksamu, aku juga akan meminta orang menghabisi Mas Doditmu tercinta itu! Paham?!”

Anissa mengangguk lemah tak berdaya.

Puas mempermalukan dan mengancam Anissa, dengan santai Pak Bejo membersihkan dirinya dengan tissue yang ia ambil dari saku kantong celana, ia melemparkan beberapa helai tissue pada Anissa yang masih sesunggukan dan meringkuk tak berdaya. Pak Bejo dengan senyum puas membersihkan penisnya yang belepotan air mani bercampur darah perawan Anissa. Ia puas sekali bisa mendapatkan seorang gadis yang cantik dan seksi apalagi masih perawan seperti Anissa, ia merasa jauh lebih muda setelah meneguk kenikmatan sejati seorang gadis perawan.

Beberapa saat kemudian, mereka kembali ke mobil yang diparkir di tepi jalan.

Sementara Pak Bejo merasa puas dan merokok di kursi depan, Anis menangis terisak-isak di kursi belakang. Tubuh gadis itu terasa berat dan lemas sampai-sampai ia tak mampu bergerak. Anissa tahu, pasti orang tua sinting ini akan mengulangi lagi perbuatannya kapanpun ia mau. Anissa tidak bisa melaporkannya ke pihak yang berwajib karena Pak Bejo adalah orang yang sangat kasar dan berani melakukan setiap ancamannya, ia takut Pak Bejo akan melukai dirinya, keluarga Mas Hendra atau bahkan Dodit. Anissa tidak mau itu terjadi, dia juga tidak ingin melapor ke polisi karena merasa malu sudah ternoda, seumur hidup Anissa ingin memberikan yang terbaik pada suaminya yang sah, ternyata, mendekati hari-hari pernikahannya, ia malah kehilangan kesuciannya karena diperkosa oleh seorang pria tua bajingan.

Hampir dua jam kemudian baru mereka pulang. Ketika berpindah dari belakang ke kursi depan, Anissa berjalan dengan sedikit timpang, tentunya karena selangkangannya terasa sangat sakit. Pak Bejo terkekeh menatap nyeri yang dialami korbannya. Ia sangat puas menjadi orang pertama yang bisa meraih kenikmatan vagina Anissa.

###

Anissa terbangun dengan badan kaku dan linu. Matahari menembus ke dalam kamar dengan sinar tipis yang menyeruak melalui sela-sela kain gorden jendela dan lubang angin di atasnya. Gadis muda itu menguap, dia kecapekan, seluruh tubuhnya terasa remuk. Ketika melirik ke arah jam dinding, Anis baru sadar kalau ternyata hari sudah siang.

Kaca besar yang berada di meja rias menyadarkan Anissa. Wajahnya sembab dan membekas biru, kelopak matanya sayu dan berkantung tebal. Peristiwa semalam mengagetkan Anissa seperti kilat menyambar, semalam ia diperkosa! Ia telah diperkosa! Ia bukan perawan lagi! Ia sudah diperkosa!

Anissa menggeleng, ia tidak mau menerima kenyataan ini… ia tidak mau… ini semua hanya mimpi, pasti hanya mimpi. Buru-buru gadis itu menyibakkan selimut dan memeriksa bagian selangkangannya. Ada rasa gatal yang hangat di bagian lekuk selangkangan yang terasa aneh, Anissa meneteskan air mata lagi, ia tidak mau menerima kenyataan yang pahit ini. Ia tidak mau menerimanya. Detik demi detik yang berlalu semalam kembali terulang dalam benak Anissa, akhirnya ia sadar sepenuhnya. Semalam, ia telah ditiduri Pak Bejo. Ia telah diperkosa oleh orang yang lebih pantas menjadi orang tuanya itu. Anissa tidak bisa mempertahankan kegadisannya karena direnggut seorang lelaki hina.

Dengan tubuh lemas lunglai, Anis berjalan tertatih menuju kamar mandi. Bagian selangkangannya terasa panas dan perih, ia duduk di toilet dan berusaha mengenyahkan semua kejadian semalam yang berulang di benaknya bagaikan film yang diputar berkali-kali. Gadis itu berusaha tabah dan menahan diri agar tidak menangis, tapi air matanya tetap menetes membasahi pipi.

Anissa duduk terdiam di toilet dengan pikiran yang melayang jauh. Entah apa yang sedang dilamunkan gadis malang itu.

Ia tidak ingin berjumpa dengan siapapun saat ini, tidak juga Dodit. Karena ia tahu, kisah penderitaannya belumlah usai, justru baru akan dimulai.

Kamar VIP tempat Hendra dirawat mulai terlihat membosankan bagi Alya, dia ingin segera pulang dan membawa suaminya meninggalkan kamar rumah sakit yang berbau obat ini untuk kembali menjalani hidup bersama di rumah sendiri. Ibu muda yang cantik itu duduk termenung di samping jendela kamar sambil melamun, pandangannya tak berpindah dari halaman rumah sakit yang asri dan dipenuhi pepohonan menghijau, walaupun hari sudah gelap tapi pemandangan taman tetap terlihat karena nyala terang lampu hias di taman. Malam mulai menggelayut dan gelap menyelimuti hari. Pandangan Alya beralih dari satu lampu ke lampu yang lain, setelah bosan ia beralih memperhatikan pepohonan tinggi yang menunduk seakan tertidur lelap di tengah malam yang sunyi.

Pikiran Alya termenung lebih jauh lagi, seperti apa kehidupan mereka selanjutnya dengan keadaan Mas Hendra yang seperti ini? Separuh tubuhnya sudah lumpuh, masa penyembuhannya akan berlangsung lama, belum lagi pengaruh psikisnya pada Mas Hendra dan keluarga mereka. Pekerjaan Mas Hendra memang masih bisa dikerjakan dari rumah melalui internet bahkan perusahaan Mas Hendra sudah mengatakan opsi pekerjaan tersebut bisa dikerjakan oleh Mas Hendra selama sakitnya. Mereka tidak akan memecat Hendra, melainkan tetap memperkerjakannya walaupun tetap berada di rumah karena kemampuan Hendra memang tidak ada duanya dan dia sangat dibutuhkan untuk tetap bekerja. Walaupun begitu, akan tetap butuh waktu bagi mereka semua untuk menyesuaikan diri.

Alya menatap keluar halaman dengan pandangan yang makin mengabur. Bagaimana dengan dia sendiri? Kuatkah dia menghadapi semua masalah demi masalah yang makin lama makin besar dan meremukkan seluruh jiwaraganya? Kuatkah dia untuk terus berada di samping suaminya sementara hidupnya terus berada di bawah ancaman pria tua busuk seperti Bejo Suharso? Keluhan pelan keluar dari mulut Alya, wanita cantik itu hanya bisa berharap ini semua segera berakhir.

Terdengar ketukan pelan dari pintu, Alya melirik ke jam dinding, siapa gerangan yang mengetuk jam segini? Jam bezuk sudah lewat dan Alya tidak menunggu siapapun termasuk Dodit, Anis ataupun Lidya sementara Opi sudah dititipkan pada Bu Bejo. Siapa yang malam ini datang? Susterkah? Jarang sekali suster masuk ke dalam ruangan jam segini, biasanya mereka datang hampir tengah malam.

“Halo… halo… kamu sendirian ya sayang? Bagus! Ayo kita bersenang-senang!”

Alya hampir menjerit ketika sosok gemuk Bejo Suharso masuk ke dalam kamar sambil menyeringai. Dengan bantuan tangannya sendiri, Alya membekap mulut agar tidak menjerit dan menimbulkan kegaduhan. Pak Bejo datang seorang diri, pria tua itu bahkan dengan berani menggeser kursi yang ada untuk memalang pintu kamar, siapapun yang hendak masuk akan kesulitan membuka pintu kecuali kursi itu disingkirkan. Alya meringkuk ketakutan di pojok ruangan. Berulang kali wanita cantik itu melirik ke arah suaminya yang masih lelap. Kepada siapa Alya harus minta pertolongan? Keringat deras mengalir di dahinya.

“Ayo… ayo… tidak usah takut. Ini aku, sayang. Kekasihmu tercinta.”

Bejo berjalan tegap ke arah istri Hendra yang pucat pasi dan ketakutan, kangen sekali rasanya dia pada si molek ini.

Alya menggeleng. “Jangan mendekat! Jangan mendekat!!”

Alya bangkit dan mencoba melarikan diri, tapi tangan besar Pak Bejo lebih cekatan dari gerakan Alya yang panik. Dengan satu sentakan, Alya dilempar kembali ke pembaringan di samping tempat tidur Hendra yang masih terlelap. Di kamar VIP itu, memang disediakan satu pembaringan untuk tamu penunggu pasien.

“Jika kau mau semua ini berakhir, diam dan layani aku.” bisik Pak Bejo mengancam.

###

Lidya tidak bisa tidur malam ini, saat makan malam tadi Andi mengatakan kalau dia harus pergi lagi selama seminggu ke luar kota. Suaminya itu mengatakan kalau ternyata ada beberapa pekerjaan kantor yang belum tuntas diselesaikan saat dia ke dinas di sana seminggu yang lalu. Karena pekerjaan itu sifatnya mendesak, besok Andi harus segera terbang lagi kesana dan membereskannya.

Sebenarnya bukan perpisahan selama seminggu dengan Andi yang membebani batin Lidya, melainkan rasa takutnya kembali berdua saja dengan ayah mertuanya yang cabul. Pantas saja Pak Hasan memaksa Lidya menjadi budaknya seminggu ini, ternyata mertuanya itu sudah lebih dahulu tahu kalau Andi akan pergi dinas lagi selama seminggu. Membayangkan senyum ejekan menggaris di bibir Pak Hasan, ingin rasanya Lidya menamparnya. Menjijikkan sekali! Orang yang tadinya dianut sebagai pengganti orang tua, malah menjebloskannya ke lembah hina.

“Mass…,” Lidya menggelayut manja di pundak suaminya yang baru saja naik ke ranjang. “Apa perginya tidak bisa ditunda? Mas Andi kan baru saja pulang, belum sampai seminggu di rumah sudah pergi lagi.”

“Maaf sayang, tidak bisa, aku tetap harus pergi besok. Kamu tahu sendiri kan ini sudah masuk jadwal rutin akhir tahun anggaran, pekerjaan di daerah menumpuk sementara teman kerjaku malah cuti karena istrinya melahirkan, tidak ada orang lain lagi selain aku yang bisa mengerjakannya, padahal rencananya bulan depan bos besar akan datang dari Singapore, reportnya harus segera selesai dalam minggu ini.” bisik Andi yang sudah mulai memejamkan mata, dia lelah sekali hari ini.

“Terus aku bagaimana?” desah Lidya lagi.

“Kamu bagaimana gimana? Kamu ya di rumah aja, aku kan cuma seminggu, nggak lama, lagi pula ada Bapak di rumah. Dia bisa menemani kamu selama aku pergi, kamu tidak perlu takut kesepian, kalau butuh jalan-jalan tolong temani Bapak keliling-keliling cari kontrakan baru. Siapa tahu bapak bosan di rumah terus.”

Lidya merengut, kalau diberi kesempatan dan diperbolehkan, dia justru ingin menghajar mertuanya yang dengan biadab telah memperkosa dan mempermalukannya itu, tapi Lidya tentu saja tidak mungkin melakukannya.

“Aku kan masih kangen,” rayu Lidya manja sambil menciumi bagian belakang leher suaminya. “baru beberapa hari kamu di rumah… malam ini… kamu… kita…”

Andi yang tertidur sambil membelakangi Lidya geli diciumi oleh istrinya, diapun membalikkan badan. “Aduh sayang, jangan sekarang ya… aku capek sekali.”

Setelah mendorong Lidya agar menjauh sedikit, Andi kembali berbalik dan terlelap.

Lidya mencibir dengan kesal.

###

“Apa mau Pak Bejo?” tanya Alya geram. Dia menyimpan kekhawatiran pada tatapan mesum lelaki tua itu.

“Buka resleting celanaku!” perintah Pak Bejo.

“Sinting! Gila! Pak Bejo pikir ini dimana? Ini rumah sakit! Bagaimana nanti kalau ada orang masuk?” Alya mengeluarkan keringat dingin karena tegang. “Lagipula aku tidak mau melakukannya di depan Mas Hendra!!” tambah Alya. Si cantik itu mencoba mengelak dengan segala cara namun pergelangan tangannya dipegang erat oleh Pak Bejo. Alya buru-buru mencari cara lain untuk meloloskan diri dari situasi gawat ini. “Aku akan layani Pak Bejo kalau kita sudah sampai rumah nanti! Tidak di sini, tidak sekarang! Pokoknya aku tidak mau!”

“Aku tidak peduli. Kamu pikir selama ini aku tidak mengamati kegiatan di rumah sakit ini? Aku lebih pintar dari yang kau kira, sayang. Suster tidak akan datang ke kamar ini dalam waktu seperempat jam ke depan dan sekarang bukan jam bezuk, jadi tidak akan ada orang lain di sini kecuali kita berdua, Mbak Alyaku yang cantik jelita.” Pak Bejo terkekeh digdaya, “Coba lihat suamimu itu. Kasihan sekali kan kalau sampai arah infusnya berbalik? Darahnya akan tersedot ke atas… hehehe. Kau sadar tidak, mudah sekali kalau aku ingin menyakiti orang-orang yang kamu cintai kapanpun aku mau. Kalau tidak ingin Mas Hendra kucelakai sampai mampus di tempat ini juga, sebaiknya kau segera buka resleting celanaku dan sedot kontolku sampai aku puas!”

Alya menatap Pak Bejo tak percaya, ia memutar otak mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang sedang ia hadapi, tapi memang tidak ada jalan lain yang aman baginya kecuali melayani kemauan bajingan tua ini. Keselamatan Mas Hendra lebih penting dari martabatnya yang sudah tak ada harganya lagi. Alya akhirnya menurut, ia jongkok ke bawah, membuka kancing lalu menarik turun kait resleting celana Pak Bejo. Setelah dibuka, Alya menarik turun celana panjang berikut celana dalam yang dikenakan oleh pria tua itu sampai ke betis. Kemaluan Pak Bejo yang besar dan panjang meloncat keluar dari celana dalam yang ia kenakan dan menampar pipi mulus Alya.

Ingin sekali rasanya Alya menendang kantung kemaluan Pak Bejo dan melarikan diri dari ruangan ini, tapi melihat Hendra yang lelap tak berdaya Alya tahu ia harus tunduk dan menuruti semua kemauan Pak Bejo. pria tua itu menjambak rambut Alya dan menariknya ke belakang, wajah Alya menengadah ke atas dan bertatapan mata langsung dengan mata jalang Pak Bejo.

Wajah takluk Alya membuat Pak Bejo tersenyum puas. Dengan jari-jari nakalnya, pria tua itu memainkan rambut indah Alya lalu dengan kasar dia mendorong wajah Alya mendekati kemaluannya.

“Sedot.” Bisik Pak Bejo, suaranya pelan namun tegas.

Alya tahu, dia harus segera melayani kemauan Pak Bejo saat ini juga atau pria tua yang jahat itu akan menghajarnya seperti beberapa waktu yang lalu. Pak Bejo memang tidak berperasaan, dia menyuruh Alya mengoral kemaluannya tepat di hadapan sang suami yang masih lelap, belum lagi kalau ada suster yang datang. Benar-benar nekat orang tua tak tahu malu ini. Mereka berada cukup dekat dengan ranjang penunggu pasien tempat Alya biasa tidur menemani Hendra.

“Kamu mau ketahuan orang? Mumpung sepi, cepat sedot.” Gertak Pak Bejo sekali lagi.

Alya melirik ke arah Hendra yang masih terlelap, lalu menatap sengit mata Pak Bejo.

Alya mencondongkan badan ke depan dan membuka mulutnya perlahan. Si cantik itu menelan batang kemaluan Pak Bejo dan memainkan lidah di sekitar ujung gundulnya. Alya memegang kontol Pak Bejo dengan lembut dan mengocoknya perlahan. Si cantik itu mendorong Pak Bejo agar tidur terlentang di ranjang penunggu pasien dan ia mulai menjilati seluruh batang kemaluan lelaki tua itu, mulai dari kantungnya, lalu batang, sampai ke atas. Jilatan lidah Alya membuat Pak Bejo terangsang dan belingsatan, enak sekali rasanya.

Nafas Pak Bejo kian berat, ia sangat menyukai perasaan berkuasa seperti ini. Ia merasa seperti seorang raja yang sedang dilayani oleh selirnya. Saat ini pria tua itu tahu apapun yang ia perintahkan pasti akan dilaksanakan ibu muda yang seksi itu. Membayangkan wanita secantik Alya melakukan hal-hal yang memalukan membuat Pak Bejo terangsang. Kontolnya langsung ngaceng, bahkan akan meledak mengeluarkan air mani seandainya tidak ditahan-tahannya.

Lama kelamaan, seluruh batang pelir Pak Bejo sudah tertelan oleh Alya, kepalanya naik turun bersama gerakan mulutnya mengocok kemaluan sang lelaki tua dari ujung gundul sampai kantung kemaluan. Pak Bejo memiringkan kepala Alya dan menyibakkan rambut yang menutup wajah cantiknya. Ia ingin melihat langsung kontolnya keluar masuk bibir mungil wanita secantik Alya, pemandangan indah itu membuatnya semakin terangsang.

Benar saja, hanya beberapa detik melihat Alya mengoral kemaluannya, Pak Bejo sudah siap mencapai klimaks. Pria tua itu mengencangkan cengkramannya pada rambut Alya dan menggerakkan kepala wanita jelita itu seraya memompakan penisnya ke dalam mulut Alya. Si cantik itu memberontak sesaat, tapi tatapan galak Pak Bejo meluruhkan niatnya, nyali Alya menciut dan Pak Bejo pun membentaknya galak. “Ayo dikulum terus! Kenapa berhenti?”

Walau kesal dan jengkel tapi Alya tak melawan sedikitpun. Si cantik itu melumat kontol Pak Bejo seiring gerakan sang pria tua menggiling kemaluannya memasuki tenggorokan Alya dengan gerakan yang sangat cepat sampai-sampai si cantik itu tak sempat menarik nafas. Lama kelamaan sodokannya makin cepat dan pendek sementara nafas Pak Bejo terdengar mendengus-dengus. Alya yakin pria tua itu pasti akan segera mencapai puncak kenikmatan.

“Mainkan kantungku,” lenguh Pak Bejo sambil menggemeretakkan gigi. Pria itu masih terus menyodokkan kemaluannya ke mulut Alya. Begitu jari-jari lembut Alya menyentuh kantung kemaluannya, Pak Bejo tidak kuat lagi, ia langsung mencapai klimaks dengan cepat. Diiringi lenguhan panjang, Pak Bejo menyemprotkan cairan cintanya. Pria tua itu memaksa Alya menerima semua semprotan pejuh dengan mulutnya, tangan Pak Bejo bahkan memegang kepala Alya erat-erat agar si cantik itu menelan semua semprotan air maninya tanpa ada yang tersisa. “Telan!” desak Pak Bejo melihat Alya enggan menerima air maninya, perintah Pak Bejo terpaksa dituruti oleh ibu muda yang cantik itu karena takut dan ia ingin sesegera mungkin mengakhiri sesi oral seks dengan orang tua bejat itu.

Merasakan penisnya dikulum dan pejuhnya ditelan mentah-mentah oleh Alya membuat Pak Bejo sangat puas. Setelah penis Pak Bejo menembakkan peluru pejuhnya yang terakhir, pria tua itu meringis dan menarik penisnya dari kuluman Alya. Beberapa tetes air mani kental ikut terbawa saat ia menarik kemaluannya. “Bersihkan kontolku.” Perintah pria tua itu.

Dengan hati-hati Alya menjilat dan menelan setiap tetes pejuh yang membasahi kemaluan Pak Bejo. Bibir si cantik itu belepotan air mani sang pria tua, Alya memang sengaja tidak menelan seluruh cairan yang keluar dari kemaluan Pak Bejo karena jijik, pejuh putih kental menetes dari sela-sela mulutnya dan jatuh di atas lantai. Pak Bejo menepuk-nepuk kepala Alya dan mengenakan kembali celananya dengan penuh kepuasan.

“Memang enak seponganmu, Mbak Alya,” kata Pak Bejo. “mungkin Mas Hendra bisa sembuh dari lumpuhnya dan bangun dari tempat tidur kalau kau sepong terus tiap hari.”

Sambil tertawa terbahak-bahak Pak Bejo melangkah pergi meninggalkan kamar tempat Hendra dirawat, Alya menatap kepergian orang tua bejat itu dengan penuh kebencian. Beberapa orang suster yang sedang duduk beristirahat di ruang administrasi menatap heran langkah jumawa dan senyum sumringah Pak Bejo meninggalkan bangsal, baru kali ini ada orang yang tertawa terbahak-bahak usai mengunjungi pasien yang sakit parah, keterlaluan sekali orang ini.

Sepeninggal Pak Bejo, Alya membersihkan lantai yang basah oleh air mani dengan tissue dan mencuci mulutnya di kamar mandi.

Tanpa sepengetahuan Alya yang telah masuk ke kamar mandi, setetes air mata mengalir di pipi Hendra.

###

Andi memasuk-masukkan tasnya ke dalam mobil, bersiap hendak berangkat. Matahari pagi terasa jauh lebih panas dari biasanya, walaupun enggan meninggalkan istrinya yang jelita sendirian di rumah lagi, Andi tetap harus berangkat.

“Yakin nih, Mas? Bakal seminggu lagi?” tanya Lidya sambil memendam rasa kecewa. Belum tuntas rasanya ia melepaskan rasa rindu dan mencari perlindungan pada suaminya, ternyata kini Andi harus pergi lagi. “Apa nggak bisa dipercepat pulangnya?”

“Maunya sih begitu, sayang. Tapi ini kan perintah langsung dari atasan, aku tidak bisa bilang tidak. Aku coba lihat nanti berapa banyak pekerjaan yang numpuk, kalau memang bisa pulang lebih awal, aku pasti pulang.” Andi tersenyum lembut melihat istrinya cemberut, ia tahu Lidya kecewa. Dengan penuh rasa sayang dikecupnya bibir sang istri. “Aku janji, kalau pulang nanti akan aku bawakan oleh-oleh makanan kesukaanmu.”

Lidya masih tetap cemberut.

Tiba-tiba saja Pak Hasan datang dan dengan santai merangkul pundak Lidya. Wanita cantik itu tentu terkejut sekali, berani-beraninya Pak Hasan merangkulnya di depan Andi!

“Jangan khawatir, Bapak pasti akan menjaga istrimu baik-baik, Ndi.”

“Iya, Pak. Untung saja ada Bapak di sini, jadi Lidya tidak akan kesepian.” Kata Andi.

Dasar bodoh, amuk batin Lidya, andai saja suaminya itu tahu, kalau selama ini justru ayahnya yang telah memperlakukan Lidya seperti seorang pelacur jalanan. Dengan gerakan sesopan mungkin, Lidya menurunkan tangan Pak Hasan yang tadinya merangkul pundaknya.

“Aku pergi dulu yah, sayang.” Pamit Andi, “Pak, titip Lidya ya.”

“Iya. Hati-hati di jalan.” Pak Hasan menyeringai. Ia sangat bahagia diberi titipan yang sangat berharga oleh anaknya itu, seorang wanita jelita yang seksi yang bisa ia tiduri kapan saja ia mau.

Lidya terdiam saat mobil Andi berangkat meninggalkan rumah.

Ketika mobil itu menghilang dari pandangan, tangan Pak Hasan langsung beraksi, meremas-remas pantat bulat Lidya. Si cantik itu menghardik mertuanya dan melangkah masuk ke rumah dengan sewot. Pak Hasan meringis penuh kemenangan.

###

Dina mengejap-kejapkan matanya yang masih mengantuk. Semalam suntuk ia tak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Pak Pram dan Pak Bambang telah menyewakan satu kamar hotel mewah yang semalam ia gunakan untuk beristirahat, tapi Dina tetap tak bisa tidur, ia ingin tahu bagaimana kabar anak-anaknya, bagaimana kabar Alya dan Lidya – adiknya dan bagaimana kabar Anton suaminya.

Proposal yang diajukan Pak Bambang adalah pisau bermata ganda yang bisa membuat mereka sekeluarga hidup berkecukupan walaupun hidup terpisah tapi juga akan membelenggu hidupnya sebagai istri seorang idiot pewaris kekayaan seorang konglomerat yang sudah sangat tua. Apa yang akan dilakukannya?

Langkah kaki Dina terasa berat menyusuri lorong hotel mewah menuju kamar pertemuan yang berada di ujung. Dalam hati kecilnya, Dina merasa dirinya bagaikan seorang narapidana yang hendak dihukum mati. Ia memang bersalah, ia sudah bersedia melacurkan diri untuk menyelamatkan kelangsungan hidup keluarga, ia berani menanggung resiko sebagai wanita jalang yang mau melayani kemauan binal orang-orang tua tak tahu diri. Ia merasa bersalah, karena telah mengkhianati janji pernikahan dengan Mas Anton. Seandainya hari ini Anton memutuskan untuk memberikannya pada Pak Bambang… sepertinya… Dina rela…

Wanita cantik itu mengambil tissue dari kantong bajunya dan menghapus airmata yang menetes perlahan membasahi pipi. Beberapa orang penjaga melirik ke arah Dina dengan pandangan meremehkan, bibir mereka tersungging menghina dan merendahkan, menambah pedih sakit di dalam hatinya. Langkah kaki yang terasa berat membuat pinggul Dina bergerak pelan, bagi para penjaga, gerakan pantat Dina bagaikan suguhan pertunjukkan yang mengasyikkan, seandainya wanita ini tidak lagi diinginkan oleh pimpinan mereka, ingin rasanya mereka mencicipi tubuhnya yang indah.

Pintu besar ruang pertemuan dibuka lebar, beberapa orang menemani Dina masuk ke dalam. Di dalam ruangan, terdapat sebuah meja besar dengan kursi yang saling berhadapan. Di sisi jauh, Pak Bambang, Pak Pramono, beberapa orang pegawai pemerintah berjabatan tinggi serta beberapa orang asisten sudah sedari tadi menunggu Kedatangannya. Sementara di kursi yang menghadap ke arah mereka, duduklah suami Dina dengan kepala menunduk tanpa berani diangkat.

Dengan wajah lesu Dina duduk di kursi yang telah disediakan di samping suaminya.

Pak Bambang dan Pak Pramono duduk dengan tenang sementara asistennya mengeluarkan beberapa lembar berkas dan meletakkannya di hadapan Anton dan Dina. Sepasang suami istri itu tidak saling memandang dan terdiam membisu, perasaan keduanya kacau balau.

“Ini adalah berkas-berkas yang perlu ditanda-tangani seandai kalian berdua bersedia menerima penawaran dari Pak Bambang. Dengan menandatangani surat-surat ini, kalian berdua akan resmi bercerai secara sah dan legal.” Kata asisten Pak Bambang.

Dina dan Anton menatap tak percaya surat-surat yang berada di hadapan mereka. Bagaimana mungkin Pak Bambang dan Pak Pramono bisa menyediakan surat cerai bagi mereka dalam waktu yang sangat singkat? Anton menatap geram kedua orang tua yang sangat kaya itu dan yakin, surat ini bisa turun tentunya dengan menyogok petugas pemerintah yang mengurusnya. Ada uang ada barang. Bagi orang sekaya Pak Bambang, mudah sekali mendapatkan surat-surat yang diinginkan, apalagi hanya surat cerai bagi kaum menengah sepertinya. Mereka bahkan tidak perlu menghadiri sidang perceraian atau apapun, hanya menandatangani surat-surat ini, pernikahan mereka sudah berakhir. Urusan legalitas dan administrasi sudah ditangani oleh dua pengusaha kaya yang memeras mereka itu, segala sesuatunya benar-benar sudah disiapkan.

Tubuh Dina gemetar ketakutan melihat surat-surat di hadapannya sementara Anton membolak-balik kertas dengan geram. Benar-benar sudah lengkap semua yang dibutuhkan, tidak ada celah sedikitpun bagi Anton dan Dina untuk berkelit.

“Keputusan sekarang berada di tangan kalian berdua.” Kata Pak Pram.

Anton menatap Dina dengan pandangan sedih yang tak terkatakan, Dina menatap suaminya kembali dan menggelengkan kepala. Anton menunduk sedih tanpa mampu mengucap kata-kata. Tangannya memegang pena dengan gemetar, Anton bingung, perasaannya bimbang, apa yang harus ia lakukan? Manakah keputusan yang terbaik bagi semuanya?

Mata Anton menatap surat-surat berisi pemberian modal usaha dan surat tanah serta hak milik rumah dan tempat usaha yang akan diberikan Pak Pramono bersamaan dengan surat cerainya. Anton menatap Pak Bambang, Pak Pramono dan akhirnya ia melirik ke arah cincin yang dulu ia sematkan di jari manis sang istri saat prosesi pernikahan mereka.

“Baiklah, sudah saya putuskan.” Kata Anton.

Dina menutup mata dan menarik nafas karena tegang, saat ini yang bisa dilakukannya hanyalah berharap.

###

Aneh sekali rasanya memasak hanya mengenakan handuk yang melilit di tubuhnya, Lidya merasa risih sekali, apalagi di belakangnya, Pak Hasan menyantap sarapan di meja makan dengan wajah bahagia. Siapa orang yang tidak senang, makan pagi ditemani seorang wanita cantik laksana bidadari yang hanya mengenakan handuk sebagai penutup tubuh. Apalagi handuk milik Lidya berukuran medium, hanya bisa menutup sebagian balon buah dada dan berada tipis di atas paha, jika dia merunduk sedikit, pasti selangkangannya akan terlihat dengan jelas dari belakang. Dalam situasi normal, Lidya tidak akan mau berpakaian senekat ini, tapi ini bukan situasi normal, Lidya sedang berada di bawah kekuasaan sang ayah mertua yang bejat. Pria tua itu menghendaki menantunya memasak dan menghidangkan sarapan hanya dengan mengenakan handuk.

Lidya geram dan jengkel sekali pada sang mertua karena memperlakukannya seperti pelacur hina. Yang lebih mengerikan lagi adalah penyakit Pak Hasan yang suka memamerkan tubuh Lidya di depan keramaian. Tempo hari saat berjalan-jalan di mall, Lidya bahkan dipermalukan dengan dipaksa melayani dua laki-laki tak dikenal, yang pertama seorang pengemudi taksi dan yang kedua seorang laki-laki hidung belang. Entah apa lagi yang diinginkan Pak Hasan karena seminggu ini dia harus bersedia dijadikan budak seks lelaki tua mesum itu.

“Nduk, kamu masaknya sudah selesai belum? Makan siang kan masih lama, apa tidak sebaiknya kamu selesaikan nanti saja memasaknya?” tanya Pak Hasan setelah menyelesaikan sarapannya. Lidya yakin, pasti si tua ini ada maunya.

“Sudah hampir selesai, Pak.” Jawab si cantik itu dengan nada suara datar.

“Aku tadi sudah mencuci baju dan celana, tapi belum aku jemur. Bisa minta tolong dijemurkan sebentar di lantai atas?”

Bukan permintaan yang aneh-aneh. Tumben.

“Bisa, Pak. Setelah ini selesai.”

Pak Hasan berdiri dan mensejajari menantunya, pria tua itu geleng-geleng kepala. Andi memang benar-benar lelaki yang beruntung, lihat saja perempuan mulus yang menjadi istrinya ini, kurang apa lagi? Wajahnya cantik jelita, tubuhnya seksi seperti biola, kulitnya putih mulus seperti pualam, rambutnya panjang dan hitam, payudaranya montok dan kencang, pantatnya bulat dan memeknya masih sangat rapat. Benar-benar spesimen perempuan yang sangat menggairahkan. Dengan main-main Pak Hasan menepuk pantat menantunya pelan.

“Tentunya tidak baik menjemur pakaian di halaman belakang hanya memakai handuk seperti ini.” kata Pak Hasan. “Aku carikan baju untukmu.”

Lidya curiga, tapi diam saja dan hanya mengangguk mengiyakan. Pak Hasan bersiul-siul aneh sambil melangkah meninggalkan dapur, Lidya menarik nafas lega. Saat itulah tiba-tiba Pak Hasan membalikkan badan dan melucuti kemeja yang sedang ia pakai.

“Hah, bodohnya aku ini. Semua bajuku kan sedang dicuci, bagaimana kalau kau pakai dulu kemejaku ini saja?”

Lidya menunduk lesu, ini dia rupanya, si tua ini memang selalu ada saja maunya. Dengan langkah malas Lidya mendatangi ayah mertuanya dan menerima kemeja yang diberikan padanya. Kemeja itu adalah sebuah kemeja putih tipis yang menerawang, seandainya dipakai pasti akan terlihat sangat seksi.

“Bagaimana celananya?” tanya Lidya.

“Celana apa? Siapa yang menyuruhmu pakai celana?” Pak Hasan belagak bodoh. “Aku hanya ingin melihatmu pakai kemeja ini dan menjemur pakaian di atas sana. Tentunya tidak usah menggunakan BH dan celana dalam pula, hari ini panas sekali, aku takut kamu kepanasan, kasihan sekali.”

Mulut Lidya menganga terheran. Dia tidak percaya mendengar permintaan Pak Hasan. Mertuanya itu memintanya menjemur pakaian di tingkat atas hanya mengenakan sehelai kemeja tanpa baju yang lain? Bagaimana kalau nanti terlihat oleh tetangga sebelah rumah? Rumah Andi dan Lidya memang cukup besar, dengan pagar tinggi melindungi bagian tengah hingga belakang. Untuk menjemur pakaian, Lidya biasa menggunakan lantai atas yang terbuka dan kosong. Walaupun tidak akan terlihat langsung oleh tetangga-tetangga yang berada di bagian depan rumah, namun keerotisan Lidya bisa terlihat jelas oleh tetangga samping dan belakang seandainya mereka secara tidak sengaja mendongak dan menatap ke atas.

“Apa ada masalah?” Pak Hasan mendekatkan wajahnya ke arah Lidya sambil menatapnya galak. Lidya tahu, pria tua itu bisa menyakitinya kapan saja ia mau, hanya satu cara untuk menghindari pukulannya yaitu dengan menuruti semua permintaannya. Toh, Lidya sudah bersedia menjadi budak seksnya untuk seminggu ini.

“Ti-tidak, Pak… tidak ada masalah…” Lidya menundukkan wajahnya yang ayu.

Pak Hasan terkekeh lagi sambil menyerahkan kemejanya pada Lidya.

###

Sudah beberapa hari ini Anissa malas bangun dan keluar dari kamar. Ia ingin pulang saja ke rumah, ia ingin menghindar sejauh mungkin dari tempat terkutuk ini, tapi dengan kecelakaan yang menimpa Mas Hendra, Anis harus siap merawat Opi jika Bu Bejo sedang berhalangan karena Mbak Alya lebih sering berada di rumah sakit.

Walaupun sudah mandi dan makan, Anis lebih suka berdiam diri di kamar, sejak diperkosa oleh Pak Bejo yang bejat, Anissa berubah total. Perangainya yang tadinya manis dan ceria berubah menjadi seorang gadis yang paranoid dan menutup diri. Anissa bahkan tidak mau berlama-lama di luar kamar walaupun itu ditemani oleh Dodit sekalipun.

Hari ini Dodit akan seharian berada di rumah sakit menemani Mbak Alya karena kondisi Mas Hendra drop lagi. Bu Bejo sudah pulang dan Opi sekolah, sepertinya hari ini Anis bisa sedikit tenang. Ia merasa lelah karena setiap hari menangis, Dodit mengira Anissa menangis karena mengkhawatirkan kakaknya yang masih berada di rumah sakit, tapi gadis itu sebenarnya menangis karena meratapi nasibnya yang malang, diperawani oleh seorang pria tua yang bejat menjelang hari perkawinannya.

“Jangan melamun terus. Sudah makan belum?”

Kaget sekali Anissa mendengar suara itu, siapa yang tiba-tiba saja masuk ke kamarnya? Apa dia tadi lupa mengunci pintu?

Sosok tua menjijikkan mendekati Anis dengan langkah penuh keyakinan.

Suara Anissa tercekat dalam tenggorokan ketika ia melihat pria tua yang telah merenggut kegadisannya tiba-tiba saja sudah berada di dalam kamarnya! Ia tidak mendengar suara pria busuk itu masuk ke dalam rumah. Dengan langkah arogan dan pandangan mata bengis penuh nafsu birahi, Pak Bejo berjingkat-jingkat menuju ranjang Anis. Mata pria tua itu bersinar-sinar jalang, membuat bulu kuduk si cantik Anis merinding.

“Ya Tuhan, ini tidak mungkin… tidak mungkin terjadi lagi… tidak lagi…” bisik Anissa pada diri sendiri. Gadis itu meraih selimutnya yang tebal dan menutupi tubuhnya yang indah, tapi tentunya sia-sia saja. Dengan sekali sentak, selimut itu melayang jauh ke pojok kamar, membiarkan tubuh Anissa terbuka lebar untuk dinikmati sang pria tua yang bejat. Pak Bejo menubruk tubuh gadis muda itu sebelum Anissa sempat melarikan diri. Mereka sempat bergumul sesaat di atas ranjang sebelum akhirnya Pak Bejo berhasil menangkup buah dada Anissa yang ranum di balik kaos yang dikenakannya dalam cakupan jemarinya yang kotor.

“Aku dengar seharian ini kamu tidak mau keluar kamar, anak manis?” tanya Pak Bejo sambil memainkan payudara Anissa yang masih berada di balik baju. “Kenapa? Kamu malu sudah tidak perawan lagi? Kamu malu sudah bersetubuh denganku?”

“Dasar bajingan!” desis Anis geram.

“Aku tadi berbincang-bincang dengan Mas Doditmu. Dia mengira kamu tidak ingin diganggu seharian ini karena sedang tidak enak badan dan ingin beristirahat, dia sama sekali tidak tahu akulah penyebab semua ini, dia tidak tahu aku sudah menjebol selaput daramu yang sangat berharga itu. Dia tidak tahu kalau aku telah memperoleh keperawanan pengantinnya yang cantik jelita.” Pak Bejo terkekeh-kekeh saat mengucapkan kata-kata yang melukai perasaan Anissa itu, “Dia tidak bisa menolongmu waktu kau kuperkosa, jadi jangan harap tunanganmu itu akan menolongmu sekarang. Mas Doditmu itu sedang menunggu Pak Hendra di rumah sakit, dia tadi bahkan menitipkan salam untukmu. Katanya Non Anis yang cantik diminta minum obat supaya lekas sembuh, makanya aku datang kemari untuk memberikan obat.”

Air mata Anissa mulai turun, dia takut sekali.

“Karena disuruh mengantar obat, maka harus saya sampaikan toh?” Pak Bejo terkekeh lagi. “Ini obatnya…” Dengan gerakan cabul, Pak Bejo meremas selangkangannya sendiri dan menghunjukkan benjolan penis di celananya ke wajah Anissa. Gadis itu memalingkan wajahnya dengan sebal, ia menghardik Pak Bejo karena kesal. Tapi Pak Bejo merenggut rambut Anis dan menyentakkannya kuat-kuat sampai-sampai gadis itu menjerit kesakitan. sekilas tercium bau minuman keras dari mulut Pak Bejo, apakah pria tua itu sempat mabuk sebelum masuk ke kamarnya? Anis tidak berani bergerak banyak karena takut oleh ancaman Pak Bejo. Melihat mangsanya hanya pasrah, tangan Pak Bejo bergerak bebas meremas-remas payudara ranum Anissa.

“Tolong kasihani aku, tinggalkan aku sendirian…” bisik Anissa lemah, “tolong…”

“Rasanya Mas Dodit pasti akan sangat berterima kasih seandainya kita berdua memberinya hadiah yang terindah yang akan selalu ia ingat sepanjang hidup.” Tangan Pak Bejo turun dari dada Anis ke perutnya, tangan itu menepuk pelan perut langsing Anis, “Hadiah terindah berupa seorang anak dari kekasihnya tercinta yang didapatkan dari sperma seorang pria tua buruk rupa.”

Anissa menutup mulutnya karena kaget dan takut, dia terhenyak berdiri dari posisinya yang rebah di ranjang, dia memang sudah diperkosa Pak Bejo, tapi gadis itu tidak akan mau dihamili oleh sang pria tua yang menjijikkan itu! Dia tidak sudi! Sayang, walau sudah berusaha bangkit, tapi tangan nakal Pak Bejo masih tetap erat memeluk tubuh indahnya.

“Jangan! Saya mohon, Pak! Kita tidak bisa melakukan ini! Saya ingin menikah dengan Mas Dodit, jangan hancurkan impian saya, jangan hancurkan kehidupan saya!” air mata Anis menetes membasahi pipi.

Pak Bejo menarik tubuh Anissa dan memeluknya erat, gadis itu terpaksa mundur ke belakang dan membiarkan tubuhnya bersandar di perut gendut sang pria tua. Tangan Pak Bejo mulai beraksi, tangan kanannya menyusuri buah dada ranum Anissa sementara tangan kirinya menggosok-gosok selangkangan si cantik itu. Anissa sendiri tak tahan diperlakukan penuh nafsu oleh Pak Bejo, gadis itu bisa merasakan kejantanan sang pria tua digesek-gesekkan ke pahanya.

Dengan menggunakan mulutnya, Pak Bejo melalap daun telinga Anissa sambil berbisik kepadanya. “Aku tidak melarang kamu menikah dengan siapapun, Non Anis. Kamu boleh menikah dengan Dodit atau siapa saja, aku hanya ingin menyetubuhimu tiap kali aku mau. Itu saja. Layani aku dengan baik dan aku tidak akan mengganggu hubungan kalian. Tapi kalau kau melawanku, aku bersumpah, kau tidak akan pernah merasakan lagi yang namanya cinta kasih sejati! Akan kubuat Mas Doditmu itu menderita!!”

Anissa bergetar ketakutan dalam pelukan si tua bejat, Pak Bejo bisa merasakan gerakan tubuh gadis muda itu. Anissa makin bingung, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Anissa menendang tulang kering kaki Pak Bejo dan meloncat turun dari tempat tidur.

“Auuughh!! Lonthe!!!” maki Pak Bejo geram.

Pak Bejo menjerit kesakitan dan meraung penuh amarah mengejar sang gadis yang lari ketakutan dalam keadaan panik. Karena harus memutari ranjang untuk mencapai pintu, Anissa kalah cepat dari Pak Bejo yang meloncati ranjang dengan beringas, gadis itu kembali tertangkap olehnya. Dengan kekuatannya yang hebat, Pak Bejo menyeret Anis ke tempat tidur. Dengan mudah ia memutar tubuh gadis muda itu dan menghempaskannya ke ranjang. Pak Bejo kemudian melucuti pakaiannya sendiri, sekali lagi Anis melirik ke arah pintu dan mencari saat yang tepat untuk bisa melarikan diri.

“Jangan coba-coba.” Bentak Pak Bejo saat melepas kemejanya. Ia tahu apa yang sedang direncanakan oleh gadis muda itu. Karena Anissa terus melawan, dengan terpaksa pria tua itu mengeluarkan pisau lipat yang selalu ia kantongi. “Aku tidak mau menggunakan ini, manis. Tapi kalau sampai kau melakukan hal yang aneh-aneh, aku terpaksa mengiris-iris tubuhmu dan memberikannya pada anjing tetangga.”

Kemarin, ancaman pisau inilah yang mengakibatkan Anissa kehilangan keperawanannya. Kali ini ancaman pisau Pak Bejo kembali berhasil berhasil melunakkan perlawanan Anis. Gadis itu terdiam pasrah tanpa berani melawan, matanya menatap ngeri pada pisau yang diacungkan oleh Pak Bejo sementara keringatnya mengalir deras. Dengan bebas Pak Bejo mendapatkan keinginannya.

“Aduh, aku tidak tahan lagi, anak manis. Sejak datang ke rumah ini, tubuhmu itu selalu membuat penisku ngaceng nggak turun-turun. Hari ini aku jamin, aku akan memuaskanmu dengan baik sampai-sampai kau tidak akan mampu berjalan tegak lima hari lima malam, hahaha. Kau bisa memilih, kita melakukan hal ini bersama-sama dengan lembut atau aku akan memaksamu melakukannya dengan kasar. Bagaimana? Pilih yang pertama kan? Kalau setuju, buka pakaianmu itu pelan-pelan!”

Anissa masih berbaring tanpa daya dan tak mampu mengucapkan kata-kata. Semuanya berlangsung begitu cepat seperti mimpi buruk yang tidak kunjung berakhir. Pak Bejo berdiri di depan Anis dengan gelisah dan tak sabar, pria tua itu sudah melucuti pakaiannya sendiri sampai hanya mengenakan celana dalam. Anis tahu Pak Bejo pasti akan memperkosanya dengan cara yang paling menyakitkan seandainya dia menolak. Satu-satunya jalan agar semua ini berlangsung tanpa rasa sakit adalah menuruti semua kemauannya. Dengan berat hati Anissa mencopot kaos dan mulai menelanjangi dirinya sendiri di hadapan sang pemerkosa.

Satu persatu pakaian yang dikenakan Anissa dilepas, atasan, bawahan dan BH yang ia kenakan semuanya sudah lepas. Gadis itu hanya mengenakan celana dalam dan menggunakan pakaian yang tadi ia lepas sebagai pelindung untuk menutup dadanya yang telanjang. Anissa bergetar ketakutan sambil menyembunyikan diri dari pandangan penuh nafsu Pak Bejo. Pria itu tidak kenal kompromi, ia mendekat ke arah Anis, menarik pakaian penutup dada Anis dengan kasar dan melemparnya jauh-jauh. “Sekarang celana dalamnya!” bentak Pak Bejo.

“Pak Bejo…” isak Anissa, “tidak bisakah kita…”

“Copot celana dalamnya, atau kau akan menyesal nanti,” Pak Bejo menatap Anis dengan galak sampai gadis itu ketakutan. Sambil terisak, Anis melepaskan pelindung tubuhnya yang terakhir, celana dalamnya.

“Gadis pintar.” senyum puas membentang di wajah pria cabul itu ketika dia menatap jalang selangkangan Anissa yang telanjang, “Sekarang berbaringlah ke ranjang dan buka kakimu lebar-lebar.”

Anissa menelan ludah dengan rasa takut yang membuncah, tapi gadis itu mengikuti perintah Pak Bejo. Setelah kembali berbaring di ranjang, Anis membuka pahanya lebar, memberikan akses pada Pak Bejo menatap liang kewanitaannya yang memerah. Anis melirik ke bawah dan melihat Pak Bejo sedang melucuti celana dalamnya sendiri dengan terburu-buru, penisnya yang berukuran besar melejit keluar seperti cemeti. Nafas Anis makin berat ketika dia menyaksikan benda yang sebentar lagi akan dilesakkan ke liang vaginanya yang masih rapat. Benda itu benar-benar sangat besar, akan terasa sangat menyakitkan seandainya dimasukkan ke dalam kemaluannya. Perut Anissa melintir dan mual menyaksikan ukuran kemaluan Pak Bejo, karena takut, gadis itu kembali menutup kakinya rapat saat Pak Bejo mulai merangkak di atas ranjang mendekati mangsanya.

###

Anton meraih pena dan menandatangani surat cerai dengan tangan gemetar. Tiap goresan di atas kertas bagaikan pisau yang merobek-robek hati Dina. Seperti inikah akhir pernikahannya dengan Mas Anton? Seperti inikah berakhirnya masa-masa susah senang yang telah mereka arungi berdua bersama? Benarkah suaminya itu tega menjual istri untuk melarikan diri dari hutang dan tanggung jawab? Walaupun di kemudian hari Anton, Dina dan anak-anak tidak akan pernah kekurangan uang lagi, tapi…

“Selamat tinggal… sampaikan maafku pada anak-anak… ” bisik Anton lemah, tidak ada kekuatan dalam ucapan itu. Suara Anton terdengar seperti seorang lelaki yang sudah kalah perang. Anton menatap wajah Dina untuk yang terakhir kali, lalu mencium wanita jelita itu dengan penuh kasih sayang, sebuah ciuman terakhir. Dengan langkah tertatih Anton meninggalkan ruangan sambil membawa file-file kepemilikan modal, rumah dan tanah di kota lain yang diberikan oleh Pak Pramono. Entah masa depan seperti apa yang akan ia hadapi nanti, yang jelas, Dina dan Anton tidak akan pernah bertemu kembali.

Dina melepas kepergian suaminya dengan tertunduk lesu. Airmatanya sudah kering dan ia tak mampu lagi menangis. Inikah kelanjutan hidupnya? Menjadi menantu Pak Bambang yang pernah menidurinya? Sebuah foto yang berada di atas meja menjadi ketakutan lain bagi Dina, apakah ia akan bersedia menjadi istri seorang lelaki yang tidak saja buruk rupa namun juga idiot?

Dina tahu, demi masa depan anak-anaknya dan demi kelangsungan hidup mereka, itulah kehidupan baru yang harus dijalaninya. Di bawah payung perlindungan Pak Bambang, Dina dan anak-anak tidak akan pernah lagi hidup kekurangan, walaupun untuk mendapatkan semua ini, dia harus menjual diri.

Dina menandatangani surat cerai dengan Anton. Ia tidak menangis sama sekali.

Pak Pramono menyalami Pak Bambang atas keberhasilannya mendapatkan seorang menantu yang sangat cantik dan seksi.

###

Lidya mengelap keringat yang menetes di kening. Akhir-akhir ini sinar matahari sangat panas dan menusuk kulit. Si cantik itu geleng-geleng melihat banyaknya cucian yang diberikan oleh Pak Hasan, sudah berapa hari si tua itu tidak mencuci pakaian? Jangan-jangan dia memang sengaja tidak mencuci baju agar bisa mengerjai Lidya? Satu demi satu baju dan celana yang dijemurnya di tali-tali yang sengaja dipasang.

Lidya sudah tidak mempedulikan lagi penampilannya yang seronok, ia ingin semua pekerjaan hari ini segera selesai dan ia bisa istirahat. Ia sudah tidak peduli lagi pada angin nakal yang berhembus dan melambai-lambaikan bagian bawah kemeja yang ia kenakan. Si cantik itu tidak mengenakan sehelai bajupun kecuali satu kemeja berukuran besar yang diberikan oleh Pak Hasan. Saat angin berhembus meniup bagian bawah tubuhnya, selangkangan Lidya terbuka dan menerima langsung desiran angin yang mengenai kulit dan bibir kemaluannya.

Tanpa sepengetahuan Lidya, penampilan hotnya ternyata mendapat perhatian langsung dari sebelah rumah. Seorang pembantu rumah tangga yang kebetulan sedang membersihkan rumput secara tidak sengaja melihat wanita cantik itu dengan pakaian seronok sedang menjemur pakaian.

Pemandangan yang sangat indah.

Pembantu itu geleng-geleng kepala, dulu sewaktu pasangan muda Andi-Lidya baru datang menempati rumah sebelah, Lidya langsung menjadi perhatian banyak lelaki di sekitar sini, baik yang sudah menikah maupun yang masih bujang. Penampilan wanita cantik itu sangat modern dan hot, membuat setiap mata yang memandang blingsatan, tapi baru sekali ini pembantu itu memperoleh hadiah yang menyenangkan, tubuh seindah itu dipamerkan seenaknya, benar-benar nekat Bu Lidya… seandainya saja dia bisa menikmati tubuh indahnya… ah… mimpi…

Pembantu itu tak bergerak sedikit pun, hanya memandang setiap gerakan gemulai Lidya. Tapi sayang pertunjukan itu tak berlangsung lama, setelah sekitar sepuluh menit menjemur pakaian, Lidya turun kembali ke lantai bawah. Sang pembantu tersenyum puas, ia memang tidak akan pernah bisa mencicipi keindahan tubuh nyonya tetangga, bagai pungguk merindukan bulan, tapi begini saja dia sudah puas.

Sang pembantu kembali melanjutkan tugasnya memotong rumput dengan senyum tersungging di bibir.

Dari balik jendela kamar, Pak Hasan mengelus-elus dagu sambil mengamati gerak-gerik sang pembantu tetangga. Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki Lidya turun dari tangga dan melewati Pak Hasan.

“Nduk, sudah selesai menjemurnya?”

“Sudah, Pak.”

“Omong-omong, apa kamu kenal dengan pembantu tetangga sebelah kiri kita ini?” tanya Pak Hasan sambil menunjuk rumah sebelah dari jendela tempatnya bersandar. “Siapa namanya?”

“Pembantu sebelah? Yang laki atau perempuan?”

“Yang laki.” Pak Hasan menunjuk ke luar jendela. “Itu, yang sedang memotong rumput.”

Lidya melihat keluar jendela dan mengenali sosok sang pemotong rumput. “Mas Marto?” Lidya menatap mertuanya curiga, “Kenapa memangnya?”

Pak Hasan hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. “Ah nggak…”

Ada senyum aneh menghias bibir lelaki tua itu, senyum yang membuat bulu kuduk Lidya berdiri. “Dulu kita pernah jalan-jalan ke mall. Bagaimana kalau besok pagi kita jalan-jalan ke pasar, Nduk?” tanya Pak Hasan sambil menyeringai lebar, “kita bisa beli sayur-sayuran dan ikan segar.”

Mata Lidya terbelalak ketakutan. Ke pasar? Kalau ingat apa yang dilakukan Pak Hasan saat mereka pergi ke mall tempo hari, pergi ke pasar bersama Pak Hasan bisa jadi hal yang menakutkan untuk Lidya.

Pak Hasan terkekeh melihat menantunya panik. Besok pagi pasti akan menyenangkan sekali.

###

Ruang VIP tempat Hendra dirawat sangat sunyi siang itu, Alya dan Dodit yang biasa menemani Hendra turut tertidur karena kelelahan. Alya terlelap di pembaringan penunggu pasien di samping ranjang Hendra, sementara Dodit duduk di kursi. Dodit lebih memilih menemani calon kakak iparnya karena di rumah Anissa bertingkah laku aneh tidak seperti biasanya. Gadis itu juga tidak menjawab SMS maupun misscallnya, entah apa yang telah terjadi kepada gadis tunangannya itu sehingga sikapnya berubah total. Sendirian saja di ruangan yang sepi, Doditpun akhirnya tertidur, ia terlelap sambil duduk di kursi.

Setelah beberapa kali kepalanya tersentak ke bawah, Dodit terbangun dari tidurnya. Saat ini dia masih berada di kamar VIP Mas Hendra. Calon kakak iparnya itu masih tergolek lemah di ranjang rumah sakit, tertidur oleh pengaruh obat yang menenangkan, entah kapan Hendra bisa mulai sadar dan berinteraksi kembali, hari ini kondisi kesehatannya sangat drop dan sempat mengkhawatirkan, namun dokter sudah datang dan mengisyaratkan kalau Hendra hanya harus beristirahat total.

Kamar VIP yang dihuni oleh Hendra memiliki fasilitas berlebih, terdapat satu pesawat televisi, kamar mandi, lemari pendingin, bahkan terdapat satu ranjang tambahan untuk penunggu pasien. Pembaringan itu biasanya dipakai Mbak Alya, kalau harus bermalam, Dodit memilih tidur di lantai beralaskan tikar tebal.

Siang itu Dodit tertidur saat duduk di kursi sementara Mas Hendra dan Mbak Alya terlelap di ranjang masing-masing. Dodit merenggangkan tangan dan menguap lebar-lebar, capek dan pegal sekali rasanya.

Tiba-tiba terdengar suara desahan.

“Ohh… ehhhmmm…”

Suara apa itu? Dodit melirik ke arah Mas Hendra, masih tetap tidur dengan tenang, siapa yang tadi mendesah? Kali ini Dodit melirik ke arah Mbak Alya. Pemuda itu langsung terkesiap dengan pemandangan indah yang ia lihat. Alya yang sedang tidur nyenyak tanpa sadar menarik rok yang ia kenakan hingga tersingkap ke atas. Mungkin sekali, Alya juga tengah bermimpi sedang bermain cinta dengan seseorang karena desahan-desahan erotis kadang terdengar lirih dari mulutnya. Dengan pandangan yang menatap tajam ke arah paha mulus Alya, Dodit menelan ludah.

Berulang kali Dodit mengusap muka dan berusaha menekan hawa nafsunya, pemuda itu sudah mencoba mengalihkan pandangan ke jendela, tabung oksigen, meja, keranjang buah, televisi, tapi tidak ada satupun yang berhasil menghilangkan pikirannya yang mesum pada Mbak Alya. Sekali lagi Dodit melirik ke arah Alya, alangkah indahnya pemandangan yang ia saksikan. Paha mulus Mbak Alya sudah terlihat utuh hingga sampai ke selangkangannya. Sedikit lagi rok itu tertarik ke atas, Dodit pasti bisa melihat celana dalam yang dipakai oleh calon kakak iparnya itu.

Dodit mengerang, batinnya berkecamuk, terjadi perang antara akal sehat dan nafsu birahi. Dodit menggelengkan kepala mencoba menghapus pikiran busuknya. Mbak Alya adalah calon kakak iparnya. Calon kakak iparnya! Pemuda macam apa dia ini? Tidak tahu malu! Sebentar lagi dia akan menikah dengan seorang gadis yang alim dan manis yang telah susah payah menjaga keperawanan hanya untuk dipersembahkan padanya, sedangkan dia malah nafsu melihat keseksian kakak ipar tunangannya. Tidak, Dodit ingin menjadi pria yang baik dan setia bagi Anissa.

Dodit mencari-cari bungkus rokok di dalam kantong sakunya, ia menjumput satu batang, menjepit rokok itu dengan bibir lalu mencari-cari korek gas di dalam saku lain. Satu-satunya cara untuk menghapus pemandangan indah ini adalah dengan merokok di teras di luar kamar dan…

Rokok Dodit jatuh ke atas lantai. Mulutnya menganga.

Rok Alya tersingkap makin naik, seluruh pahanya sudah bisa terlihat dengan jelas, bahkan kini celana dalamnya pun sudah terlihat seutuhnya. Celakanya, calon kakak ipar Dodit itu mengenakan celana dalam yang tipis menerawang sehingga Dodit bisa melihat apa yang ada di balik celana dalam. Mulut pemuda itu menganga karena terkesima, sangat indah! Sangat indah sekali!

Pikiran alim Dodit sudah melesat meninggalkan raganya. Buru-buru pemuda itu mengambil telepon genggamnya dan segera menyiapkan handphone. Ia tidak akan melewatkan pemandangan seindah ini! Mas Hendra dan Mbak Alya sudah sama-sama lelap dan tidak akan sadar Dodit mengambil gambar-gambar seksi calon kakak ipar dengan kamera telepon genggamnya. Pemuda itupun segera menggunakan kamera handphone untuk mengambil gambar paha dan selangkangan mulus Alya dari berbagai sudut.

Setelah puas mengambil gambar, Dodit melangkah masuk ke kamar mandi, mengunci pintu dan membuka celananya. Ia melucuti celana yang ia kenakan berikut celana dalamnya, setelah itu Dodit membasahi kemaluannya dan mengambil sabun. Sambil membuka file gambar yang berisikan pemandangan paha dan selangkangan Alya, pemuda itu memuaskan birahinya dengan mengocok kemaluannya.

“Uhhhhmmm… Mbak Alya… ohhhhmmm… Mbak Alyaaaa…” desahan memanggil nama calon kakak ipar keluar dari mulut Dodit. Seluruh perasaan galau karena selalu gagal menggauli Anis tumpah ruah kali ini dan yang menjadi fantasi pemuda itu tak lain adalah calon kakak iparnya yang sangat seksi.

###

Sambil berlutut di hadapan kaki Anis yang ditutup rapat, Pak Bejo menggeram. “Buka kakimu! Jangan main-main, anak manis! Aku tahu kalau sebenarnya kau merindukan penisku yang keras ini menjejal di dalam liang memekmu, kan?” tangan Pak Bejo menggenggam erat pergelangan kaki Anissa. Gadis muda itu berusaha melawan dan meronta, tapi Pak Bejo terlalu kuat, ia berhasil membuka paha Anis dengan sedikit paksaan.

Anissa mengerang takut ketika Pak Bejo menarik pergelangan kakinya. Kedua kaki Anis kini diletakkan di samping pinggul Pak Bejo. Pantat Anis diangkat dari tempat tidur sementara pria tua itu meremas-remas pantat sang gadis muda yang ketakutan di depannya. Pak Bejo merenggangkan kaki Anis lebih lebar lagi dan ia membungkuk ke depan, membimbing belalainya yang mulai membesar ke arah memek Anis.

Anissa menahan nafas karena takut, ia merasakan kengerian membuncah di dalam hati ketika bibir kewanitaannya bersentuhan langsung dengan kontol besar Pak Bejo. Dengan senyum menggoda, Pak Bejo mengoles-oleskan ujung gundul kemaluannya ke bibir bawah vagina Anis, rangsangan itu membuat cairan cina Anis meleleh tanpa bisa dibendungnya. Pak Bejo menggerakkan kontolnya naik turun dan dengan sengaja dioles-oleskan ke bibir kemaluan sang dara, pria tua itu seakan meratakan cairan cinta yang meleleh di bibir kemaluan Anis ke seluruh bagian bibir vaginanya.

Akhirnya, dengan penuh nafsu, pria tua bejat itu menatap lekat mata Anis. “Saatnya melakukannya, ya sayang?” Pak Bejo terkekeh sadis.

Anissa menggeleng dan mencoba meronta, tapi ia tidak mampu berbuat banyak karena selain kakinya dijerat oleh kaki Pak Bejo, kini giliran kedua lengannya ditahan di sisi ranjang oleh tangan sang lelaki tua bejat. Ingin rasanya Anis berteriak, tapi ia tahu sia-sia saja melawan pria tua menjijikkan ini.

Dengan satu sentakan penuh tenaga, Pak Bejo mendorong penisnya ke depan, masuk ke dalam memek Anissa dengan satu tusukan yang sangat menyakitkan, Anissa melenguh karena kaget dan merasa perih, bibir memeknya terbelah dan vaginanya menelan batang kontol Pak Bejo. Ukuran penis Pak Bejo yang besar memenuhi rapat liang kewanitaan Anis. Tak mau menahan diri lagi, Pak Bejo terus menyorongkan kemaluannya hingga ujung terdalam vagina Anissa.

Terdengar suara kecipak becek memek Anis, tak terasa, seluruh batang kemaluan Pak Bejo telah melesak ke dalam. Anissa menarik nafas yang terasa berat, matanya terbelalak dan ia bisa merasakan ukuran sesungguhnya dari penis Pak Bejo yang kian lama kian membesar di dalam memeknya.

“Hrghhh!! Bisa kau rasakan itu, manis? Memekmu yang rapet meremas-remas kontolku!” Pak Bejo tertawa menghina, “pasti ini pengalaman baru bagimu ya sayang? Enak kan dientoti terus sama Pak Bejo? Kalau sudah merasakan kontolku, aku yakin kamu tidak akan mau disetubuhi calon suamimu yang kontolnya seupil itu!”

“Tidak mauu…” Anissa merintih, kesadarannya mulai melayang karena rasa sakit yang ia rasakan mulai menguasai seluruh tubuhnya. Tangan kotor Pak Bejo merenggangkan bokong Anissa dengan kasar, lalu sambil menggemeretakkan gigi dengan gemas, Pak Bejo menusuk memek Anis sekuat tenaga. Anis memejamkan mata, besarnya ukuran penis Pak Bejo membuatnya merem melek, ia bisa merasakan tiap sudut batang kemaluan pria tua cabul itu, tiap urat yang menonjol, benjolan kecil atau permukaannya yang kasar, semua bisa ia rasakan. Pak Bejo menggiling liang kewanitaan Anis dengan gelombang serangan bertubi-tubi sampai akhirnya ujung gundul kontol Pak Bejo menabrak ujung terdalam liang rahim gadis muda itu.

Anissa mengembik kesakitan, ukuran penis besar milik Pak Bejo membuatnya tak bisa menahan air mata yang mengalir. Seakan-akan sebatang tiang listrik dilesakkan ke dalam kewanitaannya. Sambil meringis kesakitan, Anis berusaha meronta dan melepaskan diri dari tusukan Pak Bejo. Selangkangannya terasa sangat panas dan nyeri, namun ketika dia meronta, gerakannya malah membuat Pak Bejo makin keenakan. Pria tua itu sudah gelap mata dan terus menusuk ke depan, menimpakan seluruh berat tubuhnya ke badan Anissa.

“Oooohhhh, memekmu rapet bangeeet!” Pak Bejo terengah-engah menyetubuhi Anissa. Ia menarik bokong gadis itu ke belakang dan tubuh mereka saling menampar dengan penis yang masih tertanam di dalam vagina Anis. Kemaluan Pak Bejo merenggang hingga ke ukuran terbesarnya, ia menggoyangkan pinggulnya dan menggiling liang kewanitaan Anissa sampai ke dalam leher rahimnya.

“Mas Dodit… maafkan akuuu… a-aku tidak kuat…” desah Anissa dalam keputusasaannya, ia bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar dan menyerah dalam pelukan sang lelaki tua. Ia belum pernah merasakan gelombang kenikmatan seperti ini menyapu seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan, Anissa mulai menggoyangkan pantat agar kemaluan Pak Bejo bisa masuk ke dalam memeknya lebih dalam lagi.

Pak Bejo puas melihat takluknya Anissa. “Enak kan sayang? Enak kan kontolku? Bisa kau rasakan gerakan kontolku di dalam liang rahimmu, sayang? Bisa kau rasakan geliat kontolku di dalam liang yang telah aku perawani? Bagaimana rasanya disetubuhi seorang pria sejati, sayang? Berbaringlah dan rasakan kenikmatan permainan cinta yang sesungguhnya.” Tiap kata yang diucapkan Pak Bejo bagaikan pisau yang menusuk perasaan Anissa, dia terhina sekaligus menginginkannya.

Karena gerakan pantat Anissa itu melambat, Pak Bejo menarik pinggul gadis itu dan memompakan tubuh mungilnya itu ke arah kemaluannya yang masih tertanam di dalam memek. Pak Bejo menarik kemaluannya keluar dari memek Anissa, menimbulkan rasa sakit karena gesekan yang membakar dinding kewanitaan liang cinta Anis. Lalu dengan kecepatan tinggi, pria tua bejat itu menumbuk vagina Anissa tanpa ampun, berulang kali menusuk hingga terdengar suara kecipak campuran air cinta Anis dan penyerangnya.

“Oghh! Ouughhhhh! Ougggggggghh!!” Anissa mengerang tak berdaya. “Ahhhh!! Ahhhh!!”

Detik demi detik berlalu, Anissa memejamkan matanya, gerakan Pak Bejo makin lama makin stabil, dia ingin seperti ini terus, nikmat luar biasa yang berasal dari selangkangannya membuat Anissa terbang ke angkasa, ia tidak ingin Pak Bejo berhenti. Ia ingin terus disetubuhi. Sejenak Anissa lupa, bahwa pria yang tengah memberikan kenikmatan ini bukanlah orang yang pantas menjadi suaminya.

Kontol tua Pak Bejo keluar masuk dengan mantap menyetubuhi memek Anissa yang basah oleh cairan cinta. Ketika membuka matanya, Anissa mengalihkan pandangan ke arah cermin yang berada di meja riasnya. Bayangan yang berada di cermin membuat gadis itu bergidik ngeri. Tubuh gemuk sang pria tua memeluk erat paha Anis sambil memaju mundurkan pinggul untuk melesakkan kemaluan ke dalam vaginanya. Anissa menatap cermin dengan pandangan tak percaya namun pasrah, ia benar-benar sedang disetubuhi oleh Pak Bejo, orang yang juga telah memerawaninya. Yang lebih menyakitkan lagi bagi Anissa adalah, karena Pak Bejo adalah orang pertama yang memerawaninya, ia merasa begitu nikmat bersetubuh dengan pria tua itu, ia ingin lagi… lagi… dan lagi.

Nafas pria tua itu menjadi lebih pendek dan kembang kempis beberapa menit kemudian, begitu juga dengan gerakan maju mundurnya yang makin lama makin cepat. Ujung gundul kemaluan Pak Bejo makin membesar dan bisa dirasakan perubahannya oleh Anissa. Gadis itu membelalakkan mata dengan ngeri, inilah dia saatnya, pria tua itu akan orgasme di dalam vaginanya! Bayangan tubuhnya yang seksi di bawah pelukan lelaki tua gemuk buruk rupa yang menyemprotkan cairan sperma hangat di dalam vaginanya membuat Anissa muak. Apa yang akan terjadi seandainya ia hamil nanti?

“Ja-jangan di dalam… jangan… aku tidak mau hamil…” protes Anissa di sela-sela desahan nafsunya.
“Diam saja, anak manis.” Sergah Pak Bejo.

Saat yang dinanti pun tiba, Pak Bejo mengangkat kepalanya dengan penuh kenikmatan, ia melolong pelan dan bulat matanya berputar ke belakang hingga hanya bagian putihnya saja yang terlihat. Pria tua itu benar-benar mengalami sensasi kenikmatan yang luar biasa. Anissa memang kalah jelita dibanding Alya yang jauh lebih feminin dan lebih matang, tapi vaginanya yang masih rapat memberikan kenikmatan hingga ke atas awan. Pak Bejo memeluk Anis erat-erat dan menyemprotkan semburan hangat air maninya ke dalam memek dara muda yang basah itu. Anissa hanya bisa terisak histeris karena dia tidak ingin hamil oleh sperma pria busuk ini.

Pak Bejo ambruk ke atas tubuh Anissa. Gadis itu masih terus terbaring di bawah tubuh Pak Bejo yang gemuk sambil menangis sesunggukan. Ia bisa merasakan kontol Pak Bejo yang masih tertanam di dalam liang rahimnya perlahan mengulir keluar. Mereka terdiam seperti itu untuk beberapa saat lamanya sampai Anissa mulai merasakan berat tubuh Pak Bejo membebaninya. Dengan tenaga yang tersisa, Anis bergerak ke samping mencoba melepaskan diri dari pelukan Pak Bejo. Lelaki tua itu mengerang malas dan ambruk ke samping dengan wajah memerah karena kelelahan.

Puas sekali rasanya ia bisa menikmati tubuh Alya dan adik iparnya, Anissa. Dua hari ini Pak Bejo merasakan nikmatnya hidup bagai seorang raja yang memiliki banyak harem. Suara berkecipak menandai lepasnya kemaluan lelaki tua itu dari bibir vagina Anis, air cinta yang bercampur di dalam memek Anispun ikut menetes keluar, leleh seakan menangis.

Anissa memejamkan mata di samping Pak Bejo tanpa berani mengeluarkan sepatah kata, gadis cantik itu terbaring dengan kaki yang terbentang lebar usai digauli dan air mata yang mengalir deras membasahi pipi. Pak Bejo meringis puas sambil menatap tubuh telanjang Anissa dari kepala hingga ke ujung jempol kaki. Keindahan tubuh gadis muda ini telah menjadi miliknya.

“Bagaimana rasanya disetubuhi pria tua seperti saya, Non Anis?” Pak Bejo terkekeh puas, “Kok diem aja? Pasti enak ya merasakan penis besar seperti yang aku punya? Kalau nggak percaya, coba saja rasakan punya Dodit, pasti kalah. Berani jamin.”

Sambil tertawa terbahak-bahak, tangan Pak Bejo maju ke depan, menyelip di antara paha Anis yang basah dan menangkup bukit kemaluan lembut gadis itu. Anissa terisak lagi tanpa bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa membiarkan jari jemari nakal Pak Bejo mempermainkan bibir vaginanya. Pria tua itu membuka lebar-lebar bibir kemaluan Anissa sampai-sampai gadis itu merasa risih, apalagi cairan cinta bercampur sperma Pak Bejo masih meleleh keluar dari sela-sela bibir kemaluan Anissa.

“Wah wah! Banyak juga tadi aku nyembur, kasihan sekali kamu, anak manis. Hahaha.” Pak Bejo tertawa melihat spermanya yang putih kental meleleh keluar dari memek gadis yang baru saja ia gauli. Pria tua bejat itu berdiri meninggalkan ranjang, kontolnya yang besar terkibas kesana sini. Setelah mengenakan celana dan baju, Pak Bejo melirik ke arah Anissa dengan pandangan jumawa.

Untunglah kemudian Pak Bejo memutuskan untuk meninggalkan Anissa. “Tubuhmu lezat sekali rasanya, anak manis. Besok pasti aku datang lagi untuk mencicipimu. Siapkan memekmu dan usahakan kali ini lebih bisa mengimbangi permainanku, jangan diam saja seperti kayu. Hahaha.” Tawa Pak Bejo bagaikan pisau yang mengiris-iris perasaan Anissa. Pria tua yang menjijikkan itu bahkan masih tetap tertawa saat telah melangkah keluar dari kamar Anis, seakan-akan kata-katanya yang cabul adalah hal yang sangat lucu baginya.
Setelah Pak Bejo pergi, Anis berlari ke kamar mandi. Selangkangan gadis itu terasa panas dan gatal, bibir vaginanya membengkak dan basah oleh air mani Pak Bejo. Ia merasa sangat kotor. Anissa jongkok di pojok kamar mandi dan membiarkan air shower menghujani tubuhnya tanpa henti, jari-jarinya bergetar saat ia membuka perlahan bibir vaginanya yang masih terasa sakit, sperma Pak Bejo menetes dari dalam liang cintanya.

Anis ingin menyemprot bersih-bersih kemaluannya dengan air tapi gadis itu tahu semprotan air yang masuk malah akan mendorong dan memperbesar peluang sperma itu membuahi sel telurnya, ia bukan gadis bodoh. Gadis itu terdiam di pojok sambil berharap sperma Pak Bejo sudah keluar semua dari memeknya.

Matanya sembab karena tak berhenti menangis. Ia bingung, ia ingin bertemu sekaligus ingin berpisah dengan Dodit, ia merasa kotor dan tak berharga lagi baginya, ia hanyalah seorang gadis yang sudah kehilangan kesucian akibat diperkosa seorang lelaki tua yang tidak akan bertanggung jawab.

Tak kuat rasanya gadis itu menanggung semua beban, ingin rasanya ia bunuh diri saja.

###

Pagi itu tidak seperti biasanya, terik panas mentari lebih panas dari biasanya. Keringat lebih cepat menetes walaupun baru berjemur beberapa menit di bawah sinar matahari. Beberapa orang pemuda berkulit gelap menurunkan karung-karung berisi beras dari mobil bak tanpa mengeluh, sementara di bawah, seorang pria berusia paruh baya menghitung karung dan meletakkannya di timbangan besar di mana seorang lelaki lain mengukurnya. Pria paruh baya itu berulang kali mengelap keringat yang menetes dari dahi dengan menggunakan handuk kecil yang ia selampirkan di leher, berkali pula ia menarik topi kerucut yang ia kenakan dan ia kipas-kipaskan ke wajah untuk memberikan angin.

“Panas banget si… hari ini.” keluh sang pria paruh baya.

“Iya bang, kali panas ini gara-gara pemanasan glo… apa tuh… yang disebut-sebut di tipi itu ya?” timpal sang pengukur timbangan.

“Pemanasan global kali maksudnya?” jawab sang pria paruh baya sambil mengerutkan kening.

“Iya yah? Saya sih gak maksud, bang. Ya itu yang dibilang sama abang itu.” Sang pengukur timbangan tersenyum dan tersipu malu.

Sang pria paruh baya menepuk-nepuk pundak sang pengukur timbangan. Tiba-tiba saja satu sosok wanita berkelebat melalui mereka, sosok yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang menurunkan karung beras berhenti bekerja karena takjub.

“Buset! Apaan tuh yang barusan, bang?” tanya sang pengukur timbangan sambil mengucek mata. “Beneran kagak yang lewat? Beneran yah?”

Sang pria paruh baya menatap ke arah sosok yang lewat sambil geleng-geleng tak percaya. “Beneran, Jo. Gila. Yang baru lewat itu beneran.”

Apa yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang menurunkan beras terpukau?

Sosok wanita yang baru saja melewati mereka adalah sosok Lidya. Kali ini menantu Pak Hasan itu mengikuti kemauan gila sang mertua dengan mengantarkannya berjalan-jalan di sebuah pasar kecil yang berada sedikit jauh dari rumahnya. Lidya tidak mau mengambil resiko berjalan-jalan di pasar besar yang berada di dekat rumah karena takut akan ketahuan beberapa orang kenalan atau tetangga.

Sambil menggandeng mertuanya yang tersenyum bangga, Lidya berlenggak-lenggok di lorong-lorong pasar sambil memutar pinggulnya, dia sebenarnya malu sekali melakukan ini di depan orang-orang pasar, tapi mertuanya yang bejat memaksanya tanpa kenal ampun. Seperti waktu berjalan-jalan di mall, Lidya mengenakan baju yang sama sekali tidak sepantasnya dikenakan sewaktu masuk ke dalam pasar.

Lidya hanya mengenakan sebuah kemeja kecil putih yang sangat pas dengan lekuk tubuh atasnya dengan memakai BH berukuran mini dan tipis. Ukuran kemeja yang terlalu kecil mencetak keindahan lekuk tubuh Lidya untuk santapan mata para lelaki yang saat itu berada di dalam pasar. Mata mereka mengikuti gerak tubuh Lidya bagaikan seorang penonton pertandingan tenis yang mengikuti gerak arah bola. Buah dada Lidya bergerak naik turun tanpa bisa dikendalikan seiring gerakan lenggok pantatnya yang bergerak dengan sempurna. Karena sempitnya pakaian dan tipisnya bh yang ia kenakan, orang bisa melihat ujung puting buah dada Lidya menjorok ke luar seakan minta diselamatkan dari sempitnya pakaian yang ia kenakan. Ukuran buah dada Lidya yang besar membuat pakaian itu sulit dikancingkan, ia hanya bisa pasrah seandainya ada orang yang dengan sengaja mengintip-intip buah dadanya melalui sela-sela kancing yang terbuka.

Selain mengenakan pakaian sempit dengan BH tipis, Pak Hasan memaksa Lidya mengenakan rok pendek yang terlalu mini untuk wanita setinggi Lidya, kakinya yang jenjang melangkah melalui lorong pasar tanpa dilindungi apapun. Pahanya yang putih mulus seperti pualam menimbulkan decak kagum sekaligus birahi yang makin memuncak dari para penjual, khususnya yang berjenis kelamin lelaki. Rok mini Lidya hanya bisa melindungi kira-kira beberapa cm saja dari selangkangannya, jika menantu Pak Hasan itu memaksa jongkok atau membungkuk, orang yang berada di depan atau belakangnya bisa melihat celana dalam jaring-jaring yang ia kenakan. Jaring-jaring itu tidak melindungi apapun, karena seandainya cermat melihat dan mengamati, bibir vagina Lidya akan terlihat jelas dan membayang.

Lidya bersyukur dia diijinkan mengenakan kacamata hitam, karena dengan begitu dia bisa menyembunyikan air mata dan bersembunyi dari pandangan mesum seluruh lelaki buas yang berada di pasar. Berbeda dengan keadaan saat mereka berjalan-jalan di mall tempo hari, kala itu banyak lelaki yang melirik namun malu-malu memandang. Tapi kini, hampir semua lelaki memandang ke arahnya tanpa rasa malu, bahkan beberapa orang menyiulinya dan berkomentar menjijikkan.

“Pak, sudah ya pak… kita pulang saja… aku takut… malu…” bisik Lidya pada sang mertua yang menggandengnya.

“Ayolah, sayangku. Kita sudah pernah melakukan ini kan? Kenapa harus malu?”

“Tapi itu kan di mall, ini pasar… lagipula…”

“Hh… apa bedanya mall dengan pasar?” senyum lebar menghiasi wajah menjijikkan Pak Hasan. Lidya langsung tahu usahanya sia-sia saja.

“Jangan berhenti melenggokkan pantatmu, pastikan orang yang berada di belakang bisa melihat lenggokanmu yang panas itu, Nduk.” Kata Pak Hasan sambil terkekeh pelan.

Saat berjalan-jalan di mall dulu, Lidya bahkan tidak mengenakan bra, tapi saat ini, saat ia masih mengenakan pakaian dalam, Lidya merasa lebih parah. Orang-orang yang berada di pasar kecil ini sebagian besar adalah masyarakat menengah ke bawah yang tidak pernah melihat pertunjukan heboh semacam ini, keberadaan Lidya mengundang banyak orang untuk melihat. Ia bagaikan seorang bintang sinetron yang sedang dikejar-kejar oleh banyak wartawan.

Bisa dibilang, mungkin di seantero pasar, tubuh seksi Lidya tidak ada yang bisa menyaingi. Rambutnya yang panjang dan indah seperti cewek cantik di iklan shampo, kulitnya yang putih bersih seperti pualam bagaikan bintang iklan sabun, kecantikannya yang di atas rata-rata seakan bagaikan bidadari yang turun dari langit, dan yang lebih hebat lagi, keseksian tubuhnya yang tak bisa disangkal siapapun juga sangat menggugah nafsu birahi.

Seorang penjual ayam potong hampir kehilangan jari-jarinya gara-gara tak berkonsentrasi saat memotong daging ayam yang dibeli oleh seorang ibu-ibu. Seorang kuli yang sedang mengusung plastik besar berisi makanan anak-anak bertabrakan dengan kuli lain yang sedang membawa plastik berisi sayuran. Seorang penjaja makanan kecil berkali-kali merobek plastik hingga bertaburan karena tak bisa berkonsentrasi. Singkat kata, kehadiran Lidya benar-benar membuat heboh pasar kecil itu.

Sebelum datang kemari bersama Lidya, Pak Hasan sudah melakukan survey terlebih dahulu. Dia tahu pasti kalau di pasar kecil ini banyak pemuda dan para penjaja yang sering berkumpul di sebuah tempat bilyard kecil yang ada di ujung pasar. Disanalah tempat sebagian besar laki-laki penghuni pasar berkumpul, dan kesanalah ia akan mengajak Lidya.

Hati Lidya berdegup tak menentu, dia diam saja digiring oleh sang mertua ke tempat paling ujung di pasar. Dia makin ketakutan dan panik namun tak berdaya setelah melihat di tempat yang dituju mertuanya ternyata banyak laki-laki yang berkumpul, jangan-jangan mertuanya membawanya ke sarang preman pasar?

Lokasi tempat permainan bilyard itu sedikit masuk ke gang dan tidak bisa dilihat dari luar ataupun dari pasar. Hampir semua penjual di pasar, khususnya yang laki-laki, nongkrong di tempat ini. Beberapa meja bilyardnya sendiri sudah rusak dan tidak bisa dipakai sempurna, tapi tetap saja banyak orang yang berkumpul di ruangan ini untuk bermain judi kartu. Alangkah kaget orang yang sedang berkumpul di ruangan itu tatkala Pak Hasan dan menantunya yang aduhai masuk ke ruangan dengan nekat. Lidya berusaha menutup bagian dadanya dengan lengan dan berulangkali membenahi roknya yang naik ke atas, tentunya usaha itu sia-sia.

“Selamat sore, nama saya Hasan dan saya ingin ‘mengamen’ di sini.” Kata Pak Hasan di tengah-tengah keramaian orang yang memandangnya heran dan galak. “Saya tidak akan menyanyi atau bermain gitar, tapi menantu saya ini hendak menghibur anda-anda semua dengan menari. Ada yang mau lihat?”

Sontak kumpulan orang itupun ramai, mereka berteriak-teriak dengan girang mengiyakan, Lidya makin kecut nyalinya melihat buas dan beringasnya orang-orang yang berada di tempat itu.

“Bapak sudah gila? Aku disuruh menari di depan orang-orang ini? Bagaimana kalau mereka nanti hilang akal dan memperkosaku? Apa masih belum cukup bapak memperlakukan aku seperti pelacur? Aku bersedia masuk ke pasar dengan pakaian seminim ini dengan syarat tidak akan ada orang yang menyentuhku lagi.” bisik Lidya pada mertuanya dengan geram, “Aku tidak mau melakukannya! Pokoknya tidak!”

“Kau harus menari di depan mereka! Ingat perjanjian kita? Hari ini peran yang sedang kau jalani adalah sebagai budakku dan bukan istri anakku! Semua permintaanku harus kau turuti!” Bisik Pak Hasan di telinga Lidya sambil menggenggam lengan menantunya itu dengan sekuat tenaga, Lidya mengernyit kesakitan karenanya, “Menarilah dengan erotis, jangan lupa beri servis lebih pada mereka, tidak perlu striptease, cukup buka baju dan rokmu itu, lalu goyangkan dada dan pantat pasti sudah cukup untuk membuat mereka puas.”

“Ini gila… aku tidak mungkin…”

“Tidak mungkin apa, Nduk?”

Geram hati Lidya, tapi apa yang bisa ia lakukan di hadapan serigala-serigala lapar ini? Dia hanya bisa berlindung pada Pak Hasan, jadi apapun yang dia minta harus diturutinya.

“Baiklah, tapi janji tidak akan membiarkan mereka melakukan apa-apa padaku.” Bisik Lidya lagi. Wajahnya yang tadinya keras berubah pasrah, ini sangat menggembirakan bagi Pak Hasan. Sebaliknya bagi Lidya, mimpi buruk menjadi kenyataan. Di siang bolong begini, di dekat pasar, di sebuah kios kosong yang kotor tempat para lelaki kasar biasa bermain bilyard, Lidya harus menari bagi mereka. Memang dia tidak akan benar-benar telanjang, tapi menari hanya dengan BH tipis dan celana dalam menerawang di depan banyak lelaki buas seperti ini sama saja seperti menari telanjang, sama saja parahnya.

“Tidak akan ada satu penispun yang masuk ke dalam memekmu hari ini kecuali milikku.” Bisik Pak Hasan, kata-kata itu menusuk perasaan sekaligus menenangkan Lidya, membuat wajahnya memerah. Lidya ingin menangis rasanya, tapi sangat takut Pak Hasan akan main kasar kalau sampai dia mengembik meminta ampun, karena itu dipendamnya semua perasaannya. Tubuh wanita cantik itu gemetar karena ketakutan. Lidya menundukkan kepala karena malu yang luar biasa, wajahnya memerah dan keringat dinginnya mengalir tanpa henti, tangannya meremas-remas pinggiran rok mininya dengan cemas.

“Siapa yang ingin menonton si cantik ini bergoyang? Silahkan menikmati pertunjukan gratis ini!” kata Pak Hasan, dia meletakkan satu tape kecil yang memang sudah sedari tadi ia siapkan di atas meja bilyard kosong. Tombol play ditekan, lagu dangdutpun mengalun.

“Goyang! Goyang! Goyang!” hampir bersamaan, para penonton berteriak-teriak.

“Ingat, selalu sunggingkan senyum. Buka bajumu sambil melenggak-lenggok seperti penari striptease, cukup sampai bh dan celdam saja, tidak perlu telanjang. Kalau kamu tidak mau melakukannya, aku akan meninggalkanmu seorang diri di tempat ini dan menyerahkanmu pada orang-orang itu… bagaimana?” bisik Pak Hasan pada Lidya. Istri Andi itu mengangguk, bukankah ia hanya bisa pasrah?

Setelah Lidya menganggukkan kepala tanda tunduk, dengan terpaksa ia menyunggingkan senyum pada orang-orang yang berkeliling menonton keindahan tubuhnya. Ketika Pak Hasan memperbesar volume musik yang sedang berdendang, Lidya mulai menggoyangkan badannya. Goyangan pinggul dan pantat bulat si cantik itu langsung menghipnotis dan mempesona tiap orang yang menonton. Wajah mereka langsung memerah menahan nafsu melihat wanita secantik Lidya melenggak-lenggok memancing birahi. Teriakan mesum dan siulan nakal bergema silih berganti, kata-kata kotor terlontar mengomentari kemolekan Lidya. Kebetulan dulu saat masih kuliah, Lidya pernah mengikuti kursus modern dance.

“Buka! Buka! Buka!” teriak orang-orang yang berada di situ. Tidak ada pilihan lain bagi Lidya. Lebih baik membuka pakaiannya sendiri sebelum para preman itu malah memaksanya telanjang nanti. Dengan gerakan perlahan dan sedikit meliuk-liukkan badan sesuai irama lagu, Lidya melucuti baju tipis menerawang yang ia kenakan. Payudaranya yang sentosa menggelinjang erotis dalam balutan bh tipis berwarna putih. Guncangan buah dada Lidya memompa birahi para penjual sayur dan buah-buahan, ingin rasanya mereka melihat balon buah dada Lidya meloncat keluar dari ketatnya bh yang menutupnya.

Dengan wajah merah karena malu dan keringat deras mengalir, Lidya mulai melucuti rok mini yang ia pakai dan melemparkannya pelan ke pojok ruangan. Istri Andi yang cantik jelita itu kini berdiri hanya mengenakan kutang dan celana dalam di sebuah bilik kecil tempat para preman pasar asyik bermain bilyar. Beberapa orang penonton yang berada di ruangan itu pun bersorak sorai dan bertepuk tangan melihat kemolekan Lidya. Dengan goyangan erotis yang mengundang syahwat, Lidya berlenggak-lenggok mengikuti irama lagu. Lidya sengaja beberapa kali memejamkan mata karena tak kuat menahan diri yang ingin menangis menari setengah telanjang di hadapan mata para lelaki buas yang menatapnya penuh nafsu. Pantat Lidya yang bulat sempurna dan montok bergerak-gerak erotis mengikuti lenggokan pinggulnya sementara buah dadanya berulang kali meloncat-loncat seakan mau copot dari ikatan ketat kaitan BHnya, penonton berseru meminta Lidya mendekat supaya mereka bisa meremasnya sekali atau dua kali, tentu saja seruan itu selalu ditolaknya.

Setelah hampir tiga lagu Lidya melenggak-lenggok di ruangan sempit yang gelap dikelilingi oleh sekelompok lelaki kasar, akhirnya Pak Hasan menyuruhnya berhenti. Tubuh si cantik itu basah kuyup dihujani keringat yang deras mengalir sampai-sampai tubuhnya yang seputih pualam bagai digosok sampai mengkilat. Tepuk tangan meriah sedikit mengagetkan Lidya, pria-pria buas dan kotor yang baru saja menyaksikannya menari terlihat bagaikan serigala kelaparan yang sudah siap menubruknya.

“Huibat sekali neng geulis ini menari, hayo dilanjutkeun! Kenapa berhenti? Merangsang pisan euy…” kata Pak Somad yang sehari-hari berjualan buah-buahan segar.

“Maaf, saudara-saudara semua, tapi pertunjukannya cukup sampai di sini dulu. Kalau ingin lanjut dan ingin lebih kenal dekat dengan menantu saya ini, silahkan menghubungi saya, tapi tentunya ada ongkos yang harus dibayar dan belum tentu semua orang akan saya ijinkan mendekatinya.” Kata Pak Hasan sambil tersenyum puas melihat orang-orang yang menonton aksi Lidya menjadi gelisah karena kecewa. Ia melemparkan baju dan rok yang tadi dipakai Lidya untuk dikenakan kembali.

“Yaaaah… masa cuma segitu doang? Nanggung nih ngacengnya!” keluh Pak Ramin si penjual gorengan disusul makian teman-temannya yang juga kecewa, tangan kirinya masih terselip masuk di dalam celana, tangan itu tadinya ia gunakan untuk mengocok si kecil dengan paksa, akhirnya tangan itu ditarik keluar dengan kecewa. Pemandangan indah adegan tari striptease Lidya memang membuat pria itu tadinya tak tahan, dia tak peduli kalaupun harus coli di depan teman-temannya.

“Terima kasih atas perhatian saudara-saudara sekalian. Demikianlah akhir dari pertunjukan ini.” Pak Hasan tersenyum lebar mendengar nada kecewa yang menggema di ruangan kecil itu, “dia ini menantu saya, boleh dilihat, tidak boleh dipakai.”

“Ka-kalau ada yang pengen ngentot? Bayarnya berapa ya, Pak?” tanya Pak Ngadi si penjual mainan anak-anak, dari tadi dia blingsatan melihat Lidya menari-nari, kecantikan dan kemolekan Lidya membuat Ngadi lupa pada anak istri, dengan bergetar Ngadi membuka kantong plastik berisi uang ribuan yang sudah beberapa hari ini dia kumpulkan untuk istri di rumah dan modal berjualan mainan esok hari.

Teman-teman Pak Ngadi tertawa mendengar pertanyaan itu, termasuk Pak Ramin. “Wah -wah, Ngadi… Ngadi! Jangan belagu kamu, punya duit dari mana? Emang ngewe cewek secakep ini murah? Mau kamu bayar pake apa? Utangmu gopek sama si Slamet aja belum dibayar dari bulan kemarin!”

Ngadi pun menunduk malu sambil melangkah ke belakang. Menggantikan posisinya kini adalah Abah Aseng, juragan beras di pasar itu. Pria keturunan bertubuh gemuk itu mendekati Pak Hasan. “You minta berapa duit? Aku mau pakai dia satu jam. Berapapun harganya aku bayar.”

“Ha ha ha… aduh, Abah Aseng! Masa cuma sejam?” Pak Ramin ribut lagi. “Bayarnya sih kuat, otongnya yang gak kuat… ha ha ha…”

Kumpulan lelaki mesum itu langsung ramai penuh tawa, tapi Abah Aseng yang sudah biasa menghadapi mereka segera menjentikkan jari. Dua orang laki-laki bertubuh besar dan berwajah sangar mendekati Pak Ramin. Penjual gorengan itu langsung mundur teratur tanpa berani berkomentar macam-macam lagi. Abah Aseng ternyata membawa dua premannya yang terkenal ganas.

Pak Hasan menggelengkan kepala. “Sepertinya semua orang di sini belum mendengar apa yang tadi saya sampaikan ya? Dilihat boleh, dipakai jangan.”

Abah Aseng tidak terima begitu saja, dia menjentikkan jari sekali lagi. Dua premannya mendekati Pak Hasan dengan pandangan mengancam. “Ayolah, Pak.” Kata Abah Aseng. “Dipikir dulu, aku kan pakenya ndak lama. You malah mestinya terima kasih, aku mau pake barang you itu. Jadi gimana? Aku bayar berapapun ndak masalah. Tapi kalau you ndak tau terima kasih, ya aku ndak tanggung jawab kalau nanti anak-anak turun tangan. You pikir you siapa bisa seenaknya masang cewek di pasar ini? You kan sudah tua, lebih baik tidur saja di rumah, biar aku yang rawat anak manis ini.”

Dengan kurang ajar Abah Aseng mencolek dagu Lidya. Si cantik yang sedari tadi ketakutan dan terdiam itu menjerit ketakutan, ia segera berlindung di balik tubuh Pak Hasan.

Pak Hasan tersenyum sinis. “Saya memang sudah tua, tapi kalau cuma dua preman kelas teri begini, saya sendirian masih sanggup menghadapi. Saya tidak datang ke pasar ini tanpa persiapan terlebih dahulu.” Dengan sigap Pak Hasan maju ke depan dan mendekati Abah Aseng, tangannya bergerak dengan cepat, masuk ke selangkangan sang juragan beras dan mencengkeram kantung kemaluannya tanpa bisa dicegah. Abah Aseng langsung berteriak kesakitan, suasana pasar yang tadinya ramai berubah menjadi senyap saat Abah Aseng menjerit-jerit.

Dua preman yang tadinya sigap jadi kebingungan, saat mereka maju, Pak Hasan mencengkeram lebih erat lagi. “Kalau dua preman itu nggak mundur, saya remuk bola Abah, bagaimana?”

Abah Aseng mengangguk-angguk dengan cepat, dia sangat kesakitan. Dengan gerakan tangan melambai, Abah Aseng menyuruh dua premannya meninggalkan tempat itu. Kelompok kecil itu bersorak-sorai, baru kali ini ada orang yang berani melawan Abah Aseng. Mereka puas karena selama ini selalu menjadi bulan-bulanan dua preman sang juragan beras. Abah Aseng segera lari terbirit-birit karena malu di bawah sorak sorai para penjual.

“Baiklah, karena hari ini saya sedang gembira, saya akan memberi kesempatan pada satu orang untuk ikut bersama kami dan menikmati keindahan tubuh menantu saya ini. Orang tersebut akan dipilih sendiri oleh menantu saya dan dia akan mendapatkan servis gratis tanpa ditarik biaya apapun. Siapa yang mau?”

Semua orang yang sedang berkumpul di tempat itu menunjukkan jari ke atas. Semua mau dipilih, semua ingin mendapatkan servis gratis, semua ingin mencicipi kemolekan wanita cantik kelas atas seperti Lidya. Siapa yang menolak?

“Siapa yang kau pilih, Nduk?” tanya Pak Hasan pada menantunya yang sedang sibuk mengenakan kembali pakaiannya, “harus dipilih salah satu.”

Lidya gelagapan karena bingung, mana kiranya yang harus dipilih? Wajah mereka kasar, rata-rata berkulit coklat gelap dan penampilannya jelas tidak ada menarik, mereka juga sangat bau dan tidak kenal sopan santun. Mana yang harus dia pilih?

“A-aku tidak…” Lidya menggelengkan kepala, dia menolak kalau harus melayani satu di antara para penjual dan preman ini.

Wajah Pak Hasan mengeras dan pandangannya berubah galak, Lidya tahu apa artinya perubahan wajah mertuanya itu, dia harus memilih.

“Siapa yang kau pilih, Nduk?” tanya Pak Hasan sekali lagi dengan suara tegas.

“Di… dia.” Lidya menunjuk Pak Ngadi, sang penjual mainan anak-anak.

###

Hari ini Alya terlalu lelah, ia memutuskan untuk istirahat dan membiarkan Dodit dan Anissa yang menjaga Hendra di rumah sakit. Ia ingin di rumah saja bersama Opi, beruntung sekali Pak Bejo dan istrinya harus pergi sehingga dia aman dari gangguan lelaki tua tengik itu. Wanita cantik itu duduk di teras depan rumahnya sembari melamun menatap awan yang beriringan di langit.

Alya menghapus airmatanya yang meleleh tanpa henti sedari tadi. Apa yang harus mereka lakukan sekarang? Hidupnya hancur berantakan, suaminya cacat dan tak akan bisa bekerja dan beraktifitas seperti sebelumnya, dirinya telah ternoda oleh perbuatan kotor Pak Bejo dan menjadi hamba seks tetangganya yang cabul itu. Bagaimana mereka akan melalui semua ini? Alya menundukkan wajahnya dan menangis tersedu-sedu, hampir satu jam ia tak bergerak, hanya menangis dan melamun.

Kecelakaan parah yang menimpa Hendra membuat Alya dan Opi sedikit kerepotan kalau hendak bepergian, sepertinya, mereka akan membutuhkan tenaga pekerja baru sebagai seorang sopir. Alya jelas tidak mau memperkerjakan Pak Bejo yang berhati busuk itu. Dimanakah ia bisa menemukan seorang driver yang dapat dipercaya?

Setelah satu jam berlalu, terdengar suara denting keras dan Alyapun mulai sadar kembali dari lamunannya, ternyata langit sudah gelap dan hari telah sore. Dentingan suara apakah yang telah menyadarkan Alya?

Suara apa itu? Alya menengok ke arah asal dentingan. Rupa-rupanya dentingan suara mangkok seorang penjual bakso keliling.

“Bakso, bakso. Baksonya, Mbak?”

Seorang penjual bakso bertubuh kurus dan berkulit hitam tersenyum pada Alya, penjual bakso itu bernama Paidi.

###

Ngadi menganga melihat rumah Lidya. Dia kagum sekali, ternyata Lidya adalah seorang wanita yang mapan dan berkecukupan, tinggal di kawasan perumahan kaum menengah ke atas yang tenang dan asri. Apa yang dia lakukan bersama seorang bandot tengik seperti Pak Hasan? Kalau tidak salah, kata pria tua itu wanita cantik ini adalah menantunya? Orang gila seperti apa yang melacurkan menantunya pada orang-orang pasar? Sudah kacau dunia ini.

Tapi segila-gilanya dunia, Ngadi masih waras, dia masih mau ditawarin tubuh ranum seperti milik Lidya, dia belum gila.

Duduk di ruang tamu selama setengah jam seorang diri membuat Ngadi melamun. Penjual mainan anak-anak itu tak puas-puasnya mengagumi isi rumah Lidya dan Andi. Berkali-kali ia menggelengkan kepala saat melihat foto mesra pasangan Lidya dan Andi, sungguh sayang wanita secantik Lidya jatuh ke tangan bandot tua seperti Pak Hasan.

“Bagaimana, Pak Ngadi? Sudah siap?” tanya Pak Hasan seraya turun dari tangga, “jamunya sudah diminum?”

Ngadi menganggukkan kepala, dia memang belum berganti pakaian dan membersihkan diri, tapi dia sudah tidak sabar lagi ingin menyantap hidangan utama yang sedari tadi sudah ditawarkan oleh Pak Hasan yaitu tubuh Lidya, sang nyonya rumah.

Pak Hasan tersenyum melihat ketidaksabaran Ngadi yang buru-buru berdiri. “Sabar… kalau ingin diservis menantu saya, tentunya Pak Ngadi harus mandi dulu yang bersih.”

“Ma… mandi?”

“Iya, Lidya sudah menunggu di kamar mandi atas, diharapkan Pak Ngadi mau mandi bersamanya. Silahkan.”

Mulut Ngadi menganga lebar tak percaya. “Mak… maksudnya mandi bareng Mbak Lidya?”

Pak Hasan mengangguk.

Mimpi apa Ngadi semalam? Mimpi kejatuhan durian mungkin? Setelah seharian hanya bisa melamunkan kecantikan Lidya, dia tidak menyangka akan diberi kesempatan mandi bersama wanita yang secantik bidadari itu. Benar-benar beruntung dia hari ini!

“Be-bener ini, Pak? Saya nggak mimpi kan?” Ngadi masih belum mempercayai keberuntungannya, “ng-nggak perlu bayar?”

“Nggak perlu bayar. Tapi ingat, hanya sekali ini saja.” Kata Pak Hasan sambil menepuk-nepuk pundak Pak Ngadi. “Oh iya, Pak Ngadi, meski gratis pegang apa saja, tapi tetap tidak boleh penetrasi. Memeknya tidak boleh diganggu-gugat oleh kemaluan Pak Ngadi, mengerti?”

“Wa-wah… sudah boleh mandi bareng saja saya sudah senang, Pak. Saya nggak akan minta macam-macam.” Kata Pak Ngadi jujur, penjual mainan anak-anak itu benar-benar sudah tidak ingat lagi pada anak istri. Siapa sih yang tidak mau ditawari mandi bersama seorang bidadari?

Dengan diantarkan oleh Pak Hasan, Ngadi berjingkat menuju kamar mandi yang terletak di kamar atas, kamar tempat pasangan suami istri Lidya dan Andi menghabiskan waktu bersama. Kamar itu sangat bersih dan harum, wangi semerbak juga tercium dari pintu kamar mandi yang terbuka lebar. Pak Ngadi menahan nafas saat dia perlahan memasuki kamar mandi yang sudah terbuka.

Tubuh indah Lidya terpampang jelas di depan matanya. Si cantik itu telanjang! Pak Ngadi terbelalak tak percaya, ini semua benar-benar terjadi?

Lidya berdiri bersandar ke tembok dengan wajah menunduk malu dan lengan yang menutup buah dada dan kemaluannya. Walaupun begitu, di bawah guyuran air shower yang membasahi sekujur tubuh indahnya, Pak Ngadi bagaikan menatap keindahan seorang dewi.

Kejadian ini tentu saja disaksikan oleh Pak Hasan yang terus memantau di dekat pintu, dia selalu berada di belakang Pak Ngadi tanpa mau bergerak melindungi menantunya. Pria tua itu bahkan memberi kode pada Lidya untuk menarik tubuh Pak Hasan mendekat.

“P-pak Hasan ma-mau mandi?” Lidya terbata-bata. Dia tahu seharusnya dia mengucapkan kata-kata itu dengan suara semanja dan seseksi mungkin, tapi Pak Ngadi bukanlah suaminya, dia tidak mungkin bersikap manja pada orang tak dikenal berwajah buruk dan sekotor Pak Ngadi. Tapi bagi Ngadi, suara yang keluar dari mulut Lidya itu bagaikan nyanyian merdu seorang bidadari.

“I-iya… saya mau mandi.” Kata pria tua itu tergagap.

“Ma-Mau mandi b-bersama?” ajak Lidya. Berulangkali dia menatap Pak Hasan yang berdiri di pintu agar mau menyelamatkannya dari situasi canggung ini, tapi Pak Hasan bergeleng tanpa ampun. Hanya satu jalan keluar bagi Lidya, yaitu mempercepat semuanya agar segera selesai. Dengan gerakan pelan yang sangat erotis, Lidya mendekati Pak Ngadi.

Pria tua yang biasa menjual mainan anak-anak itu melotot dan menatap tak percaya gerakan tubuh Lidya, payudaranya yang besar dan kencang bergerak menggelombang ketika si cantik itu berjalan. Lidya kini tak peduli lagi apakah tubuhnya yang telanjang terlihat jelas atau tidak. Pandangan Pak Ngadi juga tak lepas dari gundukan mungil yang berada di selangkangan Lidya, karena rambut yang berada di atas kemaluan dicukur bersih, gundukan bibir kemaluan Lidya bisa terlihat jelas oleh Pak Ngadi yang langsung meneguk ludah karena menahan nafsu.

“Saya lepas ya baju Pak Ngadi.” Bisik Lidya perlahan. Ngadi hanya pasrah, mau diapakan juga dia mau, asal oleh Lidya.

Dengan gerakan gemulai, Lidya melucuti satu demi satu pakaian yang disandang Pak Ngadi dan meletakkannya. Berdiri sangat dekat dengan wanita telanjang secantik Lidya membuat Pak Ngadi merinding, nafsu, malu tapi mau. Buah dada Lidya yang masih kencang memompa semangat Pak Ngadi, ingin rasanya dia menjamah, tapi rasa takut dan segan membayangi. Akhirnya, seluruh pakaian Pak Ngadi telah dilepas. Pria sederhana itu kini berdiri telanjang di depan Lidya. Kemaluan Ngadi yang ukurannya sedang-sedang saja berdiri menantang di hadapan Lidya, tegangnya penis Ngadi tentu adalah hasil pertunjukan erotis Lidya. Walaupun situasinya sangat tidak menyenangkan, entah kenapa Lidya merasa geli dengan keluguan Ngadi.

“Jangan takut pak, saya tidak menggigit kok… kecuali diminta…” bisik Lidya sambil menggigit bibir bawahnya. “Ayo mandi sama saya.”

Si cantik itu kaget sendiri setelah mengatakan pernyataan erotis itu. Bagaimana mungkin kata-kata itu bisa terucap dari mulutnya? Apa yang terjadi pada dirinya? Apakah dia sudah mulai menyukai affair semacam ini setelah berhari-hari ‘dididik’ oleh Pak Hasan? Tidak… ia tidak mau… Mas Andi… tolong… Mas Andi…

Perubahan wajah Lidya terlihat jelas, ia mundur beberapa langkah dan menjauhi Pak Ngadi, kali ini sekali lagi Lidya menutupi buah dada dan kemaluannya. Sikap Lidya yang berubah-ubah membuat Ngadi bingung, pria tua itu berbalik menghadap Pak Hasan tapi mertua Lidya menggeleng.

“Maju saja, Pak Ngadi. Silahkan.” Kata Pak Hasan. Pak Ngadipun kembali berbalik dan mendekati Lidya yang menyudut di pojokan.

Setelah menyuruh Ngadi untuk maju, Pak Hasan mengambil kursi tepat di depan pintu kamar mandi dan duduk menghadap ke dalam, apapun yang terjadi di dalam, ia bisa menyaksikannya. Mertua Lidya itu melucuti celananya sendiri dan siap mengocok kemaluannya. Ada perasaan aneh yang bisa merangsang Pak Hasan saat ia melihat menantunya yang seksi berada dalam pelukan lelaki lain yang bukan suaminya. Ia pasti akan sangat menikmati pertunjukan ini.

“Sa… saya mandikan ya, Mbak Lidya…” kata Ngadi perlahan.

Lidya yang ternyata tengah meneteskan air mata mencoba menyembunyikan tangisnya lewat guyuran air yang turun dari shower, ia tidak mau Pak Hasan marah dan menghajarnya nanti. Mendengar suara lugu Pak Ngadi yang mendekatinya, Lidya hanya bisa mengangguk dengan pasrah. Yang akan terjadi terjadilah. Sebelum peristiwa ini terjadi, selama hidupnya Lidya hanya pernah mandi bersama dengan satu orang lelaki, yaitu Andi suaminya. Merinding juga rasanya mandi dengan lelaki tak dikenal seperti Pak Ngadi.

Air yang turun dari shower menghujani dua tubuh telanjang yang saling berhadapan, perlahan-lahan Lidya membalikkan badan karena malu, namun melepas kedua lengan yang menyembunyikan buah dada dan kemaluannya. Si cantik itu memejamkan mata menanti gerakan Ngadi. Penjual mainan anak-anak itu bergerak perlahan, dia tak puas-puasnya mengagumi keindahan tubuh Lidya yang molek. Bagian belakang tubuhnya pun sangat putih dan mulus tanpa bercak sedikitpun, berbeda dengan tubuhnya yang kotor dan bopeng-bopeng.

Tangan Pak Ngadi menyentuh punggung Lidya perlahan. Inilah untuk pertama kalinya mereka bersentuhan. Lidya mengeluarkan desahan pelan, ia berharap Pak Ngadi tidak mendengarnya. Walaupun tidak mendengar desahan erotis Lidya, Ngadi bisa merasakan getaran pelan dari tubuh wanita seksi yang sedang memunggunginya. Dengan perlahan, Pak Ngadi menggosok punggung Lidya dengan tangannya, ia mengambil sabun dan mengoleskan pelan di punggung seputih pualam milik istri Andi itu.

Melihat kepasrahan Lidya, Ngadi makin berani, tangannya bergerak ke depan dan perlahan-lahan meraih payudara Lidya yang sedari tadi membuatnya terpesona. Dengan dua tangan dari kiri dan kanan, pria tua itu menangkup buah dada Lidya yang besar dan kencang. Lidya meringkik lirih ketika Ngadi meremas balon buah dadanya. Pria tua itu makin mendekat dan memeluk tubuh Lidya dari belakang. Kini Ngadi menggosok punggung Lidya dengan dadanya, hal ini makin membuat Lidya terangsang hebat. Terlebih ketika dirasakannya kemaluan Ngadi terselip tepat di tengah-tengah lembah pantatnya. Pria tua itupun dengan nakal menggerakkan pinggul agar kontolnya menggesek-gesek pantat Lidya.

Lidya merengek lebih keras, gesekan kontol di pantat dan remasan tangan di payudara makin ditingkatkan, membuatnya tak mampu bertahan. Si cantik itu masih memejamkan mata ketika ia berbalik. Dengan sengaja ia mengeraskan aliran shower agar memancar lebih keras. Berhadap-hadapan dengan Lidya membuat kontol Ngadi makin menegang, ia memeluk wanita seksi itu erat-erat. Dengan bantuan sabun, Ngadi mengoles-oles buah dada Lidya, ia menggerakkan payudara Lidya naik turun di dadanya sendiri.

Lidya melenguh menahan nafsu, ia akhirnya bergerak naik turun tanpa diminta, menjadikan buah dadanya yang bersabun sebagai penggosok dada Ngadi. Pria tua itu sendiri tak berhenti, ia meremas pantat bulat si jelita dan mulai berani menciumi tubuhnya. Bibir Ngadi bergerak dari wajah namun menghindari bibir seksi Lidya, Ngadi menciumi setiap jengkal kulit mulus Lidya yang basah oleh siraman air dari shower, mulai dari lehernya yang jenjang, lalu turun ke dada yang masih belepotan sabun. Sambil membersihkan buah dada Lidya dengan tangan, ia juga menciumi kedua balon payudara si cantik itu dengan penuh nafsu, kali ini ia menghindar dari puting payudara Lidya. Ciuman Ngadi berlanjut ke daerah perut, terus turun sampai akhirnya ke bibir kemaluan Lidya. Kali ini Ngadi tak menghindar.

Dengan kepasrahan penuh birahi, Lidya menahan dirinya dengan menyandarkan tangan ke tembok kamar mandi. Ngadi berjongkok hingga kepalanya tepat berada di depan kemaluan Lidya. Air terus mengalir membasahi tubuh mereka berdua, sementara Pak Hasan menyaksikan adegan demi adegan sambil mengocok kemaluannya sekuat tenaga.

Ngadi mengelus-elus paha mulus Lidya lalu menciuminya bergantian, kiri ke kanan, kanan ke kiri, terus menerus. Ciuman itu tak berhenti dan makin lama makin masuk ke arah selangkangan.

“Ohhhhmmm… esssstttt…” desah Lidya tak berdaya saat bibir vaginanya mulai tersentuh lidah nakal Pak Ngadi.

Dengan menggunakan jemarinya, Ngadi membuka bibir memek Lidya yang berwarna merah muda dan menjejalkan lidahnya masuk ke dalam liangnya. Sodokan lidah Lidya yang hangat ditambah guyuran air shower membuat sensasi erotis yang lain daripada yang lain, Lidya makin tak mampu menguasai dirinya sendiri, si cantik itu merem melek diperlakukan sedemikian rupa oleh Ngadi.

Selang beberapa saat kemudian, giliran bibir Ngadi yang asyik mempermainkan seputaran selangkangan Lidya.

“Mmmmhhhh! Sssttthhh… oooohhh…” desahan Lidya terus menguat.

Melihat Lidya sudah tak kuat lagi, Ngadi malah melanjutkan serangannya dengan mempermainkan tonjolan klitoris Lidya. Dijilatinya tonjolan itu dengan lidahnya. Tubuh Lidya bergetar tak berdaya, ia tak tahan lagi, tubuhnya menggelinjang tanpa mampu ia hentikan.

“Yaaaaaaaaaaaaaahhhh…” Lidya menjerit lirih ketika ia akhirnya mencapai kenikmatan. Tubuhnya bergelinjang hebat dan menegang lalu ambruk ke depan. Untunglah Pak Ngadi sigap dan segera menangkap tubuh Lidya agar tidak sampai jatuh.

“Aduh… aku… lemas… sekali…” kata Lidya dengan suara lirih.

Sambil berhati-hati, Pak Ngadi mengangkat tubuh Lidya ke pinggir, mematikan keran shower dan mengelap seluruh tubuh Lidya dengan handuk. Pak Ngadi mengangkat tubuh telanjang Lidya yang sudah tidak basah dan berniat hendak menggendongnya ke ranjang. Si cantik itu sebenarnya keberatan, tapi tatapan mata galak Pak Hasan menundukkannya. Dengan berani penjual mainan anak-anak yang beruntung itu mulai mengangkat tubuh Lidya.

“Kuat kan, Pak? Tubuh saya berat.” bisik Lidya. Dia khawatir penjual mainan bertubuh kurus ini akan menjatuhkannya. “Kalau tidak kuat saya jalan sendiri saja…”

“Kuat kok, Mbak. Peluk saya erat-erat ya.” Kata Pak Ngadi.

Malu-malu Lidya memeluk Pak Ngadi, si cantik itu menautkan kedua lengannya ke leher sang penjual mainan saat dia digendong ke arah ranjang. Untunglah jarak antara kamar mandi dan ranjang Lidya tidaklah jauh. Wangi tubuh Lidya membuat Ngadi memiliki ekstra semangat, baru kali ini dia menggendong tubuh seorang wanita cantik yang tak mengenakan sehelai pakaianpun. Buah dada Lidya yang berukuran besar menempel di dada tipis Ngadi, menimbulkan percikan tenaga ekstra di hati sang penjual mainan.

Di pojok ruangan, Pak Hasan masih terus menyaksikan aksi sang penjual mainan dan menantunya, tangannya juga masih terus bergerak mengocok kemaluannya. “Nduk, kamu tidur tengkurap saja.” Kata Pak Hasan.

Lidya tidur tengkurap sesuai perintah Pak Hasan saat Ngadi meletakkannya di ranjang, matanya terpejam menanti serangan Ngadi selanjutnya. Pria setengah baya berkulit gelap mengkilap dan bertubuh kurus yang baru saja menggendong Lidya itu akhirnya naik ke atas ranjang, Ngadi bergerak dengan malu-malu mendekati istri Andi yang cantik itu. Perlahan-lahan Ngadi memulai serangannya dari ujung jari kaki Lidya. Ngadi belum pernah melihat jari-jari kaki yang mulus, lembut dan terawat seperti milik Lidya, sangat berbeda dibandingkan dengan jemari istrinya yang kotor dan keras karena jarang mengenakan sandal. Ngadi mencium dan menjilati satu persatu jari-jari kaki Lidya.

“Ehhhhmmm…” erang Lidya. Matanya masih belum terbuka tapi bibirnya tak kuat menahan rangsangan geli jilatan lidah Pak Ngadi.

Satu persatu jari-jari kaki Lidya dijilati oleh sang penjual mainan anak-anak sambil tak lupa mengelus-elus lembut telapak kaki Lidya yang putih. Ciuman Pak Ngadi naik ke betis, pria tua itu menikmati jengkal demi jengkal tubuh mulus Lidya, biarpun ini istri orang, tapi nikmatnya bukan main. Setelah puas menciumi satu kaki, Pak Ngadi beralih ke kaki yang lain, serangannya sama, mencium dan menjilati jemari kaki sang dewi.

“Engghhh…” Lidya menutup kepalanya dengan bantal, ia tidak tahan pada serangan Ngadi ini, membuatnya gelagapan. Pak Hasan yang masih duduk di kursi tak terlalu jauh dari ranjang tersenyum puas melihat menantunya keenakan, ia masih mengocok penisnya sendiri dengan gerakan ringan yang makin lama makin cepat.

Pak Ngadi meneruskan lagi, ia menggerakkan bibirnya menelusuri kaki Lidya hingga sampai ke paha. Pria tua itu sangat kagum, ini baru namanya paha, sangat sempurna, putih mulus tanpa cela. Ngadi menikmati detik demi detik, ia tahu ia hanya sekali ini saja bisa menikmati keindahan tubuh Lidya, itu sebabnya dia tidak ingin terburu-buru. Ini yang namanya sekali seumur hidup. Dia merasa sangat beruntung tadi Pak Hasan menyuguhkan jamu kuat yang diminumnya sebelum naik ke atas dan mandi bersama Lidya.

“Ohhhhh… ehhhmm…” Lidya tidak mau mengakui, tapi ciuman yang dilancarkan Pak Ngadi mulai dari jari kaki naik sampai ke paha membuat wanita jelita itu belingsatan, tak berdaya sekali dia rasanya. “Ohhhhh…” sekali lagi Lidya mengerang kala Pak Ngadi menjilati pahanya. Pria tua itu nekat naik hingga sampai ke perbatasan paha dan gunung pantat mulus Lidya.

Lidya menggelengkan kepalanya karena tak tahan ketika bibir dan lidah Pak Ngadi akhirnya sampai di gundukan pantatnya yang kencang dan bulat.

“Ouggghhsssttt… essssstt…” desah Lidya berulang-ulang, suara erotis yang keluar dari wanita secantik Lidya menambah semangat Ngadi. Pria tua mulai naik lagi, kali ini tangannya ikut bergerak, meremas-remas pantat Lidya yang montok dengan gemas. Lidya belum mau membuka matanya, tapi ia tak tahan dan menahan jeritannya.

Punggung Lidya menjadi sasaran selanjutnya, tubuh istri Andi ini sangat seksi, merangsang di setiap jengkalnya. Benar-benar bagaikan tubuh seorang dewi yang turun dari khayangan, sempurna tanpa cela. Kini tubuh yang indah itu menggelinjang di bawah sapuan lidah Ngadi yang menggerayangi bagian punggungnya. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai penjual mainan anak-anak itu sepertinya sudah sering melakukan ini pada sang istri, dia mahir sekali melakukannya. Sebaliknya, Lidya yang belum pernah merasakan lidah maut Pak Ngadi pun takluk dan tak bisa bertahan. Pak Ngadi naik lagi, lidahnya kini menyapu pinggir sela lengan dan dinding buah dada Lidya.

“Ouuuugghhhhh… asssstttt… eessssssssttt…” mulut Lidya mendesah-desah, tubuhnya menggelinjang, tapi ia masih tetap tak mau membuka matanya.

Pak Ngadi yang tadinya takut-takut mulai percaya diri, gelinjang tubuh dan desah nafas Lidya membuatnya yakin, walaupun wanita ini secantik dewi dan seindah bidadari, tetap saja dia seorang perempuan biasa, pasti bisa ditaklukkan. Ngadi mengangkangi tubuh Lidya dengan penis yang diarahkan ke belahan pantatnya.

Sampai di sela bokong mulus Lidya, penis pria setengah baya itu sengaja diselipkan di tengah lalu digosok-gosokkan naik turun. Saat tangan Ngadi mengelus-elus kelembutan pinggang Lidya, bibir dan lidahnya menjelajah punggung, naik ke pundak, lalu bagian belakang leher dan akhirnya sampai di daun telinga. Daun telinga adalah salah satu titik kelemahan Lidya, lidah Ngadi bergerak lincah menggoyang daun telinganya. Semua rangsangan ini membuat si cantik itu takluk, ia pasrah sepasrah-pasrahnya.

Ngadi masih belum selesai, dibaliknya tubuh Lidya agar menghadap ke atas. Lidah pria tua itu beraksi lagi, berawal dari serangan di leher depan, menuruni pundak sampai ke sela ketiak, turun lagi ke lengan sampai ke telapak tangan dan akhirnya berhenti di jari-jari Lidya. Ciuman bibir dan jilatan lidah Ngadi tak pernah berhenti, terus bergerak tanpa kenal lelah menguasai tubuh Lidya. Inilah yang dinamakan mencicipi tubuh seorang wanita dengan arti yang sebenarnya.

“Auuuuuhhmmm… esssssttt… eehhhgg…” walau tak mau mengakui dan merasa terpaksa melayani orang yang bukan suaminya, tapi kalau Lidya mau jujur, dia puas sekali dengan foreplay yang dilakukan Pak Ngadi. Siapa sangka orang seperti itu bisa melakukan foreplay seenak ini?

Lidah mungil Lidya merekah, seakan minta dicium, tapi Ngadi belum mau melakukannya. Pria tua itu terdiam sejenak karena takjub dengan kemolekan bagian depan tubuh Lidya, terutama bagian dadanya. Selama ini Ngadi harus puas dengan dada istrinya yang seperti papan cucian, ia tak mengira, akan datang hari dimana dia akan diberi kesempatan mencicipi payudara sempurna seorang bidadari. Pria tua itupun memanfaatkan waktunya yang longgar selama mungkin, dijilatinya gunung payudara Lidya tanpa menyentuh ujung pentilnya. Buah dada Lidya yang montok dilalap habis oleh Ngadi, istri Andi yang sudah pasrah itu hanya bisa mendesah penuh nikmat saat payudaranya dioles-oles oleh Ngadi. Pentil Lidya sudah mengeras sedari tadi, ujung payudara itu menonjol ke atas, memohon dikulum secepatnya.

Pak Ngadi makin berani, melihat puting susu yang bentuknya sempurna itu mau tak mau ia nafsu juga. Diawali hembusan nafas yang ditebarkan ke puting agar terasa hangat, Pak Ngadi menowel ujung pentil Lidya dengan ujung lidahnya, melontarkan nafsu Lidya bangkit sampai ke puncak.

“Uaaaaaaahhhh!!” Lidya membelalakkan matanya! Tubuh si cantik itu menggelinjang tak karuan. Pak Hasan makin kagum pada orang tua yang kini sedang menikmati tubuh menantunya ini, luar biasa juga kemampuannya, ia ternyata mampu menundukkan menantunya yang jelita dengan lidahnya yang lincah.

Bangkitnya nafsu birahi Lidya membuatnya tak bisa begitu saja membiarkan Ngadi terus berlama-lama, tanpa takut-takut Lidya mengangkat payudaranya dan menyodorkan putingnya pada Pak Ngadi. Melihat istri Andi itu menyerah pada nafsu membuat Pak Hasan ingin bertepuk tangan. Hebat, sungguh hebat penjual mainan anak-anak ini!

“I… ini… tolong… cepat…” desah Lidya, ia memejamkan matanya kembali dan menunggu Pak Ngadi menghisap pentilnya yang sudah menjorok. Ngadi melirik ke arah Pak Hasan, meminta persetujuan. Ketika Pak Hasan mengangguk, pria tua itu memberanikan diri, bibirnya menelan pentil payudara Lidya dan menghisap-hisapnya dengan buas.

“AAAAAAAAAHHHH!!!” Lidya setengah berteriak, matanya terbelalak karena nikmat yang ia rasakan. Setelah seharian memamerkan tubuh di pasar, kini seorang penjual mainan anak-anak berhasil mendapatkan akses ke pentilnya. Pentil yang selama ini hanya diperuntukkan sang suami tercinta dan direnggut paksa oleh mertuanya yang bejat. “Ah! Ah! Auuuhhh!! Esssstt!” Lidya menahan semua nafsu yang sudah siap meledak di selangkangannya, digigitnya bibir bawah untuk membantu menahan semua getaran nafsunya.

Pak Hasan akhirnya tak tahan hanya melihat saja menantunya yang bugil itu dipermainkan oleh seorang pria yang baru mereka kenal tadi pagi. Dengan langkah hati-hati agar tak mengganggu proses foreplay Pak Ngadi, Pak Hasan duduk di pinggir ranjang dengan rasa ingin tahu yang berlipat. Tangan Pak Hasan bergerak maju menyelip di antara paha Lidya, dengan lihai ia meraba-raba bibir memek sang menantu sambil memijit tonjolan di bibir atas vagina Lidya yang ternyata sudah basah.

“Eyaaaaaaagghhhh!! Uaaahhh! Aaahhh!! Jangaaaaan!!” Lidya tersentak kaget sekaligus mengalami kenikmatan yang luar biasa ketika jemari Pak Hasan bermain di sekitar mulut vaginanya. Belum usai serangan yang dilakukan Pak Ngadi, kini Pak Hasan sudah datang.

Pak Ngadi menyelipkan tangan kirinya ke punggung Lidya dan menarik tubuhnya ke atas, sementara tangan kanannya masih tetap beraksi meremas-remas payudara kanan dan kiri silih berganti. Begitu posisi mereka berhadapan, Pak Ngadi melumat bibir mungil Lidya dengan penuh nafsu. Bibir yang tadinya mendesah berulang-ulang itu kini terdiam dalam dekapan sang lelaki tua. Lidya yang sudah tak ingat apa-apa lagi menyerahkan dirinya penuh kepada kedua lelaki tua. Ia pasrah ketika Pak Ngadi melumat bibirnya, bahkan Lidya membalas ciuman sang penjual mainan dengan permainan lidah yang saling memilin.

Sementara Pak Ngadi mencium Lidya dengan hot, Pak Hasan menggerakkan jemarinya di selangkangan sang menantu dengan lincah. Digesek-gesekkannya jari tengahnya di bibir vagina Lidya sementara jari telunjuknya memainkan klitoris yang menonjol. Lidya sudah lupa diri, si cantik itu memaju mundurkan pinggul karena tak tahan, ia ingin memeknya segera ditembus sesuatu yang keras dan panjang.

Lidah Pak Ngadi beraksi sepuasnya di mulut Lidya, menjelajah masuk dan menjilati seluruh liang mulut si cantik itu. Bibir Lidya juga tak tinggal diam, ia mengulum dan melumat bibir Pak Ngadi yang besar, lidah si cantik itu juga masuk ke mulut Pak Ngadi, bau rokok murahan yang tersebar dari kerongkongan lelaki tua itu tidak membuat Lidya berhenti, ia terus menerjang, menjilat dan melumat.

Pak Hasan naik ke atas ranjang dan bersiap untuk melesakkan penis ke dalam memek sang menantu, penisnya yang sudah keras seperti kayu ditempelkan dan dimainkan di mulut vagina Lidya, ia belum mau memasukkannya, ia ingin menggoda si cantik itu. Pak Ngadi yang tahu si empunya cewek sudah siap melakukan penetrasi bergeser ke samping memberi tempat pada Pak Hasan untuk beraksi. Lidya mengerang dan mendesah, ia bingung sekaligus menikmati. Ia lupa pada suaminya, ia lupa pada statusnya sebagai seorang istri, ia lupa semuanya, ia hanya ingat ia sedang bermain cinta dengan dua orang lelaki tua yang perkasa yang memberinya kenikmatan tiada tara.

Pak Hasan bersiap, diangkatnya kontolnya yang kini bagaikan tiang bendera dan dengan satu tusukan pelan, masuklah kemaluannya ke dalam liang kewanitaan Lidya. Wanita jelita yang tak berdaya itu menggelinjang dan kebingungan, dia menjerit lirih di bawah serangan Pak Ngadi yang belum juga berhenti menciumi bibir dan meremas-remas payudaranya.

“Iiiiihhh… ehmmm… aaaahhh! Ahhhh!! Ahhh!!” desi Lidya berulang kala Pak Ngadi melepaskan pagutannya.

Pak Hasan menarik Lidya dan mengaitkan kakinya yang jenjang di pinggangnya. Bagian atas tubuh Lidya sudah kembali turun ke ranjang, walau masih dipermainkan oleh Pak Ngadi, sementara kakinya kini mengait pinggang sang mertua. Pak Hasan akhirnya mulai menggerakkan pinggul untuk menyetubuhi sang menantu, ia bergerak maju mundur dengan pelan.

Walaupun Lidya dan Andi adalah pasangan yang belum terlalu lama menikah, intensitas hubungan intim antara Lidya dan suaminya termasuk jarang. Andi lebih suka bekerja daripada tinggal di rumah dan tidur dengan istrinya. Hal ini sangat disyukuri oleh Pak Hasan, karena memek Lidya masih terasa rapat bagaikan seorang perawan. Entah karena jarang bermain cinta dengan suaminya ataukah karena kontol Andi hanya sebesar tusuk gigi sehingga tidak mampu merenggangkan dinding dalam kemaluan si cantik itu.

“Heeeeennghhhgghhh!!” Pak Hasan menggemeretakkan gigi dengan gemas saat ia mulai meningkatkan kecepatan tumbukannya.

Tubuh Lidya yang bergerak naik turun sesuai sodokan Pak Hasan dimanfaatkan oleh Ngadi, pria tua itu menyodorkan kemaluannya ke wajah Lidya. Si cantik itu awalnya jijik dengan kemaluan Pak Ngadi yang bentuknya tidak karuan, hitam, keras dan panjang. Dari segi ukuran, mungkin Pak Hasan lebih unggul. Tapi Lidya sudah tenggelam dalam nafsu birahi, ia tahu apa maksud Pak Ngadi menghunjukkan kontolnya. Segera saja Lidya meraih penis hitam itu dan memasukkannya ke mulut.

“Ughhhhhoooooohhh…” sekarang giliran Pak Ngadi yang merem melek keenakan. Siapa yang tidak mau kontolnya disepong seorang dewi bermulut indah seperti Lidya?

Pak Hasan makin getol memaju mundurkan pinggulnya, enak sekali rasanya memompa vagina menantunya yang masih sangat rapat ini. Tangan kirinya meremas-remas buah dada kiri Lidya sementara payudara yang kanan menjadi santapan tangan Pak Ngadi.

Pak Hasan terus menggenjot vagina Lidya dengan beringas, nafas pria tua yang sangat bernafsu itu tersengal-sengal karena ingin segera mencapai kenikmatan maksimal. Desah nafas tiga orang yang tengah bercinta itu menjadi musik indah pencapaian kenikmatan seksual. Pak Ngadi yang keenakan dioral oleh Lidya merem melek, ia makin tak tahan sepongan si cantik itu, apalagi setelah melihat wajah Lidya yang mempesona menelan bulat-bulat kontolnya yang hitam dan panjang.

“Huuuungghhhh!!!” akhirnya diiringi satu lenguhan panjang, Pak Ngadi mencapai orgasme. Ia tak kuat lagi bertahan.

Semburan pejuh Pak Ngadi tersebar ke seluruh permukaan wajah cantik Lidya, lalu ke dada dan akhirnya perut, cukup banyak cairan putih kental yang dikeluarkan ujung gundul kemaluan pria tua itu. Lidya tersengal-sengal mengatur nafas, baru kali ini dia bermain dengan dua orang pria yang sama-sama mahir bercinta, hebatnya dua laki-laki ini bukanlah suaminya, tubuh si cantik itu mengejang, dan pantatnya terangkat kuat-kuat. Bola mata Lidya berputar ke belakang, sampai hanya bagian putihnya saja yang terlihat, rupanya si cantik itu juga telah mencapai tingkat kepuasan maksimal.

Setelah Ngadi dan Lidya selesai, giliran Pak Hasan, ia merasakan air cinta membanjir di dalam liang kenikmatan Lidya, tapi mertua bejat itu terus saja menyodokkan kemaluannya dalam-dalam, tak mau berhenti. Tak terlalu lama menggoyang memek Lidya, akhirnya Pak Hasan juga mencapai ujung tertinggi tingkat kenikmatannya.

Meledaklah air mani Pak Hasan di dalam memek sang menantu. Pria tua itu mengejang, mengeluarkan semua birahinya dalam tumpahan air mani yang mengalir deras membanjiri memek Lidya. Benar-benar puas dia kali ini, untuk pertama kalinya Lidya bersedia melayaninya tanpa melawan dan menangis. Menantunya itu benar-benar telah berubah dan bersedia dijadikan budak seksnya. Setelah mengeluarkan penisnya dari vagina Lidya diiringi bunyi letupan kecil, Pak Hasan ambruk ke ranjang.

Pak Ngadi tidak mempercayai keberuntungannya. Walaupun ia memang tidak diijinkan memasukkan penisnya ke memek Lidya, tapi disepong wanita secantik bidadari seperti istri Andi itu adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Inilah pengalaman sekali dalam seumur hidup yang tak akan dilupakannya. Setelah tak lagi lelah nanti, ia akan memakai pakaiannya dan pergi dari rumah ini, kembali ke kehidupannya yang sederhana dengan membawa memori terindah yang pernah dirasakannya.

Lidya terbaring lemas tak berdaya di ranjang. Tubuhnya yang telanjang kini basah kuyup oleh semprotan air mani yang dikeluarkan oleh Pak Hasan dan Pak Ngadi. Mata si cantik itu terpejam, makin kotor saja dirinya – ia bahkan mulai menikmati permainan gila mertuanya ini, sampai kapan Pak Hasan akan memperlakukannya dengan hina seperti ini? Sampai kapan semua ini akan terjadi? Apa yang akan terjadi esok hari?
Perlahan wanita cantik yang kelelahan itu terlelap dan tenggelam dalam tidurnya.
Hari pernikahan adalah hari yang banyak ditunggu-tunggu oleh pasangan yang saling mencintai. Hampir semua orang yang sedang dilanda asmara akan beranggapan bahwa hari pernikahan adalah sebuah hari besar dimana mereka akan melangkahkan kaki menuju gerbang kebahagiaan yang sejati, dimana mereka bisa merasakan nikmatnya hidup bersama orang yang paling dikasihi untuk selama-lamanya. Hari pernikahan adalah ujung sempurna dari sebuah hubungan asmara.

Sayangnya hal tersebut tidak berlaku bagi seorang wanita jelita yang bernama Dina Febrianti. Baginya, hari pernikahan adalah bencana.

Esok lusa dia akan menikah.

Pernikahannya yang kedua.

Dengan seorang lelaki idiot yang tidak dia kenal sama sekali.

Dina tidak bisa mengelak dan menolak pernikahan yang telah direncanakan ini. Dia hanya bisa pasrah menghadapinya, sebagaimana ia juga pasrah menghadapi semua masalah yang datang bagaikan badai yang menghantamnya bertubi-tubi. Suaminya sendiri telah pergi dan menjual Dina pada laki-laki lain demi menyelamatkan diri dari hutang yang bertumpuk. Anton adalah laki-laki brengsek dan mungkin saja Dina beruntung telah berpisah dengannya. Kadang Dina heran pada dirinya sendiri, bagaimana dia bisa bertahan menghadapi semua masalah ini? Kalau saja tidak ingat pada anak-anaknya yang masih kecil Dina pasti sudah bunuh diri sejak pertama kali dia disetubuhi Pak Pramono yang bejat itu.

Dina hanya bisa pasrah menghadapi semua masalah ini. Yang akan terjadi terjadilah. Suatu saat kelak, keadaan pasti akan menjadi lebih baik.

Wanita jelita itu memperhatikan pantulan dirinya pada cermin yang terdapat di kamarnya yang besar. Usianya memang sudah lebih dari 30, tapi wajah dan tubuhnya masih bisa bersaing dengan remaja belasan tahun. Dina masih cantik dan masih tetap seksi. Lekukan tubuhnya yang matang sangat menggiurkan bagi seorang pria normal, wajahnya yang cantik namun tidak membosankan menimbulkan kesan mendalam bagi mata yang memandang, kulitnya putih bagaikan pualam, tubuhnya harum bagaikan bunga, rambutnya yang sebahu menambah aksen kedewasaan yang lembut yang didamba seorang pria. Dina adalah seorang wanita yang mendekati kata ‘sempurna’.

Walaupun tidak telanjang, keindahan tubuh Dina masih terlihat jelas di cermin. Dina tidak tahu apakah dia harus berterima kasih ataukah malah mengutuk semua karunia ini. Apakah kecantikan dan keseksiannya merupakan anugerah atau justru kutukan? Saat ini Dina sedang mencoba baju pengantin yang akan ia pakai esok lusa. Ia mengenakan baju berwarna putih tulang yang sangat indah dan cantik.

Gaun putih yang diberikan oleh Pak Bambang sebagai baju pengantin sangat pas ia pakai, selain menampilkan lekuk tubuhnya yang indah, Dina makin terlihat bercahaya jika mengenakannya, pas sekali dengan warna kulitnya yang seputih pualam. Dengan baju indah yang tentunya harganya sangat mahal ini Dina bisa memamerkan pundaknya yang halus putih mulus, leher yang sempurna dan belahan dada yang aduhai. Dia pasti terlihat sangat cantik dengan baju pengantin ini, jauh lebih cantik dari saat dia pertama kali menikah dulu.

Sungguh sayang, dia akan menikah dengan orang yang tidak ia cintai. Bagaimana mungkin ia bisa mencintai calon suaminya kalau bertemu saja belum pernah?

Walaupun terpaksa mencoba baju pengantin, tapi Dina tak bisa memungkiri kalau baju yang sedang ia pakai sangatlah indah. Bahannya halus dan nyaman digunakan, harganya sudah pasti sangat mahal. Berulang kali Dina melenggak-lenggokkan badan di depan cermin. Karena asyik mencoba baju seperti layaknya seorang calon pengantin baru, perlahan-lahan Dina lupa kalau esok lusa dia akan dinikahkan paksa dengan putra Pak Bambang yang idiot. Pak Bambang memang hebat, dia bisa tahu pasti pakaian pengantin mana yang bagus dikenakan Dina tanpa perlu memastikan ukurannya. Baju tersebut membuat kemolekan tubuh mulus Dina makin bercahaya, seperti seorang bidadari. Selayaknya seorang wanita yang menggemari baju bagus, Dina menyukai gaun pengantinnya.

Kamar yang saat ini digunakan Dina berada di lantai atas villa raksasa milik keluarga Pak Bambang, letaknya jauh di luar kota. Dina tidak tahu dengan pasti di mana mereka sebenarnya berada karena Pak Bambang masih merahasiakannya, Dina hanya tahu mereka berada jauh di luar kota dan berada di lokasi yang asing baginya. Agaknya Pak Bambang masih takut Dina akan ketakutan dan melarikan diri dari pernikahannya nanti. Selain melarang Dina menggunakan telepon dan melarangnya keluar villa, kakek tua itu juga membatasi pertemuan Dina dengan anak-anaknya. Mereka hanya bertemu beberapa jam saja perhari. Pak Bambang sengaja membatasi pertemuan itu agar Dina tahu pasti, nasibnya dan nasib anak-anak berada di tangan laki-laki tua itu. Sesudah pernikahannya dengan putra Pak Bambang, barulah Dina bebas menemui anak-anaknya lagi. Anak-anak Dina dijadikan jaminan supaya Dina tetap menurut kepadanya.

Terlalu asyik melamun dan mengamati dirinya sendiri di cermin membuat Dina terlena dan lengah. Dia tidak menyadari ada sesosok laki-laki tua masuk ke dalam kamarnya.

“Cantik.”

Ungkapan kagum Pak Bambang membuat Dina kaget, ia terhenyak dan mundur ke belakang.

“Kamu cantik sekali. Aku puas punya menantu seperti kamu.” Wajah Pak Bambang yang sudah terbakar nafsu birahi membuat Dina bergidik ketakutan. Saat masih menjadi boneka Pak Pram saja kakek tua ini dengan mudah bisa menidurinya, apalagi sekarang saat mereka tinggal serumah. “Kalau nanti si Dudung absen meniduri istri barunya, Bapak bersedia mengambil alih pekerjaan itu. Mempercepat memperoleh keturunan.” Katanya sambil terkekeh-kekeh.

“Ma-maaf… tapi saya sedang tidak ingin diganggu, bisa Bapak keluar dulu sementara saya berganti…?” Belum sempat Dina melanjutkan, Pak Bambang sudah maju ke depan mendekatinya. Kepala Dina menunduk takluk, ia tidak berani melawan kakek cabul ini.

“Aku tidak akan mengganggumu bersolek.”

“Saya hanya sedang mencoba baju, bukan bersolek…”

“Bagus! Itu artinya kamu sudah siap menikah dengan anakku esok lusa, kamu sudah sadar dan menerima siapa kamu serta apa posisimu sekarang. Jujur saja, aku akan jauh lebih lega kalau kamu akhirnya dapat menikmati hidup bersama anakku, Dudung.” Kata Pak Bambang. “Tapi kalau melihatmu dengan baju itu, sayang sekali rasanya harus memberikanmu pada Dudung… kamu terlihat sangat cantik dengan baju pengantin.”

“Terima kasih atas pujiannya, tapi…”

“Tidak perlu takut seperti itu, aku tidak akan menyentuhmu hari ini. Aku masih lelah. Kecapekan gara-gara kemarin sore meniduri sekretarisku yang baru. Aku tidak ingin penyakit punggungku kumat gara-gara kebanyakan meniduri wanita cantik yang mengantri, walaupun harus kuakui, tubuhmu yang indah itu benar-benar menggiurkan.” Kata Pak Bambang sambil menjilat bibirnya.

Dina mengeluarkan nafas lega, sepertinya dia selamat kali ini.

“Tapi tidak ada salahnya kalau kamu ingin memuaskan calon ayah mertuamu dengan seponganmu yang nikmat itu.” lanjut Pak Bambang. Dina yang tadinya sudah lega kini menunduk kesal dan mengumpat, sekali bejat ternyata tetap bejat, dasar laki-laki tua busuk! Melihat Dina kesal, Pak Bambang tersenyum puas dan kembali menambahi. “Sangat tidak sopan kalau kamu tidak menyuguhkan hidangan yang menarik untuk calon mertuamu, kan, Mbak Dina?”

Dina mengangguk sambil menggemeretakkan gigi menahan jengkel.

Pak Bambang duduk dengan jumawa di tepi ranjang Dina. pria tua itu lalu membuka celananya dan mengeluarkan kemaluannya dari dalam celana dalam tanpa rasa risih sedikitpun. “Dihisap-hisap sedikit saja.” Katanya sambil menyunggingkan senyum tanpa dosa. “Seperti biasanya.”

Senyuman yang sangat menjijikkan dan membuat harga diri Dina jatuh ke dasar lantai terbawah. Si cantik itu terhina sekali namun tak bisa melakukan apa-apa, dia harus melakukan apapun yang diminta Pak Bambang.

“Kamu punya wajah yang sangat cantik,” kata Pak Bambang, “bibir yang indah…”

Dina tidak ingin mendengar kata-kata gombal dari kakek tua itu lebih panjang lagi, dia tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan langkah pelan ibu muda yang cantik itu berjongkok di hadapan calon ayah mertuanya, perut Pak Bambang yang gemuk menggelambir membuat Dina muak, tapi dia harus menahan diri agar tidak muntah di hadapannya. Pria tua itu sendiri kegirangan melihat Dina sudah siap mengulum kemaluannya.

Dengan jari jemari lentik yang terawat rapi Dina mengangkat kantong kemaluan Pak Bambang dan memainkannya dengan lembut. Ketika tangan kirinya sibuk mengelus kantung Pak Bambang, tangan kanan Dina mengangkat batang kemaluannya. Jari jemari Dina yang sangat halus dan lembut membuat kakek tua itu harus menggigit bibir agar bisa menahan nafsunya yang menggelegak. Baru dipegang saja sudah nafsuin, apalagi nanti kalau sudah masuk ke mulutnya…

Wajah Dina kian mendekati penis Pak Bambang, entah kenapa makin lama dia semakin ingin mengulum kemaluan laki-laki tua itu. Dia malu pada dirinya sendiri karena tak mampu mempertahankan harga diri dan lemah pada nafsu birahi yang selama ini telah dilatih dan dibangkitkan oleh Pak Pramono. Kemaluan Pak Bambang tidak menarik, keriput dan terlihat tua, tapi seperti apapun bentuk penis Pak Bambang, Dina mau tidak mau harus menikmatinya.

Pak Bambang terus mengamati wajah cantik dan jari-jari lembut yang kini memegang alat vitalnya. Wajah Dina yang segar dan sangat cantik membuat laki-laki tua itu hampir-hampir tak tahan.

Dina melirik ke atas, menatap wajah Pak Bambang yang diselimuti nafsu birahi. Wajah laki-laki tua itu berkeringat deras, matanya terbelalak tajam seakan hendak keluar dari wajahnya dan air liur menetes pelan dari ujung mulutnya. Dina tahu pasti, wajah yang sedang menatapnya bukanlah wajah yang tampan, wajah itu adalah wajah seorang kakek tua bejat yang penuh nafsu dan berkuasa penuh atas dirinya.

Mulut Dina terbuka, lidahnya keluar dan dengan lembut ia menjilat bagian bawah batang kemaluan keriput milik Pak Bambang. Kakek tua itu bergetar karena nikmat yang ia rasakan. Ia menatap tajam mata indah milik Dina ketika ibu muda dua anak itu mulai memasukkan ujung gundul kemaluan Pak Bambang ke dalam mulutnya yang mungil dan perlahan menghisapnya.

“AAARRGHH!!!” teriak Pak Bambang. Kakek tua itu tak mampu menahan dirinya lagi, ia merasa tubuhnya melayang dan melambung tinggi ke awan, ia merasa dirinya bagaikan raja yang sedang dilayani oleh hambanya. Rasa nikmat yang ia rasakan tak terucapkan, penis tuanya yang lelah masih bisa diperlakukan dengan lembut oleh wanita terhormat seperti Dina. Pak Bambang memejamkan mata ketika lidah Dina mulai berputar di ujung kemaluannya.

Pak Bambang memang sering bermain cinta dengan wanita muda, dengan istri atau bahkan dengan anak gadis orang. Tapi nikmat yang ia rasakan tidak setulus ini, kelembutan wanita dewasa yang anggun seperti Dina membuat Pak Bambang merasakan nikmat yang luar biasa. Sementara bibir Dina terus bergerak mengulum dan lidahnya menjilat, Pak Bambang mengelus rambut indah Dina yang lurus sebahu dengan jari jemarinya yang gemuk. Kedua tangan Pak Bambang lama kelamaan menjepit kepala Dina dan menyorongkannya maju mundur seiring gerak hisapan si cantik itu. Dina tak melawan sedikitpun. Pak Bambang mulai menggerakkan kepala Dina dengan cepat, mendorong kemaluannya masuk ke kerongkongan ibu muda yang jelita itu dan menariknya keluar, lalu mendorong masuk lagi secepatnya. Kakek tua itu melakukannya berulang dan semakin lama semakin cepat. Ia sangat menikmati kuluman bibir mungil Dina.

“Arrrggghhhh, …enaknyaaaa!!” kata Pak Bambang yang mulai kehilangan kontrol.

Dina tetap meneruskan sepongannya sementara Pak Bambang menggerakkan pinggulnya agar bisa melesakkan penisnya dalam-dalam ke mulut Dina. Jepitan tangan Pak Bambang di kepala Dina makin rapat dan dorongannya makin dalam, hal itu membuat Dina terbatuk-batuk.

“Aaaaggghh, aku mau keluar! Di dalam mulutmu! Aku mau keluarin di dalam mulutmu!” kata-kata itu diucapkan Pak Bambang sambil memejamkan mata dan menggemeretakkan gigi. “Yaaaaa!! Yaaaaaaaaaa…!!! Ahhhhhhhh!!!”

Tanpa basa-basi, kontol Pak Bambang menyemprotkan cairan kental ke dalam kerongkongan Dina seperti keran bocor. Dina harus berusaha menelan air mani kakek tua itu agar tidak tersedak. Semprotan kontol keriput itu hanya berlangsung beberapa detik, tidak terlalu lama dan tidak banyak.

Pak Bambang mengangkat kepala Dina agar wajah si cantik itu menatapnya. “Kamu cantik. Sungguh sangat cantik.” Pak Bambang tak pernah bisa menahan diri di hadapan wanita anggun yang jelita ini. Setelah tetesan terakhir mani kakek tua itu turun, Pak Bambang menarik kontolnya dari mulut Dina. Mulutnya tersenyum penuh kepuasan.

Dina berdiri dengan goyah, ia meneguk semua mani Pak Bambang agar tertelan ke perut, hanya itulah satu-satunya cara agar tidak tersedak. Tanpa menunggu Pak Bambang yang masih dibuai kenikmatan, Dina berjalan ke arah kamar mandi. Dia ingin berkumur dan membersihkan mulutnya yang kotor oleh penis peyot si kakek tua bejat. Pak Bambang mengawasi Dina yang melangkah pelan ke kamar mandi. Pantatnya yang bulat dan buah dadanya yang kenyal membuatnya meneguk ludah. Alangkah senangnya dia bisa memperoleh menantu seperti Dina yang bisa dipakai kapanpun dia mau.

Pak Bambang tertawa penuh kemenangan.

###

Hari sudah semakin siang, jam dinding di ruang tamu sudah berdentang sepuluh kali. Piring sarapan sudah dibersihkan oleh para pembantu, menyisakan beberapa buah gelas bersih dan satu pitcher minuman sari jeruk serta satu botol air putih mineral. Dina masih duduk bermalas-malasan di balkon ‘rumah’ barunya. Rumah yang kini ia tempati sangat besar dan mewah, mirip rumah-rumah yang sering ditampilkan di sinetron-sinetron lokal. Belum pernah seumur hidupnya ia membayangkan bisa tinggal di rumah sebesar ini, tapi apakah pantas semua ini ia raih? Apakah pantas semua ia dapatkan? Apakah pantas ia memperoleh semua ini dengan mengorbankan tubuhnya?

Dina mengelus bibirnya pelan, masih terasa di mulutnya – air mani Pak Bambang yang meleleh membasahi bibir dan pipinya. Walaupun baru kemarin ia melakukan oral seks dengan kakek tua bejat itu, tapi sampai sekarang ia tidak bisa melupakannya. Masih bisa dirasakannya penis keriput Pak Bambang keluar masuk mulutnya.

Dina memejamkan mata, mencoba menghapus semua kenangan buruk yang mengganggunya. Ia kehilangan cinta, ia kehilangan martabat, ia kehilangan harga diri, tapi demi kedua anaknya yang masih kecil, Dina tidak mau kehilangan kewarasannya. Entah di mana, entah kapan, Dina yakin, masih ada harapan.

Terdengar ketukan pelan di pintu kaca balkon, salah seorang pembantu menemui Dina dengan langkah tertahan. Gadis yang manis dan masih sangat muda, mungkin berasal dari desa. Dia berusaha sopan saat menemui Dina.

“Maaf, Bu. Tapi Pak Bambang ingin mengajak Ibu makan di ruang makan. Beliau juga berpesan agar Ibu mengenakan baju yang sudah disiapkan.” Kata sang pembantu.

Dina mengeluh kesal, mau apa lagi kakek tua itu sekarang? Dengan malas Dina masuk ke dalam kamar dan melihat baju yang sudah disiapkan oleh Pak Bambang tergeletak di atas ranjang. Ia sudah menduga kakek tua cabul itu memberikan baju yang sangat seksi. Baju yang diberikan Pak Bambang berupa rok terusan yang sangat ketat bila dikenakan. Ujung bagian bawah hanya bisa menutupi sampai ke paha, sehingga seandainya Dina membungkuk atau duduk maka selangkangannya akan terlihat jelas. Sementara itu atasan baju menutup dada agak rendah, baju ini tidak cocok dipakai dengan BH, karena memang difungsikan untuk mempertontonkan belahan sekaligus memamerkan kemolekan buah dada Dina. Baju yang sangat seksi dan merangsang, bukan baju yang pantas dipakai seorang ibu rumah tangga.

Sambil mendesah kesal Dina mengenakan baju pemberian Pak Bambang.

Dina melangkahkan kakinya dengan berat hati ke ruangan yang dimaksud sang pembantu. Ruangan itu berada di ujung villa, di lantai bawah. Saat Dina melangkah anggun menuruni tangga, beberapa orang pembantu Pak Bambang yang sedang membersihkan ruang tengah berdecak kagum melihat kemolekannya. Mereka tahu Dina cantik, tapi mereka kini jauh lebih kagum melihat keseksiannya. Ibu muda itu cukup pantas kalau berprofesi sebagai artis sinetron atau model pakaian dalam.

Dina membuka pintu ruang makan, melangkah masuk dan menutupnya kembali.

“Ah. Dina! Akhirnya datang juga!” sambut Pak Bambang dengan gembira.

Sambutan itu agak di luar dugaan Dina. Biasanya Pak Bambang jauh lebih tenang dan cool. Ia tidak mengira laki-laki tua itu akan menunjukkan perangai yang seperti ini.

“Ada perlu dengan saya, Pak?” tanya Dina sopan.

Pak Bambang mengayunkan tangan meminta Dina mendekat. Dengan langkah perlahan wanita cantik itu mendekati sang kakek tua. Ia melihat seorang laki-laki muda duduk di samping Pak Bambang.

“Perkenalkan. Ini Dudung, anak saya.” Senyum Pak Bambang terkembang. “Calon suami kamu.”

Dina terperangah.

###

Dudung Haryanto adalah putra Pak Bambang Haryanto. Banyak yang tidak menyangka kalau orang cerdas dan licik seperti Pak Bambang memiliki anak idiot seperti Dudung. Walaupun keberadaannya disembunyikan di sebuah tempat terpencil seperti villa yang kini ditempati pula oleh Dina, tapi sebenarnya Pak Bambang sangat menyayangi putranya ini. Pak Bambang bahkan ‘membeli’ Dina untuk disandingkan dengan Dudung walaupun wanita cantik itu juga menjadi obyek pemuasan nafsu birahinya.

Saat berhadapan dengan Dina, Dudung tidak berani menatapnya langsung, pemuda itu hanya menunduk malu tanpa berani sedikitpun mengangkat kepala. Walaupun kecantikan dan keseksian Dina membuat kejantanannya bergolak dan membuatnya melirik sedikit demi sedikit.

“Dina,” kata Pak Bambang sedikit ketus, wajahnya terlihat sangat serius, “cepat beri salam pada calon suamimu.”

Dina mendekati Dudung dan membungkuk sambil menawarkan jabat tangan. “Saya Dina.”

Dudung malah berbalik dan menjauhi Dina, ia tidak membalas jabat tangan ataupun salam perkenalan Dina. Dudung membungkuk sambil mengucapkan kata-kata yang tidak jelas dan sangat pelan.

Pak Bambang tersenyum lembut sambil mendekati anaknya yang menggumam tidak karuan. “Dudung, ini Dina. Calon istri kamu.”

Dudung masih tidak bereaksi.

“Dudung, ini Dina. Calon istri kamu. Cantik tidak?” ulang Pak Bambang.

Dudung masih terdiam.

“Dudung…”

“Ca-ca-cantik sekali.” Tiba-tiba saja Dudung menjawab. Kata-katanya terdengar berat dan terpatah-patah.

Walaupun begitu, tidak ada perubahan posisi, Dudung masih membungkuk dan menghindari bertatapan langsung dengan Dina yang berdiri di belakangnya.

Dudung bertubuh sedang, dengan rambut panjang yang acak-acakan. Wajahnya tersembunyi di balik rambut, namun Dina bisa melihat kalau Dudung adalah versi muda dari Pak Bambang. Keduanya mirip sekali! Hanya saja kalau Pak Bambang sangat gemuk, Dudung biasa-biasa saja. Yang jelas, Dudung bukanlah orang yang tampan. Tubuhnya membungkuk seperti udang dan gayanya berpakaian sangat aneh, seperti anak-anak. Kalau dilihat-lihat, mungkin Dudung dan Dina sebaya.

“Dudung?” tanya Pak Bambang sekali lagi.

Dudung kembali terdiam tak menjawab.

Pak Bambang berdiri, lalu menggandeng Dina mendekati Dudung. Ibu muda yang cantik itu masih belum tahu apa yang diinginkan Pak Bambang, tapi tiba-tiba saja… Pak Bambang menarik tangan Dudung dan meletakkannya di payudara Dina!

Dina menjerit lirih karena kaget.

Secara reflek Dina ingin melepaskan tangan Dudung dari dadanya, namun ketika dia hendak menepis tangan lelaki idiot itu, Pak Bambang menatapnya galak. Dina terpaksa menurut. Sial sekali… buah dadanya harus dikorbankan untuk menarik perhatian Dudung!

Pada awalnya Dudung tersentak, ia kaget dan menarik tangannya saat ditempelkan ke payudara Dina, apalagi si cantik itu tidak mengenakan bra sehingga tangannya bisa langsung merasakan lekuk keindahan buah dada Dina. Tapi ketika Pak Bambang mengulangi aksinya, Dudung tidak menolak. Walaupun masih malu dan tidak mau memandang ke arah Dina, tapi tangannya meremas dan menelusuri buah dada Dina yang kenyal dengan liar.

“Ungghhh…” Dina mendesah. Ada perasaan campur aduk dalam dirinya, antara sakit secara fisik dan bergairah secara khayal.

“Bagaimana, Dudung? Enak tidak?” tanya Pak Bambang pada anaknya yang masih malu-malu.

Dudung belum menjawab, tapi butiran keringat mulai deras membasahi wajahnya. Laki-laki dewasa yang masih seperti anak kecil itu kebingungan harus menjawab apa. Untuk sesaat Dina merasa kasihan pada Dudung, dia hanya menuruti apa yang diperintahkan oleh ayahnya yang bejat. Dudung tidak punya pendirian, harus selalu dibimbing.

“E-enak…” tiba-tiba saja Dudung menjawab.

Pak Bambang dengan kasar menarik dan membuka baju Dina, kedua balon buah dadanya kini terpampang dengan jelas di depan kedua lelaki itu. Dina menjerit ketakutan, tapi remasan tangan Pak Bambang di pergelangan tangannya membuat si cantik itu bungkam. Pak Bambang mendekati Dina dan membisikkan sesuatu ke telinganya.

Dina berbicara dengan nada bergetar. “D-Dudung… i-ini susu saya…”

Tiba-tiba saja Dudung berbalik! Cukup cepat bahkan, sampai-sampai Dina kaget dibuatnya. Kedua tangan Dudung langsung beraksi, meremas, memilin dan memutar-mutar buah dada Dina dengan liar. Kali ini Dudung beraksi tanpa bimbingan ayahnya dan tanpa rasa malu.

“E-enak… susu…” kata Dudung sambil menyeringai bahagia. “Susu… susu…”

Tanpa basa-basi Dudung nyosor ke dada Dina, menangkup puting susu Dina dengan mulutnya. Dengan buas, Dudung menyedot-nyedot pentil payudara Dina yang kuncup. Kelakuan Dudung persis seperti seorang bayi yang menetek pada bundanya.

“Aaaahh!!” Tubuh Dina bergetar, rasa nikmat dan geli membuatnya gelisah, enak sekali pentilnya dikulum-kulum laki-laki berbibir monyong seperti Dudung. Ukuran bibirnya yang besar membuat payudaranya seperti dioles oleh sepon besar basah yang mengitari balon buah dadanya. Entah harus senang atau malah risih, membingungkan Dina. Ia tidak ingin terlena oleh orang seperti Dudung, tapi ini enak sekali.

Tangan Dudung yang besar masih tak terhentikan, meremas dan memilin buah dada Dina sebelah kanan sementara mulutnya nyosor kesana kemari di dada kiri. Pak Bambang duduk di kursi yang agak jauh dan membiarkan anaknya menikmati keindahan payudara ibu muda yang cantik itu. Ini bukan pertama kalinya buah dada Dina menjadi sasaran laki-laki asing, namun entah kenapa Dina tidak ingin menghentikan Dudung menikmati tubuhnya. Entah kenapa pula Dudung bersikap sangat agresif sekaligus kebingungan, gerakannya patah-patah dan ragu-ragu, seperti seorang laki-laki penuh nafsu yang baru pertama kalinya mengenal payudara wanita.

Dudung menggerakkan bibirnya berputar liar di sekitar pentil susu Dina, lalu menangkupnya berulang, menghisap kenikmatan erotis yang diberikan oleh buah dada ibu muda yang cantik itu. Tangan Dudung tidak tinggal diam, bergerak bebas menyusuri perut dan pinggang Dina, menambah sensasi erotis bagi mereka berdua. Dina hanya bisa mendesah-desah menahan perasaannya. Ia menutup mata sambil menggigit bibir bawah untuk mempertahankan diri.

Sayangnya lama kelamaan Dudung berubah menjadi semakin buas, sedotan bibirnya pada payudara Dina mengencang dan menguat, cenderung menggigit. Karena gemas, Dudung juga mencubit puting dan meremas buah dada Dina kuat-kuat, tentu saja rasanya sakit sekali.

Dina berusaha bertahan, tapi ketika Dudung menggigit puting payudaranya, wanita cantik itu tak kuat lagi, ia menjerit kesakitan. “Aaaaahhh!!”

Rasa sakitnya tak tertahankan, gigitan Dudung meninggalkan bekas memerah di sekitar pentil Dina. Karena kaget mendengarkan teriakan Dina, Dudung melepaskan gigitannya dan melompat mundur.

“Maaf! Maaf! Maaf! Maaf!” ulang Dudung berulang-ulang, wajahnya ketakutan sekali.

“Ti-tidak apa-apa…” Dina berusaha meraih Dudung yang ketakutan, ia khawatir Pak Bambang akan tersinggung melihat Dudung ketakutan seperti ini.

Benar saja, pria tua itu bangkit dari kursinya dan mendekati Dina dengan penuh amarah.

PLAAKK!!

Pipi kanan Dina memerah karena tamparan keras Pak Bambang. Wajah pria tua itu berubah sadis, rahangnya mengeras. “Dengar baik-baik, pelacur brengsek! Aku tidak peduli sekalipun pentilmu itu putus digigit anakku! Pokoknya apapun yang dia mau, bagaimanapun caranya, harus kamu berikan! Mengerti?! Jangan sekali-sekali membuat dia kaget atau takut!”

“Tapi… tapi…” Air mata Dina mengalir, ia menutup dadanya yang telanjang dan menggigil ketakutan.

“TIDAK ADA TAPI!” bentak Pak Bambang. Tangannya sudah diangkat, bersiap menampar sekali lagi.

“Ja-jangan!”

Pak Bambang dan Dina sama-sama terkejut. Belum sampai Pak Bambang menampar Dina, Dudung sudah menahan tangan sang ayah. Rupanya ia tidak ingin Pak Bambang menyakiti Dina.

“Jangan. Jangan. Jangan…” Dudung menggelengkan kepala berulang kali. “Jahat. Jahat…”

Pak Bambang menurunkan tangannya dan mendesah, ia mengeluarkan nafas panjang dengan berat hati. Tangannya yang gemuk membelai rambut Dudung dengan penuh rasa sayang. Wajahnya berubah menjadi lembut. Dina akhirnya mengeluarkan nafas lega, dengan takut-takut ia meninggalkan Pak Bambang dan Dudung berdua di ruang itu. Beruntung, keduanya tidak mempedulikan kepergian Dina. Ibu muda yang cantik itu segera lari ke kamarnya yang berada di atas.

Dina hanya bisa menangis.

###

Dina tidak ingin hari pernikahannya tiba, tapi tidak ada satu orangpun di dunia ini yang bisa menghentikan atau memutar waktu. Mau tidak mau, terpaksa atau tidak, hari ini, dia akan menikah dengan Dudung.

Awalnya Dina takut dan kecewa setelah melihat penampilan Dudung yang kurang mengesankan, tapi kebaikan hatinya mengagetkan Dina. Ia menghentikan Pak Bambang sebelum ia menampar Dina, itu membuktikan walaupun Dudung bodoh dan idiot, ia bukanlah orang yang jahat. Ada sedikit rasa tenang di batin Dina, kalaupun ia terpaksa menikahi seorang lelaki idiot, setidaknya ia menikah dengan orang idiot yang baik.

“Bagaimana, Mbak Dina? Sudah?”

Dina tersadar dari lamunannya. Ia sedang berada di kamar dan sedang dirias oleh penata rias pilihan Pak Bambang, wajahnya kini terlihat sangat cantik, ia bagaikan seorang artis yang sedang melakukan pernikahan di sinetron atau film, cantik sekali. Seandainya nanti sudah dipadu dengan gaun pengantin yang indah dan mewah, Dina akan tampil sempurna bagaikan seorang ratu.

“Bagaimana menurut Mbak Dina, sudah cukup riasannya?” tanya penata rias itu untuk kedua kalinya.

“I-Iya… sudah…” jawab Dina sambil memperhatikan dirinya di dalam cermin. “Terima kasih.”

“Mbak Dina ini cantik sekali, jadi saya tidak perlu mendandani terlalu berlebihan, semua riasan saya hanya untuk memperjelas kecantikan Mbak Dina saja.” Kata penata rias itu lagi, sedikit terlalu cerewet. “Saya iri sekali, bisa-bisanya Mbak Dina punya kulit yang halus, wajah cantik dan rambut yang sesempurna ini. Wah, kalau saya, bukannya Mas Dudung, saya lebih pilih bintang sinetron, penyanyi band terkenal atau pengusaha kelas atas sebagai suami saya, Mbak. Ah, tapi itu kan saya ya… bukan Mbak Dina. Nah, sekarang… kita pakai gaun pengantinnya, ya?”

Dina hanya bisa tersenyum lemas mendengar komentar jujur dari sang penata rias, seandainya bisa memilih, ia tidak akan memilih Dudung.

Sebelum gaun dipakai, tiba-tiba saja pintu kamar Dina terbuka dan sosok seorang lelaki tua yang gemuk masuk ke dalam. Rupanya Pak Bambang yang datang, entah apa maunya. “Kalian sudah selesai?”

Sang penata rias mengangguk dan menghampiri Pak Bambang. “Sudah, Pak. Hanya tinggal menata rambut dan memakaikan gaunnya saja. Mbak Dina ini cantik sekali, jadi riasan saya cukup sekedarnya, wajahnya sudah sempurna dan…”

“Ya sudah, kamu keluar dulu sana, saya ingin bicara dengan Dina.” kata Pak Bambang ketus. Mata lelaki tua itu melirik ke arah beberapa orang asisten sang penata rias, ia membuka pintu lebar-lebar, menyuruh mereka semua keluar. “Saya ingin bicara dengannya sendiri. Nanti kalau sudah selesai, kalian boleh masuk lagi.”

Tak perlu diminta untuk kedua kalinya, sang penata rias dan asistennya berbondong-bondong pergi ke luar meninggalkan Pak Bambang dan calon menantunya di dalam kamar. Mereka semua takut pada pria tua yang sangat kaya dan berkuasa ini.

Dina berpura-pura membenahi bedak di wajahnya untuk menghindari bertatapan mata langsung dengan Pak Bambang.

“Dina.” panggil Pak Bambang.

Dina menengok ke arah Pak Bambang dengan malas. “Ya?”

“Sebentar lagi kamu akan menikah dengan anakku, ijinkan aku mencicipimu untuk yang terakhir kali sebelum kamu menikah.”

Mata Dina terbelalak kaget.

“Angkat rokmu tinggi-tinggi dan buka celana dalammu, ini tidak akan lama.”

Tubuh Dina bergetar ketakutan. Sekarang? Bandot tua ini hendak menyetubuhinya sekarang? Beberapa jam sebelum pernikahan dengan anaknya dimulai?

“Buka!” Pak Bambang maju mendekati Dina yang ketakutan.

Ibu muda yang cantik itu kebingungan mencari beribu alasan, tapi mulutnya tercekat, tak sepatah katapun keluar dari bibirnya.

Apa yang harus dilakukannya? Sebentar lagi dia akan menikah!

###

Tempat pernikahan telah tertata, Dudung duduk sendiri di tengah ruangan. Beberapa orang saudara mengitarinya dan menyiapkan tempat duduk.

Dudung melihat ke arah jam tangannya berulang-ulang kali, ia gelisah sekali, mana ayahnya? Kenapa tidak turun-turun? Ia tidak suka kalau ada banyak orang yang mengerumuninya seperti sekarang ini, ia tidak suka. Mana ayahnya? Dudung menggerakkan kerah bajunya dengan sebal. Baju ini tidak enak dipakai, terlalu ketat, terlalu panas, ia tidak suka. Ia ingin pakai kaos saja. Mana ayahnya?

Dua orang pembantu yang kebetulan berada di dekat Dudung saling berbisik.

“Mana Pak Bambang? Mas Dudung sudah gelisah tuh.”

“Katanya sih tadi ke atas, nyari Mbak Dina.”

“Nyari Mbak Dina? Bukannya Mbak Dina baru dandan juga? Emang Pak Bambang mau
ngapain?”

“Ngapain lagi coba? Ya pengen itu…”

“Astaga! Sekarang?”

“Iya. Sekarang.”

“Gila. Bener-bener gila. Kasihan sekali Mbak Dina.”

Hubungan Dina dan Pak Bambang memang sudah menjadi rahasia umum, terutama di kalangan karyawan-karyawan kakek tua itu. Kebanyakan dari mereka menyayangkan kemolekan Dina yang tersia-sia karena harus melayani bandot tua seperti Pak Bambang. Hampir semua karyawan bersimpati pada Dina.

###

Keringat Dina bercucuran, bola matanya yang indah berulang kali mengawasi jam dinding yang berdetak pelan di atas dinding.

“Ja-jangan lama-lama…” bisik Dina. “Ki-kita sudah ditunggu… ah!”

Pak Bambang tidak menanggapi kata-kata Dina, ia putar tubuh calon menantunya itu agar menghadap ke arah dinding dan membelakanginya. Dengan gerakan ringan laki-laki tua yang sudah dilanda nafsu syahwat itu mengangkat rok Dina, lalu menarik celana dalamnya tanpa basa-basi. Celana dalam Dina yang mungil merosot ke bawah melewati kakinya yang jenjang dan indah. Pantat bulatnya yang putih kini tinggi menantang sang pria tua.

“Ja-jangan…” desah Dina lagi.

“Jangan apa?” kali ini Pak Bambang menanggapi dengan nada ketus. Pria tua itu sedang melucuti celananya sambil menikmati keindahan bibir kemaluan Dina yang terlihat jelas di selangkangan sang calon menantu. “Buka kakimu lebar-lebar!”

Dengan gerakan patah-patah dan gelisah, Dina membuka kakinya. Tubuhnya bergetar, sebagian karena takut, sebagian lagi mengantisipasi kalau-kalau Pak Bambang melesakkan kemaluannya tanpa pemanasan.

“Jangan apa?” ulang Pak Bambang.

“Ti-tidak…” Dina menggelengkan kepala dengan takut.

“Buka kakimu! Lebih lebar!”

Karena takut, tanpa sadar Dina malah menutup kaki dan mengunci selangkangannya. Hal ini tentu saja membuat Pak Bambang jengkel. Dia menampar pipi pantat Dina keras-keras!

PLAKK!! PLAKKK!! PLAKKK!!

Dina yang takut dan kesakitan membuka kembali kakinya, memberikan akses pada Pak Bambang untuk bisa segera melanjutkan niatnya. Tubuh Dina bergetar ketika tangan-tangan Pak Bambang mulai menyentuh dan meremas pantatnya. Lalu…

“HNGHHHHH!!!” Dina memejamkan mata dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Sakit! Sakit sekali rasanya!

Tiba-tiba saja Pak Bambang melesakkan kemaluannya! Tanpa pemanasan dan tanpa aba-aba! Liang kenikmatan Dina belum sepenuhnya mengeluarkan cairan pelumas sehingga masih kering dan rapat. Penis Pak Bambang yang mendesak masuk membuat Dina sangat kesakitan!

“ANNGHHH!! Sakit!!!” desah Dina, ia mengerang berulang, tubuhnya mengejang dan berontak. Tapi Pak Bambang sudah siap, ia erat mengunci tubuh Dina dan mendorongnya ke depan – ke arah tembok. Karena tidak tahan, Dinapun menjerit. “Sakit!!! Sakit!!”

Pak Bambang tidak peduli, walaupun air mata menetes di pipi Dina dan merusak make-up tipis yang tadi dioleskan oleh penata rias, Pak Bambang tetap melaksanakan niatnya. Dengan ganas kakek tua itu memaju-mundurkan pinggulnya, menusukkan kemaluannya dalam-dalam ke memek Dina yang rapat. Kenikmatan bagi Pak Bambang, siksaan luar biasa bagi Dina.

Dina memejamkan mata menahan sakit, ia menggigit bibir, mencoba memberontak, merenggangkan kaki, tapi tidak ada yang bisa membuat permainan Pak Bambang jauh lebih nyaman baginya. Dia juga tak mungkin berteriak minta tolong karena tidak ada yang bisa menghalangi niat Pak Bambang menyetubuhinya. Setelah beberapa saat lamanya penis laki-laki tua itu keluar masuk liang kenikmatannya, Dina merasakan cairan pelumas mulai meleleh membasahi dinding vaginanya. Sayang sakit yang tak tertahankan masih terus terasa.

Pak Bambang menyetubuhi Dina dengan ganas, ia lepaskan semua penat yang ia rasakan dengan memanfaatkan tubuh calon menantunya yang aduhai. Semua cara ia lakukan untuk bisa meraih kepuasan tertinggi, ia meremas buah dada Dina, menciumi punggung dan tengkuk lehernya sembari berulangkali menghunjamkan batang kemaluan ke liang kenikmatan sang bidadari dari arah belakang. Tubuh ibu dua anak itu memang masih sangat sintal dan padat, menggiurkan sekali, tak rela rasanya Pak Bambang kalau dia harus menikmati keindahan tubuh Dina ini untuk terakhir kali. Walaupun resmi akan dinikahi Dudung, ia akan terus mencicipi kenikmatan sang bidadari setiap ada kesempatan! Kemolekan Dina terlalu sayang untuk dilewatkan!

Gerakan pinggul laki-laki tua gemuk itu makin lama makin cepat, ia memompa sekuat tenaga dengan gerakan bertubi, menumbuk memek Dina tanpa kenal henti. Untuk lelaki seumur Pak Bambang, hal ini sebenarnya luar biasa sekali, siapa sangka kakek tua gemuk itu masih punya tenaga ekstra?

Selagi kelaminnya bekerja keras, mulut Pak Bambang tak mau kalah, ia mencium dan menjilat bagian belakang leher dan telinga Dina, membuat bidadari itu merintih dihajar nafsu birahi. Rengekannya bagaikan musik yang merdu bagi sang lelaki tua, membuatnya semakin meningkatkan kekuatan tumbukan kontolnya pada liang kemaluan sang ibu muda. Walaupun awalnya kesakitan, namun lama kelamaan Dina bisa merasakan kenikmatan yang muncul dengan cepat.

“Paaaakkk!!!” jerit Dina tak kuat menahan nafsu birahinya yang mendesak keluar, matanya merem melek merasakan kenikmatan, tubuhnya bergetar dan bibirnya tak lelah mengeluarkan desahan. Ia ingin berteriak, tapi tak bisa. Kedua lengannya bertumpu ke dinding sementara calon mertuanya terus memompanya dari belakang, pipinya sampai menempel ke tembok dan berulangkali terhantam karena kuatnya dorongan dari belakang. Dina benar-benar tak kuat lagi, dia ingin teriak… “Paaaakk!!”

Pak Bambang merasakan tubuh Dina mengejang, kedua mata Dina naik ke atas dan hampir-hampir memutar ke belakang. Si cantik itu telah sampai ke ujung kenikmatannya. Kini giliran Pak Bambang, dia hampir sampai ke titik penghabisan, dia pastinya tak mau kalah. Gerakan laki-laki tua itu menggila, ia pompakan semua tenaganya, ia fokuskan pada kemaluannya.

“Harrrrghhh!!!!!”

Letupan sperma kental melesat ke dalam liang rahim Dina, berulang-ulang. Puas sekali Pak Bambang. Memek Dina yang tadinya sudah basah kini makin banjir oleh campuran cairan cinta mereka berdua. Pijatan liang kenikmatan pada penis Pak Bambang mulai mengendur, tubuh gemuk laki-laki tua yang kelelahan itu ambruk dan bersandar di punggung Dina.

Air mata tipis meleleh di pelupuk mata sang bidadari, Dina malu sekali. Dia tidak ingin diperlakukan seperti ini terus menerus. Tapi dia tidak bisa mengingkari kenikmatan yang ia rasakan, bagaimana mungkin ia mengaku terpaksa, kalau dia juga mencapai orgasme?

Pak Bambang menarik keluar kemaluannya dengan satu sentakan kasar, Dina sampai mendesis dibuatnya. Habis manis sepah dibuang. Setelah merasa puas, laki-laki tua itu berdiri dan memakai kembali celananya tanpa peduli pada Dina yang ambruk kelelahan. Air mani Pak Bambang meleleh dari sela-sela memek Dina, turun hingga sampai ke paha.

“Bersihkan dirimu, sebentar lagi kamu akan menikah.” Kata Pak Bambang ketus. “Besok kita lanjutkan lagi.”

Dina diam saja, dengan tenaga yang tersisa ibu muda yang cantik itu menyeret tubuhnya ke atas ranjang dan rebah di sana. Ia tak berkutik lagi karena lelah.

Ketika Pak Bambang melangkah keluar dari kamarpun, Dina tak beranjak.

Dina hanya bisa menangis tanpa suara.

###

Pak Bambang keluar dari kamar Dina dengan langkah kaki jumawa dan wajah yang sangat puas. Ia segera disambut penata rias dan para asistennya yang rupanya sudah menunggu sedari tadi.

“Bagaimana, Pak? Sudah selesai bincang-bincangnya?” tanya sang penata rias.

“Sudah. Sana masuk, bereskan yang tadi.” angguk Pak Bambang.

“Baik, Pak…” Sang penata rias melambaikan tangan mengajak para asistennya masuk ke kamar sementara Pak Bambang meninggalkan tempat itu.

“AH!” Sang penata rias menjerit!

Ia melihat Dina tertelungkup di atas ranjang pengantin dengan make-up berantakan dan baju yang acak-acakan. Calon pengantin itu nyaris telanjang!

Apa yang baru saja terjadi?

Apa yang Pak Bambang lakukan pada menantunya?

Sang penata rias rupanya belum mengetahui rahasia umum yang beredar di kalangan pembantu Pak Bambang.

Penata rias itu menjadi lemas karena harus mengulangi semuanya dari awal, terlebih lagi wajah Dina kini acak-acakan. Secantik apapun Dina, butuh waktu untuk mengembalikan semuanya seperti semula.

###

Matahari bersinar cerah, mendung yang menggantung sepanjang siang kemarin tidak nampak sedikitpun pagi ini. Awan yang berarak tipis tak mampu menghalangi terangnya sinar mentari yang menerawang menembus langit biru. Burung-burung berkicauan sepanjang pagi, mereka bertengger di ranting-ranting pohon mendendangkan pujian hari yang indah.

Villa besar milik keluarga Haryanto yang berdiri megah di atas bukit sejuk hari ini ramai oleh mobil-mobil mewah yang parkir di sepanjang halaman hingga ke jalan raya. Siapapun yang mengenal Bambang Haryanto, hadir hari itu di villa keluarganya yang megah. Tenda berwarna biru dan putih penuh hiasan digelar di halaman, meja penuh santapan lezat tak pernah sepi dikelilingi para tamu. Para tamu tidak tahu kalau Pak Bambang punya seorang anak yang sebelumnya tidak pernah terlihat di kota, tapi tahu-tahu sekarang akan menikah.

Hari itu adalah hari pernikahan Dudung Haryanto dan Dina Febrianti.

Prosesi pernikahan diadakan di ruang tamu di dalam villa. Pak Bambang duduk dengan santai di depan meja pernikahan sementara Dudung yang gembira tak mampu menutupi keceriaannya. Dudung yang sudah berjumpa dengan Dina bahagia sekali mendapatkan seorang pengantin wanita yang sangat cantik. Pak Bambang juga sama bahagianya, ia melakukan semua ini demi Dudung. Melihat putra yang paling dikasihi sekaligus paling memalukan itu bahagia membuat Pak Bambang menarik nafas lega dalam-dalam, tugas untuk merawat Dudung kini ia serahkan pada Dina.

Pak Bambang terkekeh sendiri kalau teringat dia baru saja mencicipi pengantin wanita yang cantik. Pasti butuh waktu agak lama bagi Dina untuk mempersiapkan diri lagi setelah Pak Bambang menyetubuhinya beberapa saat yang lalu. Petugas KUA yang sudah ditunjuk dan disuap oleh Pak Bambang duduk dengan tenang memeriksa semua berkas-berkas catatan yang ada di meja pernikahan.

Akhirnya, Dina datang diiringi kedua putranya yang membawa bunga dan saudara-saudara jauh Dudung. Wanita dewasa yang cantik jelita itu semakin nampak seksi dalam balutan baju pengantin berwarna putih tulang yang sangat indah. Kalau saja ada orang yang memeriksa, bercak-bercak pejuh Pak Bambang yang tadi bertebaran di sekujur paha dan selangkangan Dina mungkin saja menempel di baju pengantinnya. Si cantik itu hanya bisa membersihkan diri di beberapa bagian saja.

Dudung makin ngiler melihat calon pengantinnya datang, seksi sekali memang Dina saat itu. Langkah kakinya anggun memasuki ruang pernikahan. Walaupun kepalanya tertunduk dan wajahnya pucat, tapi semua orang yang berada di tempat itu setuju, Dina Febrianti menantu Pak Bambang adalah wanita yang sangat cantik dan seksi. Mereka juga sangat kasihan sekali melihat wanita secantik Dina disandingkan dengan pria seperti Dudung.

Dina duduk di samping petugas dari KUA, di depan Dudung.

Prosesi pernikahan dimulai.

###

Dina menangis. Ia menangis sejadi-jadinya.

Prosesi pernikahannya telah berlangsung dengan lancar tanpa gangguan dan kini namanya telah tertera resmi dalam buku penikahan dan catatan sipil sebagai istri dari Dudung Haryanto. Bukankah seharusnya ia bahagia? Sebaliknya, ia sakit hati sekali, ia merasa hancur, ia merasa kotor seperti seorang pelacur. Ia berharap Anton akan datang dan menghentikan pernikahan ini, ia berharap mantan suaminya akan datang dan menyelamatkannya. Tapi tak seorangpun datang untuk menyelamatkannya, tak ada seorangpun yang peduli, tak ada yang berani.

Dina tidak peduli kalau make-upnya berantakan dan wajahnya belepotan, ia tidak peduli kalau ia berubah menjadi jelek seperti orang-orangan sawah sekalipun. Ia hanya ingin pergi dari tempat ini bersama kedua anaknya dan kembali bersatu dengan Alya dan Lidya. Sayang semua itu tidak bisa ia lakukan, ia terjebak dalam genggaman laki-laki tua brengsek tapi kaya raya bernama Bambang.

“Mbak Dina? Mbak Dina ada di dalam? Mas Dudung sedang menunggu sendirian di luar, kasihan dia, masih banyak tamu yang ingin bersalaman. Ayo cepat keluar!” panggil salah seorang saudara dari luar kamar mandi.

“I-iya… sebentar.” Jawab Dina terbata-bata. Buru-buru wanita cantik itu mencermati cermin yang ada di kamar mandi dan membenahi make-upnya yang berantakan karena menangis.

Tak lama kemudian, Dina keluar dari kamar mandi dan menemani Dudung yang masih terus menemui beberapa orang tamu. Beberapa kali Dudung berteriak-teriak ingin masuk ke kamar karena capek dan bosan, tapi Pak Bambang selalu melarang. Untunglah Dina keluar dan menemaninya, karena setiap kali bersanding dengan pengantin barunya, Dudung menjadi pendiam dan sangat sopan.

###

Lampu dinyalakan sedikit temaram, beberapa batang lilin dinyalakan di pojok ruangan, lagu-lagu lama yang melodius dan menyejukkan penuh syair cinta dinyalakan dari satu CD player. Ranjang besar sudah tertata rapi. Wangi bunga yang semerbak mengharumkan seisi ruangan. Kamar pengantin yang sempurna. Entah siapa yang telah merapikan ruangan ini, mungkin penata rias yang siang tadi mendandani Dina.

Dina duduk terdiam di ujung ranjang, ia sendirian.

Bukannya takut ataupun khawatir, tapi Dudung tak nampak batang hidungnya sejak acara tadi siang. Mungkin dia kelelahan. Dina juga sudah sangat lelah, baik pikiran maupun fisik. Menurut Dina akan lebih baik kalau Dudung tidak datang ke kamar pengantin malam ini. Dina akan sangat bahagia kalau diperbolehkan tidur sendiri tanpa harus melayani suami barunya. Dia tidak peduli ini malam pertama atau bukan.

Dina merebahkan diri ke atas ranjang, ia memejamkan mata, lelah sekali rasanya hari ini, banyaknya tamu yang datang membuat Dina harus selalu tersenyum dan memasang wajah bahagia. Ia lelah harus berbohong sepanjang hari, apalagi vaginanya masih terasa nyeri karena diperkosa Pak Bambang pagi tadi.

Lalu, ketika Dina merasa aman, pintu kamarnya terbuka. Satu sosok masuk ke dalam dengan langkah ragu. Pintu kamar ditutupnya.

“Di… Dina?” bisik suara asing itu selembut mungkin.

“Mas Dudung?”

“I… Iya… Dudung.”

Dina bangkit dari tidurnya. Tapi sosok Dudung tetap tidak bergerak, pria itu masih berdiri di dekat pintu, seakan-akan takut mendekat ke ranjang. Dina menunggu dan duduk terdiam di atas ranjang.

Dina menunggu.

Dan menunggu.

Masih menunggu.

“Mas Dudung?”

“I… Iya?”

“Kenapa berdiri di situ terus? Mas Dudung mau tidur kan?”

“I… Iya…”

Masih dengan langkah ragu, Dudung bergerak maju ke arah ranjang. Ia duduk di tepi pembaringan, dengan tubuh membelakangi Dina.

Dina duduk menjauh, dia hanya berharap laki-laki bodoh ini sudah terlalu lelah sehingga mereka tidak perlu bermain cinta.

“Mas Dudung capek?”

“Iya…”

“Mas Dudung mau tidur?”

Dudung menggelengkan kepala dengan semangat.

“Katanya capek?” tanya Dina. “Kalau capek tidur saja, ya?”

“Ka-kata bapak… Du-Dudung… Dudung harus masukin kontol ke memek Dina sebelum tidur… boleh?”

Dina terhenyak, dasar kakek tua, tidak bisa membiarkannya beristirahat dengan tenang!

“Iya… tentu saja boleh, kita kan sudah suami istri? Tapi aku lelah sekali… kita bisa melakukannya besok. Hari ini kita tidur saja, ya?”

“Ka-kata bapak… Du-Dudung… Dudung harus masukin kontol ke memek Dina sebelum tidur…”

Dina jengkel. Wanita cantik itu akhirnya merebahkan diri tanpa mempedulikan Dudung. Dia ingin tidur! Kalau Dudung ingin menidurinya, maka dia akan meniduri wanita yang sudah tidur. Dina memejamkan mata dan membiarkan Dudung terdiam di tepi ranjang. Dina heran juga, walaupun bodoh – Dudung sepertinya tahu apa fungsi alat vital laki-laki dan perempuan. Dasar, anak bapak sama saja, batin Dina menggerutu.

“Ka-kata bapak… Du-Dudung… Dudung harus masukin kontol ke memek Dina sebelum tidur…” ulang Dudung lagi. Kali ini Dudung tidak diam saja, dia bergerak dan mendekati Dina yang berusaha untuk tidur. Dengan gerakan patah-patah karena takut akan mengganggu Dina, Dudung mulai membuka baju Dina.

Dina yang tidak tahu harus berbuat apa terdiam ketika Dudung membuka baju dan celananya. Dina diam tanpa perlawanan, ia seolah berubah menjadi boneka yang pasrah dilucuti busananya. Walaupun bodoh, tidak perlu waktu lama bagi Dudung untuk menelanjangi Dina.

Setelah selesai melepas semua pakaian Dina, Dudung melucuti pakaiannya sendiri. Telanjang dan tersenyum polos, Dudung membungkuk di antara selangkangan Dina, batang kemaluannya yang ukurannya luar biasa besar menggelantung di bawah, siap disentakkan ke dalam memek Dina. Dudung mencoba merenggangkan kaki Dina, ia menikmati pemandangan indah yang dipamerkan bibir vagina ibu muda yang cantik itu.

“Mas Dudung…! Apa… apa yang…?” Dina menjerit tertahan, dia berusaha melepaskan diri dari pelukan Dudung, setelah sekian lama, akhirnya Dina sadar. Betapa terkejutnya Dina ketika dia melihat ukuran alat kelamin Dudung yang menggantung. “Jangan, Mas!”

“Kenapa… kenapa Dudung tidak boleh? Apa gara-gara punya Dudung besar? Dina takut? Nanti Dudung paksa supaya bisa masuk…”

“Jangan! Ya Tuhan! Jangan… jangan kamu paksakan!” kata Dina kebingungan, bagaimana caranya menolak laki-laki bodoh ini? “Aku tidak bisa… aku… punyaku sempit sekali… punya Mas Dudung besar sekali… tidak bisa masuk! Punyaku tidak bisa menerima barang sebesar itu!”

“Tapi… tapi… tapi Dudung tidak tahan! Du… Dudung mau… mau… mau memasukkan ini… ke situ…” kata Dudung terpatah-patah, kepalanya menggeleng dan mengangguk dengan gerakan patah-patah. Pria bodoh itu menunjuk ke arah kontolnya sendiri lalu menunjuk ke bibir vagina Dina. “Du-Dudung mau… Dudung kepingin… Dudung… Dudung tidak mau menyakiti Dina, beneran… pasti enak… beneran. Dina cantik. Dina mau kan?”

Dina menggeleng, dia berusaha mendorong Dudung agar menjauh. Tapi pria bodoh itu diam tak bergeming. Secara tak sengaja Dina melihat wajah Dudung. Betapa kagetnya Dina melihat wajah laki-laki itu. Dudung terlihat sangat sedih dan terpukul, wajahnya memerah dan siap menangis. Melihat perubahan wajah Dudung membuat Dina menghentikan dorongannya.

Dudung sesunggukan, ia menyingkir dari atas tubuh Dina dan duduk di tepi ranjang.

Dina terdiam.

Di hadapannya kini, seorang pria dewasa tengah terisak-isak karena penolakannya, sangat berbeda dengan ayahnya yang pernah memaksa dan memperkosa Dina. Kenapa Dina menolaknya? Apa yang telah terjadi pada Dina bukanlah kesalahan Dudung… apalagi Dudung telah resmi menikahinya, sehingga sebenarnya dia berhak atas tubuh Dina.

Dina menundukkan kepala, berpikir keras sementara Dudung masih sesunggukan.

Dengan satu desahan panjang Dina menggeleng kepala dan menepuk pundak Dudung. Dia yakin akan menyesali keputusannya ini…

“Kamu mau melakukannya, Mas? Sekarang?” Dina memandang ke arah Dudung dengan pandangan mata pasrah. Dudung terhenyak kaget, ia menghapus air mata yang mengaliri pipinya. Dina bertanya lagi, “Kenapa? Kenapa kamu ingin melakukannya denganku, Mas?”

“Du-Dudung mau karena… karena… karena Dudung suka Dina. Dina cantik.”

“Kamu suka sama aku, Mas? Suka atau sayang?”

“Dudung sayang Dina. Dina cantik… Du-Dudung tidak mau menyakiti Dina. Janji! Tidak sakit… Dina pasti senang. Pasti…” wajah Dina yang cantik bersinar membuat Dudung makin bersemangat, dalam keluguan dan kebodohannya ia tidak sadar bahwa ia mungkin mencintai Dina sejak pertama kali bertemu dengannya.

Dina tidak bisa melepaskan pandangan dari benda menggantung yang ada di selangkangan Dudung, ukurannya, bentuknya… ah! Bagaimana mungkin ia bisa tertarik pada alat vital Dudung? Apakah dia akhirnya bersedia digauli Dudung karena kasihan dan terpaksa, atau karena dia ingin segera merasakan batang kemaluan Dudung itu di dalam memeknya?

Dina tahu dia tak akan pernah bisa menjelaskan pada siapapun, bagaimana dia bisa tertarik pada manusia aneh bernama Dudung ini. Dorongan seksual menggebu dalam batinnya menjadi gairah liar tak tertahankan yang mengurung perasaannya sendiri. Dina hanya mengangguk pasrah pada pria idiot yang berdiri tegak di hadapannya. Ibu muda yang cantik itu bahkan membuka kakinya lebar-lebar, mengeluarkan desahan mesra penuh irama kala batang kemaluan raksasa milik Dudung menyentuh paha bagian dalamnya. Sentuhan ringan ujung gundul kemaluan Dudung mengalirkan sensasi dahsyat ke seluruh bagian tubuh Dina, melejitkan nafsu birahinya sampai ke tingkat yang tak terkatakan. Dina hanya terdiam, memejamkan mata dan menunggu.

Dudung yang bodoh tidak tahu bagaimana caranya membuai seorang wanita, dia tidak mengerti bagaimana caranya melakukan permainan cinta sejati. Dia tidak tahu bagaimana melakukan pemanasan. Dudung mengulurkan jarinya ke dalam selangkangan Dina, membiarkan jarinya masuk dan mencubit bibir kemaluan sang istri yang berwarna merah jambu, dia melakukannya dengan kasar – tanpa mengelus dan tanpa rabaan.

Dina melonjak kaget ketika jari-jari Dudung yang ukurannya sangat besar mengobrak-abrik pukinya yang kini mulai basah. Dina malu pada dirinya sendiri, Dudung belum melakukan apa-apa tapi kemaluannya sudah mulai basah. Hanya dengan melihat penis Dudung yang besar itu, Dina tak mampu menahan nafsu birahinya. Dudung sendiri sekarang mulai maju, penisnya yang mengeras bagai baja seperti tak sabar ingin segera menjajah liang kenikmatan milik Dina. Wanita cantik itu sendiri juga tak sabar, ia ingin Dudung segera melakukannya, ia ingin penis itu segera masuk ke vaginanya yang dahaga. Tanpa ada seorangpun yang meminta, Dina mengangkat kakinya lebih tinggi, memberikan Dudung akses yang lebih bebas, si cantik itu telah menunggu.

“Ma… masukkan saja, Mas.” Desis Dina, tangannya mencengkeram dan kukunya menancap di pundak Dudung. “A… aku menginginkannya… berikan padaku… berikan pada istrimu ini…”

Kata-kata Dina bagaikan musik yang indah bagi Dudung, belum pernah ia mendapatkan seorang wanita yang mau ia perlakukan seperti ini sebelumnya. Senyumnya yang manis mengundang Dudung untuk segera melakukan apa yang mereka berdua inginkan. Dengan satu lolongan yang keluar dari mulut Dudung, kepala gundul kontol raksasa miliknya mulai masuk ke dalam liang kenikmatan Dina, sedikit demi sedikit, perlahan-lahan sekali.

Awalnya ujung gundul kemaluan Dudung hanya menyentuh bibir kemaluan Dina saja, walaupun begitu vagina si cantik itu sudah basah dan siap menerima serangan. Ketika Dudung benar-benar bersiap melesakkan kemaluannya, mata Dina terbelalak melebar. Ujung kontol Dudung dioles kesana kemari, bibir vagina, rambut kemaluan, paha dalam, seluruh bagian sensitif di sekitar memek Dina dirambahnya. Dudung tidak tahu mana yang enak dan mana yang tidak. Ia hanya mengamati perubahan wajah Dina saja. Lalu dengan satu hentakan pinggul yang kuat, pria bodoh itu memakukan batang penisnya ke dalam liang kenikmatan Dina yang elastis, merenggangkan dinding-dindingnya ke batas maksimal.

“Aaaaaaaaaahhhhh!!!” teriak Dina, gabungan rasa sakit dan kenikmatan yang dirasakannya tak terkatakan. Ia hanya bisa melolong tanpa daya. “Ooooohhhhhmmm… enaaaaaaakkkkghhhh…”

Luar biasa, kontol Dudung baru masuk hanya beberapa senti saja ke dalam memeknya, tapi Dina sudah melolong tak berdaya. Tubuh Dina bergetar hebat merasakan batang kemaluan yang kerasnya bagai kayu mulai dilesakkan ke dalam kemaluannya, diiringi dengan nafas yang kembang kempis, Dina mengangkat pinggul dan pantatnya agar Dudung lebih leluasa. “Terus… terus, Mas,” bisik Dina yang sudah tak mampu menahan diri lagi. “Tidak apa-apa… pelan-pelan saja… jangan -… jangan terlalu cepat…”

Dudung yang sudah sangat bernafsu tidak bisa mendengar kata-kata Dina, pria bodoh itu melanjutkan niat buasnya. Ketika penisnya ditusukkan, rasa sakit menyengat Dina. Si cantik itu mulai memukul-mukulkan tangannya ke pundak Dudung, perihnya tak tertahankan lagi, apa yang awalnya nikmat berubah menjadi rasa sakit yang luar biasa.

Tapi Dudung sudah terlanjur berubah menjadi pejantan yang buas tanpa ampun, saat itu tiba-tiba saja Dina merasa bodoh. Ia menyesal merasa siap menerima kemaluan Dudung yang sangat besar itu. Kini, batang yang keras bagai baja itu telah melesak masuk dan akan terus masuk sampai ujung terdalam. Siap tidak siap, mau tidak mau, Dina harus menahannya. Ukuran kemaluan Dudung yang besar seakan membuat dia hendak merobek bibir kemaluan Dina ketika penisnya ditanam dalam-dalam di memek sang istri.

“Gakkghhh!! Aghhh!! Ahhh!” Dina melenguh berulang, tenggorokannya tercekat. Rasa sakit yang tak tertahan membuatnya berontak secara reflek, namun sia-sia, Dudung sudah berubah menjadi makhluk mengerikan yang memangsa tubuhnya dengan buas. Tidak ada kata berhenti atau istirahat, Dudung melanjutkan niatnya, mengobrak-abrik memek sempit Dina dengan batang kemaluannya yang raksasa. Dina mengeluarkan air mata, sungguh dia tidak tahan, dia sudah mencakar, memukul, mendorong, tapi Dudung tetap memompanya. Teriakan Dina juga tak digubris. Si cantik itu berharap dia bisa segera pingsan, lebih baik tak sadarkan diri daripada merasakan sakit yang seperti ini.

“Ja-jangan menangis, Dina,” pinta Dudung dengan suara memelas, “…ka-kalau Dina diam saja, Dudung cepat selesai. Kalau diam saja, Dina pasti merasa enak, soalnya Dudung juga enak. Sebentar lagi selesai, janji! Jangan menangis… jangan menangis…”

Dina mendengarkan permintaan Dudung yang memelas itu dan membuka matanya. Pandangan matanya buram dan kabur karena baru saja menangis. Rasa sakit itu tidak seberapa… batin Dina, setelah semua yang terjadi… setelah pernikahannya dengan Dudung yang diawali tanpa dasar cinta, ini semua tak seberapa. Bukanlah Dudung yang bersalah, tapi ayahnya. Pak Bambanglah yang telah memaksa mereka menikah. Dina merasa tidak enak hati pada Dudung, pria ini tidak mengenal siapapun kecuali Dina dan Pak Bambang dalam hidupnya. Pria yang kesepian dan tak punya teman. Dia tidaklah sebodoh yang Dina kira, Dudung bahkan sangat cermat dan perhatian, walau kadang terlalu sensitif. Dudung memang bukan suami yang sempurna, tapi Dina bisa belajar mencintai. Ketika Dudung menusukkan lagi kemaluannya ke dalam vagina Dina, si cantik itu memilih memejamkan mata dan menggigit bibirnya tanpa mengeluarkan suara. Lebih baik dia yang kesakitan, daripada Dudung tahu rasa sakit yang ditimbulkan karena bersetubuh dengannya.

Batang kemaluan Dudung tidak berhenti berdenyut dan membesar, seakan-akan batang itu adalah balon gas yang terus membesar, bedanya kontol Dudung yang besar lebih mirip batang baja daripada balon gas. Kontol Dudung terus saja mendesak ke dalam bagian terdalam kemaluan Dina yang menolak kehadiran benda asing itu. Dudung mengira kalau dia sudah selesai menancapkan kontolnya, Dina akan merasa nyaman dan bisa menikmati permainan cinta mereka. Sayang tidak seperti itu keadaan sebenarnya. Dari gayanya — walaupun ada kesan malu-malu – Dina bisa memperkirakan kalau ini bukanlah pertama kalinya Dudung bermain cinta. Entah dengan siapa dulu dia bercinta… tapi bagi Dina sendiri, dari semua ‘lawan main’nya, barang milik Dudunglah yang paling besar.

‘Ampuuuun!’ batin Dina, sungguh dia bisa merasakan setiap senti desakan kontol Dudung dalam liang rahimnya. Kali ini, kemaluan Dudung amblas lebih dalam dari sebelumnya, tanpa ampun menusuk terus ke dalam, sakitnya terasa sampai ke perut si cantik itu. Batang penis Dudung yang keras bagai baja menjajah dan mengobrak-abrik dinding lembut memek Dina, mendesak ke dalam bagaikan paku. Dina tidak ingin berteriak lagi, tapi sungguh dia tidak tahan… dia tidak tahan kalau begini terus… dia tidak tahan kalau Dudung tidak berhenti!

Gaya permainan buas ala Dudung membuat Dina terombang-ambing tanpa daya, namun detik detik berikutnya hal yang mengejutkan Dina terjadi.

Dudung menggoyang penisnya dan memompa keluar masuk, sekali, dua kali, tiga kali… terus menerus tanpa henti! Dina mulai merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam benaknya… kenikmatan yang luar biasa. Terus… terus… terus… jangan berhenti… Dina tidak mau Dudung mengakhiri permainannya, enak… enak sekali… jangan berhenti…

Dina tidak percaya ini, setelah semua rasa sakit yang ia terima dan genjotan tanpa ampun dari Dudung, akhirnya ia menerima semuanya dengan penuh kenikmatan. Ia ingin Dudung melanjutkannya tanpa henti, Dina membuka kakinya lebar-lebar, ia ingin Dudung masuk lebih dalam! Lebih dalam! Ia percaya suaminya yang tidak begitu pintar ini ingin membuktikan kalau dia menyayangi Dina, mencintainya… sepenuh hati…

Tiba-tiba saja, denyutan batang kontol Dudung terhenti. Ujung gundul penis yang tadinya melesak ke dalam tiba-tiba saja terdiam. Dudung menarik batang kemaluannya dengan perlahan. Dina sudah bersiap melepas, ia merenggangkan kakinya dan memejamkan mata… tapi… tiba-tiba saja… dengan satu sodokan penuh tenaga, Dudung mendorong kemaluannya kembali masuk ke dalam!

“Aaaaaaaaaaaaahhhhh!!!” Dina menjerit kesakitan.

Seluruh batang kontol Dudung amblas ke dalam memek Dina, semuanya masuk ke dalam, dari ujung gundul sampai batas terbawah. Kantong kemaluan Dudung menampar bagian bawah bibir memek Dina sampai ke lubang anusnya. Ya Tuhan! Dudung benar-benar melakukannya… pria bodoh itu memasukkan semuanya sampai ke dalam!

“Sa-sakit?” tanya Dudung yang terkejut mendengar jerit kesakitan Dina.

“Sakit…” erang Dina.

Dudung memperlambat gerakannya. Wajahnya berubah, ia merasa bersalah.

“Ooooohhhh…” Dina melenguh perlahan.

Dudung mengubah gaya permainannya. Dia tidak sebuas seperti awal serangannya, dia kini lebih lembut, sepertinya pria bodoh itu mulai sadar kalau apa yang telah dia lakukan tadi menyakiti Dina dan kini ia berusaha memperbaiki kesalahannya. Dudung memegang lengan Dina dan mengelusnya lembut, bukannya berusaha memaksa kemaluannya masuk secara bertubi, Dudung kini menunggu agar Dina bisa menyesuaikan diri. Dengan sabar pria bodoh itu memperhatikan tubuh Dina mulai relaks dan bisa membiasakan diri dengan ukuran kemaluan Dudung yang memang di atas rata-rata lelaki Asia pada umumnya. Dudung tidak melakukan ini semua karena ia pintar, ia melakukannya secara refleks, intuisi laki-laki yang entah sejak kapan ia miliki.

Dina tidak percaya apa yang baru saja terjadi pada dirinya, seluruh batang kemaluan Dudung telah amblas! Masuk ke dalam liang kenikmatannya! Sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan olehnya… batang sekeras baja itu kini berada di dalam tubuhnya, masuk ke dalam liang rahimnya, menyodok seakan hendak mengoyak perut. Dina membuka mata dan menatap kekasih barunya dengan pandangan penuh pengertian, ia berusaha menyembunyikan rasa sakit yang masih dirasakannya, rasa sakit yang ditimbulkan oleh sesaknya desakan batang kejantanan Dudung di dalam vagina mungilnya.

Setelah gerakan lembut keduanya berinteraksi, otot-otot kemaluan Dudung yang tadinya lemas kini mulai mengeras kembali. Dina mengerang perlahan, ia takut Dudung akan menghentikan gerakannya kalau tahu dia kesakitan. Dengan sekuat tenaga, Dina berusaha bertahan, ia sampai menggemeretakkan gigi karenanya. Entah bagaimana Dudung merasa curiga, ia memperhatikan Dina, menunggu dan bergerak maju mundur kembali. Rasa sakit yang tadi begitu menyiksa Dina kini sudah mulai banyak berkurang, sekali lagi wanita cantik itu memaksakan senyum pada Dudung. Lagi dan lagi, luapan cinta keduanya saling bertumbukan, tersalurkan melalui tumbukan sebuah batang kemaluan yang sekeras baja. Dudung memperlakukan tubuh Dina dengan penuh kelembutan dan rasa sayang, ia bergerak pelan, memutar pinggul dan penisnya, menggiling kemaluan Dina dengan tumbukan yang sebisa mungkin tidak menyakitkan, sampai akhirnya dinding memek Dina yang elastis merenggang dan bisa menyesuaikan ukuran dengan kontol Dudung.

Dina merasakan kegairahan yang makin lama makin memuncak, membuatnya bingung dibuai kenikmatan yang tak seharusnya terjadi. Dina tidak mampu berpikir dengan jernih, tubuhnya terasa melayang ke atas awan. Ibu muda yang cantik itu membiarkan tubuhnya lepas, ia ikuti kemana saja suami barunya akan membimbing. Dina berharap perlakuan yang begitu nyaman dan enak ini tak akan pernah berakhir. Bidadari jelita itu membentangkan kakinya lebar-lebar, membiarkan lututnya membuka dan mengimbangi gerakan maju mundur suaminya yang idiot dengan hempasan pantat penuh nafsu. Wanita cantik yang tadinya jijik pada suaminya itu kini tergila-gila. Ia mengerang dan menjerit, membiarkan tubuh dan pikirannya terbebas.

Setiap hentakan yang dilakukan Dudung membuat Dina makin mabuk oleh kenikmatan yang diberikan suaminya. Kantung kemaluan sang pria idiot menumbuk kuntum liang anus sang istri tanpa kenal lelah sementara jembutnya yang lebat mencambuk kelentit Dina. Enak sekali rasanya. Sangat enak sekali.

Tiba-tiba Dudung berhenti dan menarik keluar kemaluannya. Dina menggeleng kepalanya keras-keras, dia lalu merubah posisi agar Dudung lebih nyaman, ia berbalik, merendahkan tubuhnya ke bawah hingga buah dadanya tergencet. Doggie style, siapa tahu Dudung menyukai posisi ini, ia berniat memuaskan Dudung sebisa mungkin, bukankah itu tugas seorang istrii? Permukaan karpet yang kasar merangsang pentil payudara Dina hingga menjorok ke depan. Dina mengembik penuh kenikmatan saat batang kemaluan Dudung yang sangat besar kembali melesat masuk ke dalam liang kewanitaannya tanpa bisa dihentikan.

Dina melejit nikmat ketika batang penis Dudung digenjotkan di dalam kemaluannya, wanita cantik itu tidak percaya penis raksasa milik Dudung bisa masuk ke dalam memeknya. Ia sudah pernah merasakan milik Anton, milik Pak Pramono dan milik ayah Dudung, tapi semua tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pria idiot yang kini telah resmi menjadi suaminya ini.

Ujung gundul penis Dudung mengoles-oles dinding dalam kewanitaan Dina. Belum pernah ada lelaki yang pernah melesakkan penis sedalam Dudung, nyeri dan sakit yang dinikmati oleh Dina bagaikan gadis yang sedang diambil keperawanannya. Si cantik itu menjerit-jerit dengan bingung, sebenarnya dia kesakitan atau malah keenakan. Saat ini Dina sudah tidak peduli lagi siapa sebenarnya Dudung, suami barunya yang idiot itu menyimpan keperkasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dina bagaikan seorang budak seks yang duduk berlutut dan membiarkan seorang pria bodoh menggenjot memeknya dari belakang, menanamkan nafsu birahinya dalam-dalam di liang kenikmatan yang diberikan oleh Dina. Setelah selama ini dipermainkan oleh pria-pria hidung belang, baru kali inilah Dina tahu bagaimana rasa nikmat yang sesungguhnya. Tidak ada pria yang bisa menandingi Dudung dalam hal memuaskannya, tidak ada. Dina tahu dia ingin selalu menikmati kebersamaan dengan Dudung seperti ini, dia ingin selalu di samping Dudung, Dina ingin selalu menghentakkan tubuhnya yang indah di atas penis tegak milik Dudung. Dina sudah dibuat terpukau oleh penis raksasa Dudung.

Dina tidak ragu sedikitpun. Ada sesuatu yang mendesak dan membuncah dalam hatinya yang membuat si seksi itu hampir-hampir gila karena nafsu birahi yang menggelegak. Dina ingin menghisap seluruh kemaluan Dudung dengan memeknya! Malu rasanya Dina mengaku pada dirinya sendiri kalau dia ingin terus menikmati batang penis laki-laki itu! Awalnya dia kalap dan panik ketika Dudung mendekati dan akhirnya menidurinya, tapi semua kini berbalik. Dia ingin menikmati permainan cinta dengan Dudung, dia menginginkan Dudung. Dia membutuhkan Dudung.

Kenikmatan dalam tubuh Dina makin lama makin memuncak menuju sebuah ujung yang tak ingin ia capai dengan cepat. Dina tahu inilah saatnya ia merasakan kenikmatan puncak itu! Kenikmatan yang tidak ia dapatkan dari mantan suaminya yang pengecut dan telah menjualnya. Dudung mengerang hebat dan Dina bisa merasakan batang penis suami barunya menegang dengan sangat keras di dalam liang kewanitaannya. Tak perlu waktu lama bagi Dudung untuk segera menyemprotkan air maninya yang putih lengket ke dalam memek wanita cantik yang kini sudah ia miliki itu.

Semprotan pejuh Dudung menggila di dalam memek Dina, memenuhi seluruh ruang liang kewanitaan sang istri hingga luber keluar, membasahi pinggul dan kantung kemaluannya sendiri.

Tanpa malu-malu Dina memutar-mutar pantatnya dan mengisi seluruh rahimnya dengan sperma kiriman Dudung. Si cantik itu tidak ingin permainan seks yang indah ini segera berakhir, dia ingin Dudung tetap menyetubuhinya selama mungkin. Tapi sekuat apapun Dina berusaha bertahan, dia tetap seorang wanita biasa. Dengan satu teriakan sekuat tenaga, Dina melepaskan seluruh kenikmatan puncak yang bisa ia rasakan, kenikmatan yang telah dihantarkan oleh seorang lelaki idiot yang ternyata bisa memuaskannya. Dina merasakan tubuhnya meledak akibat aliran sensasi erotis yang dilepaskan, si cantik itu lalu terisak-isak saat mengeluarkan seluruh kegembiraannya yang meluap-luap, sampai-sampai inti sari kehidupannya seakan ikut tersedot keluar.

Saat semua usai, kedua insan berbeda jenis itu ambruk terkulai tak berdaya.

Puas.

Dudung memeluk Dina dengan penuh rasa sayang.

Dina memejamkan matanya, ia benar-benar lelah, seluruh badannya terasa linu, tapi ia tidak akan memungkiri, rasa nikmat yang diberikan Dudung benar-benar berbeda. Dia jauh lebih perkasa dari pria manapun yang pernah menidurinya.

“Dina… masih… sakit?” tanya Dudung setelah terdiam lama. Matanya yang polos menatap Dina takut, ia tidak mau wanita cantik yang berada di hadapannya ini kesakitan. Ia sangat menyayanginya, ia merasa bersalah tadi sempat menyakiti Dina.

Dina tersenyum lembut sambil membelai rambut Dudung, “sedikit.”

“Dina sudah hamil?”

“Hah?” terkejut Dina mendengar pertanyaan Dudung. “Hamil? Maksud Mas?”

“Se-setahu Dudung… kalau sudah memasukkan ke dalam, terus selesai, terus hamil, terus punya anak.”

Dina tidak tahu apakah harus tertawa atau sedih mendengarnya. Dengan lembut Dina mengecup dahi Dudung. “Tidurlah, Mas…” bisiknya pelan. “Kalau hari ini gagal, besok kita coba terus sampai aku hamil…”

Dudung menurut, pria dewasa yang masih seperti anak-anak itu meringkuk dalam balutan selimut dan pelukan bidadari.

Dua orang yang kelelahan itu akhirnya terlelap.

###

Pak Bambang membalik kalender duduk yang ada di meja kerjanya, hari telah berganti, memasuki bulan baru. Tidak terasa cepatnya waktu berlalu, sudah tiga bulan lebih sejak Dina menikah dengan Dudung. Betapa enaknya punya menantu yang cantik dan seksi seperti Dina, tiap seminggu sekali, Pak Bambang selalu meminta Dina datang dan melayani nafsu syahwatnya. Seakan-akan Dina memiliki dua orang suami.

Dengan perlahan, laki-laki tua itu melangkah menuju jendela dan melihat ke luar. Di taman villa yang asri, Dina, kedua anaknya dan Dudung sedang berpiknik. Sejak kemarin Dina memasak roti kesukaan kedua anaknya dan membuatkan steak kesukaan Dudung. Entah bagaimana Dina bisa berbincang-bincang dengan Dudung yang idiot itu, tapi makin hari, Dudung terlihat semakin dewasa. Dia semakin terlihat normal. Ketelatenan dan keikhlasan Dina merawat Dudung lama kelamaan membuat Pak Bambang terharu.

Setelah apa yang telah dia perbuat pada Dina, setelah semua masalah yang bertubi-tubi ditimpakan pada wanita cantik itu, dia membalasnya dengan perbuatan yang mulia. Pak Bambang geleng-geleng kepala. Dalam hati kecilnya yang terdalam, dalam hati yang ternyata masih berperasaan, Pak Bambang mulai merasakan penyesalan.

Dudung bermain bola dengan kedua putra Dina, mereka tertawa dan bahagia. Dina bertepuk tangan dan tertawa lepas ketika kedua putranya berhasil mengalahkan Dudung. Kalau saja tidak mengenal Dudung, mereka terlihat seperti keluarga biasa saja. Keluarga yang bahagia.

Pak Bambang terbatuk.

Ia tersenyum melihat kebahagiaan Dudung dan bahagia telah menemukan wanita yang tepat untuknya. Mulai hari ini, Pak Bambang tidak akan memanggil Dina ke kamarnya lagi. Biarkan dia menjadi milik Dudung seorang. Semoga mereka berdua membangun kehidupan yang jauh lebih baik dari hari ini.

Pak Bambang kembali ke meja kerjanya.

###

Pak Bambang menyalakan lampu kamarnya dan duduk di depan meja kerja sambil memegang pena dan beberapa carik kertas kosong. Apa yang ia saksikan beberapa minggu belakangan ini telah mengubah semua pandangannya, ia tidak menduga kehadiran Dina akan membawa perubahan besar dalam keluarganya, terutama pada Dudung, tapi nyatanya itulah yang terjadi. Dudung berubah menjadi laki-laki yang lebih baik, lebih menurut dan pada saat-saat tertentu Pak Bambang yakin, walaupun Dudung bukanlah orang yang pintar, paling tidak ia bukan orang jahat seperti dirinya.

Semua itu berkat Dina.

Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Dina meladeni Dudung dengan penuh kesabaran dan telaten. Ia berharap Dina mulai luluh dan jatuh cinta pada putranya yang lugu itu. Dina bisa membuat Dudung melakukan hal-hal yang sebelumnya tak pernah ia lakukan dalam kemampuannya yang terbatas.

Semua berkat Dina.

Dina yang telah ia perkosa dan permalukan. Dina yang telah ia gagahi di depan suaminya sendiri. Dina yang ia paksa cerai. Dina yang ia paksa menikahi Dudung.

Bukannya dendam, Dina malah memberikan semua yang terbaik untuk Dudung dan keluarganya.

Pak Bambang terbatuk-batuk.

Akhir-akhir ini batuknya lebih terasa sakit di dada. Berat dan menyesakkan.

Pak Bambang menulis dengan tenaganya yang lemah sambil terbatuk-batuk. Sebuah surat yang panjang. Kalau ada yang bisa ia lakukan untuk Dina, mungkin inilah yang terbaik. Setelah semua yang ia paksakan pada Dina, mungkin inilah cara terbaik untuk membayarnya.

Pak Bambang meraih pesawat telepon di mejanya dan memencet beberapa tombol. Terdengar nada tunggu, lalu suara di ujung mengucapkan kalimat sapa.

Pak Bambang terbatuk-batuk sebelum berbicara. “Bud, ini aku, Bambang. Iya. Aku sudah menyelesaikan suratnya. Kelak bisa kamu ambil di tempat yang sudah kita janjikan di kamarku. Kalau bisa ajak juga Randy atau anak-anakku yang lain saat mengambilnya. Oke? Ya, begitu saja. Terima kasih.”

Pak Bambang meletakkan gagang telpon di tempatnya dan kembali terbatuk-batuk.

Pria tua itu tercenung ketika membaca kembali surat yang baru saja ia tulis.

Ia tersenyum dan sekali lagi terbatuk-batuk.

Kali ini batuknya mengeluarkan darah.

###

Pak Hasan sedang asyik membaca menonton acara televisi ketika telepon berdering. Jengkel juga dia diganggu malam-malam begini. Dengan langkah gontai orang tua itu berjalan menuju meja telepon dan mengangkat gagangnya.

Pak Hasan mengangkat telepon dengan malas, “Halo? Siapa ini?”

“Ini Dina, Pak. Lidyanya ada?”

“Ooh, Mbak Dina. sebentar, saya panggilkan Lidya ya.”

Dina menunggu sesaat di ujung telepon yang satu lagi.

Dalam hati, Dina iri pada Lidya. Rupanya Pak Hasan benar-benar betah tinggal di rumah adiknya itu, menemani sang menantu yang kesepian ditinggal suaminya saat sibuk bekerja. Baik benar mertua Lidya itu, tidak seperti mertuanya yang kalau malam malah menyuruh menantunya melayani keinginan bejatnya.

Seandainya saja Dina tahu.

Terdengar suara langkah kaki yang lari dan suara Lidya di ujung telepon, nafasnya kembang kempis. “Ha-halo?”

“Halo. Lidya? Ini Mbak Dina.”

“Eh? Mbak Dina!!! ini bener Mbak Dina??” Suara Lidya yang terkejut dan gembira terdengar sangat jelas di telepon. “Aduh, Mbak! Mbak Dina kemana aja? Aku sama Mbak Alya khawatir sekali! HP Mbak Dina dimatiin, HP Mas Anton juga. Telpon rumah nggak diangkat, rumah kosong… Mas Andi malah sudah menghubungi bagian orang hilang di kepolisian. Mbak Dina baik-baik saja kan? Mbak Dina kemana aja? Anak-anak bagaimana?”

“Semua sehat-sehat saja. Tapi…” suara Dina terputus.

Lidya mengerutkan kening. “Tapi apa, Mbak?”

“Ceritanya panjang. Terlalu panjang bahkan.” desah Dina. “Aku ingin bertemu dengan kalian, kamu dan Alya. Aku kangen sekali.”

“Sama, Mbak! Kami juga…” Lidya menghela nafas sejenak. “Aku kangen sekali, Mbak.”

“Jangan khawatir. Aku akan segera pulang. Semua akan baik-baik saja mulai sekarang.” Kata Dina penuh keyakinan. “Semua akan baik-baik saja.”

“Syukurlah kalau begitu, Mbak.”

Kedua wanita jelita itu menarik nafas lega, hampir bersamaan.

Angin sejuk berhembus membuai wajah Dina. Untuk pertama kali sejak berbulan-bulan, harapan yang tak pernah berhenti ia gantungkan, akhirnya datang juga kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Seperti kalimat yang ia ucapkan untuk menenangkan Lidya tadi, semuanya akan baik-baik saja. Dina yakin sekali.

###

Siapa yang bisa menduga nasib manusia? Kadang berada di atas kadang jatuh ke bawah, terdengar klise memang karena kata-kata tersebut selalu diulang dalam setiap pergulatan hidup manusia, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Hidup manusia seperti roda yang berputar. Kala seorang berada di bawah, dia selalu memimpikan puncak kejayaan yang berada di atas. Sebuah impian yang kadang bisa menjadi pemicu semangat untuk bergerak maju dan menggapai prestasi. Sayang kala dia sudah berada di atas, setelah meraih semua yang ia impikan, seorang manusia sering lupa pada semua hal yang mendukungnya, hal-hal kecil yang telah membantunya, semua harapan yang dipikulkan ke pundaknya. Ia lupakan semua yang telah membantu menapaki tangga kejayaan.

Bambang Haryanto dulunya adalah seorang pekerja keras, ia sempat bekerja sebagai tukang koran dan tinggal dari kontrakan murah ke kontrakan murah lainnya. Ia hidup sederhana dengan istrinya, seorang wanita sederhana yang berjualan gado-gado untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka dikaruniai beberapa orang anak, sayangnya anak yang paling bungsu dan paling mereka sayangi menderita keterbelakangan mental. Hal yang membuat hidup keluarga Pak Bambang semakin susah dan menderita. Tapi saat itu, Pak Bambang tak pernah berhenti berusaha dan mengeluh, sedikit demi sedikit mereka menabung, uang yang tidak seberapa ia gunakan untuk membeli barang dagangan di pasar dan dijual ke perumahan.

Lama kelamaan, karena jujur dan suka bekerja keras, banyak warga perumahan yang bersimpati dan membantu keluarga Pak Bambang. Warung gado-gado istrinya menjadi lebih besar dan laris. Pekerjaan demi pekerjaan serabutan diberikan pada Pak Bambang sampai akhirnya ia dipercaya menjadi karyawan sebuah perusahaan distributor yang sedang berkembang yang kebetulan dikelola oleh salah seorang warga perumahan. Berkat usaha kerasnya perusahaan tersebut sukses besar dan posisinya pun makin lama makin meningkat seiring prestasi dan jasanya pada perusahaan.

Berbekal pengalaman dan modal yang ia miliki, Pak Bambang mendirikan perusahaan sendiri. Berkat kerja keras dan relasi yang melimpah, Pak Bambang menuai sukses besar. Perusahaannya maju pesat bahkan mampu mengalahkan tempat kerjanya yang lama. Ia kini dikenal sebagai Raja Midas kecil, pengusaha yang punya sentuhan emas.

Sayang gelimang harta yang makin sering menghampiri tak mampu menyelamatkan nyawa istrinya yang terkena penyakit ganas. Setelah sempat menikmati sejenak kehidupan mewah, istrinya meninggal dunia. Hal ini sangat memukul Pak Bambang, ia begitu menyayangi istrinya yang setia. Rasa kehilangan yang amat sangat dirasakannya membuat Pak Bambang lupa diri, ia berubah menjadi lelaki dingin yang kejam.

Sepeninggal sang istri, Pak Bambang lalu menikahi banyak wanita dan terus memangsa gadis muda yang cantik sebagai pemuas nafsu birahinya. Ia kucilkan anaknya yang idiot di sebuah villa terpencil karena malu atas keberadaannya. Ia gusur perumahan yang dulu menjadi tempatnya mencari uang untuk didirikan kompleks industri yang sangat luas. Ia buat perusahaan lamanya gulung tikar. Ia menjadi predator yang buas dalam dunia usaha, kekayaannya tak terhitung. Pak Bambang melupakan masa lalunya.

Tapi semua kekayaan yang ia dapat semasa hidup tak mampu membahagiakannya. Ia tak mampu mengatur nasib yang ia jalani. Beberapa hari setelah merayakan ulang tahun ke-73, Pak Bambang meninggal dunia, meninggalkan kerajaan bisnis yang sangat besar ke tangan keluarga.

Tubuh kakek tua pendek yang sudah beruban itu terbujur kaku di dalam petinya. Inilah pertama kalinya Dina melihat ayah mertuanya itu tak berdaya. Dudung menjerit-jerit dan menangis melihat jenazah ayahandanya diangkat untuk dikebumikan di samping istri pertamanya. Istri-istri muda Pak Bambang datang untuk memberikan penghormatan terakhir sekaligus meminta hak waris, untunglah Pak Bambang sudah menitipkan surat warisan pada sang pengacara yang juga kawan dekatnya.

Dina menepuk-nepuk bahu suaminya yang menangis tersedu-sedu.

Dina tahu, kini dia bebas. Tak ada lagi pria tua yang membelenggunya dalam jeratan nafsu birahi. Namun walaupun ia kini bebas, Dina tak akan mengkhianati cinta Dudung, dibandingkan Anton yang telah menjerumuskan keluarga mereka dalam hutang yang tak bisa dilunasi dan menjualnya pada laki-laki lain, Dudung mencintainya dengan segala kepolosannya, dengan segala kejujurannya. Dina tak akan meninggalkan Dudung. Apalagi anak-anak juga sudah mulai menyukai ayah baru mereka ini, walaupun mereka menganggap Dudung sebagai teman, bukan ayah.

Hanya satu dendam yang masih menyala dalam hati Dina. Dendam pada laki-laki yang telah menghancurkan rumah tangganya, menghancurkan hidupnya sebagai istri setia dan ibu yang baik bagi anak-anaknya, menghancurkan kepolosannya sebagai wanita baik-baik yang tak ternoda.

Hanya tinggal satu orang lagi yang menjadi incarannya.

Pak Pramono.

###

“Setelah melihat keabsahan wasiat pemilik perusahaan sebelum beliau meninggal, kami memutuskan untuk mengadakan rapat ini guna mengumumkan bahwa kami dari pihak notaris dan badan hukum telah menerima dengan sah keputusan terakhir pemilik perusahaan sesuai tertera di surat wasiat. Sebelum meninggal Almarhum Pak Bambang telah memilih orang yang beliau pertimbangkan tepat untuk selanjutnya menggantikan beliau memimpin perusahaan ini.”

Terdengar desahan bisik dari peserta rapat.

“Pemilik seluruh asset dan juga pimpinan perusahaan yang baru adalah…”

Desahan bisik mereda, menunggu pengumuman.

“…Ibu Dina Febrianti.”

Terdengar suara kaget dan terkejut dari mimbar rapat.

Semua orang kaget mendengar keputusan itu. Mereka tahu Almarhum Pak Bambang telah menunjuk siapa pengganti pemilik perusahaan raksasa ini dalam surat wasiat yang ia tulis, tapi mereka tidak menduga orang tersebut adalah Dina. Terlebih karena mereka semua sudah mengenal siapa Dina, istri dari putra idiot Pak Bambang. Memang Dina adalah menantu kesayangan Pak Bambang, tapi mereka benar-benar kaget mengetahui wanita itu mewarisi semua kejayaannya. Mereka bahkan kaget mengetahui nama wanita itu tertulis di surat wasiat Pak Bambang. Bagaimana mungkin seorang wanita asing yang tidak tahu apa-apa tentang manajemen bisa menangani perusahaan sebesar ini?

Sebagian besar karyawan mengira perusahaan akan dipegang oleh Randy Haryanto, putra Pak Bambang dari istri kedua yang selama ini banyak membantu sang ayah. Itu sebabnya banyak petinggi yang memberikan ‘upeti’ untuk menjilat Randy. Mereka ingin dipertahankan di lingkaran utama manajemen puncak perusahaan. Bagaimana mungkin skenario itu bisa berubah?

Dengan penuh kebanggaan Dina berdiri di hadapan semua orang yang hadir, memberikan senyuman termanisnya. Wanita jelita itu tersenyum bangga. “Mulai sekarang, semua akan berubah.” Katanya tegas. Ia mengeluarkan secarik kertas dari tas yang ia bawa, “Saudara ipar saya, Bapak Randy Haryanto telah dipindahtugaskan ke cabang kita di luar negeri atas permintaan pribadi. Oleh karena itu saya kemudian diberi wewenang menjalankan perusahaan ini, sesuai dengan wasiat yang ditulis oleh mendiang Pak Bambang.”

Orang-orang yang selama ini menjilat pada Randy mendesah kesal. Mereka tahu Randy terlibat dalam skandal penggelapan dana pemerintah, itu sebabnya sebelum ia diciduk pihak berwenang, Randy dibuang ke luar negeri. Mereka memang sudah memperhitungkan kemungkinan itu, tapi tidak menyangka akan secepat ini Randy hijrah. Mereka menggeleng-geleng kecewa, hilang sudah uang untuk menyuap, sia-sia saja usaha mereka selama ini.

“Sebelum berangkat ke luar negeri, Pak Randy memberikan saya catatan berikut,” kata Dina sambil mengangkat kertas berisi daftar nama,”isinya adalah daftar nama orang-orang yang berusaha menyuap Pak Randy, melakukan tindak korupsi dan merugikan perusahaan tanpa pernah menerima hukuman.”

Beberapa orang terhenyak kaget.

“Nama-nama yang disebut silahkan kembali ke meja kerja, mengemas berkas-berkas dan barang pribadi, lalu mengambil uang pesangon yang saya sediakan di lobby depan dan pulang saat ini juga. Kalian saya pecat!” Kata Dina tegas. “Terhitung mulai hari ini, kalian dinyatakan tidak bekerja di perusahaan ini lagi. Terima kasih atas kerja keras kalian selama ini, semoga mendapatkan pekerjaan lain yang jauh lebih baik.”

Rapat itu berubah menjadi ramai. Orang-orang yang selama ini bekerja dengan jujur dan bersih bertepuk tangan sementara mereka yang pernah melakukan kesalahan menjadi risau dan gelisah.

Dina telah menancapkan kukunya. Tidak akan ada satu orangpun kini yang akan mempertanyakan kepemimpinannya. Dan yang lebih penting lagi…

Dendam akan ia balaskan.
“Selamat datang kembali, sayang.” Kata Alya sambil mendorong kursi roda Hendra masuk ke rumah.


Opi melonjak – lonjak gembira melihat ayahnya pulang, tapi pria yang duduk di kursi roda itu bereaksi negatif, dia diam saja tanpa ekspresi, tangannya bergerak lemah mengelus rambut Opi dengan wajah masam. Melihat wajah lesu suaminya Alya menggigil menahan emosi, ingin rasanya dia menangis melihat Hendra yang terus saja memperlihatkan ekspresi pahit terutama kepada dirinya, tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia hanya mampu memberikan dorongan doa agar suaminya itu bisa cepat sembuh dan kembali menjadi suaminya seperti Hendra yang dulu. Beberapa hari sebelum pulang Hendra sudah mulai bisa tersenyum dan bercanda, lalu entah kenapa, tiba – tiba saja senyum itu hilang dan berganti dengan kemuraman dan wajah penuh emosi yang tidak berkesudahan. Dalam hati kecilnya Alya merasa Hendra memendam kekecewaan dan rasa marah kepadanya, tapi kenapa?



Atas ijin dokter, Hendra sudah diperbolehkan pulang dan menerima rawat jalan, karena pertimbangan finansial dan kenyamanan, pihak keluarga membawa Hendra pulang hari ini. Sayangnya entah kenapa Hendra yang pada hari – hari terakhir memperlihatkan wajah optimis berubah total, ia terlihat enggan pulang ke rumah. Ketika Dodit menanyakan hal ini pada Alya, istri Hendra itu hanya bisa menggeleng dan mengangkat bahu tanda tak tahu. Alya sudah mencoba menanyakannya langsung tapi Hendra tak menjawab, ia bahkan menggeram marah ketika Alya terus bertanya. Itu sebabnya Alya memilih diam dan berpura – pura semua baik – baik saja. Ia yakin suatu saat nanti, Hendra akan kembali seperti semula. Paling tidak Hendra sudah pulang ke rumah.



“Tas – tasnya Bapak langsung dibawa ke kamar, Bu?” tanya supir yang membawa tas berisi baju dan perlengkapan Hendra.



“Iya, Mas Paidi.” Angguk Alya. “Letakkan saja di samping tempat tidur Bapak, nanti biar saya yang membereskan.”



“Baik, Bu.” Kata Paidi sambil bergegas membawa barang – barang itu masuk ke dalam rumah.



Paidi? Ya. Paidi yang dulunya adalah penjual bakso keliling kini telah resmi diangkat sebagai supir keluarga Hendra. Alya memutuskan untuk menyewa Paidi karena kondisi Hendra yang masih memerlukan perawatan secara intensif. Dia tidak mempercayai Pak Bejo untuk melakukan tugas – tugas yang penting lagi, itu sebabnya dia menyewa Paidi. Memang tidak mudah mempercayai orang yang baru saja ia kenal, tapi Paidi sudah mengenalkan diri dan jujur tentang masa lalunya. Setelah beberapa kali membeli bakso dan akrab dengan Paidi, Alya memutuskan bahwa lelaki tua kurus ini orang yang dapat dipercaya. Tentu saja Paidi tidak pernah mengatakan kalau dia adalah mantan napi sehingga memperoleh kepercayaan Alya.



Paidi memang orang asing bagi keluarga Alya, tapi mungkin akan lebih baik menyewa orang asing yang benar – benar membutuhkan pekerjaan daripada membiarkan pria brengsek seperti Pak Bejo merajalela di rumahnya. Masa lalu Paidi yang masih simpang siur, memang membuat Alya sedikit merasa was – was, tapi pada dasarnya setiap orang bisa berubah, kenapa tidak memberi kesempatan pada orang ini untuk membuktikan kesungguhannya bekerja pada Alya dan keluarga? Tentu saja Paidi tidak lantas dengan mudah menceritakan masa suramnya ketika harus mendekam di bui. Ia sengaja menyimpan cerita itu untuk dirinya sendiri, karena kalau sampai Alya tahu, sudah pasti dia tidak akan bekerja bagi ibu muda yang seksi itu lagi.



Karena berbagai pertimbangan pula, Alya meminta Paidi tinggal di kamar pembantu yang ada di kebun belakang, sebuah kamar yang terpisah dari rumah utama.



###



Paidi bersiul sambil membilas Toyota Avanza milik Alya dengan riang gembira. Lagu – lagu ceria ia dendangkan dengan siulan merdu. Ia akan membuat mobil ini bersih dan cantik seperti majikannya. Panasnya terik matahari yang bersinar tak membuat mantan napi itu gerah, ia bahagia sekali bisa bekerja sebagai supir pribadi Alya. Walaupun baru memperoleh pekerjaan itu selama beberapa hari, tapi Paidi berniat akan menjadikan pekerjaan ini pekerjaan terakhirnya. Kalaupun gagal dan dipecat, paling tidak sekali dalam hidupnya ia bisa tinggal di rumah yang sama dengan wanita secantik Alya. Siapa yang tidak ingin selalu berada di dekat seorang wanita yang semolek bidadari?



Paidi bekerja dengan gembira, ia mengoleskan sabun, membilas, menyemprot dan membersihkan mobil dengan perasaan berbunga. Pekerjaan sudah hampir selesai ketika hari mulai siang.



Saat itulah sebuah suara serak mengagetkannya.



“Siapa kamu? Ngapain kamu di sini?”



Paidi berbalik ke belakang dan melihat sesosok tubuh gemuk menghampirinya. Ini dia orangnya, Bejo Suharso. Orang yang ia lihat malam itu, preman kampung yang meniduri Alya di pos kamling tempo hari. Orang yang telah membuat kehidupan Alya berubah menjadi neraka. Pandangan kedua laki – laki itu segera beradu, tapi karena teringat statusnya sebagai orang baru, Paidi memilih untuk mengalah. “Nama saya Paidi, Pak. Saya supir baru di sini.”



“Supir baru?” Pak Bejo mulai gelisah, kenapa Alya menyewa supir baru? Apakah dia dengan sengaja hendak menyingkirkannya? Dasar lonthe tidak tahu diri! Sudah diberi kenikmatan malah mau membuangnya begitu saja! Perek itu harus diberi pelajaran! Pak Bejo berkacak pinggang, “ohhh… kalau begitu perkenalkan, nama saya Bejo Suharso. Saya tinggal di dekat sini.”



Kedua orang itu bersalaman dan memegang tangan masing – masing dengan sangat erat. Entah siapa yang memulai, keduanya beradu kuat saat bersalaman, seakan menunjukkan siapa yang memegang kendali. Pak Bejo kaget juga melihat kekuatan Paidi, ia tidak mengira supir kurus itu akan membalas jabat tangannya dengan sekuat tenaga.



“Kalau butuh apa – apa, bilang saja sama saya. Saya sudah sering bantu – bantu kok.” Kata Pak Bejo. “Keluarga Pak Hendra sudah saya anggap keluarga sendiri.”



“Iya Pak.” Walaupun kurus, Paidi tidak kalah kuat dibanding Pak Bejo. Supir baru Alya itu cuma nyengir sewaktu Pak Bejo menegangkan rahang tanda geram sambil menarik tangan dengan kasar.



###



Alya mendesah di ruang kerja, ia menatap layar netbooknya dengan malas. Pekerjaannya menumpuk. Ia memang sudah menduga perawatan Hendra di rumah sakit akan memakan banyak biaya dan waktu, tapi ia tidak menduga pekerjaannya yang tertunda akan menumpuk begitu banyaknya. Alya meregangkan tangannya ke atas, lelah sekali rasanya. Ah, seandainya saja Mas Hendra mau memijatnya…



Satu tangan gemuk tiba – tiba saja meraih pundak Alya dan mulai memijit bahunya yang pegal. Awalnya Alya mengerang lirih karena keenakan, tapi lalu terdiam saat tahu siapa yang datang.



“Capek ya, sayang? Tenang saja. Akan kubuat tubuhmu rileks supaya nanti malam bisa melayaniku sampai pagi.” Kata Pak Bejo sambil menurunkan kepala tepat di samping kepala Alya, tak lupa pria tua itu menyunggingkan senyum menjijikkan. Sambil terkekeh, Pak Bejo mengecup pipi Alya yang halus.



Alya berontak ketika ia sadar siapa yang datang. “Tidak perlu. Terima kasih. Pekerjaan saya banyak sekali hari ini. Pak Bejo ada perlu apa? Kenapa masuk ke ruang kerja saya? Jangan lupa sekarang ada Mas Hendra di rumah ini! Pak Bejo tidak boleh berbuat seenaknya lagi!” Alya berdiri dan melangkah menjauh dari Pak Bejo. Walaupun tubuhnya bergetar karena takut, tapi untuk pertama kalinya sejak diperkosa, ia berani melawan.



Pak Bejo geram, wajahnya memerah karena marah. “Begitu ya sekarang? Berani kamu melawan? Dasar lonthe! Habis manis sepah dibuang! Setelah semua jasa – jasaku selama ini, kamu berani – beraninya menyewa seekor anjing untuk menjaga rumahmu!?”



Ingin muntah rasanya Alya mendengar Pak Bejo memaki-makinya dan mengungkit-ungkit jasa yang sebenarnya tak ada artinya dibandingkan perlakuan kasarnya pada Alya. Tapi ibu muda yang cantik itu menahan diri dan berpura – pura bodoh. “Apa maksud Pak Bejo? Menyewa siapa?”



“Siapa laki – laki yang sedang mencuci mobil di luar?”



“Mas Paidi maksudnya?”



“Kenapa kamu menyewa supir baru?”



“Saya butuh supir.”



“Buat apa? Kan ada saya?”



“Saya butuh supir yang bisa mengantar Opi dan Mas Hendra kapan saja dibutuhkan. Pak Bejo belum tentu ada setiap hari. Lagi pula…”



Pak Bejo mendengus. “Aku tidak suka orang itu. Kamu pecat saja.”



Alya mengerutkan kening dengan marah. “Pak Bejo! Saya memang sudah Bapak peras habis – habisan, luar dalam, tapi saya tidak mau Pak Bejo mendikte apa yang boleh saya lakukan dan apa yang tidak! Saya bukan budak! Paidi saya sewa karena Mas Hendra masih belum kuat menyetir sendiri! Siapa yang akan mengantarkan Opi? Siapa yang akan merawat mobil? Saya…”



PLAK!!



Bekas tangan memerah terasa perih di pipi Alya.



“Lonthe tidak tahu diri!” geram Pak Bejo mendekati Alya. “Kalau aku bilang pecat ya pecat! Susah amat sih!”



Titik airmata siap menetes di pelupuk mata Alya, tapi istri Hendra itu berusaha tegar. Ia tidak akan mau lagi menjadi bulan – bulanan laki – laki bejat ini. Semua kejadian pahit yang telah menimpanya adalah karena ia dan suaminya menaruh kepercayaan terlalu besar kepada preman kampung ini untuk bisa keluar masuk rumah mereka. Hal itu tidak boleh diteruskan dan tidak boleh terjadi lagi! Cukup sudah!



“Pak Bejo…” desis Alya dengan segenap kekuatan, suaranya terdengar bergetar karena menahan diri dari rasa takut yang amat dalam. “Saya ingin Bapak segera keluar dari ruang kerja ini dan…”



Pak Bejo tidak tahan lagi. Dengan geram ia mendorong tubuh lemah Alya ke dinding. Pak Bejo menekan kedua tangan Alya di belakang punggungnya sendiri. Karena eratnya tekanan Pak Bejo, kedua tangan Alya terkunci dan tidak mampu digerakkan. Setelah tubuh molek Alya terkunci, Pak Bejo lantas menjepit leher Alya dengan lengannya yang gemuk. Istri Hendra itu tidak bisa bergerak. Ia mencoba berontak untuk melawan tapi sia – sia saja, tenaga mereka tidak sebanding. Perbedaan kekuatan jelas terlihat. Pak Bejo telah mengunci tubuhnya.



“Baiklah, manis. Aku tidak tahu sejak kapan kamu punya keberanian untuk melawanku. Apalagi kamu cantik sekali kalau sedang marah. Tapi…” Pak Bejo berbicara dengan nada pelan namun penuh ancaman. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Alya, si molek itu bahkan bisa merasakan hembusan nafas berat dan bau yang keluar dari hidung dan mulut Pak Bejo, “aku tidak akan mengulang lagi semua yang aku katakan, jadi aku ingin kamu mendengarkan aku baik – baik. Setuju?”



Alya mengangguk lemah.



Pak Bejo tersenyum menghina. Ia mencoba mencium bibir Alya, namun ibu rumah tangga yang cantik itu tidak mau membuka mulut, ia terus meronta dan menolak. Sayang desakan lengan Pak Bejo di leher sangat menyesakkan nafasnya, mau tak mau Alya merintih kesakitan. Ketika mulutnya membuka sedikit, lelaki tua gemuk itu langsung menempelkan bibirnya di bibir mungil Alya. Pak Bejo bahkan menggigit kecil bibir bawah wanita cantik yang hanya bisa meringis kesakitan itu.



“Besok…” kata Pak Bejo dengan suara berat setelah puas menciumi bibir Alya, “aku ingin tikus kurus itu mengepak semua barang – barangnya dan meninggalkan rumah ini. Aku tidak peduli bagaimana caranya kamu menyuruhnya pergi, yang penting aku tidak mau melihat muka jeleknya di tempat ini lagi! Mengerti?”



Alya diam, ia tidak menjawab.



Pak Bejo mendengus, ia mengecup bibir Alya beberapa kali lagi. “Huh. Alya… Alya… apa sih hebatnya orang itu sampai – sampai kamu mempertahankannya mati – matian? Memangnya dia itu siapa kamu? Jangan – jangan kamu juga sudah tidur sama dia? Dasar lonthe… sopir sendiri juga mau.”



Alya meronta lagi dan membelalakkan mata dengan marah. Ia geram namun tak bisa mengeluarkan kata – kata karena lehernya ditekan sangat keras oleh lengan Pak Bejo. Matanya berlinang, air matanya siap tumpah kapan saja.



“Aku kangen sama bibir kamu yang mungil itu. Bukan bibir atas lho, tapi bibir bawah. Ha ha ha ha!” kata Pak Bejo sambil tertawa terbahak. “Nanti malam semprot pakai parfum biar wangi, aku mau pakai kamu sampai pagi! Ha ha ha!”



“Apa ada masalah di sini?”



Terkejut dengan suara yang tiba – tiba saja muncul dan mengagetkannya, Pak Bejo melepaskan kuncian pada Alya. Setelah berhasil lepas, Alya langsung menghempaskan diri ke sofa yang berada tak jauh darinya dan terbatuk, ia duduk sambil berusaha menenangkan diri, nafasnya terasa sesak sekali. Alya memicingkan mata dan menahan lehernya yang sakit. Si cantik itu mencoba melihat siapa yang datang… Mas Hendrakah?



Bukan! Ternyata Paidi!



“Heh, supir! Mending kamu urus urusanmu sendiri! Apapun yang aku omongin sama Bu Alya sama sekali bukan urusanmu! Tahu!?” bentak Pak Bejo sambil melotot.



Paidi hanya tersenyum melihat pria bertubuh gempal itu membentaknya, mantan napi itu jelas bukan orang yang mudah digertak, ia menjawab bentakan Pak Bejo dengan tenang. “Bu Alya itu majikan saya. Tentunya sebagai karyawan yang baik dan mengabdi, saya tidak ingin ada hal – hal yang buruk menimpa beliau.” Pandangan mata Paidi menusuk tajam ke arah Pak Bejo. Keduanya saling menatap, siap mengeluarkan pukulan. Suara Paidi berubah menjadi geram, wajahnya mengeras. “Bukan begitu, Pak Bejo?”



Alya ketakutan sekaligus bingung melihat situasi ini, keributan sedikit apapun akan mengundang perhatian Mas Hendra yang sedang berisitirahat walaupun kamarnya jauh dari ruang kerja Alya, kedatangan Mas Hendra kemari saat itu adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan. Ia tidak ingin Hendra tahu perbuatan bejat Pak Bejo kepadanya selama ini. Alya mendorong Paidi dan Pak Bejo yang sudah sangat dekat dan saling mengancam agar menjauh satu sama lain. “Sudah! Sudah! Kalian bisa membuatku gila kalau begini caranya, tolong pelankan suara kalian! Mas Hendra dan Opi ada di dalam! Kalau kalian mau ribut, bukan di sini! Jangan sekarang!”



“Baiklah.” Pak Bejo mendesah, “tapi kalau boleh aku memberi usul, lebih baik supir baru ini diberi pelajaran tambahan soal tatakrama, Bu Alya. Apalagi di kampung kita dia bukan siapa – siapa. Aku tidak ingin ada hal – hal yang buruk menimpanya. Kecelakaan sering terjadi di wilayah ini.”



Paidi menggemeretakkan gigi dengan geram, dia tahu itu ancaman, tapi melihat wajah Alya yang menatap mereka khawatir, dia diam saja. Demi majikan yang sangat ia kagumi, Paidi mengalah.



Pak Bejo melangkah dengan penuh kemenangan meninggalkan ruang kerja, dengan sengaja ia menyenggol pundak Paidi sambil meringis menantang. Pak Bejo berjalan keluar rumah dengan bersiul – siul santai.



Tetes air mata mulai leleh di pipi Alya. Betapa lelahnya ia dengan semua ini, betapa inginnya dia lepas dari semua masalah yang membebani pikirannya. Perih pula rasanya tamparan Pak Bejo yang masih terasa menyengat di pipinya.



“Maaf kalau saya lancang, Bu. Tapi tadi saya sudah mencuri dengar percakapan Ibu dengan Pak Bejo, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Paidi dengan lembut. “Benarkah…”



Alya kaget mendengar pertanyaan nekat dari supirnya itu, ia bangkit dan mengusap air matanya yang menetes. Wajahnya yang cantik berubah menjadi ketus, “Dengar baik – baik, Mas Paidi. Aku ingin kamu tahu kalau aku bisa mengatasi semua persoalanku sendiri. Aku tidak suka karyawanku tahu rahasia – rahasiaku, jadi lebih baik kau lupakan semua yang kamu dengar hari ini, atau besok kamu angkat barang – barangmu dan pergi dari rumah ini! Mengerti?”



Paidi kaget, tapi ia lalu tersenyum lembut karena tahu tentunya saat ini Alya sedang kacau dan sangat kalut. Wanita jelita itu tentunya masih sangat terbawa emosi. “Saya tidak berani lancang. Tentu saya tahu apa yang harus saya lakukan, Bu. Saya tidak akan mengungkit kejadian ini lagi di masa mendatang. Ibu bisa percaya pada saya.”



“Bagus!”



Alya meninggalkan Paidi sendiri, ia berjalan keluar dengan langkah tegas, tapi getaran kaki Alya tidak bisa mengelabui Paidi.



Pria tua itu duduk di sofa dengan tenang sambil menatap kepergian majikannya yang jelita. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi besok, ia harus menolong si cantik itu lepas dari genggaman Pak Bejo yang bejat. Kalaupun ia harus dipecat karena usahanya, ia tidak akan menyesal karenanya.



Ia harus melakukannya, karena sejak melihat Alya di Pos Kamling malam itu, Paidi telah jatuh cinta.



Ia akan melawan Pak Bejo. Demi Alya.



###



Alya ambruk di ranjang kosong di dalam kamarnya dan menangis tersedu – sedu. Bagaimana caranya dia bisa lepas dari semua ancaman Pak Bejo? Dia tidak ingin disakiti lagi, dia tidak ingin diperkosa setiap hari. Tapi kalau dia nekat melawan Pak Bejo, dia khawatir akan keselamatan Opi dan Mas Hendra, belum lagi di rumah ini juga ada Anissa dan Dodit. Preman kampung seperti Pak Bejo selalu mengancam keselamatan keluarganya, oleh karena itu Alya tidak berani berbuat gegabah. Apa dia harus pindah rumah? Alasan apa yang sebaiknya disampaikan pada Hendra agar mereka bisa pindah dari lingkungan ini tanpa membuka semua nista yang telah ia perbuat? Bagaimana caranya meyakinkan Mas Hendra agar pindah ke tempat lain tanpa membuka aib bahwa istrinya sendiri telah diperkosa?



“Kamu kenapa?”



Alya berbalik, ia terkejut mendengar suara itu… suara Mas Hendra!



“Mas?”



Di hadapan Alya, Hendra yang sedang duduk di atas kursi rodanya tengah menyantap setangkup roti tawar dengan keju, ia baru saja kembali dari ruang tengah menonton acara TV kesukaannya. Walaupun wajah Hendra masih ketus dan sepertinya acuh tak acuh, tapi Alya senang sekali! Ini pertama kalinya sejak mereka pulang ke rumah suaminya mau menyapa!



“Kamu sudah lebih baik, Mas?” tanya Alya dengan semangat, “akan aku buatkan lauk untuk makan ya. Sepertinya Mas sangat lapar…”



“Aku tadi tanya kamu kenapa.” Nada suara Hendra sama sekali tidak enak didengar, ketus dan keras.



“A – aku tidak apa – apa… mungkin hanya kecapekan.” Jawab Alya dengan gugup.



“Ya sudah.” Hendra mengayuh roda kursinya dengan tangan, berbalik, dan meninggalkan Alya sendirian saja di kamar.



Alya menatap kepergian suaminya dengan wajah sendu.



“Mas…?”



Tidak ada jawaban, Hendra telah pergi tanpa mempedulikannya.



Alya menundukkan kepala. Tubuhnya ambruk ke lantai dan ia kembali menangis tersedu – sedu. Kenapa di saat satu hal kacau, yang lain juga jadi ikut berantakan?



###



Alya meregangkan tangannya yang pegal. Saat ini ia sedang duduk di kursi yang berada di beranda halaman belakang rumah, tempat yang langsung menghadap ke kebun belakang. Kebun belakang ini cukup luas dan dikitari oleh tembok tinggi yang mengisolasinya dari tetangga sekitar, tidak akan ada tetangga yang bisa melihat keadaan di kebun Alya yang asri. Hijaunya tanaman, harum wangi bunga yang semerbak, burung yang berkicau dan selintas hinggap, serta langit yang biru cerah, membuat suasana hati Alya lebih riang dari biasanya.



Hari ini wanita cantik yang juga seorang wanita karir itu sedang libur. Dodit dan Anissa pergi mengantarkan Mas Hendra check – up rutin di rumah sakit sedangkan Opi sudah diantar Paidi ke sekolah. Akhirnya ia bisa istirahat sebentar tanpa gangguan dari siapapun. Setelah beberapa saat melihat suasana kebun belakang yang menyejukkan, ibu muda yang jelita itu memutuskan untuk melakukan senam sebentar. Semua stress yang harus ia hadapi membuatnya lelah, ada baiknya dia melepas semua penat dengan berolahraga.



Alya mengenakan tanktop putih ketat yang menampilkan kemolekan lekuk tubuhnya, tanktop mungil itu hampir – hampir tidak sanggup menahan kemontokan buah dada Alya yang ukurannya cukup lumayan, ia memang sengaja mengenakan tanktop agar bisa lebih rileks berolahraga, karena ketatnya tanktop, Alya sengaja tidak mengenakan bra. Selain tanktop, sebuah celana ketat pendek yang juga berwarna putih ia kenakan agar lebih mudah bergerak. Paha Alya yang putih mulus bagai pualam terlihat sangat seksi dalam balutan seadanya celana mini yang sangat ketat itu.



Hari ini ia tahu tidak akan ada seorangpun yang bisa masuk ke rumah, termasuk Pak Bejo yang tengah pergi keluar kota karena ada urusan keluarga, jadi ia benar – benar sedang sangat bebas. Itu sebabnya dia berani mengenakan baju ketat ini.



Sambil memasang headset di telinganya, Alya menyalakan IPod untuk memutar lagu sembari ia berolahraga. Untuk beberapa saat lamanya, Alya berlari di tempat atau memutar kebun, melakukan peregangan badan, lalu berlari lagi, senam sebentar, angkat berat sedikit, meregangkan badan lagi, lalu berlari lagi. Ia melakukannya berulang kali, lebih lama dari waktu yang dianjurkan.



Seandainya ada orang yang melihat, mereka pasti akan heran melihat olahraga yang dilakukan Alya. Ada kesan kalau si cantik itu tidak hanya sekedar melakukan olahraga namun mendorong kemampuannya melebihi batas maksimal, seakan hendak menghukum diri sendiri entah atas alasan apa. Dampaknya jelas terlihat, karena memaksakan diri, keringat mulai deras mengalir di pelipis Alya, jauh lebih deras dari keringat biasa. Nafasnya kembang kempis dan tidak teratur, jantungnya juga berdebar lebih kencang.



Alya tidak mau tahu dengan kondisi badannya yang mulai tidak karuan, ia makin memaksakan diri. Ia hanya menganggap kalau itu semua terjadi hanya karena akhir – akhir ini ia jarang berolahraga. Sayangnya ia lupa kalau manusia tetap punya batasan. Tubuhnya terlalu lemah dan pikirannya sudah terlalu lelah. Ia tidak sadar kalau ia belum mampu berolahraga seberat itu.



Perlahan, Alya makin lemah. Badannya makin susah digerakkan. Pandangan matanya kian berkunang – kunang, semuanya jadi kabur. Kepalanya juga sangat berat dan pusing sekali. Entah kenapa rasanya Alya ingin tidur saat ini juga.



Lalu semuanya gelap.



Alya pingsan di kebun rumahnya.



###



Alya mencoba membuka matanya, tapi rasanya berat sekali. Ia mendengar suara seseorang memanggilnya. Di mana ini? Kenapa berat sekali rasanya bangkit dari tidur? Tunggu dulu… ini bukan tempat tidurnya, ia tidak sedang berada di ranjang, ia sedang berada di rerumputan… ia sedang berada di kebun! Ya! Alya ingat sekarang! Dia tadi pingsan karena kelelahan!



Perlahan fokus Alya mulai kembali, matanya terbuka perlahan, sinar terang seperti menembus ke dalam batok kepalanya, nyeri sekali. Untungnya Alya tidak perlu membuka mata terlalu lebar untuk tahu siapa yang datang.



“Bu Alya? Ibu tidak apa – apa?” tanya Paidi khawatir, keringat yang mengalir di tubuh Alya adalah keringat dingin. Paidi mengetahuinya ketika ia mencoba mengusap keringat yang menetes di dahi majikannya dengan menggunakan punggung tangannya. Paidi merinding ketika merasakan betapa lembut dan halusnya kulit wajah Alya. Paidi mengulang pertanyaannya ketika Alya tak segera menjawab pertanyaannya. “Ibu tidak apa – apa? Ibu bisa bangun?”



Alya mencoba bangun dan menggelengkan kepala, namun ia tidak tahan dan berbaring lagi. “Ohh, pusing sekali.” Keluhnya.



“Ibu berbaring saja. Biar saya yang membawa Ibu ke kamar!”



“Ti – tidak usah! A – aku…” belum sempat Alya menolak, Paidi sudah mengangkat tubuh Alya dan menggendongnya masuk ke dalam rumah utama. Kaget juga Alya melihat kekuatan sesungguhnya dari supir tua yang terlihat kurus, lemah dan keriput ini. Dengan sekali angkat, tubuh indah Alya sudah digendongnya. Karena lemah dan tak mampu bergerak, Alya hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Paidi. Untuk pertama kali, tubuh keduanya bersentuhan dengan sangat dekat.



Alya bisa merasakan kerasnya kulit Paidi yang berwarna gelap. Nafas pria perkasa yang sedang menggendongya terasa hangat menerpa wajah Alya. Mau tak mau Alya membuka mata dan menatap langsung wajah keras supirnya yang sudah mulai keriput. Paidi hanya mengenakan kaos yang tipis, liatnya kulit sang lelaki jantan itu membuat Alya merinding. Ia salah menduga, ia mengira supirnya itu adalah seorang pria lemah. Kini, dalam gendongannya, Alya merasa terlindungi dan mendapat kehangatan yang selama ini ia cari dari sosok suaminya, perlindungan dan rasa hangat yang sudah lenyap dari Mas Hendra. Eh, apa yang dia pikirkan? Alya memejamkan mata lagi. Gara – gara pingsan, pikirannya melantur kemana – mana!



Gejolak semangat Paidi bangkit ketika mencium harum wangi tubuh Alya. Paidi semakin kagum, tidak hanya cantik, Alya ternyata juga sangat harum. Namun yang membuat gairah kelelakiannya tak kuat bertahan adalah mulusnya paha Alya yang memang jenjang dan luar biasa indah. Sebuah kaki yang pas bagi tubuh yang sangat sempurna. Ia berusaha keras agar keindahan wanita yang sedang ia gendong tidak membuatnya kehilangan fokus. Ia harus tetap bertahan dan mengantarkan Alya ke kamar, jangan sampai jatuh hanya gara – gara tergiur kemolekan majikannya… tapi… ini benar – benar di luar dugaan Paidi, Alya mengalungkan tangannya di leher Paidi dan bergantung sepenuhnya kepadanya. Dada Alya yang montok dan tidak mengenakan bra itu kini menempel seutuhnya di dada Paidi! Dada Bu Alya! Dada yang selama ini ia impikan! Paidi meneguk ludah, toh ia lelaki biasa. Merasakan kenyalnya payudara Alya menempel di dadanya membuat lututnya ngilu, kalau saja tidak ingat situasinya, Paidi bisa – bisa ikut pingsan karena pelukan Alya ini!



Dengusan nafas Paidi yang kian menguat membuat Alya sedikit tidak enak, jangan – jangan Mas Paidi malu karena pakaian ketat yang ia kenakan? Apalagi dia tidak mengenakan BH! Habisnya… dia tidak mengira dia akan pingsan! Kalau dia tahu dia tidak akan mengenakan baju dan celana yang ketat dan minim seperti ini! Tapi ya sudahlah, tidak apa – apa, untuk kali ini saja. Apalagi Mas Paidi juga sudah menolongnya.



Akhirnya Paidi meletakkan Alya di pembaringannya yang kosong.



Alya menderu nafasnya yang masih tak teratur, begitu juga Paidi, walaupun untuk alasan yang lain.



“Te… terima kasih.” Kata Alya malu – malu. Ia mencoba tersenyum, wajahnya yang cantik mulai memerah kembali setelah sempat pucat selama pingsan tadi. “Aku khilaf. Berolahraga terlalu berlebihan, padahal tubuhku lemah karena tidak pernah berolahraga. Jadi merepotkan Mas Paidi saja…”



“Tidak apa – apa, Bu.” Paidi menundukkan kepala, ia tidak berani menatap langsung ke arah Alya, takut dia akan terpesona. Dia takut akan menubruk tubuh gemulai yang sangat menggiurkan itu dan memperkosanya saat ini juga. Tidak. Dia tidak boleh jatuh ke dalam perangkap nafsu seperti Pak Bejo. Alya terlalu indah untuk disakiti. Dengan suara lemah Paidi menjawab. “Sudah menjadi tugas saya sebagai karyawan ibu.”



Alya masih tersenyum, Paidi dan Pak Bejo memang dua orang yang sangat berbeda. Entah kenapa Alya jadi membandingkan Paidi dan Pak Bejo, dalam bayangannya, mereka adalah dua sisi mata koin yang berlawanan dilihat dari kelakuan keduanya yang sangat berbeda. Dan lihatlah pria ini! Begitu lembut dan sopan dalam pembawaannya yang sederhana. Mungkin itu sebabnya Alya jadi semakin tertarik pada sosok Paidi yang bersahaja. Wajahnya buruk, usianya lanjut, kulitnya gelap, tubuhnya kurus namun dia sangat kuat dan lebih penting lagi, berpikiran lurus.



“Mas… boleh saya minta tolong lagi?”



“Iya, Bu?”



“Tolong ambilkan minum di…”



“Oh iya! Maaf jadi lupa! Segera saya ambilkan!” Paidi yang tadi sempat khawatir pada kondisi Alya jadi lupa diri karena terpesona kemolekan sang majikan. Ketika teringat kalau tadi Alya pingsan iapun jadi malu sendiri. Bukannya merawat malah memperhatikan lekuk – lekuk tubuh majikannya! Dasar tidak tahu diri! Bergegas Paidi menuju dapur, mengambil segelas air putih dari dispenser, meletakkannya di tatakan lalu membawanya ke kamar Alya. “Ini Bu, maaf saya tadi…”



“Tidak apa – apa, Mas. Saya sudah enakan kok. Kalau nanti sore masih lemas, saya minta diantarkan ke dokter saja.”



“Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau ada apa – apa, panggil saya saja.”



“Iya, Mas. Terima kasih banyak.”



Paidi beranjak keluar kamar dan mengelus dadanya. Ia tidak sanggup lagi berlama – lama di kamar hanya berdua saja dengan sang bidadari. Kalau saja tadi pikiran jahatnya kambuh, ia pasti sudah menubruk Alya dan menelanjanginya! Ah, betapa senangnya hati Paidi ia sudah berhasil mengalahkan nafsunya sendiri… tapi… Alya memang benar – benar seorang dewi. Sangat cantik, seksi dan luar biasa mempesona. Dengan hati gembira mantan narapidana itu melangkah menuju kamarnya yang berada di kebun belakang.



Sementara itu, di dalam kamar, hati Alya menjadi berdebar tak menentu saat sosok tubuh Paidi berjalan keluar. Kenapa… kenapa ia jadi seperti ini? Kenapa rasanya ia ingin terus berada dalam pelukan hangat Paidi? Kenapa ia ingin selalu bersamanya? Kenapa rasanya ia tidak rela Paidi meninggalkannya sendiri dalam keadaan lemah? Tubuh Alya bergetar ketika ia mencoba melawan perasaannya sendiri yang tidak masuk akal itu, ia tidak ingin semua ini terjadi… tapi jangan – jangan… apakah ia sudah mulai tertarik pada supirnya sendiri? Ah tidak mungkin! Ia tidak akan pernah mengkhianati Mas Hendra, apalagi untuk seseorang seperti Paidi! Hilangkan jauh – jauh pikiran kotor itu!



Dengan geli Alya menggelengkan kepala. Ini pasti gara – gara pingsan tadi, pikirannya jadi kacau dan berkeliaran dengan liar.



Alya meminum air putih, memejamkan mata dan berusaha beristirahat.



###



“Haaaaaaaahhh!!!”



Hendra terbangun dari mimpi buruknya dan hampir saja terlempar karena terbangun dengan kaget. Ia mengambil handuk kecil dan menyeka keringat yang turun deras di dahinya. Nafasnya terengah – engah, berulangkali ia batuk kecil dan susah mengatur beratnya nafas. Tangannya mencengkeram erat gagang kursi rodanya ketika ia menatap foto pernikahannya dengan Alya yang ada di atas meja rias.



Hendra mendengus kesal, ia tidak akan pernah memaafkan Alya. Ia tidak akan pernah memaafkan Pak Bejo. Ia tidak akan pernah memaafkan siapa – siapa lagi! Tidak akan pernah!! Tidak akan pernah!!



Air matanya perlahan turun, ia tahu laki – laki sejati tak akan menangis, tapi hatinya begitu sakit, hatinya sangat terluka. Kenapa ia harus melihat secara langsung kemesraan antara Alya dan Pak Bejo? Kenapa? Kenapaaaa??



###



Jantung Alya berdegup kencang ketika ia sudah sampai di depan pintu kamar Paidi. Sendok dalam piring yang ada di tangannya sampai berderak kencang karena tangannya yang gemetar. Kenapa dia takut? Atau mungkin ini bukan rasa takut? Jangan – jangan ini gairah? Gairah yang sudah lama sekali tidak ia rasakan sejak pertama kali bertemu dengan Mas Hendra? Gairah yang sama ia rasakan ketika mereka pertama kali kencan, menikah atau bercinta? Kenapa dia merasa takut dengan gairah ini? Dia hanya mengantarkan roti kepada sopirnya. Kenapa dia harus takut?



Tangan mungil Alya pelan mengetuk pintu kamar Paidi.



Sosok kurus hitam yang ia tunggu akhirnya membukakan pintu. Karena tidak menduga Alya akan datang ke kamarnya, Paidi hanya berpakaian seadanya, ia tidak mengenakan baju dan hanya memakai celana pendek ketat.



“Ah, Bu Alya? Ada apa ya, kok malam – malam begini? Ibu mau saya antar keluar? Sebentar, Bu… saya ganti pakaian dulu…”



“Ti… Tidak usah, Mas. Tidak perlu, saya tidak mau keluar kok,” kata Alya. “Saya hanya ingin mengantar roti ini untuk Mas Paidi.”



“Terima kasih, Bu.” Jawab Paidi sambil meraih kemeja yang ada di atas kursi. Kemeja itu sebenarnya sudah dicuci, namun belum disetrika, ia memakainya karena tidak enak berhadapan dengan Alya dengan bertelanjang dada. Setelah memakai baju, Paidi menerima roti pemberian Alya dengan sangat berterima kasih.



“Boleh saya masuk?”



Pertanyaan itu mengagetkan Paidi, tapi Alya kan majikannya? Ia berhak masuk ke ruang mana saja di rumah ini. “Bo… boleh saja, Bu. Tapi kamar saya masih berantakan. Belum sempat dirapikan.”



“Ah, tidak apa – apa.” Alya pun masuk ke kamar Paidi setelah sopirnya itu mendahului untuk merapikan beberapa bagian kamar. “Se… sebetulnya saya kemari karena saya ingin berterima kasih pada Mas Paidi yang telah membantu saya beberapa hari yang lalu sewaktu saya pingsan di kebun.” Kata Alya sambil menyerahkan roti kepada Paidi.



“Lho, itu kan sudah tugas saya, Bu. Tidak perlu repot – repot seperti ini.”



“Terima kasih juga karena telah mengusir Pak Bejo malam itu.” Lanjut Alya dengan suara yang lirih.



“Ahhh…” Paidi menghela nafas. Ia meletakkan piring roti di meja, menarik sofa kecil dan mempersilahkan Alya duduk. “Pak Bejo sebenarnya patut diberi pelajaran karena telah bertindak kurang ajar terhadap Ibu. Kenapa tidak dilaporkan saja kepada Pak Hendra, Bu?”



Alya menggeleng dan tersenyum, “Mas Hendra sudah punya masalah yang jauh lebih berat dan menyita pikiran, kita tidak boleh membebaninya lagi. Aku juga tidak ingin Mas Paidi menceritakan peristiwa pingsannya aku di kebun kepada siapapun. Mengerti?”



“Mengerti.” Angguk Paidi. “Walaupun kalau menurut saya, preman seperti Pak Bejo tidak perlu diberikan kunci rumah ini.”



“Sebenarnya hanya Bu Bejo yang membuatku segan, Mas. Beliau sudah banyak membantu. Tanpa bantuan Bu Bejo, keadaan rumah ini pasti sudah berantakan.”



Paidi tiba – tiba terdiam. Dengan langkah pelan ia mendekati Alya, ia menatap wajah Alya dengan pandangan aneh, lama dan sangat lekat, membuat Alya menjadi tidak enak. “Kenapa, Mas? Ada yang aneh dengan wajahku?” tanya Alya risih.



“Ibu baru saja menangis?”



Alya tertegun. Pasti gara – gara kantung matanya. Ia menunduk. “Iya.”



“Kenapa?”



“Tidak apa – apa.” Jawab Alya sambil tersenyum.



Walaupun senyum itu sangat manis bagi Paidi, namun kegalauan hati majikannya lebih penting. Ia membungkuk di depan Alya dan berlutut. “Bu. Saya ini sudah Ibu bantu lebih dari cukup. Ibu sudah mengangkat derajat saya dari orang tak punya apa – apa menjadi memiliki segalanya. Ibu sudah menolong mengembalikan harga diri saya… sekarang, saya mohon. Jika ada masalah, ibu bersedia menceritakannya kepada saya karena saya akan membantu ibu sekuat tenaga.”



Kembali Alya hanya tersenyum. “Terima kasih atas tawarannya, tapi benar kok. Saya tidak apa – apa.”



Paidi mendesah kecewa, tapi ia lalu berdiri dan mengangguk. “Mudah – mudahan begitu, Bu. Tapi kalau ada apa – apa, silahkan Ibu minta saya untuk melakukan apa saja karena pasti saya akan mengerjakannya.”



“Terima kasih.” Alya pun berdiri dan siap untuk kembali ke rumah utama. “Ya sudah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mas?”



“Baik, Bu.”



Berat hati Paidi melihat Alya mengalami depresi dan menyimpannya untuk diri sendiri, seandainya bisa, dia ingin membantu, memeluknya dan memberinya kehangatan agar dia bisa merasa aman dan terlindungi.



Langkah Alya mendadak terhenti sebelum melangkah keluar kamar. Ia tidak berbalik namun dari gerak tubuhnya Paidi tahu kalau majikannya yang jelita itu gemetar mencoba menahan tangis.



“Bu…?” tanya Paidi sambil mencoba maju mendekati Alya.



“Semua yang aku lakukan salah. Mas Hendra tidak mau lagi bicara padaku, Pak Bejo selalu bersikap kurang ajar tanpa pernah mau berhenti, kakakku hilang entah kemana, adikku juga tidak bisa dihubungi. Semua yang aku lakukan salah, semuanya membuat aku bingung dan aku tidak ada tempat untuk menceritakannya. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Apa yang harus aku lakukan, Mas?” kepala Alya menunduk dan ia menangis tersedu – sedu. Walaupun awalnya ragu untuk bercerita kepada sopirnya, Alya kini membuka semuanya karena dia sudah tidak kuat menahan beban hidupnya. Kepada siapa dia akan berterus – terang kecuali kepada Paidi yang pernah menolongnya mengusir Pak Bejo.



Paidi menutup pintu dan memberanikan diri memutar tubuh Alya berhadapan dengannya. Wajah cantik itu kini berlelehan air mata. Dengan gerakan reflek, Alya memeluk sopirnya. Ia menangis tersedu – sedu di dada kurus Paidi.



Awalnya Paidi terkejut karena tiba – tiba Alya memeluknya, namun karena ia tahu ibu muda yang cantik itu tengah dilanda dilema, iapun membiarkan saja Alya luruh dalam pelukannya tanpa mengembangkan pikiran mesum. Berulangkali Paidi harus mengusir pikiran kotor karena dada Alya yang ranum amat rapat di dadanya. Wangi harum rambut Alya membuat Paidi terbang ke awan. Dengan berani Paidi mengelus rambut Alya untuk memberikan ketenangan. Ia biarkan si cantik itu menangis tersedu hingga selesai.



“Mas…” desah takut Alya melantun manja di telinga Paidi. Indah sekali bunyinya. Ia ingin Alya terus memanggilnya dengan nada manja. Isak tangis Alya mulai reda. Ia menatap ke atas, ke arah mata Paidi yang menatapnya lembut.



“Bu Alya…” Paidi dengan berani mencium kening majikannya yang gemetar takut dan menggenggam jemarinya.



Tangan mereka kembali bersentuhan, jari jemari Paidi erat menggenggam tangan Alya. Terlalu lama dan terlalu hangat. Mereka sadar hanya ada satu jalan untuk menyudahi ini semua, terjun ke dalam nafsu atau pergi tanpa berpaling. Alya hanya terdiam, tapi bola matanya yang indah menatap tajam ke arah Paidi, sopir itu tentunya tidak akan melewatkan kesempatan yang ada di depan mata. Ia bergerak maju sedikit, lalu sedikit lagi, lalu lagi. Wajah mereka kini sudah sangat dekat hingga hanya seukuran kuku jari.



“Bu Alya sangat cantik… sangat cantik sekali… selama ini saya selalu membayangkan bisa bersama dengan Ibu…” batin Paidi dalam hati.



Bibir mereka akhirnya bertemu. Mata Alya tetap terbuka lebar pada awalnya, namun ketika lidah Paidi yang melumatnya mulai bergerak, ia memejamkan mata untuk menikmati ciuman dari sang sopir. Alya melenguh kecil dan membalas ciuman Paidi. Mereka berdua saling mencium dan melumat, lama sekali. Keduanya sudah jatuh dalam jebakan nafsu. Mulut dan lidah bekerja bersamaan hingga menimbulkan rangsangan kenikmatan.



Kali ini Paidi sudah membulatkan tekad. Ia tidak akan berhenti apapun yang terjadi! Ia sudah tidak tahan lagi. Tubuh Alya terlalu indah untuk dibiarkan begitu saja melenggang di depan matanya! Ia harus mencicipinya! Sekarang juga! Peduli amat kalau nanti dia bakal dipecat atau bahkan dipenjara! Biar bagaimanapun dia mencoba menahan diri, dia tetaplah seorang lelaki normal yang membutuhkan kehangatan seorang wanita dalam dekapannya. Godaan yang hadir dalam bentuk bidadari bernama Alya ini terlalu berat untuknya.



Tapi saat ini Alya dalam kondisi sadar. Ia tidak mau mengkhianati suaminya lagi. Ia sudah berdosa karena telah menerima Pak Bejo dan mau – maunya diperlakukan seperti budak. Tidak! Hal semacam itu tidak akan terulang lagi! Apa yang ia perbuat telah membuat Hendra semakin jauh dan ia tidak mau semakin terjerembab lebih dalam ke lembah nista! Ia ingin lepas dari semua masalah seperti ini, bukan malah terjun ke dalamnya! Alya akhirnya berusaha menjauh dari sang sopir.



Ketika Alya berusaha mendorong tubuh Paidi, ia baru teringat betapa kuatnya laki – laki yang terlihat kurus dan lemas ini. Alya dilanda dilema. Di satu sisi perasaan Alya berusaha mengingatkannya agar segera tersadar dari godaan dan teringat pada suaminya, namun sisi yang lain lagi – sisi yang lebih menuntut dan lebih kuat - mengeluarkan semua pancaran nafsu birahi yang selama ini ia simpan. Pria ini begitu kuatnya sehingga membuat fantasi Alya melayang, apakah mungkin lelaki tua ini bisa memuaskan hasrat dan… ah… Alya menggelengkan kepala. Tidak! Dia tidak mau terhanyut. Dia adalah wanita karir yang terhormat, ibu rumah tangga yang baik dan istri yang berusaha untuk setia. Ia ingin bangkit setelah semua yang ia alami dengan Pak Bejo, Alya tidak mau jatuh lebih dalam ke jurang nista dengan menyerahkan tubuh ke supirnya sendiri! Sungguh tidak pantas!



Paidi mengangkat dagu Alya, mulutnya turun ke bawah. Dengan satu gerakan, supir itu sekali lagi melumat bibir Alya.



Semua sisi kesadaran Alya hilang. Beradunya bibir mereka membuat sentakan luar biasa yang menghapus penolakan dalam tubuhnya yang haus kasih sayang. Ia balik mencium Paidi. Keduanya kini melupakan pikiran yang kalut dan membiarkan hasrat kebinatangan mengambil alih. Esensi diri terdalam yang hanya menuruti kenikmatan membuat keduanya lupa diri, melupakan status mereka sebagai supir dan majikan. Melupakan status sebagai istri dan ibu. Membiarkan tubuh mereka mereguk kenikmatan terlarang. Nafsu mengambil alih jati diri mereka.



Lidah Alya bergerak lentur dan luwes seakan memiliki nyawa, bagaikan ular yang melata. Lidahnya menyambut kedatangan lidah lawan dengan tumbukan dan lumatan penuh nafsu yang menggelegak hebat. Alya mengingkari perasaan dalam dirinya sendiri, perasaan bersalah yang tiba – tiba saja menghinggap. Ini… terlarang! Tidak seharusnya ia melakukan ini! Ia sudah menikah! Ia… ia… ia pernah diperkosa… dan…



Batin Alya berkecamuk. Mata Alya menutup dan perlahan membiarkan nafsunya menggelora. Ia ingin melawan, namun gejolak nafsu yang ditumpahkan oleh Paidi membuatnya takluk. Ciuman Paidi sangat memabukkan dan membuat pikirannya melayang. Alya bingung, kenapa tubuhnya justru pasrah ketika pikirannya sangat kalut, ia tidak sadar bahwa tubuhnya ingin dibelai, ingin disayang, ingin menikmati indahnya permainan cinta yang bukan karena terpaksa.



Sudah lama sekali rasanya ia tidak dicium seperti ini oleh Mas Hendra.



Mas Hendra! Suaminya! Astaga! Alya terbangun dari fantasinya. Ia sedang dicium oleh laki – laki yang bukan suaminya! Mata yang tadi terpejam mendadak terbuka. Wajah yang ada di hadapannya bukanlah orang yang seharusnya berhak menikmati keindahan tubuhnya! Alya tengah menatap wajah Paidi! Supirnya! Paidi sedang menciumnya! Begitu kesadaran menguasainya kembali, Alya mencoba bangkit dan berontak tapi tangan kuat Paidi mengingkari perlawanannya.



“Jangan Mas… suamiku…” tangan Alya menghalangi tangan Paidi yang mencoba meraih buah dadanya. Rasanya seperti mengangkat tiang besi yang berat, hangat tapi berat. Usaha Alya gagal, Paidi berhasil menangkup buah dada kanannya. Pria tua kurus itu segera meremas, memilin dan menggoyang payudara Alya dengan bebas. Tidak ada perlawanan berarti yang dilakukan Alya. Si cantik itu malah semakin mendesah tidak berdaya.



Alya kecewa pada dirinya sendiri yang tidak kuat menahan godaan. Semudah inikah dia takluk pada Paidi? Orang yang tak lebih adalah supirnya sendiri? Orang yang ia angkat menjadi supir setelah sering berlangganan baksonya? Orang asing yang tidak dia kenal asal – usulnya! Alya tidak ingin dikalahkan semudah itu… ia tidak ingin… ia tidak…



Lidah Paidi masuk ke dalam mulut Alya dan pikiran si cantik itu kembali melayang ke awan. Semudah inikah dia takluk?



Paidi merasa bangga pada dirinya sendiri karena Alya - istri Hendra majikannya yang cantik jelita dan tadinya setia itu kini mulai menyerah. Tangannya yang kurus dengan berani meremas buah dada Alya yang montok, Paidi meremas dan memilinnya tanpa perlu takut. Walaupun sudah berstatus sebagai seorang ibu dan sudah digauli dua orang laki – laki lain, Alya masih memiliki payudara yang kencang dan kenyal. Paidi sangat mengagumi tubuh Alya, ia merawat tubuhnya dengan baik.. Lekuk tubuhnya masih sangat indah dipandang, ramping dan seksi. Kulitnya juga sangat halus dan mulus, kulitnya yang seputih susu membuat kenikmatan lain dalam menggelegak dalam hati mantan napi yang sudah sejak lama tidak bercinta itu.



Payudara Alya yang indah itu sama sekali tidak melorot walaupun sudah dinikmati Hendra dan Bejo, bahkan menjadi sumber ASI bagi seorang anak yang sangat manis. Paidi menikmati keindahan susu Alya sesuka hati. Ia menangkup, meremas, menggoyang, menimang dan membelai buah dada sang nyonya rumah tanpa ada perlawanan berarti. Jari – jari Paidi yang kurus menyentil puting payudara Alya yang masih berada di balik kaos dan BH yang ia kenakan. Karena kaos tipis yang dikenakan Alya berwarna putih, BH berenda warna ungu yang ia pakai saat itu bisa terlihat dengan jelas. Sambil terus menggoyang payudara sang bidadari, Paidi memberanikan diri menggigit bibir bawah Alya dengan lembut.



Wanita jelita yang ada di dalam dekapan Paidi itu menggeliat, mencoba melawan untuk yang kesekiankalinya. Namun pria kurus berkulit hitam itu masih belum melepaskan ciuman ataupun remasannya. Untuk yang kesekian kalinya pula, Alya kembali takluk pada ciuman Paidi.



Untuk beberapa saat lamanya, mereka berciuman dengan penuh nafsu.



Ketika Paidi akhirnya melepaskan remasan tangan pada susu Alya, si cantik itu masih tetap menghamba pada ciumannya. Tubuh Alya merinding dan menggigil karena tak kuat menahan nafsu. Paidi bukan orang bodoh, rangsangan hebat yang menaklukan Alya ini pasti berkat sentuhan ringan namun efektif pada pentil buah dada sang ibu muda. Sekali lagi Paidi meremas payudara Alya dan menggoyang puting payudaranya dengan jempolnya yang besar. Alya menggeram dan merintih, tubuhnya gemetar tersambar kenikmatan.



Alya mulai terengah – engah, ia kesulitan mengatur aliran nafasnya sendiri. Matanya yang tadi terpejam kini terbuka lebar, menatap pria yang bukan suaminya tengah menggumulinya dengan penuh nafsu. Bibirnya basah oleh lumatan bibir Paidi yang sedari tadi tak berhenti menciumnya, dadanya naik turun oleh nafsu birahi yang menggelora. Satu persatu pakaian Alya dilucuti tanpa ada perlawanan berarti. Ketika Paidi melepaskan BH dan menyisakan rok serta celana dalam, barulah wanita cantik itu kembali tersadar… ia sudah setengah telanjang dalam pelukan supirnya!



“Apa yang… apa yang telah aku lakukan?! Jangan!! Tidak! Aku tidak mau! Sudah…! Aku mohon! Kita sudah terlalu jauh dan… dan…” Alya kebingungan mencari kata – kata, ia tidak ingin mengucapkan kalimat vulgar yang hanya akan menambah nafsu Paidi. “Aku mencintai suamiku. Dia mencintai aku. Aku mohon… jangan tambah lagi dosaku…”



Tangan Paidi kini bisa menyentuh payudara Alya yang sudah telanjang. Alya menggeleng dan mencoba mendorong tangan sang supir. Usaha ibu muda itu tentu saja gagal, Paidi jauh lebih kuat dan Alya sama sekali tidak mengeluarkan tenaga, bahkan sepertinya dia menginginkan Paidi menyentuhnya! Dia ingin supir itu melanjutkan niatnya!



Payudara Alya segera tergenggam tanpa halangan oleh tangan buas Paidi. Diremas dan digoyangnya payudara istri Hendra yang jelita itu sesuka hati. Alya merintih tak berdaya, ia tak mampu mengontrol tubuhnya sendiri. Sensasi hangat serangan Paidi membuatnya tenggelam dalam kenikmatan dan tak ingin melawan. Yang dilakukan Paidi sama sekali berbeda dengan Pak Bejo yang memaksakan kehendak, Paidi membuat Alya keenakan sehingga justru Alyalah yang ingin meminta lebih. Alya berusaha melawan keinginan dirinya sendiri yang tidak tahan ingin segera membuka kaki lebar – lebar agar Paidi bisa memasukkan penisnya ke dalam… tidak! Alya tidak mau itu terjadi! Alya harus melawan!



Paidi menatap penuh pesona ke pentil susu Alya yang kini menjorok ke atas, benda mungil merekah itu seakan menantangnya. Sangat menggiurkan dengan warnanya yang gelap kecoklatan. Balon buah dada Alya bagaikan benda pusaka yang masih terawat rapi. Dia tak boleh membiarkannya sia – sia! Kepala Paidi segera turun ke bawah, bibirnya melumat tanpa ampun pentil susu yang sedari tadi terus menantangnya itu!



Alya melonjak kaget ketika mulut hangat Paidi menangkup puting payudaranya. Apalagi ketika bibir pria tua itu lalu mencium dan lidahnya menjilat seluruh balon buah dadanya! Akhirnya, tanpa dipaksa, Alya mendorong dadanya ke depan agar Paidi bisa lebih leluasa menikmati dadanya. Gigi Paidi bahkan menggigiti daerah ujung pentilnya, membuat sensasi kenikmatan menjalar dari dada ke seluruh tubuh, bahkan jari kaki Alya sampai merenggang karena keenakan!



“Oooooh!” lenguh Alya menahan nikmat.



Paidi menyeringai dan menggerakkan giginya dengan tenaga. Paidi bisa merasakan tubuh Alya yang gemetar dan menggelinjang karena rangsangan hebatnya pada puting susunya. Dengan sigap lidah Paidi melingkari pentil yang masih menonjol keluar. Hal ini membuat Alya makin salah tingkah, tubuhnya melengkung ke belakang, matanya terpejam dan tanpa sadar wanita cantik itu menghunjukkan buah dadanya ke mulut sang supir yang terus merangsangnya.



Bertentangan dengan apa yang ia rasakan, Alya menggunakan kedua tangannya untuk terus mendorong tubuh Paidi agar segera melepaskan pelukannya. Akhirnya Paidi bersedia mundur sesaat, ia melepaskan pentil payudara Alya, lalu memperhatikan wajah Alya, menikmati kecantikannya. Mata Alya sangat indah, bercahaya dan penuh pengharapan. Buah dada kirinya yang belum tersentuh terlihat gersang dibanding buah dada kanan yang terus menerus diserang sejak tadi.



“Sudah… cukup! Aku… tidak bisa melanjutkan ini semua, aku harus pergi!” pinta Alya dengan suara bergetar. Tangan si manis itu terus berada di pundak Paidi, menghalanginya mendekat. Tapi Alya tidak melakukan apapun untuk menutup payudaranya yang telanjang. Paidi kembali menyeringai dan menurunkan kepalanya ke dada kiri Alya.



“Jangan!” tangan Alya mencoba mencegah Paidi agar tidak mendekat. Namun tangan ramping Alya bukanlah penghalang berarti bagi supir tua berwajah buruk itu, dengan sigap ia menangkup pentil kanan Alya dengan mulutnya dan kembali menyebarkan sengatan kehangatan ke seluruh tubuh sang ibu muda.



Demi dewa… Paidi sungguh sangat kuat! Alya tak mampu berkutik. Si cantik itu hanya bisa megap – megap menggapai nafas ketika gigi Paidi mengunyah puting payudaranya, setelah pentil itu menonjol, lidah Paidi ganti menjilati sisi areolanya. Tubuh Alya melenting ke belakang, ia berusaha melepaskan dadanya dari mulut Paidi, namun belum sampai payudaranya bebas, Alya sudah terganggu oleh tangan sang supir yang dengan nakal menjelajah ke bawah roknya dan membelai ke atas menuju selangkangan!



Alya ingin melepaskan diri dari pelukan Paidi, sungguh dia telah berusaha, namun supirnya ini telah memakunya di atas sofa. Alya benar – benar tak berdaya di bawah rengkuhan sang lelaki kurus. Tubuh Paidi mengunci rapat kaki dan lengan Alya sementara gigi, bibir dan lidahnya merangsang habis – habisan puting payudara istri Hendra itu. Belum lagi rangsangan yang datang dari bawah roknya… apa yang bisa dilakukan Alya kecuali pasrah?



Tangan Paidi yang hangat berputar – putar di paha sang wanita pujaan, melaju ke atas tanpa halangan. Tangan hitam di atas paha putih mulus, sangat kontras. Paidi mengagumi seluruh tubuh Alya, paha yang ia sentuh ini dulu adalah milik suaminya seorang, sebelum akhirnya Alya jatuh ke jebakan maut Pak Bejo.



Ketika melihat Paidi lengah, Alya melawan lagi. Bayangan wajah suami yang ia cintai mendatangi benaknya dan ia melakukan semua yang ia bisa untuk mendorong sang supir. Tapi… tapi… ini enak sekali…! Mas Hendra sekarang berubah menjadi laki – laki dingin yang tak berperasaan, padahal Alya masih sangat membutuhkan belaian kasihnya! Apakah kini apa yang ia lakukan adalah hal yang salah? Membiarkan Paidi menguasai tubuhnya? Alya butuh kehangatan seorang laki – laki! Ia tidak mau terus menerus melayani Pak Bejo… ia ingin melakukannya dengan orang yang dia suka! Hasrat birahinya selalu bergejolak… Alya bingung saat ini, apakah dia diperkosa Paidi… atau justru membuka diri terhadap supirnya itu? Toh seandainya ia melayani Paidi, tidak akan ada orang yang tahu, kan? Batin Alya berkecamuk. Ini enak sekali… apa yang harus ia lakukan? Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ini memang enak sekali…



Tidak ada orang yang akan tahu, kan? Termasuk Mas Hendra!?



Saat perang berkecamuk dalam batin Alya, tangan Paidi leluasa masuk ke dalam celana dalamnya yang mungil dan membiarkan rok Alya tetap di tempatnya. Kini ia lebih bebas bergerak merangsang sang nyonya majikan! Tangan Paidi meraih tempat yang lebih atas dan Alya membiarkan laki – laki yang bukan suaminya ini membuka kakinya lebar – lebar. Tubuh wanita cantik itu menegang ketika Paidi menemukan bibir vaginanya yang lembut bagai sutra. Alya melonjak kaget saat sang supir mulai membelai bibir kemaluannya secara perlahan – lahan.



Ya Tuhan! Tidak seharusnya ia mengijinkan Paidi melakukan ini! Tapi batin Alya berkecamuk… benarkah dia yang mengijinkan? Paidi walaupun kurus jelas lebih kuat dan perkasa, bahkan mungkin lebih kuat dari Mas Hendra saat ia sedang sehat sekalipun! Tangan, bibir dan gigi Paidi dibiarkan bebas berbuat apa saja dengan tubuhnya, bagaimanapun caranya Alya menolak, ia tidak mampu menahan keinginan Paidi. Namun… ia juga tidak diperkosa… ia mengijinkan Paidi menggumulinya!



Sekilas rasa takut menyambar batin Alya. Setelah semua peristiwa mengerikan yang ia alami dengan Pak Bejo, ia tidak ingin kehilangan kontrol atas situasi lagi. Apa yang ia alami saat ini adalah karena ia kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Ia tidak ingin jatuh ke dalam kubangan yang lebih dalam. Hanya saja… saat ini, di atas sofa ini, Alya jelas tidak sedang mengontrol apapun. Sensasi birahi berlebih membuat tubuhnya lemah atas semua rangsangan. Alya tidak ingin mengkhianati suaminya… tapi apa yang Paidi lakukan sungguh membuatnya terbang ke awang – awang.



Satu jari telunjuk masuk ke dalam memek Alya.



Wajah wanita cantik itu memerah karena malu saat ia menyadari memeknya sudah mulai basah. Sangat memalukan menjaga harga diri di hadapan supirnya kalau memeknya sudah mulai membanjir seperti ini. Dari wajahnya yang tersenyum, Alya yakin Paidi juga sudah tahu hal itu. Tangan Alya meraih lengan Paidi, ia berusaha mendorong tangan itu meninggalkan tubuhnya. Tapi Paidi jauh lebih kuat, bukannya tangan Paidi yang terdorong menjauh, malah justru tangan Alya yang kini digenggam oleh sang supir.



Paidi membimbing tangan Alya yang halus ke dalam selangkangannya. Jari – jari lentik Alya segera bersentuhan dengan batang kejantanan yang hangat, besar dan panjang. Kaget, Alya menarik tangannya mundur. Si cantik itu terkejut dengan kehangatan dan kerasnya batang kemaluan Paidi. Alya tidak tahu sejak kapan Paidi mengeluarkan kemaluannya dari dalam celana. Paidi tidak menyerah begitu saja, supir nakal itu menarik kembali tangan Alya dan membimbingnya lagi ke kontolnya yang besar dan hitam. Kali ini Alya tidak melawan. Jari – jari mungilnya mengitari batang besar kontol Paidi.



Ukuran kontol Paidi ini pas sekali dalam genggaman tangan mungil Alya, ukurannya yang besar tidak cocok dengan postur tubuh Paidi, tapi sangat mempesona ibu muda satu anak itu. Urat – urat yang mengitari batang kemaluan Paidi berdenyut dalam genggaman tangan Alya, wanita cantik itu berusaha mencari cara untuk menghindari kekagumannya pada alat vital Paidi, namun seperti anggota tubuh yang telah dipasangi susuk, Alya tidak bisa melepas pandangan dari kemaluan Paidi. Ingin sekali rasanya Alya merasakan kontol Paidi itu di dalam memeknya, ia tidak yakin benda besar dan panjang ini bisa masuk seluruhnya, tapi… Alya tidak akan mengijinkan Paidi menyetubuhinya. Ya. Itu pasti. Tidak mungkin. Tidak boleh.



Tangan Paidi meraih pergelangan tangan Alya dan membimbingnya mengocok kemaluannya secara perlahan. Kontol Paidi yang hitam, besar dan panjang membuat Alya sangat terpesona. Penis Paidi memang tidak segemuk milik Pak Bejo, tapi lebih panjang dan sangat keras. Panjangnya melebihi milik Mas Hendra. Hitam… besar… panjang…



Setelah beberapa saat membiarkan tangan Paidi membimbingnya, Alya tidak membutuhkan dorongan apapun lagi untuk terus menikmati kemantapan alat kelamin Paidi, ketika Paidi melepas tangannya, Alya masih terus mengocok kontol pria kurus itu. Apa yang dimiliki supirnya itu seakan – akan mengingkari hukum alam, bagaimana bisa orang sekurus dan sehitam Paidi memiliki penis yang seperti ini? Begitu besar dan panjang… tangan Alya bergerak turun ke pangkal batang kemaluan Paidi, mengagumi ukuran kejantanan yang sebelumnya belum pernah ia lihat. Nafas Alya makin berat, nafsunya mengambil alih, birahinya makin meningkat. Alya tidak akan keberatan kalau benda ini dicoba dimasukkan ke dalam liang kenikmatannya… tapi… tapi…



Saat itulah Paidi mendorong jarinya yang panjang ke dalam bagian terlarang milik Alya. Terpengaruh oleh rangsangan bertubi, Alya mencoba menyikapi dengan kesadaran yang tersisa. Hanya ada satu konsekuensi yang akan ia peroleh jika mengijinkan Paidi melakukan rangsangan lagi, dan hal itu tidak boleh terjadi.



Alya berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Dia telah menikah. Dia mencintai Hendra, suaminya. Dia tidak mencintai Paidi, dia tidak mencintai Pak Bejo. Tubuhnya hanya milik Hendra, suaminya. Dia tidak boleh membiarkan ini semua berlanjut!



“Lepaskan aku!” tuntut si seksi itu. Tapi Paidi tidak menghiraukannya. Bibir pria hitam dan kurus itu masih terus memagut leher putih mulus milik Alya. Jari jemari Paidi menusuk lebih ke dalam. Kaki Alya menggeliat dan menjepit tangan Paidi, ia berusaha menarik tangan Paidi keluar dari selangkangannya.



“Ini sudah keterlaluan, kita tidak boleh melakukan ini! Aku ini istri orang!”



Paidi malah nyengir ketika dia diingatkan bahwa tubuh molek yang menggiurkan yang sedang menggeliat di bawah tubuhnya ini adalah milik laki – laki lain, tubuh seorang majikan bahkan! Dengan nekat Paidi memutarkan jarinya di bibir kemaluan Alya yang makin lama makin basah, lalu menusukkan jarinya itu ke dalam memek Alya lebih dalam lagi.



Ketika jari Paidi melesak masuk, tanpa sadar Alya meremas kemaluan Paidi dengan kencang. Penis itu begitu besar dan keras, Alya seakan tak mampu menggenggamnya utuh karena ukuran lingkarnya yang sangat besar. Dia tak pernah menduga orang sekurus Paidi memiliki penis yang sedemikian besarnya, ia sudah memperkirakan ukurannya, tapi penis milik Paidi ini melebihi semua imajinasi lliarnya. Batang kemaluan hitam besar milik Paidi berdenyut dalam genggaman tangan Alya yang halus, si cantik itu bisa merasakan denyut yang bergerak di urat yang bertonjolan di batang yang terisi oleh desakan darah dan sperma yang siap diledakkan.



Paidi menarik jarinya dan merubah posisi. Ia mengangkat tubuhnya sehingga Alya kini bisa melihat langsung ukuran sebenarnya batang kemaluan laki – laki yang baru saja menindihnya. Mata indah si cantik itu langsung terbelalak!



Luar biasa besarnya!



Jauh lebih besar daripada milik Hendra atau bahkan Pak Bejo!



“Ya Tuhan!” desis Alya yang terkejut.



Paidi nyengir. Dia bangga dan bahagia melihat reaksi majikannya yang terkejut saat melihat ukuran kontolnya. Reaksi jujur yang ditunjukkan oleh Alya sungguh sedap baginya. Rasa ketakutan karena tak ingin ketahuan, perasaan bersalah, nafsu yang menggelegak yang sangat terlihat di wajah Alya adalah keindahan sempurna bagi Paidi. Inilah yang membuatnya terangsang hebat.



Alya memang bukan seorang perawan, tapi Paidi memperkirakan tusukan pertama penetrasinya akan seret sekali, karena walaupun sudah pernah berkali – kali melayani nafsu binatang Pak Bejo, memek Alya masih sangat mungil.



Alya memandang penis Paidi dengan penuh ketakutan sekaligus kekaguman. Seakan ia berhadapan langsung dengan seekor ular kobra dan takut untuk menggerakkan tubuh sedikitpun. Bagi Paidi, menyaksikan konflik batin ibu muda yang jelita itu sungguh suatu kenikmatan yang tak terkira.



“Apakah ini yang anda inginkan selama ini?”



Alya menatap Paidi bingung, apa maksud kata – katanya itu?



Paidi tersenyum dan mengulangi lagi ucapannya, “setelah selama ini ditiduri oleh laki – laki lemah seperti Pak Hendra dan laki – laki brengsek seperti Pak Bejo… apakah ini yang ibu inginkan? Kejantanan sejati seperti ini?”



Wajah Alya memerah karena malu. Ia marah dan kesal pada sikap Paidi yang arogan, tapi memang benar apa kata supirnya itu – Alya sangat tertarik mencicipi kejantanan milik Paidi yang luar biasa besarnya. Warna merah jambu karena malu menutup pipi hingga ke dada Alya. Kejantanan sejati… kejantanan sejati… kata – kata itu terus berulang di otak Alya yang dipenuhi kekalutan.



Tidak mungkin ada penis sebesar itu! Terlalu besar! Ini semua pasti rekayasa! Batin Alya dalam hati. Kalau mau hiperbola, tidak mungkin ada penis yang batangnya hampir sama besarnya dengan pergelangan tangan Alya! Ketika Paidi berpindah posisi dan kedua tangannya kini berada di bawah rok Alya, ibu muda yang jelita itu bisa melihat dengan jelas batang penis Paidi!



Alya terbata – bata melihat panjang penis Paidi. Tidak akan muat! Benda ini tidak akan muat masuk ke dalam kemaluannya yang mungil! Benda itu akan menghancurkan rahimnya! Batin Alya lagi.



“Terlalu besar…” desis Alya perlahan. Nafasnya kembang kempis, ada desakan berat di dalam dadanya, di tenggorokan dan dalam pikirannya. Panas menghentak – hentak membuat birahi Alya meninggi, ada kehausan luar biasa yang ditimbulkan pemandangan indah yang diberikan Paidi pada lubang kemaluan Alya. Paidi tersenyum penuh kemenangan ketika dia menarik celana dalam Alya, wanita cantik itu menggerakkan pinggulnya tanpa sadar, memudahkan Paidi melucuti celana dalamnya yang mungil.



Alya telah menyerah kepada supirnya…



Alya telah ditaklukkan…



“Ya Tuhan! Apa yang… suamiku…”



Paidi tersenyum, lagi – lagi laki – laki kurus berkulit hitam itu menempelkan bibirnya ke bibir tipis Alya, mengatupkan mulutnya ke mulut Alya dengan satu ciuman penuh nafsu. Apapun kata – kata yang hendak diucapkan Alya, semua permohonan dan penolakannya, luruh oleh ciuman itu. Alya menggeser kepalanya mencoba menghindar dari ciuman Paidi, tapi gerakan itu justru membuat Paidi mendapatkan akses ke arah telinganya yang seputih pualam. Setelah gagal mencium Alya, perhatian Paidi beralih ke arah lain. Bibir dowernya menyosor ke daun telinga Alya. Lidah supir itu bergerak lincah menjelajahi tiap sudut bagian dalam telinga Alya. Tubuh wanita cantik itu menggelinjang geli ketika merasakan sentuhan lembut lidah Paidi pada telinganya. Lidah Paidi bergerak lincah membuai Alya sementara tangannya bebas bergerak di bawah roknya. Jari – jari nakal milik lelaki kurus itu membelai tiap jengkal paha putih milik istri majikannya.



Paidi tidak berhenti di bibir Alya, lidahnya menjilat pipi dan telinga si cantik itu, masuk ke dalam daun telinganya, memutar dan merasakan tiap sisi kecantikan parasnya. Dada kurus Paidi bisa merasakan kehangatan yang dihadirkan buah dada Alya yang menempel kepadanya, mendorongnya naik turun seiring emosi dan nafsu yang menggelora di badan sang ibu muda. Alya tidak bisa menghindar dari rangsangan hebat yang dilakukan Paidi pada telinga dan pipinya, tubuhnya bergetar dan menggelinjang. Tangan Paidi merenggangkan kedua paha Alya, mengangkat roknya sampai ke lekuk pinggul.



Pria itu memposisikan dirinya di antara kedua kaki sang majikan.



Alya menyadari bahaya yang tengah ia hadapi. Godaan lidah Paidi yang terus menjilati wajah dan telinganya tak berbelaskasihan… sekaligus menggairahkan. Lelaki kurus berkulit gelap itu benar – benar tahu bagaimana caranya membuatnya bergairah! Sangat nakal, sangat… terlarang. Alya memiringkan kepala, membuat telinganya jauh dari jangkauan lidah Paidi, ia menatap pria yang tengah menggumulinya dan hendak memintanya berhenti. Ia menatap mata Paidi… mata yang penuh dengan hasrat dan nafsu.



Nafsu birahi untuk menggauli tubuh indah majikannya.



Batin Alya dipenuhi perasaan yang berkecamuk dan menggelora. Dia bingung, jantungnya berdebar kencang dan nafasnya kembang kempis naik turun. Bukannya menolak laki – laki yang bukan suaminya, Alya malah menggoyang pinggul karena tak tahan godaannya. Ia malu sekali. Ia ingin memaki – maki dirinya sendiri yang tak mampu menahan birahinya, namun ketika mulut Paidi mencium bibirnya, Alya tak mampu melawan sedikitpun. Bibirnya yang indah membuka sedikit untuk menerima serangan nafsu dari sang supir. Ketika lidah Paidi masuk ke dalam mulutnya, lidah Alya menyambut dan keduanya segera bertemu dalam pertempuran nafsu.



Ujung gundul penis Paidi menyentuh bibir vagina Alya, batang kemaluan laki – laki tua itu siap dilesakkan ke dalam liang cinta sang ibu muda yang jelita. Mata indah milik Alya menyala karena kaget. Dengan pandangan bingung, wanita cantik itu menatap mata buas penuh nafsu milik Paidi yang sedang memeluk dan menciuminya.



Paidi menatap mangsanya dengan senyum penuh kemenangan. Dia sangat menyukai saat – saat seperti ini, saat di mana wanita yang hendak ia tiduri menatap tak percaya kepadanya. Mata Alya terbelalak lebar karena tahu penis hitam milik sang supir sudah siap masuk ke dalam liangnya yang mungil. Paidi mendorong pantatnya ke depan dan melepaskan ciuman dari mulut Alya.



“Ja – Jangan! Jangan…!! Kamu tidak boleh…” Alya mencoba melawan.



Paidi menusuk lagi. Akhirnya ia benar – benar menembus gerbang kewanitaan Alya.



“Ahhhhhhhh!!!” jerit Alya tertahan.



Ia lalu berhenti. Paidi kaget sekaligus senang ketika tahu bahwa memek Alya ternyata masih cukup sempit dan rapat, batang penisnya yang masuk ke dalam liang kenikmatan Alya seperti dihimpit oleh dinding basah yang rapat dan nyaman, memberikan kehangatan yang lain daripada yang lain. Setelah tidur dengan Hendra dan Pak Bejo, memek mungil itu masih tetap seperti milik seorang pengantin baru. Paidi menggerakkan badan ke depan, menusukkan kontolnya ke memek Alya lebih dalam lagi.



Masuknya batang penis Paidi yang menjajah vaginanya sedikit demi sedikit membuat Alya secara refleks membuka kakinya lebar – lebar. Paidi mengangkat pinggul Alya yang seksi dan mengangkatnya tinggi sementara dia melanjutkan niatnya menumbuk sang bidadari. Hampir tiga perempat bagian batangnya sudah masuk ke dalam, melewati bibir vagina Alya yang basah dan merah. Paidi menusuk sekali lagi, menambah kedalaman batangnya.



“Ooooooh… jangan… aku tidak kuat lagi!”



Paidi tertawa penuh kemenangan dan mendorong kemaluannya lagi. Pinggul Alya mulai tersentak – sentak tak teratur di bawah pelukan sang supir, kakinya yang jenjang meronta – ronta. Alya mencoba mendorong tubuh Paidi, ia mencoba memberontak meskipun semuanya sia – sia, Paidi masih tetap bertahan. Justru karena Alya memberontak, batang kemaluan laki – laki kurus itu makin membenam di dalam liang cintanya. Akhirnya si cantik itu menyerah, batang kemaluan sang supir sudah terlalu dalam terbenam dan memeknya sudah menangkupnya dengan erat, tak akan ada gunanya melawan apalagi mencoba mendorong Paidi. Dia harus rela disetubuhi Paidi.



Kalimat itu membuat gemetar seluruh tubuh Alya. Dia tak mampu berbuat apa – apa lagi! Dia hanya bisa pasrah! Dia akan segera disetubuhi supirnya!



Nafsu birahi yang bercampur dalam benak sang ibu muda membuatnya sangat bergairah. Ada perasaan aneh yang menyapu tubuh Alya, gairah sensasi birahi yang menyelimuti dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Ia mulai terbiasa dengan ukuran kemaluan Paidi. Memeknya yang terus disiksa oleh kenikmatan mulai lengket pada batang penis sang supir, dinding memek Alya mulai merenggang dan menyesuaikan dengan ukuran penis yang menginvasi.



Namun… ketika Alya sudah bersiap, tiba – tiba saja Paidi berhenti.



Setelah beberapa detik tanpa ada gerakan, Alya akhirnya sadar Paidi sudah berhenti menusuk. Ketika mata indah ibu muda yang cantik itu melihat ke tubuh yang menguasainya, Paidi rupanya tengah terdiam dan menikmati saat – saat yang sangat diimpikannya, yaitu saat penisnya masuk ke dalam memek Alya. Vagina Alya meremas batang penis yang ditusukkan ke dalam, menyebarkan sentakan birahi ke seluruh tubuh Alya. Wanita cantik itu puas sekaligus malu karena bagian dalam tubuhnya seakan membelai batang kemaluan Paidi. Bagaimanapun caranya Alya mencoba untuk mengendalikan tubuhnya sendiri.



Ketika Alya melihat ke atas, ia melihat Paidi menatapnya tajam, merekapun saling bertatapan. Wajah Alya memerah karena malu.



“Su… sudah semua? A… apa sudah masuk semua?” tanya Alya.



Paidi menyeringai. “Belum.”



Pria kurus berkulit gelap itu mengeluskan tangannya di lekuk pinggang Alya, menikmati kehalusan kulit sang bidadari, naik ke atas, lalu menggenggam erat lengan mungil ibu muda itu.



“Belum, ini belum masuk semua,” tambah Paidi. Ia ketawa dan menusuk lagi.



Betapa nikmatnya melihat wajah Alya yang terkejut oleh jangkauan tusukannya. Kali ini Paidi memeluk erat Alya supaya posisi mereka tidak berubah dan ia bisa menusuk lebih dalam. Paidi sangat menyukai cengkraman vagina Alya yang seperti sarung tangan erat menangkup batang kemaluannya. Tusukan penis panjang itu bagai melawan dinding rahim Alya dan menembus terus ke dalam rintangan yang sebelumnya belum pernah ditembus oleh penis lain.



“Ooooooh… Ya Tuhan… oooooh.” Desah Alya.



Paidi melepas satu tangan dan meraih rambut panjang Alya, ia menjambak rambut si cantik itu dan membuat kepalanya tertarik ke belakang. Alya berteriak kesakitan, tapi rasa sakit itu seiring dengan gelombang nikmat sodokan di selangkangannya. Vagina Alya meremas penis Paidi tiap kali benda panjang yang keras itu masuk dan mencoba menjajah ke dalam.



Beberapa sat kemudian, Alya bisa merasakan tamparan kantung kemaluan Paidi yang mengenai pantatnya. Saat itulah Alya sadar, kalau kantung kemaluan Paidi telah menempel di pantatnya, itu artinya batang kemaluan sang supir telah masuk seluruhnya ke dalam memeknya! Secara insting, Alya mulai menggoyang pantatnya.



Paidi menatap ke bawah, dia menikmati kecantikan alami Alya, dia menikmati halusnya leher jenjang Alya, dia menikmati matanya yang melebar dan nafasnya yang kembang kempis. Mata si cantik itu kabur, Paidi memberi kesempatan pada Alya untuk mengembalikan kesadaran, ketika akhirnya mata indah itu menatapnya tajam, Paidi tersenyum penuh kemenangan pada Alya. Wanita cantik itu membalasnya dengan senyuman lemah.



“Sekarang,” kata Paidi, “saatnya menikmati memek Bu Alya.”



Mata Alya terbelalak melebar, dia terkejut oleh situasi dan kata – kata kasar yang dikeluarkan sang supir. Tapi Paidi lebih terkejut lagi ketika dia merasakan kaki jenjang Alya melingkar di pinggangnya.



Paidi tersenyum lagi, kali ini Alya membalasnya dengan gugup.



Lalu Paidi mulai menyetubuhinya.



Alya melenguh dan mengembik penuh nafsu ketika Paidi menarik diri dan kemudian menusuk dengan kekuatan penuh. Berulang kali Paidi mengangkat pinggulnya dan menjatuhkan diri ke dalam selangkangan Alya yang terbuka lebar. Paidi menikmati kelembutan paha dalam Alya yang bagaikan sutra ketika majikannya ini mengikat pinggulnya dan menariknya ke bawah. Majikannya yang seksi takluk akan kenikmatan birahi di bawah pelukannya! Apakah ada yang lebih nikmat daripada ini?



Tentu saja ada, bagi Paidi, kenikmatan puncaknya adalah ketika dia menyemburkan spermanya dan berharap ia bisa menghamili wanita sesempurna Alya. Itu akan jadi hal yang terindah baginya.



Paidi merenggut pundak Alya dan menikmati tiap jengkal kedalaman memeknya, ia terus mendorong penisnya dan mengobrak – abrik memek yang seharusnya hanya menjadi milik suami wanita cantik yang kini meringkuk dalam pelukannya. Bagi Paidi, sesaknya memek Alya adalah surga yang menjadi nyata.



Kenikmatan yang terlalu berlebih membuat Alya tak kuat lagi, ia melolong ketika cairan cintanya mengalir. Ratapan yang keluar dari mulut Alya bertolak belakang dengan orgasme yang keluar dalam liang kenikmatannya. Paidi merasakan getaran pada tubuh indah yang kini berada di bawahnya, ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan lagi genjotannya.



“Jangan Mas… sudah… sudah cukup… aku sudah keluar… sudah…”



Paidi hanya tertawa dan meneruskan gerakan maju mundurnya.



“Oh Tuhan! Sudahlah, Mas! Sudah cukup… aku tidak kuat lagi… kamu dengar tidak? Aku sudah keluar… aku tidak kuat…”



Paidi tidak mempedulikan rengekan Alya dan meneruskan gerakannya. Alya menggeliat dan meronta, mencoba mendorong tubuh Paidi. Tapi pria kurus itu lebih kencang memegang tubuhnya, ia juga lebih kuat dan lebih bernafsu. Tiba – tiba saja tubuh Alya mengejang, dengan satu lolongan kalah, Alya sampai di puncak kenikmatannya yang kedua. Wanita cantik itu tersentak – sentak dan bergetar akibat sensasi luar biasa yang berasal dari tubuh bagian bawahnya. Si cantik itu tidak percaya, kaget dan terkejut… belum pernah ia mengalami hal seperti ini sebelumnya…



Alya ambruk dalam pelukan Paidi, kalah dan pasrah. Tidak ada gunanya melawan. Paidi meneruskan aksinya menggoyang dan menusuk memek Alya sekuat tenaga, memberikan serangan bergelombang di antara selangkangan sang wanita idaman yang mengikat pinggulnya dengan kaki yang jenjang.



Gelombang orgasme membuat Alya lemas, ia tidak lagi melawan dan membiarkan Paidi melakukan apa saja dengan tubuhnya. Paidi adalah seorang pria kuat yang telah mengambil apa yang ia inginkan dan dari apa yang baru saja Alya alami, ia gembira sekali Paidi menginginkannya.



Kehangatan yang lembek terasa di sekitar selangkangan dan pinggang Alya, si cantik itu segera sadar kalau Paidi akhirnya mencapai puncak orgasme. Semprotan pejuh Paidi melesat jauh ke rahim Alya, tubuh wanita cantik itu bergetar seakan menunggu – nunggu bibit unggul yang ditanam oleh pria kurus berkulit hitam yang bukan suami sahnya ini.



Paidi menarik kontolnya dengan pelan, batangnya yang tebal dan panjang penuh dengan lumuran cairan cinta yang tercampur dari keduanya.



Untuk beberapa saat lamanya kedua tubuh telanjang itu diam tak bergerak di atas sofa. Paidi mengguling ke bawah dengan lemas, ia meninggalkan Alya yang masih diam tak bergerak. Sambil duduk dan menyalakan rokok Paidi melirik ke arah wanita jelita yang baru saja ia tiduri.



“Bagaimana? Ibu suka kan tidur sama saya?”



Alya mendengus keras dan berbalik, ia lebih memilih menatap tembok karena tak ingin melihat wajah puas Paidi yang telah berhasil menidurinya. Seluruh pikiran Alya terbagi menjadi dua bagian, saling bercampur dan bertarung. Alya tidak bisa memilah diri dan memutuskan apakah kenikmatan luar biasa yang telah ia raih sebagai hasil memuncaknya birahi ataukah rasa putus asa yang sangat mendalam yang saat ini sebenarnya ia rasakan. Dia gagal menjadi wanita yang tegar dan mampu berjuang demi diri sendiri. Ia selalu ditekan oleh keperkasaan lelaki bejat seperti Pak Bejo dan kini oleh nafsu binatang supirnya sendiri. Alya telah kalah dan ditundukkan.



Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi? Alya tidak tahu dan dalam hati kecilnya ia mungkin tidak peduli. Dia hanya tahu kalau dia kini sedang berbaring di samping seorang laki – laki yang telah membuatnya terbang ke langit ke tujuh dengan permainan cinta yang fantastis, penuh rasa cinta yang menggebu dan nafsu yang membuncah. Dia tidak peduli kalau laki – laki itu bukanlah suaminya yang kini tergolek lemah tak berdaya di salah satu kamar. Alya juga tidak peduli kalau laki – laki itu bukanlah pemerkosanya yang bejat dan tidak tahu diri. Dia tidak peduli.



“Sebaiknya Bu Alya segera kembali ke kamar sendiri. Bapak mungkin sudah menunggu.”



Alya menatap laki – laki di sampingnya dengan pandangan lemah. Entah kenapa dia lebih ingin menghabiskan malam ini bersama Paidi daripada harus kembali ke kamar dengan Mas Hendra. Tapi itu pemikiran yang salah dan bodoh. Si cantik itu bergegas bangkit dan mengenakan pakaiannya kembali.



Suaminya pasti sudah menunggu! Dengan buru – buru Alya mengenakan BH dan baju, ia mencoba mencari celana dalam tapi tak kunjung menemukannya. Dengan kebingungan Alya mencari kesana kemari, di mana celana dalamnya? Kemana tadi Paidi membuangnya?



“Celana dalamku…? Mana celanaku, Mas? Jangan diam saja! Ayo bantu cari!”



“Seandainya kita hanya bisa bercinta malam ini, biarlah celana dalam Ibu menjadi benda yang bisa saya bawa sampai kelak saya pergi, saya akan menyimpannya sebagai benda paling berharga yang pernah saya miliki.” Kata Paidi dengan tenang, “lebih baik sekarang Ibu kembali ke Pak Hendra.”



Dengan langkah cepat Alya keluar dari kamar Paidi, melewati taman dan masuk ke rumah induk, ia mencari Hendra ke kamar. Nafas Alya yang kembang kempis mengejutkan Hendra yang tengah mengetik dengan laptop. Hendra sudah bangun? Jangan – jangan ia sedang menunggu Alya? Sambil berusaha mengembalikan perasaannya yang kacau balau setelah disetubuhi Paidi, Alya duduk di samping sang suami. Alya berkeringat dingin, semuanya hancur. Dunianya kembali berantakan, bukan oleh ulah Pak Bejo… melainkan oleh ulahnya sendiri… yang tergoda laki – laki lain!



“Kamu baik – baik saja?” tanya Hendra dengan suara dingin. Ia hanya menatap Alya sekilas dan melanjutkan lagi pekerjaannya.



Alya memandang wajah Hendra dari samping dan menyesali perbuatannya. Ia sangat menyesal… ia telah bersalah kepada suaminya, ia telah mengkhianati cinta mereka. Bukannya berusaha meraih kembali hati suaminya yang tengah terpuruk, ia malah jatuh ke pelukan laki – laki lain! Ini lebih buruk daripada diperkosa Pak Bejo. Ini sama saja dengan selingkuh! Sudah pasti, kesalahan ada di pundak Alya.



“Mmmm… aku baik – baik saja.” jawab Alya lirih.



“Kamu kok kebingungan begitu? Apa ada yang kamu pikirkan?”



“A… anu… aku… aku tadi sakit perut… dan… aku dari kamar mandi… dan…”, Alya tidak kuat menanggung ini semua, lagi – lagi dia harus berbohong kepada Mas Hendra. Yang lebih parah, kali ini dia menutupi ulahnya sendiri yang mau – maunya menerima rayuan Paidi dan bukan atas paksaan Pak Bejo. Dia benar – benar telah berubah menjadi seorang wanita gampangan! Ingin menangis rasanya Alya kalau ingat apa yang baru saja terjadi.



“Kamu sakit perut?”



“Mmm… sudah baikan… aku tidak apa – apa.”



“Tidur saja kalau sakit.”



“Iya mas…”



Tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Hendra meneruskan pekerjaannya tanpa mempedulikan kehadiran Alya. Dengan tubuh yang masih gemetar ketakutan Alya berbaring di ranjang dan mencoba memejamkan mata. Pengkhianatannya dan tanggapan dingin Hendra membuat tubuhnya menggigil.



Tanpa sepengetahuan Hendra, setetes air mata mengalir di pipi Alya, sementara setetes air mani yang tersisa mengalir di pahanya.



###



Pojok pos ronda di gang keempat sebelah selatan rumah Pak Bejo sering digunakan sebagai tempat berkumpulnya para preman kampung. Tempat ini sebetulnya sudah tidak pernah dipakai lagi karena warga kampung lebih memilih menggunakan pos ronda yang ada di dekat perumahan, yang pernah dipakai Pak Bejo menggauli Alya. Apalagi karena para preman sering sekali menggunakan pos ronda ini sebagai markas mereka kalau sedang bermain judi atau mabuk – mabukan, maka tempat ini makin ditinggalkan dan dilupakan. Lokasinya juga agak jauh dari rumah lain dan menempel di belakang gedung sekolah bertembok tinggi, berbatasan dengan sebuah gang kecil yang langsung menuju ke jalan besar. Jarang ada yang berani melewati gang kecil ini, karena kalau ada yang lewat, para preman langsung beraksi meminta retribusi. Karenanya, warga kampung lebih memilih memutar lewat perumahan daripada harus melewati gang kecil ini. Tidak ada lagi orang menyebut tempat ini Pos Ronda, mereka kini menyebutnya Pos Preman.



Di tempat inilah Pak Bejo biasa menghabiskan waktunya.



Namun hari itu lain, hanya ada tiga orang saja yang berada di pos preman itu, Badu, Jabrik dan Kribo, ketiganya anak buah Pak Bejo. Botol minuman keras berserakan, asap rokok mengepul tinggi, pemandangan yang biasa bagi warga kampung, walau sesungguhnya bukanlah pemandangan yang sehat. Ketiga anak buah Pak Bejo itu sedang asyik dengan kegiatan masing – masing sambil tertawa – tawa. Entah apa ada yang lucu ataukah syaraf mereka sudah terpengaruh minuman keras.



Jabrik dan Badu sedang bermain kartu sambil melempar – lempar uang ribuan, sementara Kribo sibuk menikmati gambar artis – artis berdada sentosa yang ada di dalam majalah khusus pria dewasa yang tadinya ia rampas dari tas seorang anak SMA. Dari ketiganya, Kribo adalah yang paling ditakuti, tubuhnya besar dan wajahnya sangar. Bisa dianggap kalau dia ini tangan kanan Pak Bejo. Perhatian Kribo yang sedang membuka – buka majalah terusik ketika dia melihat ada satu sosok masuk ke gang mereka.



“Sst… duit! Duit!” bisik Kribo pada Badu dan Jabrik.



Kedua orang yang tadinya asyik dengan kartu mereka bangun dan memasang wajah sangar.



“Siapa yang lewat?” bisik Badu.



“Bukan orang kampung.” Jawab Jabrik. “Gak kenal.”



“Abisin aja.” Kata Kribo sambil kembali menatapi kemolekan artis yang pernah tampil di iklan sabun mandi berpose menantang di dalam majalah. Kalau hanya urusan kompas – mengompas mending dia berikan saja kepada dua temannya itu, dia malas berurusan dengan hal – hal sepele.



Badu dan Jabrik tertawa – tawa lagi karena mereka akan kembali menuai uang. Anehnya, sosok yang baru saja datang itu bukannya menjauh saat melihat mereka, dia malah mendekat bahkan berjalan dengan langkah yang sangat cepat menuju mereka. Aneh sekali!



Bruk!!!



Tiba – tiba saja orang itu menendang Badu!



Tubuh Badu yang tak siap terlempar jauh menubruk tembok. Nasib yang sama menimpa Jabrik yang juga terkejut melihat temannya terlempar.



Brak!!!



Jabrik terlempar terkena tendangan dan jatuh tepat di samping Badu. Kedua orang itu meringis kesakitan. Melihat kedua temannya terkapar, Kribo dengan kesal melempar majalah yang ia baca dan mencabut pisau lipat dari saku di celananya. Dia berjalan pelan ke arah Badu dan Jabrik, lalu membantu mereka berdiri. Tiga lawan satu, kelihatannya tidak seimbang tapi kedua kawannya sudah jatuh, orang ini harus diwaspadai. Kribo meludah dan menatap orang itu dengan pandangan seram. Badu dan Jabrik yang melihat Kribo sudah memegang pisau ikut – ikutan menyiapkan pisau lipat mereka.



“Siapa kamu!? Kurang ajar! Berani – beraninya menantang kami! Jangan sok jago! Tadi kami belum siap! Ayo maju!” teriak Badu, walaupun menantang, ia sebenarnya gentar juga, dengan tangan gemetar ia mengacung – acungkan pisau yang ia pegang ke arah orang yang tiba – tiba saja datang.



“Banci! Beraninya pakai senjata!” ejek orang itu sambil mencibir.



Badu menggerutu geram ketika orang tak dikenal itu maju tanpa mempedulikan pisau yang ia pegang. Badu tidak takut, toh dia tidak sendirian. Kedua kawannya yang lain juga sudah siap menyerang lelaki asing itu. Ketika komando Badu diteriakkan, mereka bertiga menyerang membabi buta. Tapi dengan mudah dan sigap ia menghindari semua serangan mereka. Orang itu sebenarnya tidak besar dan kekar, bahkan kurus dan sangat hitam, wajahnya juga terlihat tua dengan keriput yang tidak bisa disembunyikan. Tapi orang ini sangat liat dan lincah, gerakannya cepat dan efektif, semua diperhitungkan masak – masak, sepertinya dia sudah sering melakukan pertarungan jalanan semacam ini.



Ketika serangan mereka dengan mudah dapat dihindari, Badu, Jabrik dan Kribo merubah strategi dan mengepung sang lawan yang tidak bersenjata. Kali ini mereka mengunci posisinya dari semua sisi.



Kribo berteriak kencang sambil menyergap maju, ia menusuk – nusukkan pisaunya ke kepala sang lawan. Orang yang ia serang berputar cepat menggunakan tumit kanan dan melambaikan tangannya dengan keras - memukul tangkai pisau yang dipegang Kribo. Kaget karena tiba – tiba saja kehilangan senjata, Kribo lengah. Dengan cepat sang lawan menggunakan lengan bawahnya untuk mendesak leher Kribo dan menjatuhkannya ke bawah. Kribo terbanting dengan keras dan berteriak kesakitan. Kribo masih belum mau kalah, ia mencoba menyepak lawannya menggunakan kakinya yang bebas. Namun orang itu bukan orang biasa, ia melompat dan menubruk tubuh Kribo dengan sangat keras. Satu pukulan di rahang dan satu sodokan sikut di perut Kribo membuat pria berambut afro itu berteriak kesakitan. Kribo tak mampu bergerak lagi.



Melihat Kribo gagal merubuhkan sang lawan, bahkan berhasil dibekuk dengan sangat mudah, membuat Badu dan Jabrik saling berpandangan dengan bingung. Dari mereka bertiga, Kribo adalah yang paling kuat, ulet dan susah dilawan. Kalau Kribo saja jatuh, apalagi mereka berdua! Keduanya berteriak kencang dan lari ketakutan. Mereka lari terbirit – birit seperti baru saja melihat hantu.



Lawan mereka, tentu saja bukan hantu.



Orang yang mereka hadapi adalah Paidi. Dulu narapidana, lalu penjual bakso, sekarang supir.



Pria tua kurus itu geleng – geleng melihat sifat pengecut Badu dan Jabrik yang meninggalkan Kribo seorang diri. Ia melirik ke bawah dan melihat Kribo meringis kesakitan, ia mengembik minta ampun. Kribo tak bisa melarikan diri karena tubuhnya tak bisa digerakkan. Perutnya mulas karena sodokan sikut dan rahangnya seperti mau copot.



Paidi mendengus, ia mencengkeram kaos Kribo dan mengangkatnya ke atas.



“Dengar aku baik – baik dan jangan sampai lupa menyampaikan pesanku ini, bocah ingusan,” gertak Paidi. Ia menjelaskan tiap kata dengan mendorong tubuh sang preman ke pagar besi yang tumpul, pasti sakit sekali rasanya. “Aku akan melepaskanmu, dengan syarat kau mau menyampaikan pesan kepada Bejo Suharso. Mengerti? Mengerti tidak? Bagus! Bilang sama dia kalau Paidi tidak takut menghadapi berapapun anak buah yang dia punya, karena aku juga punya anak buah. Teman – temanku yang sudah lepas dari penjara akan senang sekali kalau mereka punya ‘kantung pasir’ yang bisa dipukuli untuk melepas penat selama dipenjara. Dia hanya preman kampung yang sok aksi. Bilang sama dia kalau dia sampai berani mendekati keluarga Hendra lagi aku tidak akan segan menghajarnya. Mengerti?”



“I – iya, bang… ngerti… nanti saya sampaikan… ke… uhhh… ke Pak Bejo.”



Paidi melempar tubuh Kribo ke tong sampah yang langsung terguling berantakan. Ia meninggalkan tubuh Kribo dan mengelap tangannya ke kaos yang ia kenakan.



Dengan langkah yakin Paidi meninggalkan Kribo yang sudah tak berdaya.



###



Hari ini, lagi – lagi Hendra memilih untuk berangkat ke kantor dengan diantar oleh Paidi. Dia menolak diantar Alya ataupun mengerjakan pekerjaannya di rumah, padahal pihak kantor sudah memberikan kompensasi pada Hendra agar dia mengerjakan saja tugas – tugasnya di rumah. Jurang antara pasangan suami istri serasi ini memang makin melebar. Hendra sudah berubah, ia bukan lagi sosok yang tenang dan mencintai istrinya, bahkan ada kesan kalau Hendra benci sekali pada Alya. Entah apa sebabnya.



Sore itu, Alya yang sedih pulang ke rumah dengan kelelahan. Tadi Mas Hendra sudah SMS kalau dia akan pulang besok, malam ini Mas Hendra ingin berkunjung ke tempat saudara dan menginap di sana, pulang kerja langsung dijemput oleh Anissa dan Dodit yang baru saja berangkat. Setelah memandikan, makan dan menidurkan Opi, Alya bersantai – santai di ruang tengah.



Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Alya menyaksikan sinetron di televisi dengan pikiran yang menggelayut. Entah sinetron apa yang sedang diputar di televisi itu, Alya sama sekali tidak memikirkannya, ia hanya sedang pusing memikirkan semua masalah yang menimpanya. Bukannya berkurang malah bertambah semakin ruwet. Tapi mungkin itu juga gara – gara dia sendiri yang lengah.



Alya menggelengkan kepala, dalam benaknya kini berulang – ulang adegan permainan cintanya dengan Paidi yang tak bisa hilang. Ia tahu ia hanya bisa sekali itu saja bermain cinta dengan Paidi dan memang sudah menjadi niat Alya untuk tidak mengulanginya lagi. Besok, Alya memutuskan untuk memecat Paidi, ia tidak ingin mengulangi kesalahannya menjadi budak Pak Bejo yang bejat itu. Hanya sekali itu saja ia mau melayani Paidi… ya, hanya sekali itu saja ia… mmm… tapi… kenapa rasanya ia rindu sekali pada pelukan laki – laki tua itu? Kenapa… tidak! Tidak boleh! Ia tidak mau!



Benak Alya yang kacau memang diakibatkan oleh retaknya hubungannya dengan Hendra dan perubahan mental akibat berulangkali ditiduri Pak Bejo, gairah seksual Alya menjadi meledak – ledak, ia membutuhkan permainan cinta yang tidak pernah lagi disediakan oleh Hendra. Paidi yang tiba – tiba saja hadir dalam kehidupannya adalah sosok yang sama sekali berbeda dengan Pak Bejo. Paidi mungkin tidak setampan Hendra, tubuhnya cenderung kurus dengan wajah jelek yang keriput dan kulit yang gelap terbakar matahari. Tapi anehnya… ada sesuatu yang lain dalam diri Paidi yang membuat Alya merinding jika berdekatan dengannya. Mungkin akibat terlalu sering berkencan dengan Pak Bejo membuat pandangan Alya terhadap seorang laki – laki bergeser. Ia tidak lagi menganggap ketampanan adalah segalanya.



Alya menggelengkan kepala, ia sudah melamun terlalu jauh.



“Kesepian ya, sayang?”



Alya terkejut mendengar suara jelek itu. Suara Pak Bejo!! Alya segera membalikkan tubuh dengan cepat, benar! Pak Bejo ada dibelakangnya! Kurang ajar! Kapan dia masuk? Bagaimana dia bisa masuk? Oh iya, dia masih memegang duplikat kunci rumah!



“Sejak kapan Pak Bejo ada di dalam rumah?” desis Alya geram. “Keluar! Bapak tidak diundang masuk ke rumah ini!”



“Ha ha ha, sejak kapan aku butuh undangan untuk menikmati memek kamu yang manis itu, sayang?” tawa Pak Bejo sambil mengelap air liurnya yang menetes. Ia benar – benar sudah rindu pada tubuh molek Alya. Ibu muda cantik itu memiliki tubuh yang sangat menggiurkan dan membuatnya kangen. Seperti seorang perantau yang ingin selalu kembali pulang ke rumah, sekali merasakan kehangatan tubuh sang bidadari, dia ingin selalu menikmatinya. “Tahu rasa kamu sekarang! Sendirian saja di rumah tanpa Mas Hendramu yang cacat dan supirmu yang sok jago itu!”



Tanpa menunggu aba – aba dari siapapun, Alya bergerak cepat dan segera berlari menuju kamar. Kalau ia sudah sampai di kamar, dia akan mengunci pintu sehingga Pak Bejo tidak bisa masuk.



Sayang, laki – laki tua gemuk itu lebih cepat.



Dengan gerakan tak terduga yang lincah Pak Bejo menubruk Alya. Tidak menunggu lama, pria tua itu dengan paksa mencoba membuka baju sang ibu muda. Alya mencoba berteriak, namun mulutnya lalu dibekap oleh Pak Bejo, ia bahkan tidak bisa meronta karena eratnya pelukan sang preman kampung. Nasibnya kini ada di tangan Pak Bejo! Lagi – lagi dia akan diperkosa!



Pak Bejo mendengus – dengus seperti babi, nafsunya sudah memuncak hingga ke ujung ubun – ubun. Dia sudah tidak tahan, sekali dia bisa memasukkan penisnya ke memek Alya, dia akan memuntahkan semua pejuhnya di dalam perut ibu muda yang cantik itu! Dia akan hamili istri Hendra yang molek itu! Kalau sudah hamil, Alya pasti akan selalu merindukan ayah anaknya!



Alya yang tak berdaya meringkuk dalam pelukan Pak Bejo. Air matanya kembali mengalir walaupun mulutnya kini terkatup rapat. Ia tetap tidak mau membuka mulut saat Pak Bejo menyorongkan bibirnya untuk mencium bibir mungil Alya.



Pak Bejo yang sudah tak tahan melucuti bajunya sendiri, ia melepaskan celana dan membuka kancing bajunya, ia ingin segera menelanjangi Alya ketika tiba – tiba… terdengar suara dari jarak yang tidak begitu jauh.



“Lepaskan Bu Alya! Bajingan tengik!”



Suara itu lagi! Sial banget! Itu suara Paidi! Pak Bejo menoleh dan mendesis kesal. “Kurang ajar!! Lagi – lagi kamu! Lonthe ini milikku! Dasar Anj…”



Plaaaaaaaaakkkk!!!



Belum sampai Pak Bejo menyelesaikan kata – kata yang ia ucapkan, Paidi sudah menamparnya dengan sangat keras. Begitu kerasnya hingga tubuh Pak Bejo terlempar dari atas tubuh Alya. Si cantik itu meringkuk ketakutan, dia lega sekali melihat kedatangan Paidi.



“Sudah saya bilang, lepaskan! Jangan salahkan saya kalau saya jadi gelap mata! Saya minta dengan sangat untuk yang terakhir kalinya, tolong hormati majikan saya! Jangan berani – berani mendekatinya lagi! Selama ada saya disisinya, tidak akan saya biarkan siapapun juga menyakitinya! Mengerti!? Saya harap Pak Bejo sadar kalau Pak Bejo sudah tidak dibutuhkan lagi oleh keluarga ini! Pergi jauh – jauh dan jangan pernah kembali lagi!!” bentak Paidi dengan galak.



Melihat ketangguhan dan kekerasan hati Paidi, Pak Bejo mau tak mau gentar juga melihatnya. Ia sudah mendengar berita Kribo yang dihajar oleh lelaki ini tempo hari. Dengan langkah gemetar, preman tua itu meninggalkan Alya dan Paidi.



“Kau… kau… bajingan! Tunggu pembalasanku! Tunggu saja!” Pak Bejo memegangi pipinya yang memerah karena kerasnya tamparan Paidi. Pria gemuk itu langsung berlari tunggang langgang tanpa mempedulikan pakaiannya yang masih belum dikenakannya dengan benar.



Paidi mendengus. Orang seperti Pak Bejo kadang memang tidak boleh diberi hati. Dia harus diberi pelajaran supaya tidak memperlakukan orang lain dengan semena – mena. Dasar preman kampung tidak tahu diri! Belum cukup rupanya dia menghajar anak buahnya tempo hari. Paidi menengok ke belakang dan melihat ke arah Alya yang duduk bersimpuh dengan lemas. Pakaiannya terkoyak dan matanya berkaca – kaca. Dia memandang ke arah Paidi dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata – kata.



Dengan lembut Paidi berjongkok di depan Alya, dia merapikan rambut dan baju Alya. “Orang itu sudah pergi, Bu. Semua akan baik – baik saja mulai sekarang. Saya akan melindungi ibu.”



“Sudah pergi…?”



“Iya. Pak Bejo sudah pergi, semua pasti baik – baik saja. Ibu tidak apa – apa kan?”



Alya menggeleng. Dia masih belum bisa mempercayai kejadian yang baru saja ia alami.



“Bagus kalau begitu. Mari saya bantu berdiri.” Kata Paidi sambil mencoba mengangkat lengan Alya.



Tapi Alya tak bergeming, ia memandang ke arah Paidi dengan pandangan yang sayu dan lemah. Matanya yang berkaca – kaca kini mulai meneteskan air mata. Wanita cantik itu akhirnya tak kuat lagi, ia menangis dan berteriak keras dalam pelukan Paidi.



Dengan lembut Paidi mengelus – elus punggung dan rambut majikannya yang sangat indah. “Jangan khawatir, Bu. Mulai sekarang saya akan selalu melindungi Ibu. Orang itu tidak akan saya ijinkan mendekati Ibu lagi. Saya tidak akan membiarkan orang itu menganggu wanita yang saya cintai.”



Tadinya Alya terus saja menangis, menumpahkan semua kekesalan dan penat yang ia rasakan dalam pelukan supirnya. Namun ia tersentak ketika mendengar kata – kata cinta keluar dari mulut Paidi. Alya mundur dari pelukan Paidi, ia menghapus air mata yang leleh di pipi. Keduanya terdiam beberapa saat lamanya, saling memandang dan mendalami perasaan masing – masing.



“Ka… kamu… apa yang kamu…?” tanya Alya dengan terbata – bata.



“Saya mencintai Bu Alya.” Jawab Paidi dengan bersungguh – sungguh.



“Be… benarkah?”



Paidi mengangguk, sudah kepalang basah, ia tidak akan mundur lagi. Ia benar – benar telah mencintai Alya. Tidak masalah kalau ia ditolak dan harus mengundurkan diri menjadi supir keluarga karena toh Alya telah berkeluarga, yang penting, ia telah melindungi wanita yang ia cintai dan membuktikan cintanya tidak hanya sekedar keinginan yang berlandaskan nafsu semata.



Alya masih terus menatap mata Paidi dengan pandangan berlinang. Lalu… dengan kekuatan yang entah datang dari mana, Alya menyorongkan kepala ke atas, menarik kepala Paidi ke bawah, dan mencium bibirnya dengan lembut.



Paidi kaget sekali melihat reaksi Alya ini, ia tidak mengira majikannya itu akan menciumnya. Namun Alya adalah wanita yang sangat diidam – idamkannya. Mendapat ciuman dari Alya bagaikan mendapat anugerah yang tak ternilai harganya. Paidi membalas ciuman Alya dengan sapuan lembut di bibir. Mereka saling melumat dan memberikan nafas, menyapu bibir dan lidah dengan kelembutan. Setelah lama tak merasakannya, baru kali inilah Paidi sadar, ia telah memperoleh apa yang telah ia damba selepas kehidupan kelamnya, ia telah memperoleh cinta.



Setelah cukup lama mereka berciuman lembut, Alya akhirnya melepas bibir Paidi.



Paidi terdiam tak mampu bicara, bibirnya bergetar karena merasakan keindahan yang telah lama ia idam – idamkan.



“Mas…”



“I… Iya, Bu?”



“Maukah kamu tidur lagi denganku?”



Pandangan mata Paidi terbelalak kaget.



###



Ketika masuk ke kamar Paidi, Alya baru sadar kalau ternyata kamar supirnya itu sangat bersih dan rapi. Ia tidak sempat memperhatikan ketika masuk ke tempat ini tempo hari. Barang – barangnya disusun di pojok, tempat tidurnya juga sangat bersih, sepreinya harum seperti baru dicuci. Kamar yang sebelumnya dijadikan gudang itu juga sangat wangi. Alya jadi semakin kagum dengan pria yang telah menyelamatkannya dari cengkraman Pak Bejo ini. Walaupun punya masa lalu yang bisa dibilang tidak menyenangkan, Paidi adalah pria yang mengagumkan. Paidi memang telah menceritakan masa lalunya yang kelam, menjadi seorang penghuni bui karena kesalahannya yang fatal. Kini Paidi ingin memperbaiki kesalahannya itu.



Bagaikan pengantin yang baru saja menikah, tanpa diminta Paidi mengangkat tubuh Alya dan meletakkan tubuh indahnya dengan lembut di atas ranjang. Walaupun awalnya kaget, namun Alya menuruti saja kemauan lelaki tua perkasa itu. Kain seprei yang bersih dan harum membuat Alya tidak merasa jijik, ia bahkan sangat kagum dengan kerajinan dan kebersihan Paidi, sungguh sangat jarang laki – laki seperti ini. Paidi duduk di samping Alya yang terbaring. Dengan berani istri Hendra itu menyentuh pundak laki – laki kurus dan tua yang rebah disampingnya. Ia menyentuh pundak Paidi tanpa melepaskan pandangan dari mata pria yang pernah berjualan bakso itu. Tangan lembut Alya meraih bagian belakang kepala Paidi dan menariknya ke bawah, lalu bibir seksi si cantik itu mengecup bibir sang supir.



Ciuman lembut Alya yang tulus mengoles bibirnya bagaikan obat untuk semua lelah, gelisah dan keluh kesah yang pernah Paidi keluarkan seumur hidupnya. Olesan lembut bibir mungil majikannya itu juga membuat tubuh Paidi bagaikan disentak aliran listrik berjuta volt, seandainya dia adalah sebuah baterai hidup, Paidi sudah langsung tercharge dengan energi hingga penuh. Bibir mereka berdua saling mengelus, saling menimang, beruntai, berjalin, menikmati sentuhan pelan dan nikmat yang tak bisa diungkap dengan kata.



“Mmmhh…” desah Alya manja. Ia memejamkan mata dan membiarkan bibir Paidi menari di atas bibirnya yang lembut, membiarkan bibir tebal dan keras sang sopir menyelimuti bibirnya yang ranum. Olesan bibir Paidi tidak seperti bibir Hendra yang lembut atau bibir Pak Bejo yang kasar dan menuntut.



Lama pagutan bibir mereka tak saling lepas, Paidi mulai mengeluarkan lidahnya yang bagai ular. Lidah Paidi membuat Alya makin tak berkutik dan tenggelam sepenuhnya dalam pelukan sang sopir.



“Mas?” tanya Alya ketika bibir mereka lepas sejenak.



“Hmm?”



Alya tak buru – buru menjawab karena kembali menikmati lidah dan bibir Paidi.



“Aku… mhh… mmhh… mau… tanya…”



“Hmm?”



Kembali bibir Paidi menggelayut di bibir sang kekasih namun kali ini Alya menolaknya.



“Iiihhh… Mas nakal! Aku kan mau tanya sesuatu yang penting, jangan digangguin dulu!”



“Habis bibir kamu menggemaskan, mungil dan mengundang, aku jadi tidak tahan.” Kata Paidi sambil tersenyum. “Baiklah, kamu mau tanya apa, sayang?”



“Bagian mana dari tubuhku yang paling Mas Paidi suka? Akan langsung aku berikan sekarang juga.” Kata Alya sambil menggigit bibir bawahnya dengan genit.



“Aku suka semuanya.”



“Ah, jawaban gombal.”



“Kalau begitu… aku suka dari ujung kaki sampai ujung rambut.”



“Hi hi hi, aku nggak percaya. Mana ada yang suka ujung kaki aku.”



“Aku suka.”



“Bohong.”



“Eh, gak percaya? Baik aku buktiin!”



Paidi membalik badannya dengan cepat tanpa mempedulikan protes Alya yang tertawa.



“Aku kan cuma becanda, Mas!”



Paidi membuktikan kesungguhannya dengan menciumi jempol dan jemari kaki Alya. Si cantik beranak satu itu adalah wanita yang amat memperhatikan kebersihan, sehingga Paidi tidak sedikitpun merasa jijik karena kaki Alya sangat mulus dan bersih. Mirip kaki seorang bayi yang lembut dan suci. Paidi mencium dan menjilat – jilat kaki sang kekasih dengan sepenuh hati. Alya bergetar karena rangsangan Paidi ini.



“A… aku percaya, Mas… aku percaya…”



Sambil tersenyum puas Paidi mengelus lembut betis sang bidadari. Tentu saja pria tua itu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia mengeluskan tangannya dari bawah ke atas, naik ke arah paha mulus Alya. Kaki Alya yang jenjang membuat Paidi terkagum – kagum, begitu mulus, indah dan putih, sangat sedap dipandang. Alya memiliki karunia yang sangat lengkap dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, semua indah dan sempurna.



Tapi bidadari itu kini tengah dilanda nafsu birahi yang meledak – ledak, ia tidak mau tangan Paidi hanya mengelus – elus betis dan pahanya saja, ia ingin lebih. Sambil berbaring di ranjang, Alya memberanikan diri mengelus batang kemaluan Paidi yang masih tersembunyi di balik celana. Tangannya yang lembut bergerak naik turun dengan perlahan, membuat sekujur tubuh Paidi merinding keenakan. Siapa yang tidak mau penisnya dikocok wanita semolek Alya? Hanya dengan melihat pandangan mata Alya yang berbinar, Paidi tahu kalau Alya merindukan permainan cinta yang sebenarnya, bukan perkosaan brutal ala Pak Bejo, atau hubungan dingin tanpa perasaan seperti yang ditunjukkan Hendra. Paidi akan membuat si cantik ini menikmati seks yang indah bersamanya.



Perlahan Paidi menurunkan celana berikut celana dalamnya. Batang kemaluannya menegak kencang di hadapan wajah cantik Alya.



“Mas… aku ingin… mmm… boleh aku…?” tanya Alya malu – malu. “Mmm… bolehkah?”



Alya tidak melanjutkan kata – katanya saat ia melihat Paidi mengernyit keenakan. Elusan lembut jemari Alya pada batang kemaluan Paidi membuat mantan penjual bakso itu bergetar dan menggelinjang tak kuasa menahan nafsu. Hal itu membuat Alya tersenyum tertahan, seperkasa apapun Paidi, ia ternyata tidak tahan dengan jari – jarinya yang lembut.



Sembari menikmati elusan lembut jemari Alya pada penisnya, Paidi melucuti pakaian yang ia kenakan. Ia ingin bersentuhan langsung dengan kulit mulus Alya, tanpa terhalang baju mereka. Seakan mengerti kemauan Paidi, Alya mengikuti dengan melucuti pakaiannya sendiri. Ia berhenti sebentar mengelus penis Paidi untuk membuka baju. Pria tua itu mengerang kecewa ketika Alya berhenti menyentuh kemaluannya, namun karena ia mendapati Alya sudah tak berbusana ketika ia membuka mata, Paidi tak mengeluh sedikitpun.



Paidi berdecak kagum ketika kembali bisa menikmati keutuhan tubuh molek Alya. Benar – benar seorang bidadari yang turun dari langit, sempurna tiada duanya. Bila dibandingkan dengan bintang sinetron, mungkin Alya lebih cantik dan seksi, kini bayangkan jika tubuh sesempurna itu dipersembahkan untuk pria seperti Paidi! Pandangan matanya tak ingin lepas dari kesempurnaan Alya, wajah cantik lembut dengan rambut yang terurai indah, kulit mulus seputih susu yang memancarkan keharuman mewangi, payudara sempurna yang sintal dan menggairahkan, pinggang ramping, pantat bulat, semua – untuk Paidi.



Alya diam saja tanpa mempedulikan kekaguman Paidi kepadanya dan meneruskan ‘pekerjaannya’ memainkan kemaluan Paidi.



Paidi buru – buru sadar dari rasa kagum yang membuatnya terbengong – bengong dan segera kembali ke posisi semula, ia berbaring dan membiarkan wajah Alya tepat berada di depan penisnya sementara ia sendiri berhadapan langsung dengan kaki sang bidadari. Saat itulah pria tua yang perkasa itu menurunkan wajahnya hingga ke kaki sang bidadari. Alya meringis keenakan saat Paidi beraksi, tanpa malu – malu pria tua yang pernah berjualan bakso itu menjilati dan menciumi ujung – ujung jemari kaki Alya. Paidi melakukan aksinya dengan sangat pintar dan membuat Alya menggelinjang, ibu muda satu anak yang statusnya adalah istri orang itupun tak kuasa menahan desahan demi desahan yang terus menerus keluar dari bibir mungilnya.



“Auhhhhhmmm, Masss… geli mass… jangan… aaaaahhhh…” tangan Alya tak beranjak dari batang kemaluan Paidi, terus meremas dan mengocok penisnya yang besar dan hitam sementara sang supir mencumbu dan mengulum jari – jari kaki dan betisnya. Melihat Alya keenakan, Paidi menarik kaki wanita cantik yang mulus dan jenjang itu ke bawah. Jengkal demi jengkal sisi – sisi kaki Alya dicumbui dengan buas oleh Paidi, si cantik itu makin tak tahan dibuatnya, kakinya bergerak tak menentu arah, menyepak kesana kemari. Paidi tersenyum, dengan tangannya yang berotot dipegangnya kaki Alya erat – erat, lalu dijilatinya seluruh bagian kaki Alya yang sangat putih dan indah itu.



“Aaaahh, Massss… ouuuhhh, jahaaaat… geli ahhhh!!”



Paidi melanjutkan ciuman dan jilatannya tanpa memperdulikan desahan manja sang ibu muda. Alya memejamkan mata menahan nafsunya yang menggelegak hebat karena foreplay yang dilakukan oleh Paidi. Semua perasaan jijik yang selama ini dipelihara karena tidur dengan laki – laki yang tidak ia sukai ia lepaskan dengan bebas bersama Paidi. Laki – laki ini memang bukan Hendra, tapi paling tidak ia bukan Pak Bejo. Alya melenguh dan mengembik tanpa malu, membiarkan suaranya lepas menyebar ke seluruh penjuru rumah. Seluruh penat dan stress karena masalah Pak Bejo dan Hendra membuat Alya menyerahkan seluruh tubuhnya pada Paidi.



Paidi kini tak hanya menggunakan lidah dan mulutnya saja, tangannya bergerak menyentuh paha Alya dan mengelus – elusnya lembut. Tak pernah ia membayangkan sebelumnya kalau ia mampu melakukan hal ini selepas keluar dari penjara, yaitu mengelus – elus paha mulus seorang wanita cantik dan terhormat seperti Alya.



Istri Hendra itu masih memejamkan mata, ia membiarkan saja tangan Paidi bergerak nakal menyusuri pahanya yang putih mulus sampai ke pangkal paha. Setelah bagian bawah kaki Alya yang jenjang basah oleh ciuman dan jilatan bibir dan lidah Paidi, kini giliran paha mulus Alya yang diserang.



Ibu muda satu anak itu membuka pahanya lebar – lebar memperlihatkan keindahan bibir kemaluannya yang merekah merah muda, kuncupnya yang mungil mempesona Paidi. Ia kagum Alya masih memiliki bentuk vagina yang indah padahal sudah memberikan keperawanan pada Hendra, melahirkan Opi dan tidur berkali – kali dengan Pak Bejo.



Jari jemari Paidi bergerak lincah menyusuri daerah sekitar kemaluan Alya tanpa sekalipun menyentuh bibir vaginanya. Tubuh Alya menggelinjang karena menahan nafsu yang kian lama kian tak tertahankan. Sekali – sekali Paidi menyentuhkan jarinya ke bibir kemaluan Alya seakan tak disengaja.



“Ahhhh!! Ahhh!!” desah Alya manja, tubuhnya bergetar hebat tiap kali Paidi memancingnya. Tak tahan oleh perlakuan sang supir, Alya melenguh panjang, kepalanya bergerak makin tak terkendali ke kanan kiri sementara matanya masih terus terpejam. Melihat gerakan erotis dan lenguhan manja sang majikan, Paidi makin berani. Dengan nekat pria kurus berkulit gelap itu mendorong kepalanya masuk ke pangkal paha Alya.



“Aaaaaaaaaaahhhh!!!” Alya kembali mengeluarkan desahan panjang.



Paidi terus melaksanakan niatnya menguasai daerah kemaluan Alya dengan bibir dan lidahnya. Hisapan, ciuman dan jilatan silih berganti menyerang sang ibu muda. Belum sampai kemaluan Paidi masuk, liang cinta Alya sudah mulai basah. Bahkan Paidi bisa melihat tetesan air cinta mengalir tipis dari bibir mungil kemaluan sang kekasih. Alya mengangkat pantatnya, meminta bibir Paidi terus mengelus bibir vaginanya. Dengan lembut Paidi menyusuri rambut kemaluan Alya yang lembut. Paidi paling suka dengan wanita seperti Alya, dia merawat rambut kemaluannya dengan mencukurnya rajin, baunya juga sangat wangi dengan aroma khas. Paidi sengaja menggoda Alya dengan menghembuskan nafas ke liang memeknya tanpa menyentuh. Alya tak tahan lagi, dia sodorkan bibir kewanitaannya ke mulut Paidi.



Dengan kedua jarinya, Paidi membuka sedikit mulut kemaluan Alya. Iapun segera mencari titik kelemahan sang ibu muda - klitorisnya. Ketika tonjolan kecil yang mematikan itu berhasil ditemukan, Paidi memperlancar aksinya menaklukkan Alya. Jilatan, hisapan dan sedotannya membuat tubuh Alya melonjak – lonjak bagai kuda liar yang sangat binal. Paidi bahkan harus memegang erat tubuh Alya agar tak terlonjak jatuh dari ranjang. Paidi melumat lembut kelentit sang wanita cantik yang ada dalam pelukannya, ciumannya lalu beralih ke sisi luar bibir vagina dan akhirnya ke bawah, masuk ke dalam liang cintanya. Sekali lagi Alya melonjak ke atas dan mendesis dengan keras, wajahnya yang cantik terlihat histeris namun ia berusaha keras menahan teriakannya.



“Mas! Sudah, Mas! Aku tidak kuat lagi! Masukkan! Ayo! Masukkan…”



Paidi tidak begitu saja menuruti permintaan Alya. Ia mainkan dulu lidahnya di bibir memek Alya. Gerakan kaki sang bidadari makin tak tertahan, ia menendang kesana kemari tanpa sasaran. Kepalanya berpaling ke kanan dan kiri dengan mata terpejam dan keringat yang terus bercucuran. Alya mengambil bantal dan menggigit ujungnya untuk menahan kenikmatan yang terus ia rasakan. Ketika Paidi menyedot cairan cinta yang menetes keluar dari memek Alya, rasa gelinya ia alirkan dengan menggigit ujung bantal.



Lidah Paidi makin berkuasa. Ia mendorong lidahnya masuk ke memek Alya, menjilat dinding yang ada di dalam, menari dan bergoyang tanpa ampun. Jari jemari Paidi membuka sedikit bibir memek Alya agar lidahnya bisa lebih leluasa.



“Sudah, Mas! Sudah cukup! Aku tidak tahan lagi!” desis Alya untuk yang kesekiankali.



Paidi mengangkat kepala dan tubuhnya, kini ia membenamkan bibirnya ke telinga sang bidadari. Orang yang pernah menjadi narapidana itu terus membisikkan kata – kata mesra ke telinga Alya, sementara tangannya asyik memainkan pentil susu yang sudah sangat menjorok keluar. Istri Hendra itu sudah sangat bernafsu, wajahnya memerah karena sangat menginginkan kemaluan Paidi. Ia mengelus dada Paidi dan meminta dengan pandangan memelas. Paidi tahu apa yang diinginkan oleh majikannya yang jelita itu, ia segera mengambil posisi.



Paidi kembali mengincar klitoris milik Alya. Benda mungil yang menjorok tepat di dalam area kemaluan sang bidadari itu dijilatnya ke kanan dan kiri, digerakkan naik turun. Bagi seorang wanita, titik kelemahan inilah yang membuatnya tak tahan menerima godaan laki – laki. Begitu pula bagi Alya, tubuhnya melejit dan pantatnya diangkat tinggi – tinggi, cairan cintapun meleleh membasahi bibir kemaluan si cantik itu. Ketika Paidi nekat menyeruput cairan cinta Alya, istri Hendra itupun menggelinjang keenakan dan meronta.



“Masssss… ahhhhh… ooooohhhhmmm… jangan dimaininnnn…” Alya merem melek keenakan, dia sudah tidak tahan lagi. “Ayo masukkan, Mas! Cepeeeet!! Aku tidak tahaaaan!!” rengeknya manja.



Dengan hati – hati Paidi menaiki tubuh sempurna milik Alya, putihnya kulit mulus Alya yang bagai pualam membuat pria tua kurus itu terkagum – kagum. Kontras sekali kulit bidadari ini dengan kulitnya yang hitam legam. Apalagi melihat payudara sempurna yang tak puas – puas remas dengan gemas. Betapa kagetnya Paidi ketika Alya nekat menarik batang kemaluannya yang sudah mengeras.



“Ouuuughhhh, besar sekali… ehmmmm… masukin, Masssss!! Cepeeettt!!”



Tentu saja Paidi tidak ingin begitu saja menyodokkan penisnya ke memek Alya walaupun dia sangat ingin. Dengan gerakan ringan, digoyangkan ujung gundul penisnya ke bibir kemaluan Alya tapi selalu ditariknya batang kemaluan itu ketika Alya ingin membimbingnya masuk ke dalam.



“Aaaahhh! Gimana sih!! Ayoooo, aku sudah tidak tahaaaann!!!” rengek si cantik.



Dengan hati – hati batang kemaluan Paidi ditarik oleh Alya masuk ke dalam liang kemaluannya. Bagi Paidi, ini yang namanya mimpi menjadi kenyataan. Sang majikan yang cantik jelita dan seksi sangat bernafsu menikmati kemaluan supirnya yang buruk rupa, kurus dan hitam legam. Alya sudah tidak ingat lagi statusnya sebagai istri Hendra ataupun ibu Opi, ia hanya ingin disetubuhi saat ini - – disetubuhi oleh penis raksasa Paidi!



Penis Paidi melesak masuk dengan mudah karena memek Alya sudah sangat basah, cairan pelumas yang keluar di dalam liang kenikmatan Alya membanjir dengan deras, memudahkan batang kemaluan Paidi melesak masuk ke dalam. Alya mengerang dan menggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan, ia menderita dalam kenikmatan. Ketika melihat Alya sedikit kesakitan, Paidi menunda menyodokkan penisnya, tapi Alya justru mengangkat pantatnya, ingin segera digenjot.



Paidi memaju mundurkan pinggulnya dengan perlahan, ia takut menyakiti vagina Alya. Tapi wanita cantik itu sudah terlalu tenggelam dalam kenikmatan birahi yang tanpa ujung. Paidi tak puas – puasnya memandang kecantikan dan kemolekan wajah dan tubuh Alya. Lekuk tubuhnya yang sempurna, buah dadanya yang kenyal, pinggang ramping dan kulit putih mulus sang majikan. Ia bagaikan berada di awang – awang, tak percaya ia ternyata berhasil menikmati keindahan tubuh istri Hendra yang sangat seksi ini.



“Masss… aku nggak tahan… terussss… aaaahhhh…” Alya merengek manja.



Paidi tidak mampu menjawab karena merem melek keenakan. Memek Alya meremas – remas kemaluannya, memilin dan menggilingnya dalam liang kenikmatan yang sempit dan lembab. Ia tidak menyangka memek ibu satu anak ini masih begitu sempit dan nikmat, penisnya seakan disedot ke dalam tubuh Alya. Memek si cantik itu lama kelamaan makin basah oleh cairan kenikmatan yang keluar dari dalam, membuat goyangan penis Paidi seakan menumbuk liang yang becek.

Desahan manja dan kecantikan Alya membuat Paidi makin tak kuat menahan nafsunya. Dengan penuh tenaga pria tua kurus berkulit gelap itu mempercepat gerakan menumbuknya. Alya makin kebingungan, sakit sekaligus enak sekali rasanya, ia tidak tahu harus berbuat apa. Alya hanya bisa mengimbangi gerakan memilin Paidi dengan menggerakkan pinggulnya maju mundur. Kemaluan Paidi yang ukurannya sangat besar memenuhi liang kenikmatannya dengan penuh, hanya dengan menggerakkan pinggulnya sedikit, penis itu sudah sampai di ujung terdalam dinding memek Alya, si cantik itupun belingsatan dan merem melek keenakan.

Tempat tidur Paidi makin tak berbentuk, sepreinya acak – acakan, bantal dan gulingnya terjatuh entah kemana. Makin lama, kedua insan yang sedang bercinta itu semakin dekat ke puncak kenikmatan. Paidi berusaha keras menahan orgasme, ia tak ingin terlalu cepat mengeluarkan air maninya, ia masih ingin menikmati memek Alya yang nikmatnya bagaikan surgawi. Tapi ia tak bisa mengingkari kekuatannya sendiri, dengan sekuat tenaga, Paidi menyodokkan penisnya berkali – kali ke dalam memek Alya yang menjerit – jerit penuh kenikmatan. Akhirnya Paidi mengeluarkan satu lolongan panjang, ia meremas bahu Alya kuat – kuat. Ia hampir sampai di puncak kenikmatan.

Alya yang tahu Paidi sudah hampir orgasme juga tak mau kalah, ia menggerakkan tubuhnya dengan gerakan menggila dan mendaki jalan nikmat menuju puncak. Alya sudah tidak peduli lagi dengan posisinya sebagai majikan Paidi ataupun statusnya sebagai istri Hendra dan ibu satu anak. Ia hanya ingin memuaskan birahinya secara alami, tanpa paksaan, tanpa tuntutan. Alya mengangkat kakinya dan mengapit pinggul Paidi, ia sodokkan pantatnya ke atas untuk melesakkan penis Paidi lebih dalam lagi. Akhirnya si cantik itu sampailah ke ujung perjalanan permainan cinta ini, ia mengerang tanpa terkendali.

“Masssss! Massss! Aku mau keluaaaaaar!!” jerit Alya panik, ia tak kuat lagi menahan orgasme. “Ahhhhhh! Aaahhhh!!!”

“Ahhhhmmm!! Ayo sayang! Kita sama – sama keluar! Aaahhh!!! Alyaku sayaaaang!!”

Semprotan demi semprotan air mani mengalir deras di dalam memek Alya, bercampur dengan cairan cinta yang memancar dari dalam. Cairan kental meleleh dari ujung bibir kemaluan sang ibu muda, membuktikan penyatuan kedua tubuh insan berlainan jenis ini.

Desah nafas kelelahan berpacu dari mulut Alya dan Paidi yang masih berpelukan dalam ketelanjangan, keringat deras membanjir di seluruh tubuh mereka, kemaluan Paidi masih bertahan di dalam liang lembut Alya. Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdua hanya terdiam, membiarkan waktu berlalu dan mencoba memperoleh kembali nafas mereka yang kembang kempis.

Tangan Paidi menggenggam erat tangan Alya, untuk sesaat sekalipun, ia tidak mau melepaskannya. Ia ingin terus bisa melakukan ini, ia ingin terus bisa menikmati keindahan tubuh sang majikan… ah bukan… ia ingin terus bisa menikmati tubuh indah sang kekasih pujaan. Ya, walaupun di mata orang luar mereka adalah majikan dan sopir, tapi Paidi dan Alya kini resmi menjadi sepasang kekasih.

Mata mereka saling berpandangan, mencoba menyelami perasaan masing – masing. Paidi tahu, walaupun ada kepuasan dalam diri Alya, namun matanya yang indah itu tak bisa berbohong. Ia menyimpan kesedihan yang teramat dalam. Paidi tahu apa yang mereka lakukan ini salah, Alya adalah istri sah Hendra dan ia mungkin telah menggoda wanita cantik itu untuk berselingkuh. Mungkin apa yang mereka berdua rasakan bukan cinta, mungkin hanya nafsu… tapi… seandainya diijinkan, ia ingin selalu bersama… selamanya.

Alya menatap mata Paidi tajam, entah kenapa ia terlihat ragu hendak mengungkapkan sesuatu. “Mas, aku… bolehkah aku menanyakan sesuatu? Sebenarnya aku malu… tapi…”

“Boleh saja, sayang. Mau tanya apa?”

“Mas… emmm, sudah capek belum?… emm… mau… lagi?” Alya mengedip genit dan tersenyum manja.

Paidi tertawa geli. Ia memeluk bidadarinya erat – erat tanpa sedikitpun keinginan melepas tubuh indahnya. “Apapun yang kamu minta, sayang. Apapun yang kamu minta.”

Dengan manja Alya mengangkat tangan Paidi dan membiarkan jemarinya mengelus pantatnya yang bulat, Alya kemudian menggoyangnya tanpa merasa malu. “Mau coba dari belakang?” tanya si cantik itu dengan senyum nakal.

Ini bukan kali pertama baginya, dan jelas bukan yang terakhir.

Malam pun terasa panjang untuk mereka berdua.