Senin, 23 Maret 2009

Istri-istri Pamanku

Saat itu pertengahan 1989 adalah liburan semesteran kuliahku di fakultas ekonomi
sebuah universitas bergengsi di Bandung. Dengan IPK diatas 3 yang berhasil
kucapai, aku merasa ingin memanjakan tubuhku di liburan kali ini. Aku ingin
mencari suasana baru dan melupakan aktifitas kampus yang melelahkan, setelah
berkonsultasi dengan kedua orang tuaku yang tinggal di Jakarta, aku pun
memutuskan untuk pergi ke Garut dan menghabiskan liburanku di rumah Mang Iyus
dan Bi Laha. 'Mamang' dan 'Bibi' adalah terminologi Sunda yang berarti 'Oom' dan
'Tante'. Mang Iyus masih bisa dibilang sepupu ayahku karena ibu Mang Iyus dan
kakekku adalah kakak beradik lain ibu. Mang Iyus adalah seorang tuan tanah dan
pengusaha dodol yang cukup sukses di Garut. Sawahnya berhektar-hektar dan
menghasilkan beras kualitas nomor satu sampai beratus-ratus ton di masa panen.
Performance pabrik dodolnya pun tak kalah mengecewakan. Paling tidak
supermarket-supermarket besar di kota-kota utama Jawa Barat pasti menjual
produknya. Usia Mang Iyus sudah mencapai 45 tahun dan isterinya 10 tahun lebih
muda darinya. Aku cuma tertawa ketika ayahku mengingatkanku untuk tidak tergoda
pada isteri sepupunya itu. "Pamanmu itu seleranya tinggi.. si Laha itu dulu
kembangnya Cilimus.. bapak yakin isteri muda si Iyus nggak kalah cantiknya.."

Cilimus adalah desa dekat Garut dimana keluarga pamanku itu tinggal. Desa yang
konon memiliki tingkat kelahiran bayi cukup tinggi. Suatu statistik yang sangat
bisa dimengerti setelah melihat kemolekan wanita-wanitanya. Aku memang jarang
bertemu dengan paman yang satu ini sehingga tak pernah berjumpa dengan
isterinya. Pasangan itu sampai saat ini belum dikaruniai anak. Kata ayahku,
karena masalah itulah setahun yang lalu Mang Iyus kawin lagi dengan gadis
berusia 19 tahun dengan harapan bisa memperoleh anak, yang ternyata belum juga
sukses. Bi Laha tampaknya pasrah saja dimadu.

Aku memasukkan Honda Accord-ku ke halaman rumah Mang Iyus yang.. my god.. luas
sekali. Kalau dikira-kira luas tanahnya saja.. aku yakin lebih dari 5000 meter.
Dan rumahnya bermodelkan hasienda Spanyol yang kala itu sedang trendy di
Indonesia sehingga terlihat pincang dengan suasana yang sejuk dan sederhana di
desa Cilimus Garut itu. Seorang lelaki setengah baya dan bersarung dengan postur
badan cukup tegap dan tinggi, hampir sama denganku yang 176 cm itu, bangkit dari
kursi panjang di teras menyambutku. Setumpuk kertas di meja samping tampak
menemaninya sedari tadi.
"Mang.. kumaha, damang?*" kataku seraya mencium tangannya (*kumaha = bagaimana,
damang = baik).
"Oh.. pangesto.. pangesto..** gimana kabarnya bapak dengan ibu?" Mang Iyus
terlihat begitu gembira melihat kedatanganku. (**pangesto = baik-baik saja).
"Baik.. baik, bapak dan ibu titip salam.. dan ini ada sedikit oleh-oleh dari
Bandung.." Jawabku seraya menyerahkan sekantong besar keripik Karya Umbi.
"Aduuh.. mani repot.. nuhun atuh.. Buu!! Ini Cep Rafi datang.." Serunya sambil
mengantarkan aku masuk ke rumahnya. 'Cep' adalah juga terminologi Sunda yang
berarti si tampan. Seorang wanita berpakaian kebaya tampak tergopoh-gopoh keluar
untuk menyambutku. Ia berhenti di hadapanku dan terpana memandang wajah dan
tubuhku. "Ya ampuun.. Rafi.. kamu sudah jadi pemuda sekarang.." Bi Laha
mengulurkan tangannya menerima cium tanganku.
"Apa kabar Bi Laha..? Bibi memang cantik seperti kata bapak.."
"aahh kamu bisa saja.. anak dan bapak sama saja.. tukang ngerayu.. ayo masuk..
bibi sudah siapkan kamarnya.. Tii.. Titi.. tolong bawa barang-barang Cep Rafi ke
kamarnya.." Bi Laha menggandeng tanganku dan membimbingku ke dalam rumah. Ayahku
memang benar. Fisik perempuan ini bukan cuma cantik, tapi juga montok
menggairahkan. Coba bayangkan, tingginya sekitar 165 cm kulitnya putih mulus dan
wajah serta postur tubuhnya mirip dengan Rina Gunawan (itu lho, penyiar AMKM di
TPI yang juga berperan sebagai teman bisnisnya Sarah di Si Doel Anak Sekolahan
4). Cuma bedanya, wajah perempuan ini terlihat jauh lebih matang, hidungnya
sedikit lebih mancung dan di atas bibirnya terdapat sedikit kumis tipis. Hmm
kata orang, perempuan yang berkumis mempunyai nafsu yang..

Buah dadanya yang montok dan besar itu terlihat menggunduk di balik baju
kebayanya yang berdada rendah. Kekagumanku memaksa otakku untuk mengukur besaran
vitalnya.. paling sedikit 34, tak mungkin kurang dari itu. Kelak aku tahu
perhitunganku tak meleset. Ukurannya 36.

"Waahh.. Mang Iyus sekarang lagi sering ke pabrik.. jadi jarang di rumah", kata
perempuan itu sambil terus menggandeng tangan kananku menuju kamar. Lalu
mulailah bibir indah itu berceloteh tentang betapa kangennya ia dengan
keluargaku. Juga tentang rencana-rencananya mengunjungi ayah-ibuku yang selalu
gagal karena kesibukan suaminya. Aku mendengar dengan antusias. Seantusias
mataku yang mencuri-curi pandang ke belahan buah dadanya. Tanpa sengaja sikuku
menyenggol sisi kiri bukit kembar itu, keempukannya membuat ada desiran aneh
mengalir dari dada menuju selangkanganku. Tak tahan untuk tidak mencuri
kesempatan, kuangkat sikuku lebih tinggi sehingga mulai bergesekan dengan ujung
kiri buah dadanya, daging bulat yang kenyal dan empuk itu sedikit-sedikit
menampar sikuku membuat penisku mulai berdenyut-denyut dan perlahan-lahan bangun
dari tidurnya. Buah dada besar itu berayun naik turun sesuai langkahnya yang
ditingkahi derai bicaranya. Pelan-pelan aku menggerakkan sikuku lagi, mencari
peruntungan siapa tahu bisa merasakan putingnya. Bi Laha merasakan gerakan
sikuku yang kurang wajar itu lalu berhenti berbicara dan tersenyum. Tangan
kanannya mendorong sikuku menjauh dari buah dadanya yang bundar seperti buah
melon itu seraya mencubitnya. "Mmh.. geli dong Fi.. sengaja ya.." Bisiknya
seraya mendelik galak. My god.. bisikannya.. Aku agak melambatkan langkahku
karena tonkolan daging di selangkanganku semakin keras dan mengganggu jalanku.
Otakku yang biasa berkutat dengan teori-teori ekonomi mendadak penuh dengan
rencana-rencana untuk menaklukkan isteri pamanku ini. Semua sel-sel di dalam
tempurung kepalaku terfokus pada satu titik: 'aku harus menaklukkan isteri
pamanku itu, sampai titik dimana ia akan mengemis untuk merasakan penisku
menari-nari dalam vaginanya!'

("Pemuda yang tampan", Laha tersenyum meninggalkan kamar keponakan suaminya itu.
"Tampan dan nakal". Lalu tanpa sadar perempuan itu meraba ujung buah dada
kirinya. Masih terasa sisa-sisa kegelian akibat gesekan siku kekar pemuda itu.
Kegelian itu kini tiba-tiba membuat darahnya berdesir. Kegelian yang sudah lama
tak dirasakannya, yang akhir-akhir ini cuma mampir lewat mimpi. Perempuan itu
melirik Iyus, lelaki kaya yang mengawininya hampir 15 tahun lampau. Tampak
suaminya itu kembali tenggelam dalam kesibukan meneliti catatan pengeluaran dan
pemasukan perusahaannya. Laha menghela nafas, tiba-tiba saja ia begitu menyesal
tak membiarkan siku pemuda itu sedikit lebih lama menggesek-gesek buah dadanya.)

Pembaca, kata-kata dalam kurung di atas adalah perasaan-perasaan Bi Laha (bukan
kata-kata) yang diceritakannya kelak setelah kami berdua menjadi 'akrab'. Dan
anda akan menemukan kurung lainnya yang menunjukkan perasaan tokoh lain. Sengaja
kubuat komposisi seperti ini untuk membuat cerita ini lebih mengalir.

3 hari pertama, aku melakukan sosialisasi dengan keluarga Mang Iyus. Terutama,
tentunya, dengan Bi Laha. Perempuan yang bernama lengkap Nugraha itu ternyata
seorang yang cerdas dan senang membaca. Walau hanya lulusan SMA, ia banyak
menguasai masalah-masalah aktual masa kini. Dari masalah ekonomi, politik,
sampai ke soal fashion. Benar-benar teman bicara yang mengasyikkan. Akhir-akhir
ini Mang Iyus tampak lebih sibuk dengan pabrik dodolnya dan, sudah tentu, istri
barunya. Sehingga praktis ia baru ada di rumah sesudah jam 8 malam setiap
harinya. Itupun karena aku ada disini. Biasanya, hari Kamis sampai Minggu lelaki
itu menginap di rumah Nuke, istri mudanya. Bisa kubayangkan betapa kesepiannya
Bi Laha. Apalagi, belakangan kutahu bahwa sudah 6 bulan lebih Mang Iyus
mengalami masalah dengan 'senjatanya' karena pernah terkena tendangan bola yang
keras sekali sehingga harus dirawat seminggu dua kali oleh seorang dukun urut.

Malam itu, seperti biasa kami ngobrol berdua menunggu Mang Iyus pulang. Badan
kami terasa sangat segar selepas mandi setelah sesorean bersimbah keringat
membersihkan rumah yang baru saja ditinggal pulang Titi, pembantu setia keluarga
itu, selama seminggu. Saat itu Bi Laha mengenakan kebaya hijau muda
dikombinasikan dengan kain jarik hijau tua. Mang Iyus memang menyuruh isteri-
isterinya mengenakan kebaya setiap hari. "Lebih indah.." katanya suatu hari.
"Lebih merangsang.." Jawabku dalam hati. Rambut perempuan yang belum lagi kering
itu diikat buntut kuda, memperlihatkan leher jenjangnya yang indah dan putih
mulus. Bi Laha tidak mengenakan penutup dada sehingga buah dadanya menyembul
keluar dan dari belahannya kentara sekali kekenyalannya. Ingin rasanya
memasukkan tanganku diantara belahan dada itu dan meremas sekuat-kuatnya. Kami
duduk berhadapan di meja makan kayu berukir berukuran besar.

"Bi Laha.. umurnya sudah lebih dari 30 kok badannya masih.." Sengaja aku
mengalihkan topik pembicaraan ke topik yang agak 'syuur'. Siapa tahu bisa jadi
entry point untuk menggumuli tubuh isteri pamanku itu. "Masih apa Fi.." Deliknya
sambil tersenyum."Masih kenceng.. masih.. seksi.." jawabku seraya memandang
wajah Bi Laha yang mendadak bersemu merah.

("O Tuhan, sudah lama aku mendambakan puji-pujian seperti ini dari seorang
lelaki", demikian jerit hati perempuan itu. Ketika masih perawan, tak ada lelaki
yang luput melontarkan pujian padanya. Tak ada yang tak mengagumi kembang desa
Cilimus yang namanya sempat jadi buah bibir para pria kota Garut kala menjuarai
festival 'Mojang Garut'. Setiap pujian, selalu mengalirkan gairah pada seluruh
pembuluh darahnya. Dan gairah itulah yang senantiasa membuat esok menjadi lebih
indah dari kemarin. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun padam, tiba-tiba
seorang pemuda mengucapkan dua patah kata yang mengobarkan kembali gairah itu.
Hanya saja di luar kebiasaan, kali ini gairah itu memacu jantung perempuan di
usia 30-an itu berlari lebih cepat.)

Buah dada Bi Laha naik turun mengiringi degup jantungnya yang semakin cepat
"Untung benar Mang Iyus bisa menikmati tubuh bibi yang montok ini. Kalau saya
jadi Mang Iyus, bibi akan saya tiduri setiap hari.." Kata-kata itu begitu saja
mengalir tak terbendung. Aku sendiri terkejut mendengar pernyataan yang terkesan
'vulgar' itu. Konyolnya, gara-gara membayangkan kata-kata itu tanpa sadar
penisku bangkit dan mengeras. Nampak Bi Laha juga sedikit terkejut mendengar
kata-kataku. Gila, mungkin begitu pikirnya, beraninya seorang keponakan berkata-
kata jorok kepada bibinya, untung dia tak marah malahan terenyum menggoda, "Tiap
hari Fi..? Kuat emangnya..?" Uff, jawabannya membuat penisku terasa sakit karena
tertekuk di dalam celana dalamku."Hmm.. jadi bibi mau coba..?" Aku tersenyum
menantang seraya berdiri dan berpura-pura akan menurunkan ritsluiting celana
katunku sambil mengambil kesempatan untuk membetulkan posisi penisku, hahh..
lega, "iihh.. Rafi jorok ah.. nanti ketauan Mang Iyus.." Pekiknya sambil menutup
mata dengan kedua tangannya. Namun mata perempuan itu tampak diam-diam mengintip
melalui jemarinya yang lentik. Wajahnya tercengang melihat bagian depan celanaku
yang lebih menggelembung dari biasanya. Karena bahan katun yang lemas, penisku
tercetak dengan jelas sedang berdiri tegak. Aku melirik ekspresi istri pamanku
itu. Kentara sekali wajah bibiku itu bertanya-tanya.

("Gila anak ini!" Maki Laha dalam hati. "Dia mau membuka ritsluitingnya di
hadapanku! Aduh, lalu aku harus gimana? Brengsek, serius ngga sih dia? Tapi,
tapi, kalau diliat-liat.. ya ampun, anunya membesar.. jelas benar tercetak di
celananya. Kalau begitu dia tidak main-main!! Ya Tuhan, apa dia mau
memperkosaku? Ka.. kalau iya, apakah aku mampu menampung anunya yang besar itu?
Hmm, tapi kata orang kalau perempuan dimasuki anu yang besar rasanya seperti.. "
Laha tersenyum sendiri sebelum dengan perasaan malu menghentikan pikirannya yang
berhamburan tak terkendali itu. Namun terlambat, desiran kegelian dan kegatalan
itu telanjur mengalir ke bawah perutnya)

"Nggak bakal ketauan Bi.. Mang Iyus kan lagi di pabrik.."
"Iiihh.. ngga mau ah.. bibi takuut.." Kata Bi Laha sambil bersiap bangkit dari
kursi.
"Lo.. lo.. mau kemana Bi..? Duduk saja.. saya cuma becanda kok.."
"Uuuhh.. dasar.. kirain beneran.."
"Kalau beneran, gimana? Bibi mau..?" Sejenak Bi Laha memandang bongkahan besar
di selangkanganku, kemudian mendelik galak kearahku, lalu membuang muka.
"Tauk ah.."
"Loo.. kok malah ngambek.. ayo dong Bi.. saya kan cuma becanda.." Perempuan itu
masih juga tak mau melihat mukaku.
"Iya deh.. Bi.. sorry.. jangan ngambek terus doongg.. entar punya saya tambah
gede lo.."
"Iiih.. Rafi.. kamu tuh ngomongnya ngaco deh.. Lagian apa hubungannya ngambek
sama.. sama.. punya kamu.."
"Ada dong Bi.. kalau bibi ngambek, mukanya tambah merangsang.. hehe.."
Isteri pamanku itu pun tersenyum geli, lalu melemparkan serbet ke mukaku..
"Dasar ngeres."

("Pemuda ini sungguh menggemaskan!" Laha tersenyum dalam hati. Ia mulai menyukai
keponakan suaminya itu. Mukanya lumayan cakep, cerdas, orangnya baik, dadanya
bidang. Tapi jailnya itu lho.. agak-agak menjurus. "Anak ini benar-benar tak
tahu keadaan! Sadarkah dia kalau kejahilannya itu membuat aku.. aku..
terangsang? Apalagi.. apalagi.. melihat anunya yang.. iih.. besarnya." Laha
mendesah membayangkan benda itu memasuki dirinya. Diam-diam, ia agak kecewa
keponakannya tak sungguh-sungguh menurunkan ritsluitingnya.)

"Hehe.. Kebetulan Bi.. berhubung kita sudah kepalang ngeres.. kita cerita-cerita
pengalaman ngeres yuk?"
"Yang ngeres kan kamu Fi bukan bibi.." Katanya memprotes.
"Iya deehh.. saya yang ngeres.. tapi mata bibi tadi juga ngeres.. buktinya tadi
bibi ngeliatin terus 'punya' saya."
"Itu bukan ngeres tauk! Itu kaget! Habisnya.." Seperti sadar karena kelepasan
omong, Bi Laha tak melanjutkan kata-katanya. Ia menutup mata dengan tangannya
sembari menggigit bibirnya yang tak kuasa menyunggingkan senyum.
"Abisnya apa Bi..? Abisnya besar ya.." Aku melanjutkan kata-katanya sambil
menyeringai.. Muka Bi Laha memerah, sambil lagi-lagi membuang muka, ia
mengangguk.
"Naah.. makanya.., biar asyik.. gimana kalau kita cerita tentang bagaimana si
'besar' saya itu bisa membuat perempuan tergila-gila.." Bi Laha tersenyum dan
kembali memandangku.
"Kamu memang gila.. tapi.. boleh juga tuh.. walaupun kedengarannya agak serem,
asal jangan nakut-nakutin bibi kayak tadi lagi ah.."
"Nggaa.. janji deh bi.. anggap saja sekarang kita lagi belajar anatomi tubuh,
kalaupun saya menunjukkan bagian tubuh saya pada bibi, itu cuma demi pengetahuan
kok.. suer.." Kataku seenaknya untuk menenangkan hatinya. Lalu perempuan itu
meletakkan dagu di atas tangannya yang bertelekan di atas meja, menungguku
bercerita. Akibatnya, buah dadanya tampak semakin menggelembung terganjal meja.
Saat itu aku menyesal kenapa tidak diciptakan sebagai meja.
"Bi.. saya sudah kenal perempuan sejak SMA lho.. entah kenapa.. nafsu saya besar
sekali.. sejak kali pertama itu, hampir tiap hari saya minta 'begituan' sama
dia.. sampai-sampai dia sendiri kewalahan."
"Dia itu teman SMA kamu Fi..?"
"Heheh.. rahasia.. pokoknya perempuan.. cantik, montok, dan seksi.."
"Sampai sekarang, kamu juga minta 'gituan' tiap hari Fi..?", "Ngga.. sekarang
agak berkurang.. paling banyak tiga kali seminggu.."
"Kalau ngga ada perempuannya?" Bi Laha mulai penasaran.
"Ya swalayan dong bi.. seperti sekarang, karena saya lagi ngga punya teman
tidur, yaa terpaksa, kecuali kalau bibi.."
"Aa.. tuh kaan.. mulai lagii.." Nada bicara Bi Laha terdengar merajuk.
"Heheh.. bercanda.. Nah.. selera saya selalu pada perempuan yang liar.. yang
ngga malu untuk teriak-teriak.. yang kalau cium bibir lelaki seperti orang
kehausan mencari air.. yang kalau saya tindih badannya menggeliat-geliat
sehingga payudaranya yang tergencet menggesek-gesek dada saya." Bi Laha nampak
tercengang mendengar kata-kataku mengalir begitu saja tanpa rasa risih.

("Edan! Belum pernah terlintas sedikitpun dalam benakku untuk mendengarkan
cerita seks dari seorang lelaki bukan suamiku. Celakanya, kini aku mendengarkan
cerita-cerita itu dari mulut keponakanku sendiri.")

"Heheh.. santai saja bi.. saya ngga ngerasa risih ngomong beginian sama bibi,
habis bibi nikmat diajak ngobrol, jadi yaa alami saja lah.." Perempuan itu agak
tersipu karena 'terbaca' olehku.
"Sampai dimana tadi..? O ya.. perempuan liar.. tapi jangan salah bi.. saya
selalu memulai dengan lembut.. penuh rasa sayang.. biasanya saya mulai cium
pipinya.. terus hidungnya.. lalu mampir ke kuping.. saya paling suka menggigit
daun telinga dan menjilati lubangnya.. biasanya teman-teman perempuan saya
sampai disitu sudah ngga tahan.. kalau liarnya keluar, macem-macem deh
reaksinya.. ada yang minta payudaranya diremes keras-keras.. ada yang minta
putingnya digigit dan disedot.. ada juga yang langsung ngisep penis saya."

("Aku benar-benar tak percaya pada apa yang kudengar. Anak muda yang belum genap
23 tahun ini menyebut kata 'penis' dengan santainya di depan bibinya yang
berumur 35! Tunggu. Apa katanya? Seorang perempuan pernah menghisap anunya?
Gila. Perempuan macam apa itu? Seperti apa bentuk mulutnya? Hmm, apakah anu
sebesar itu muat di dalam mulutku?" Laha mengeluh karena pertanyaan-pertanyaan
itu pada akhirnya merangsang dirinya sendiri. Desiran rasa geli dan gatal itu
semakin deras terasa di selangkangannya.)

Nafas Bi Laha mulai memburu. Berkali-kali tampak ia menelan ludah. "Ko.. penis
kamu pernah diisep perempuan Fi..?" Ia menyebut kata 'penis' dengan sedikit
risih karena tidak biasa. Suaranya terdengar serak. Aku mengangguk. "Rasanya
kayak apa ya Fi..?" "Bibi belum pernah ngisep burung..?" Bi Laha kembali
tersipu. Ia agak jengah dengan pertanyaanku yang tembak langsung itu. Walaupun
sedikit kikuk, ia mencoba menjawabnya. "Ehm.. gimana ya bilangnya Fi.. soalnya
Mang Iyus biasanya langsung tancep sih.. terus.. dianya molor.. jadi ya ngga ada
variasi.." "Jadi belum pernah dong?" Kejarku, dan perempuan itu menggeleng.

("Sialan!! anak ini pasti menertawakanku", Laha menggerutu dalam hati. Ia
teringat pesan kakak perempuannya untuk tidak menghisap dan menjilat anu
suaminya kalau tidak diminta. Nanti kamu dikira murahan, begitu alasannya. Dan
suaminya memang tak pernah meminta. Dan perempuan itu memang tak akan menunggu
diminta kalau anu suaminya berukuran sebesar keponakannya. Dan kata 'penis'
dirasanya lebih kasar dibanding 'anu'.)

"Heheh kasihan bibiku sayang.. tapi jangan kawatir.. nanti saya ajarin deh cara-
caranya.. tapi prakteknya tunggu sampai Mang Iyus sembuh dulu ya..?" Aku mencoba
menghibur. Namun, Bi Laha hanya tersenyum masam pertanda apatis. "Ada cara lain
sih bi.. ya swalayan itu tadi.. masturbasi.."
"Tapi.. tapi kan masturbasi akan terasa lebih nikmat kalau kamu sudah pernah
ngerasain yang sebenarnya.."
"Betul sekali bi.. tapi saya ada solusi untuk itu.. " Aku bangkit mengitari meja
dan duduk di sampingnya. Kami berdua duduk di kursi tanpa sandaran. ("Rafi, mau
kau apakan bibimu ini?")

"Saya ngga akan apa-apain bibi.. jangan takut.." kataku disambut senyum
manisnya. Amboii cantiknya. Tiba-tiba batinku seakan mengucapkan janjinya bahwa
di malam inilah aku akan menikmati tubuh sintal isteri pamanku. "Pejamkan mata
bibi.. saya akan mengelus muka dan tangan bibi.. lalu bibi harus berfantasi
sesuai petunjuk saya.. Ok?" Tanpa minta persetujuan aku berdiri di belakang Bi
Laha dan dengan lembut menutup matanya. "Atur nafas bibi.." Lalu aku meletakkan
jari telunjuk dan tengahku di pipi kanannya "Bayangkan jari saya ini bibir
lelaki ya bi.."

("ooh apa yang harus kulakukan.. apa yang harus kulakukan.. haruskah aku
mengikuti kata-katanya? Haruskah aku berfantasi? Pantaskah seorang bibi
berfantasi sexual bersama keponakannya sendiri? Atau sebaiknya aku pergi dari
sini? Keponakan sialan! Kamu sengaja, kamu tau bibimu lagi butuh.. kamu tau
bibimu seorang isteri kesepian..")

Bi Laha tak bereaksi. Ia menurutiku menutup mata. Hanya saja terasa otot
tubuhnya menegang. Mungkin malu, tegang, dan gairah bercampur jadi satu. Kedua
jariku mulai menelusuri pipinya yang mulus dan kencang, menelusuri sisi
hidungnya yang indah, kemudian berhenti sebentar di bibirnya yang seksi dan
tampak basah. Pelan-pelan kucubit bibir bawahnya, "mmhh.." Perempuan itu
menghela nafas. "Bi.. bayangkan seorang lelaki mencium lembut bibir bibi lalu
sesekali ia menggigit bibir bawahnya.." Sementara itu tangan kiriku mulai
mempermainkan daun telinganya. "ss.." Bi Laha mendesis dan menggeliat kegelian.
Penisku mendadak berdenyut. Aku benar-benar hampir tak dapat menahan nafsu
birahiku. Siapa yang bisa tahan melihat perempuan montok berkulit kuning langsat
dengan buah dada yang menggelembung keluar dari kebayanya tengah mendesis-desis
kegelian..! Niat untuk memperkosanyapun mulai mendominasi sel-sel otakku.
Terbayang betapa menggairahkannya menggumuli tubuh sintal ini seraya memaksanya
bersetubuh. Tapi suara hatiku melarang. Perempuan ini isteri pamanmu! Perlakukan
dia dengan semestinya! Heheh.., ternyata di situasi seperti ini masih ada juga
peran suara hati. Jari tangan kananku sudah sampai ke dada Bi Laha, tepat
sebelum daging buah dadanya. Sejenak jari-jariku membelai-belai tulangnya,
sambil sedikit-sedikit mulai menyentuh gelembung buah dadanya yang empuk itu.

("Ooohh gilaa.. gillaa.. apa yang kulakukan? Tangan anak muda ini seakan
menjelma menjadi bibir seorang lelaki yang tengah menciumi, menjilati, dan
menelusuri setiap lekuk liku tubuhku dan arahnya. Oh.. arahnya makin mengarah ke
buah dadaku. Oh, akankah dia.. akankah dia.." Lalu perempuan itu merasakan
aliran darahnya bergerak semakin cepat, semakin cepat. Lalu ia menggeser
pinggulnya. Dan tersadar, kalau celana dalam nilonnya mulai basah di bagian
selangkangan.)

Nafas Bi Laha semakin terdengar tidak beraturan, matanya masih terpejam, alisnya
mulai berkerut, bibirnya sedikit menganga, buah dadanya naik turun, tangan
kanannya pelan-pelan turun ke selangkangannya dan disambut oleh jepitan kedua
pahanya yang langsung bergerak menggesek satu sama lain, my god! Perempuan ini
sudah tidak sungkan-sungkan untuk menggesek-gesekkan kewanitaannya ke tangannya
sendiri di depanku. That's good! Tangan kiriku turun dari telinganya dan mulai
meremas-remas pundaknya yang sekal dengan hati-hatiku tempelkan penis yang sudah
tegak berdiri di balik celana katunku ke punggungnya, tak ada reaksi lalu
kutekan dengan sedikit keras sehingga penis besarku terasa gepeng terjepit oleh
perutku dan punggungnya. Bi Laha tersentak dan membuka matanya, aku tidak peduli
dan terus menggesek-gesekkan penisku, perempuan itu menengok kebelakang dan
terbelalak melihat dari dekat bentuk penisku yang tercetak di celana katunku
sedang menggesek-gesek punggungnya.

(Laha merasa dirinya seperti orang bisu. Segala kata-kata yang ingin ditumpahkan
untuk menceritakan kenikmatan yang tengah dialaminya terbendung di leher. Kala
otaknya menyusun kalimat "Aku ingin buah dadaku dicium" maka mulutnya
mengucapkan "Auuhh.." Kala otaknya menyusun "Gigitlah putingku.." maka mulutnya
mengucapkan "Emmhh.." Tak ada lagi koordinasi antara otak dan tubuh. Apalagi
ketika batang kenyal besar itu mulai tergencet di punggungnya. Kehangatannya,
kekenyalannya, ukurannya, menyebarkan getaran-getaran listrik ke seluruh
pembuluh syaraf isteri kesepian itu. "Ingin benar rasanya aku membalikkan
badanku, membuka ritsluitingnya, lalu meraih batang perkasa itu untuk kubelai,
kuciumi lalu.. uh, beranikah aku memasukkannya ke mulutku? Beranikah aku
menghisapnya? Lalu apa kata keponakanku nanti? Apa ia akan menganggapku murahan,
seperti kata kakakku?" Lalu sel-sel otaknya mulai mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang semakin menakutkan perempuan itu, "Pantaskah aku melakukan ini
dengan keponakanku sendiri? Akankah ia memaksaku untuk bersetubuh dengannya?"
Laha ingin sekali bisa bicara jujur pada hati nuraninya. Ia telah terlalu lama
dahaga. Apalagi ia kini dimadu. Karena ingin jujur itulah, ia memberanikan diri
berharap pertanyaan terakhirnya akan menjadi kenyataan. Lalu ia pun tersentak.
Tinggal selangkah lagi bagi dirinya untuk menyandang predikat isteri tak setia.)

Tiba-tiba Bi Laha menatapku dengan kawatir, "Fi.. bibi takuut.." Aku tersenyum
dan dengan lembut tangan kananku kembali menutup matanya, "Sshh.. ngga Papa bi..
nggada siapa-siapa kok dan bibi nggak akan saya apa-apain, suer.." dengan penuh
perasaan janji-janji surgaku mengalir deras siap untuk mendinginkan gejolak
ketakutannya and it works, otot tubuhnya kembali terasa santai bahkan beberapa
saat kemudian Bi Laha mulai membalas gesekanku dengan menggerak-gerakkan
punggungnya kekiri dan kekanan seakan hendak memberikan kesempatan pada setiap
pori kulit punggungnya untuk menikmati kerasnya penisku. Melihat respon seperti
itu aku mulai lepas kendali sambil terus menggesekkan penis, meremas pundak
kirinya dan mulai membelai belahan buah dadanya dengan lembut kukecup leher
kirinya seraya bibirku menelusurinya turun ke pundak,
"Bi.. bayangkan lelaki itu mencium leher bibi.. terus turun ke pundak..
bayangkan bahwa sebentar lagi bibir itu akan melewati susu bibi, mencium-cium
kecil sekeliling puting.."
"Ouhh Fii.. ss.." Bi Laha mendesis keras seraya menggerakkan kepalanya ke kanan
pertanda mulai terangsang, bibirku kemudian menggigit-gigit kecil daun
telinganya dan kemudian aku memasukkan lidahku di lubang telinganya dan mulai
menciumnya, kepala Bi Laha menggeleng-geleng agak liar,
"Ngghh.. ngghh.. " Erangnya kegelian.
"Senjata saya nikmat rasanya khan Bi..?" bisikku sambil terus menjilati
telinganya. Sambil terus mengerang ia mengangguk,
"Lebih besar dari Mang Iyus bi..?" Erangan isteri pamanku itu terdengar
mengeras, lagi-lagi ia mengangguk.
"Bibi mau ngerasain penis beneran saya..?" Bi Laha menengadahkan kepalanya
dengan alis berkerut, mata terpejam dan mulut menganga.
"hh.. mm.. Mau Fi.. ehh.."

(Laha merasa otaknya sudah tak ada hubungan dengan organ lain tubuhnya. "Edan,
aku benar-benar tak tahu apa yang diucapkan mulutku", perempuan itu memaki.
"Kata-katanya terlalu memojokkan. Penis pemuda ini terlalu menggairahkan.
Kecupan, jilatan, dan rabaannya membuat selangkanganku semakin banjir. Ah, kata
'penis' lebih baik dari 'anu', dan jauh lebih beradab dari 'penis'.")

Ketika itu juga kuselipkan tangan kananku ke balik beha hitamnya dan yess..
keempukan dan kekenyalan buah dada kanan isteri pamanku ini betul-betul terasa
nikmat di dalam genggamanku, puting susunya begitu keras dan panjang.

("Ohh, ia meremas buah dadaku, pemuda itu benar-benar meremasnya! Inilah kali
pertama buah dadaku diremas-remas tangan lelaki bukan suaminya. Ayo, ayo lebih
keras, lebih keras, betapa selama ini aku merindukan tangan lelaki. Oh Rafii,
kamu adalah pria kedua selama hidup yang pernah menjamah tubuhku.")

"Bi Laha.. bayangkan lelaki itu sekarang dengan buas sedang mencupang susu.. dan
menyedot puting bibi.." r>"Ouuhh.. haahh.." Bi Laha menggelinjang sampai-sampai
pantatnya terangkat dari kursi.. sikunya menyenggol gelas di atas meja sehingga
tumpah.. seakan diingatkan tiba-tiba Bi Laha meronta mencoba melepaskan diri
dari remasan dan ciumanku.

("Tunggu. Aku isteri orang! Dan anak muda yang tengah mempermainkan putingku ini
adalah keponakanku! Auh, sudah lama putingku tidak mengeras seperti ini.")

"Fi.. Fii.. ss.. ehh.. Fii.. jangann.. nan.. nanti keterusan.. ahh.. jangan.."
rintihnya memohon. Bukannya berhenti, malah dengan cepat kuselipkan juga tangan
kiriku ke balik beha satunya sehingga sekarang kedua tanganku berada di balik
behanya meremas kedua buah dada montok Bi Laha. Dengan sekali sentak,
kukeluarkan kedua buah dada besar itu sehingga bentuknya menonjol ke atas karena
tertahan oleh kedua cup beha di bagian bawahnya. Tanpa membuang waktu, jari
jempol dan telunjukku memilin-milin putingnya yang berwarna coklat kemerahan
itu. Bi Laha semakin mengerutkan alis dan mulutnya meringis seperti orang
kepedasan, "Aouuhh.. Fii.. gellii.. ss " Bi Laha mulai mendesah dan mendesis tak
karuan. Kedua tangannya kini menjulur ke belakang memegang belakang pahaku.

("O Rafii lebih keras, lebih keraass. Gigit puting bibimu sayang, gigit puting
bibimuu..")

Sambil masih memilin puting kirinya dan menciumi lehernya, aku membuka
ritsluiting celanaku, menurunkan sedikit celana dalamku, lalu kukeluarkan penis
raksasaku. Tangan kananku menjulur kebawah lalu dengan sekali tarik kuangkat
ujung baju kebayanya ke atas sehingga punggung mulus berhias tali beha hitam
milik isteri Mang Iyus itu kini terpampang di hadapanku. Kuletakkan penisku yang
sudah sangat tegang itu di atas kulit mulus punggung Bi Laha. Lagi-lagi Bi Laha
membuka matanya dengan pandangan kebingungan, antara keinginan melihat penisku
bercampur dengan ketakutan akan melakukan persetubuhan dengan lelaki bukan
suaminya. Ia hanya bisa mengerang dan menggelinjang sambil menoleh menatapku
ketika dirasanya daging keras penisku mulai menggesek-gesek kulit halus
punggungnya, dirasanya punggungnya mulai ditetesi oleh cairan bening yang keluar
dari lubang penisku. Bi Laha benar-benar terlihat berada di simpang jalan. Ia
begitu bergairah dengan sensasi yang belum pernah dialaminya selama hidup, namun
ia begitu ketakutan melihat keponakannya dengan penuh nafsu tengah meremas-remas
susunya, memilin putingnya, menggesekkan penis di punggungnya, dan.. perempuan
itu dengan mudah menebak bahwa perbuatan ini akan berakhir dengan persetubuhan!

Jam dinding berdentang keras menandakan pukul 8 malam. Waktu dimana Mang Iyus
biasa pulang. Seakan tersadar dari mimpinya, Bi Laha meronta dan menahan kedua
tanganku yang masih sibuk meremas buah dada dan putingnya, "Fi.. tolong..
stoop.. inget Fi.. kamu keponakan bibi.." Sambil berkata, perempuan itu
menjauhkan kedua tanganku dari buah dadanya. Tak kehilangan akal, begitu
terlepas dari puting, tangan kananku langsung menyambar selangkangannya dan
meraba gundukan daging di balik kain jarik yang sudah tak karuan bentuknya itu.
Dengan cepat tanganku mengocok vagina Bi Laha dari luar. Bi Laha sempat
terbelalak melihat reaksiku, ia sama sekali tak menduga gerakanku dan matanya
tampak terkejap-kejap menikmati kocokan jemariku di celana dalam nilon yang
menutupi daerah klitorisnya.

("aahh, tangan keponakanku ini benar-benar luar biasa. Kocokannya benar-benar
membuat seluruh lorong vaginaku terasa geli. Dindingnya yang terasa amat basah
itu mulai berdenyut. Ingin rasanya aku membuka celana dalamku dan membiarkan
jemari kasarnya mempermainkan daging kemaluanku. Sial, haruskah aku menghentikan
kenikmatan ini? Tapi, betapa kejamnya orang menghujat seorang isteri tak
setia!")

Sempat ia merenggangkan paha beberapa saat seakan menyilakan tanganku
mengeksplorasi vaginanya lebih jauh, namun dengan kekuatan entah dari mana, ia
berteriak "Fii.. lepaskaann Bibi.." lalu meronta, dan mendorongku kebelakang
hingga nyaris terjengkang. Perempuan itu meloncat dari duduknya dan lari
menjauh. Rambutnya acak-acakan, buah dadanya bergelayutan keluar dari beha nya,
kain jariknya nyaris lepas dari stagennya. Sial! Padahal dia hampir menyerah!
"Fi.. cukup Fi.. kita nggak boleh berbuat lebih jauh dari ini, bibi yakin kalau
kita teruskan ini akan berakhir di atas ranjang." katanya dengan nafas memburu
sambil membelakangiku dan memasukkan kembali kedua buah dadanya ke dalam beha.
"Nggak akan berakhir di ranjang bi.. kan saya sudah bilang dari awal.. bibi
nggak akan saya apa-apain, masa bibi nggak percaya omongan saya?" Ia merapikan
baju kebaya dan rambutnya "Bukan itu Fi, bibi ngga percaya pada bibi sendiri."

(Mendadak Laha sendiri ragu. Apakah ia harus bangga atau menyesal akan
keputusannya ini)

Lalu ia berbalik ke arahku dan perempuan itu terbelalak, ia tampak terkejut dan
tanpa sadar menjerit kecil, "Ya ampuunn Rafi.. besarnya.." Mata Bi Laha terpaku
pada penisku yang masih mengacung tegang keluar dari celana dalamku. Urat-urat
tegang tampak sekali menonjol di sekeliling batang berdiameter 3-4 cm itu.
Kepala penisku menunjuk langsung ke wajah perempuan berusia paruh tiga puluh
itu. Keraguan kembali tergambar di air mukanya. Dari situ aku yakin, bahwa
birahi isteri pamanku itu masih tersisa terlalu banyak untuk dilewatkan begitu
saja. Nafsuku benar-benar sudah naik ke kepala, aku sudah tak peduli, kubungkam
suara hatiku, kubuang janji-janji bull shitku pada Bi Laha dan dengan cepat
kuhampiri tubuh montoknya lalu kupeluk dengan erat. "Rafii mau apa kamuff..
mphh.." Teriakannya terpotong oleh lumatan bibirku di atas bibirnya yang ranum
itu. Itulah kali pertama aku mencium bibiku.

("Hah, ia menciumku, ia menciumku! Rafi, kamu adalah laki-laki kedua dalam hidup
yang pernah mencium bibir bibi. Oh, nikmat betul merasakan lidahmu menyapu
seluruh rongga mulut bibi. Nikmat betul merasakan bibirku disedot dan digigit.
Uh, apakah kamu juga akan menjadi lelaki kedua yang akan.. yang akan..
menyetubuhiku? Dan gelagat itu sudah tampak. Coba lihat, tanganku tak bisa
bergerak. Tubuhku didekapnya erat. Jangan-jangan, jangan-jangan.. pemuda ini
sungguh-sungguh berniat memperkosaku. Hah, bagaimana kalau orang lain tahu?"
Bagi perempuan ini, kata 'perkosa' kini menimbulkan gairah sekaligus
kekhawatiran.)

Pelukanku sedemikian eratnya sehingga terasa buah dadanya yang menggencet dadaku
seakan hendak pecah. Ia melepaskan bibirnya dari lumatanku dan memalingkan muka
mencoba untuk melawan. "Rafi.. jangan.. saya istri pamanmu.. ohh.. nanti bibi
teriak!" Tak kuhiraukan kata-katanya. Di kupingku terngiang bisikan-bisikan yang
terasa semakin keras: Dia mau.. Dia mau.. Paksa dia.. Perkosa dia..! Maka dengan
bertubi-tubi kuciumi lehernya sehingga walaupun ia meronta dan memukul-mukul
punggungku, terasa sesekali badannya menggelinjang karena geli. Bunyi kecupan
bercampur erangan birahiku dan desahan yang memohon aku melepaskannya menggema
di udara dingin rumah besar di Kabupaten Garut itu. Ia memejamkan matanya tak
berani menatapku yang kini mulai menjilati telinga dan lehernya, "TOLOONG..
TOLooNG!!" Tiba-tiba perempuan itu menjerit.

("Aku takut! aku benar-benar takut! Saat ini aku memang dahaga lelaki. Dan itu
bukan berarti aku mau diperkosa oleh keponakanku sendiri. Apalagi katanya,
seorang pemerkosa cenderung selalu berbuat kasar. Oh tiba-tiba aku merasa begitu
ngeri melihat pemuda itu menciumi leher dan kupingku dengan ganas. Tapi,
haruskah berteriak?")

Aku terkejut mendengar teriakan Bi Laha. Ini bahaya..! Bisa bubar semua rencana!
Lalu kudorong dengan paksa dan kurebahkan tubuh sintal yang meronta-ronta itu ke
atas meja. Kedua tanganku dengan kuat menahan pergelangan tangannya yang kini
membentang ke atas. Bi Laha semakin meronta. Kepalanya di palingkan dengan keras
ke kiri ke kanan untuk menghindari bibirnya dari lumatanku. Pinggulnya yang
terbaring di pinggir meja disentak-sentak untuk menjauhkan penisku dari
selangkangannya. Well, tak ada pilihan lain, sorry Bi Laha. Lalu dengan kasar
kutindih tubuh montok itu sehingga rontaanya tertahan, pinggulku mengunci gerak
selangkangannya, penisku kini tergencet oleh perutku dan selangkangannya.

("Betul dugaanku. Lelaki ini tiba-tiba jadi kasar! Aduh, aku jadi betul-betul
ngeri! Aku takut ia menamparku, aku takut ia melukaiku. Aku juga takut, ia akan
mengoyak-ngoyak vaginaku. Ya Tuhan, malang nian nasibku. Aku takut darah!")

Lalu tanpa sengaja penisku itu tergencet oleh sebuah gundukan daging hangat yang
terasa ditutupi oleh bulu-bulu lebat. Berani taruhan bulunya pasti lebat sekali,
soalnya dari luar kain kebayanya saja sudah terasa kelebatannya, mengingat itu
darahku terasa berdesir.

("Tunggu Laha, ketakutanmu terlalu berlebihan. Pemuda ini cuma kasar ketika
menindihmu. Itu pun karena kau berteriak!" Logika Laha mulai bicara. Tiba-tiba
perempuan itu menyadari betapa sesungguhnya kekasaran pemuda itu tak lebih dari
reaksi akibat terakannya tadi. Lalu kengerian itu sirna. Lalu ada kehangatan di
selangkangannya. "Ouuh Rafi, sungguh hangat dan keras penismu itu. Ayo,
gesekkan, gesekkan penismu di atas vagina bibi.. Tapi.. tapi.. bagaimana kalau
suamiku tiba-tiba pulang?")

"Silakan berteriak bi.. ngga ada gunanya.. di rumah ini nggak ada siapa-siapa..
orang di jalanan juga ngga bisa denger.." kataku menantang dengan nafas tak
kalah memburu dengan Bi Laha. "Kalaupun ketahuan paling saya diusir.. tapi
bibi..? Bibi bisa dicerai oleh Mang Iyus yang sudah punya Nuke, jadi apa
untungnya berteriak?" Bibiku tak bisa menjawab namun matanya menyorotkan sinar
kemarahan padaku. Entah marah karena kata-kataku atau perbuatanku.

("Jangan pernah kau sebut nama sundal itu di hadapanku!")

"Bi.. saya tau bibi selama ini kesepian, apalagi setelah Mang Iyuspunya Nuke
makanya bi.. pikir praktis saja.. kalau Mang Iyus boleh punya perempuan lebih
dari satu.. kenapa bibi nggak..?" Aku mulai coba meyakinkan bibiku dengan
logika-logika ngawurku. Bi Laha kembali memejamkan mata dan memalingkan muka
seraya menggigit bibir. Tampak betul ia tengah berusaha menekan kemarahan di
dalam dadanya. Mataku menelusuri tubuh sintal yang tertindih oleh tubuhku. Baru
kusadari betapa merangsangnya posisi tubuh Bi Laha itu dilihat dari atas. Kedua
tangannya membentang ke atas dan pahanya mengangkang. Ketiaknya yang tampak
putih di balik kebaya brokat hijau itu dipenuhi oleh bulu keriting yang lebat.
Wangi khas menyebar dari ketiaknya menandakan mental perempuan itu saat ini
tengah tertekan. Tapi wangi itu membuat gairahku meningkat lagi. Suka atau
tidak, isteri pamanku ini akan kesetubuhi! Aku kembali menciumi leher Bi Laha
dengan bertubi-tubi, terus ke dada mengitari puting susu lalu mampir ke
ketiaknya yang rupanya merupakan weak point bibiku karena terdengar ia mendesah
ketika aku mulai mengecupnya, tanganku melepaskan pergelangan tangan Bi Laha
dan, brett..! Dengan kasar kurobek kebaya di bagian dada sehingga buah dada
besar yang masih tertutup BH hitam itu terbuka menantang wajahku. Tangan Bi Laha
berusaha menutupi dadanya yang kini bebas dilihat oleh mataku. "hh.. Fii.. bibi
malu.." bisiknya lirih.

("Ya Tuhan, ia akan melakukannya.. ia akan melakukannya! Ia akan memperkosaku!
Ooohh.. semoga tak ada kekasaran lagi.")

Aku kembali meraih tangan Bi Laha dan menahannya dalam posisi membentang ke
atas. Posisi itu membuat bagian depan kebaya brokatnya terbuka ke samping
sehingga perutnya yang kencang dan mulus itu terlihat dengan jelas. Buah dadanya
terangkat keatas tertarik behanya yang cuma mampu menutupi 3/4 bagian buah dada
bibiku itu. Bagian bawah bukit kembarnya menonjol keluar dari bagian bawah beha
hitam berukuran 34 itu. "Susu bibi seksi sekali.. Mang Iyus benar-benar lelaki
beruntung.. " Dan aku pun mulai menciumi daging empuk di bagian atas buah
dadanya, lalu aku gigit behanya dan kuangkat kedua cup-nya sehingga kedua buah
dada itu melejit keluar. Wuiihh.. benar-benar buah dada yang indah, begitu putih
dan mulus, urat-urat birunya tergurat halus di sekitar putingnya yang berwarna
coklat kemerahan. Aku mulai mengecup dan menjilati buah dada kenyal itu dengan
rakus, kecupan dan jilatanku itu mulai menyusuri daerah sekeliling putingnya.
Gerakan melingkar itu semakin kecil dan semakin kecil, "Ehh.. Euhh.. ss.."
Ditengah rontaannya yang mulai melemah, terdengar Bi Laha merintih dan mendesis
keenakan sambil terus membuat gerak melingkar lidahku sesekali menyentil
putingnya membuat rintihannya semakin keras diselingi dengan nada kesal karena
merasa dipermainkan.. hehe.. rupanya perempuan ini ingin cepat-cepat diisap, if
that what you want that is what you get. Satu, dua.. dan.. tiga! Lalu kumasukkan
puting dan 1/2 buah dada istri pamanku itu ke dalam mulutku. "Aohh.. ss.."
Gerakan tubuh Bi Laha mulai liar. Lalu dengan rakus kusedot dan jilat putingnya
bergantian kiri dan kanan. Sambil merintih Bi Laha menjilati bibirnya sendiri
dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Rambutnya sudah awut-awutan dan setengah
basah terkena tumpahan air minum di meja. Denyutan di penisku terasa makin
keras, akupun tak mau berlama-lama. Sambil terus menyedot buah dada dan
putingnya, tangan kiriku melepaskan tangan Bi Laha dan dengan cepat menyingkap
kain kebaya Bi Laha sampai sebatas perut sehingga terlihatlah pahanya yang putih
mulus itu mengangkang di depan penisku. Dari luar celana dalam nya yang berwarna
krem, terbayang segumpal bulu keriting lebat yang menutupi vagina. Sebagian
daripadanya nampak keluar dari celana dalam yang basah di daerah selangkangan
itu. Duh Bi Laha.. aku benar-benar tak sabar untuk segera mencium, menjilat, dan
memasukkan penisku ke vaginamu yang seksi. Lalu tangan kiriku dengan cepat
meraba pahanya dari lutut sampai selangkangan. Begitu sampai, jari tengahku
langsung kutempelkan di belahan vaginanya, dengan seketika jariku merasakan
kehangatan pada celana dalam yang sudah basah dan lengket itu. Pelan-pelan
kutekan jari tengahku sehingga kain celana dalamnya ikut melesak masuk ke liang
vaginanya. Otot Bi Laha menegang, pinggulnya terangkat sedikit membuat jariku
dan kain celana dalamnya semakin terbenam, "Fii.. eehh.." Dengan mata terbelalak
ia merintih. Kepanikan mulai terbayang di wajahnya.

("Oooh Rafi, terus terang aku takut. Aku yakin perbuatan kita ini akan berakhir
dengan persetubuhan. Dan aku takut kalau suamiku benar-benar pulang! Dan
menceraikanku dengan tuduhan bersetubuh dengan keponakannya! Tapi bukankah aku
diperkosa?" Laha tersentak. Ternyata ia mulai mencari justifikasi.)

Tangan kanannya yang bebas memegang dadaku seakan siap untuk mendorong.. Oh NO
YOU DON'T.. tak akan kubiarkan terulang lagi, kuhentikan semua aktivitasku lalu
SReeT..! Dengan cepat kedua tanganku menarik celana dalam isteri kesepian itu ke
bawah sehingga lolos melalui kedua pergelangan kakinya. "Ahh.. FII JANGaaNN.."
Bi Laha menjerit dan mencoba bangkit. Tapi.. BRAAK!! Dengan cepat kutindih
kembali tubuh montok yang hampir saja terduduk itu sehingga punggungnya yang
mulus sedikit terhempas ke meja. Wajah Bi Laha semakin panik ketika kutempelkan
kepala penisku ke liang vaginanya.

("Ya Tuhan, ia mulai kasar lagi dan penisnya, penis besarnya akan memasukiku!
Sanggupkah aku menampungnya? Sakitkah rasanya? Aduuh, kenapa aku jadi panik
begini? Persis seperti seorang gadis yang akan diperawani. Oh.. Rafi, bibi
benar-benar mengharapkan kau melakukannya. Bibi benar-benar ingin bersetubuh
denganmu. Tapi bibi malu karena kamu keponakanku sendiri. Bibi juga takut Mang
Iyus tahu perbuatan kita. Oh Rafii, gelinya bibir vagina bibi.. jangan berlama-
lama sayang, persetan dengan pamanmu, masukkan sekarang.")

Kebisuan kembali menyelimuti kami berdua. Ruangan asri rumah Bi Laha itu terasa
semakin luas dan mencekam dengan kesunyian itu. Suara jangkrik dan kodok sawah
terdengar saut menyaut. Sesekali terdengar suara angkutan pedesaan melewati
jalan raya. Juga suara delman dan motor melintas. Ahh, desa yang tenang dan
damai. Tempat yang sangat sempurna untuk berlibur dan bermalas-malasan. Tapi
tidak dengan kebisuan seperti ini. Aku menguap seraya melihat arloji. Sudah 20
menit lebih kami tak berkata-kata. Dan Mang Iyus belum juga datang. Isterinya
sudah terlihat gelisah sambil terus-terusan memandang jam dinding. "Nggak
biasanya Mang Iyus begini.." suaranya terdengar lirih.

Kriing.. Kami berdua terlonjak karena kaget. Telepon sialan, makiku dalam hati.

("Telepon keparat!")

Bi Laha bergegas mengangkatnya. Tampaknya Mang Iyus lagi yang menelepon. Mereka
terlibat pembicaraan sejenak.
"Lo bapak ini gimana sih? Kita kan sudah siap dari tadi.." Terdengar suara Bi
Laha meninggi.
"Iyaa saya ngerti.. tapi apa segitu mendesaknya sampai bapak musti batalin janji
makan malam dan nginep disana??" O.. Oo.. naga-naganya aku bisa menebak kemana
arah pembicaraan ini.
"Apa? Cuma gara-gara ibunya pusing-pusing bapak harus nganter ke dokter? Apa
perempuan itu ngga bisa anter sendiri? Dengar Pak, saya juga punya hak sebagai
isteri pertama. Hari ini semestinya adalah hak saya. Bilang sama perempuan itu,
kalau mau jadi isteri kedua harus berani tanggung konsekuensi.. kalau bukan
harinya, jangan minta-minta antar ke dokter!" Braak! Bi Laha membanting gagang
telepon seraya menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menutup muka dengan kedua
tangannya.

("Suami egois! Tak adil! Aku benar-benar merasa seperti keranjang sampah. Sesak
di dadaku semakin menggunung dan menggunung, lalu mendesak keluar. Air mataku
mulai mengalir. Tiba-tiba aku terkesiap. Belum pernah aku membentak-bentak
suamiku sebelumnya. Belum pernah aku mengahiri pertengkaran dengan bantingan
telepon. Belum pernah aku seberani ini. Lalu, bayang-bayang pergumulanku dengan
Rafi melintas. Karena itukah aku jadi berani?")

Aku memberanikan diri melirik ke arah Bi Laha. Perempuan itu tengah duduk sambil
menutup muka di sofa. Shit! Kenapa liburanku harus diwarnai hal-hal seperti ini?
Kenapa pula aku memilih tempat ini sebagai tempat berliburku? Aku menghela
nafas. Ingin rasanya aku mendekati wanita yang tengah bersedih itu dan
menghiburnya. Tapi saat itu, aku benar-benar tak tau harus berbuat apa.

Kriing.. Setan! Sekali lagi ia mengejutkanku, akan kulempar ke tong sampah.
Telepon itu berdering berkali-kali namun Bi Laha tak juga beranjak
mengangkatnya.

"Bibi ingin saya yang mengangkatnya?" Aku menawarkan diri. Bi Laha mengangkat
mukanya. Matanya merah dan basah oleh air mata. Ia tersenyum kecil, dan
menggeleng. "Ngga usah Fi.. kamu baik sekali.. biar bibi yang angkat.." Kasihan
benar bibiku yang cantik ini. Andai aku dapat menghiburmu. Telepon itu ternyata
dari Mang Iyus lagi. Mereka lagi-lagi terlibat pertengkaran soal hak isteri
pertama dan kedua. Bi Laha juga tanpa tedeng aling-aling menuduh Mang Iyus telah
melalaikan kewajibannya untuk memenuhi haknya sebagai isteri pertama. Aku
membuka pintu depan dan duduk di teras agar tidak mendengarkan pertengkaran itu.
Tapi sia-sia, karena di daerah yang sepi seperti Cilimus, orang bisa mendengar
suara lebih dari 50 meter. Aku memenuhi paru-paruku dengan udara malam yang
segar. aahh.. aku tersenyum sendiri mengingat pengalamannya hari ini. Adakah
kesempatan seperti itu akan terulang lagi?

"Saya nggak peduli. Bapak nggak pulang selama sebulan juga saya nggak peduli.
Sekarang saya akan kunci rumah, dan pergi tidur. Saya ngga mau liat mukamu malam
ini!" Braak! Lagi-lagi Bi Laha mengakhiri pembicaraannya dengan acara banting
telepon. Diam-diam aku kagum pada bibiku ini. Sehari-hari ia tampak begitu
lincah dan ramah. Bertolak belakang dengan apa yang baru saja kulihat. Ia bagai
seekor singa betina yang mengaum menggetarkan sukma. Aku menghela nafas, lalu
masuk kembali dan mengunci pintu. Terlihat Bi Laha masih terduduk di sofa besar
dekat meja telepon. Ia kini bersandar sambil menutupi matanya dengan tangan
kanan. Tangan kirinya memegang tisu yang sesekali digunakan untuk menghapus air
mata yang mengalir deras di pipinya. Dengan hati-hati aku duduk di sampingnya.
Walau sempat ragu, kujulurkan tanganku memeluk pundaknya. "Mau berbagi cerita
dengan saya Bi..? Mudah-mudahan bisa mengurangi beban Bibi." Bisikku dengan
lembut. Tiba-tiba isteri pamanku ini menjatuhkan kepalanya ke dadaku dan
menangis tersenguk-senguk.
"Bibi sangat setia pada pamanmu Fi.. bibi banyak berkorban untuknya.. tapi
kenapa sekarang bibi disia-siakan.." Lalu ia menceritakan bagaimana ia membantu
Mang Iyus membangun usahanya. Ia juga bercerita bahwa tanah rumah ini adalah
pemberian orang tua Bi Laha. Ia juga bercerita suatu ketika Mang Iyus ditipu
orang sehingga harus menjual sebagian hartanya. Bi Laha menjual seluruh
perhiasannya untuk menolong suaminya itu. Dan begitu banyak cerita lainnya yang
menyimpulkan betapa tegarnya perempuan ini. Ia pun tetap tegar ketika harus
menerima kenyataan untuk dimadu. Kami terdiam beberapa saat. Tangan kananku
memeluk pundaknya dan tangan kiriku membelai lembut rambutnya. Tangan kanan Bi
Laha memeluk leherku sementara kepalanya masih terus bersandar di dadaku.

("Pemuda ini sungguh penuh perhatian. Kelembutannya melebihi lelaki manapun yang
pernah kukenal. Hanya beberap menit, dan ia sanggup mengurangi kesal di hatiku."
Perempuan itu mendongak memandang wajah keponakannya. "Rafi, sorot matamu
sungguh sejuk. Bibi benar-benar merasa aman di dalam pelukanmu." Harum nafas
pemuda itu terasa begitu dekat dengan bibirnya. Tiba-tiba Laha merasa sangat
sayang padanya. Ia seakan telah mengenal lelaki itu sangat lama.)

Tangan kanan Bi Laha membelai pipi kiriku dengan kasih sayang, lalu ia mengecup
pipi kananku lembut. "Terima kasih Fi.. terimakasih untuk menemani di saat bibi
butuh seseorang.." Aku tersenyum. "Saya senang bisa membantu bibi.. Saya sayang
pada bibi.." ujarku tulus. Kata-kataku itu membuat bibiku terharu. Kembali ia
menyenderkan kepalanya seraya memeluk leherku dengan lebih erat. Aku pun hanyut
oleh rasa kasih sayang yang menyelimuti hati kami. Dengan penuh ketulusan aku
mencium kening Bi Laha lamaa sekali. Lalu kukecup pipinya yang terasa basah oleh
air matanya. Bi Laha mendongakkan kepalanya memandangku dengan senyuman sayang.
Hidung mancungnya dekat sekali dengan hidungku. Kami berdua bisa menghirup wangi
nafas masing-masing. Mata kami saling beradu pandang. Oh, alangkah indahnya
matamu bi.. alangkah cantiknya wajahmu.. kalau kau bukan isteri pamanku, aku
pasti jatuh cinta padamu. Tak peduli kau 12 tahun lebih tua dariku.

("Ohh.. Rafi.. bibi benar-benar takluk melihat matamu. Seakan ada magnet yang
membuat orang lain tertarik untuk terus memandangi.. Sayang bibi lahir terlalu
cepat 12 tahun. Kalau tidak, kita pasti sebaya, dan kita pasti cocok satu sama
lain dan akulah yang akan memuaskan malam-malam dinginmu dan aku juga yang pasti
menjadi perempuan pertama yang menyedot dan menghisap.")

Aku menempelkan bibirku di atas bibir Bi Laha. Perempuan itu tanpa ragu
menyambut ciuman lembutku. Ciuman ini terasa berbeda dari ciuman-ciuman
sebelumnya. Ciuman kali ini lebih merupakan pernyataan kasih sayang dibanding
sekedar nafsu.

("Sayangku, alangkah hangatnya bibirmu. Peluklah aku lebih erat lagi. Leburlah
tubuhku dengan ragamu. Malam ini aku bukanlah isteri pamanmu. Malam ini aku
adalah kekasihmu. Kali ini, kamu tak perlu lagi memperkosaku. Kamu boleh
menggumuli tubuhku sepuasmu. Kamu boleh memasukkan penismu sepuas-puasnya. Oh,
belum lebih dari satu jam, aku sudah amat rindu pada penismu itu.")

Entah siapa yang memulai tahu-tahu bibir kami sudah saling memagut. Lidah Bi
Laha mencoba menerobos masuk ke mulutku. Beberapa kali lidahnya bertumbukan
dengan lidahku yang juga berupaya untuk menjelajahi lorong mulutnya. "Emmh..
mmh.." Perempuan itu mengerang ketika lidahku berhasil melesak masuk mulutnya
dan dengan cepat mulai menjelajahi langit-langitnya. Kedua tanganku kini
memegang pipinya sehingga aku dapat mengontrol pagutan bibir dan lidahku. Lalu
Bi Laha mencengkram tangan kiriku dan membimbingnya ke bawah melalui leher,
pundak, terus ke dadanya yang busung. Aku mulai tak percaya dengan respon isteri
pamanku itu. Belum genap satu jam yang lalu, perempuan itu masih meronta-ronta
menolak remasan dan rabaanku. Tapi sekarang, bibiku tanpa malu-malu membawa
tanganku ke dadanya. Kuselipkan tanganku ke balik kebayanya sehingga terpegang
bukit daging yang masih dilapisi oleh beha. Lalu, kuselipkan telapak tanganku ke
balik behanya yang elastis itu sehingga dengan mudah kukeluarkan buah dada kanan
Bi Laha dari cup behanya. "Emmh.." perempuan itu menggelinjang ketika dengan
gemas kuremas-remas buah dada montok berwarna putih itu. Remasanku membuat
bentuk daging kenyal itu berubah-ubah dari bundar ke lonjong, bundar-lonjong,
bundar-lonjong. Lalu, jempol dan telunjukku mulai memilin-milin puting berwarna
coklat tua itu. "Yang keras Fi.. yang kerass.. Ahh.." Bi Laha mendesah seraya
menyodorkan dadanya sehingga telapak tanganku semakin dipenuhi oleh gumpalan
bukit kenyalnya. Dan tubuhnya semakin menggelinjang ketika kuciumi jenjang
lehernya yang putih mulus bagai pualam. Desahannya nyaris menjadi jeritan ketika
puting yang telah berubah menjadi keras dan panjang itu kupijit dan kutarik.
"aahh.. gila, tarik lagi Fi.. tarik lagiih.. yang keraass.. euuhh."

("Saat ini puting buah dadaku terasa seperti tombol listrik yang mengalirkan
gelombang kenikmatan keseluruh tubuh setiap kali dipelintir oleh tangan pemuda
ini. Remasan-remasan di daging buah dadaku menunjukkan kombinasi gelora birahi
muda dengan luapan kasih sayang. Sesekali kasar menyakitkan, namun lebih sering
lembut menghanyutkan. Malam ini, aku merasa seperti orang yang terbebas dari
kamar gelap, pengap dan terkunci. Paru-paruku terasa penuh oleh udara sejuk
kebebasan. Baru kali ini aku merasa kedudukanku diatas suamiku. Perasaan itu
timbul karena aku berani mengambil keputusan untuk tak mempedulikannya. Kini,
aku hanya akan peduli pada diriku sendiri. Dan malam ini, aku hanya akan peduli
pada nafsu birahiku.")

Bi Laha menghentikan pagutannya di bibirku. Ia menjauhkan tanganku dari buah
dadanya, lalu berdiri. Seraya tersenyum dan memandang mataku dengan pandangan
penuh birahi, perempuan itu membuka kancing kebayanya satu per satu. Lalu ia
membuka kebayanya, menggerakkan pundak, dan seketika itu juga kain kebaya pink
itu jatuh ke lantai melingkari telapak kakinya. Jantungku makin berdegup kencang
melihat tubuh mulus isteri pamanku yang berdiri setengah telanjang di hadapanku.
Dengan sigap, tangannya membuka stagennya, dan tak sampai satu menit, kain jarik
itupun terjatuh menimbun kakinya yang masih mengenakan sepatu hak tinggi. Maka,
tubuh sintal itu kini hanya dibalut beha dan celana dalam saja. Mataku tekejap-
kejap tak percaya melihat pemandangan di hadapanku. Bi Laha mengenakan beha
berbentuk bikini yang hanya menutupi sebagian kecil ujung buah dadanya. Tali
pundak dan punggungnya tampak tak lebih dari seutas tali kecil. Celana dalamnya
yang berwarna putih juga berbentuk bikini pantai yang hanya menutupi daerah
selangkangan dan pantat yang dihubungkan oleh seutas tali melintasi pinggul kiri
dan kanannya. Di bagian selangkangan, gumpalan bulu keriting nampak menerawang
di balik celana dalam tipis dari bahan nilon itu. Wow.. tak pernah kubayangkan
di balik kain kebaya isteri pamanku ini tersembunyi beha dan celana dalam yang
desainnya sangat merangsang!!
"Kamu suka modelnya Fi?" Bi Laha tersenyum memandang wajahku yang melongo
terpesona. Kedua ibu jarinya mengait pada tali BH di depan dada. Pelan-pelan
jempolnya menarik tali itu sehingga penutup buah dadanya bergeser ke atas. "Su..
suka sekali bi.." Aku menahan nafas melihat puting coklatnya sedikit demi
sedikit terlihat. Tanganku dengan cepat membuka T-Shirt ku. Lalu, kuturunkan
ritsluiting celana jeans-ku dan meloloskannya melalui kedua kaki. Tubuh
atletisku kini hanya dibalut celana Calvin Klein merah tua. Dan celana itu tak
mampu menutupi bola besarku yang diselimuti bulu-bulu keriting yang lebat.
Batang penisku yang sudah tegak itu tampak menonjol di celana berbahan elastis
itu. Mata Bi Laha berkejap-kejap memandangi bongkahan daging di selangkanganku
itu. Lalu dengan gerakan cepat, Bi Laha menyentakkan tali behanya sehingga kedua
buah melon montok itu melejit keluar dari cup-nya dan bergayut menantang untuk
dijamah.

"Kamu tega membiarkan bibi kedinginan Fi..?" Katanya sambil membuang behanya ke
sofa. Tak tahan dengan godaan perempuan berusia 35 tahun yang sangat mengundang
itu, aku meloncat dari dudukku dan menubruk tubuh sintal telanjang yang cuma
ditutupi celana dalam tipis itu. Tanganku memeluk erat pinggangnya dan Bi Laha
menyambut dengan pelukan yang tak kalah erat di leherku. Dadaku terasa sesak
digencet oleh kedua buah dadanya yang montok. Lalu sambil berdiri, kami saling
memagut, menggigit, dan menjilat dengan buas. Jemari lentik perempuan itu
membelai-belai rambut belakangku dan meremas punggungku. Tanganku bergerak ke
bawah menelusuri punggungnya yang putih bak pualam itu sebelum menyelinap masuk
ke dalam celana dalam nilonnya. Lalu dengan penuh nafsu kuremas dengan keras
kedua buah pantatnya. "Emmhh.." Bi Laha mengerang keras sambil terus menyedot
lidahku. Selama beberapa saat pantat bulat Bi Laha habis kuremas-remas membuat
perempuan itu menggeliat-geliat keras sehingga buah dadanya menggesek-gesek dan
menggencet dadaku.

("Oohh gila remasannya.. belum pernah suamiku menggunakan pantatku sebagai obyek
seks-nya.. tapi pemuda ini.. aku betul-betul dibuat gila.. ingin rasanya aku
berteriak-teriak liar dan menggeliat-geliat histeris untuk menyemburkan bara
gelora yang sudah sedemikian lama terpendam. Dan, tanpa sadar aku sudah
melakukannya. Aku mulai menggelat-geliat liar! Ooohh nikmatnya menggesek-
gesekkan putingku ke dadanya yang bidang. Nikmatnya menggesek-gesekkan
selangkanganku ke bongkahan daging di selangkangannya. Tunggu! Bongkahan itu!
Bongkahan itulah yang saat ini amat sangat kurindukan.
Laha melepaskan pelukannya dari leher Rafi, lalu menempelkannya di dada bidang
pemuda itu.
Uuuhh.. Rafi sayang, dadamu begitu kokohnya.. tak heran aku merasa begitu nyaman
menyandarkan kepalaku disana. Ayo sayang, sekarang menggeliatlah.. biar
kumainkan putingmu dengan jemariku. Yah, mengeranglah.. kamu keenakan kan? Auw!!
Jangan cubit pantatku!")

"Nakal!" Bi Laha balas mencubit putingku. Aku meringis. "Habis saya nggak tahan
waktu bibi memainkan puting saya.. gelii..""Hmm" Bi Laha tersenyum nakal sambil
menurunkan kedua tangannya ke arah perutku. "Geli mana dengan ini Fi?" Dengan
cepat perempuan itu memasukkan tangannya ke celana dalamku dan, "Oaahh", dalam
sekejap penisku sudah berada dalam genggamannya.

("Pantas saja benda ini nyaris mengoyak vaginaku. Gila, diameternya! Kurasakan
jempolku sampai tak bisa bertemu dengan jemariku yang lain! Dan kekenyalannya..
oohh.. sangat menggemaskan. Sangat menggoda untuk.. untuk.. dikulum! Oh,
haruskah aku menunggu sampai lelaki ini meminta?")

Aku merasakan kecanggungan Bi Laha ketika menggenggam penisku. Seakan-akan
tengah menimbang-nimbang "Mau diapakan benda ini?" "Dikocok dong Bi.." bisikku
memohon. Seketika itu juga tangan Bi Laha mulai bergerak-gerak di dalam celana
dalamku. "Iya bi.. iyaahh.. lebih cepat bi.. lebih cepaat." Tampaknya untuk soal
kocok mengocok, Bi Laha lumayan berpengalaman. Ia juga tahu tempat sensitif pria
di urat sebelah bawah kepala penis. Seraya mengocok naik-turun, jempolnya
mempermainkan urat itu membuat mataku terbeliak dan pinggulku berputar-putar.
"Enak bi.. aahh.. ennaak.." Lalu tanganku melepaskan remasan di pantatnya, dan
kusentakkan tali celana dalam nilonnya. Maka terlepaslah penutup terakhir tubuh
sintal isteri Mang Iyus itu. Dengan sigap kuletakkan jari tengahku di belahan
vagina Bi Laha. Kusibakkan hutan lebat keriting itu, lalu jariku mencari-cari
tonjolan kecil di bagian atas vaginanya."aahh.. ss.. aahh.. agak keatas Fi..
agak keatas.. iyaah.. Yang ituu.. yang ituu.. ouuh.." Kembali tangan kanan Bi
Laha memeluk leherku, sementara tangan kirinya semakin cepat mengocok penisku.

("Oh Rafii, kocokanmu begitu nikmat di klitorisku. Auhh, dasar anak nakal!
Sempat-sempatnya kau sentil daging itu. Ooohh.. bagaimana kocokanku sayang?
Enak? Kalau mendengar erangan dan goyangan pinggulmu, aku yakin kamu
menyukainya. Dan lagi, tanganku sudah terasa basah oleh cairan bening yang
keluar dari lubang penismu. Ah, kenapa tiba-tiba aku jadi amat menginginkan
cairan manimu?")

Putaran pinggul Bi Laha semakin liar mengikuti kocokanku pada klitorisnya.
Erangan dan desahannya sudah menjadi teriakan-teriakan kecil. Ia sudah tak
peduli kalau orang lain akan mendengar. Dengan satu tangan yang masih bebas,
kulepaskan celana dalam CK-ku sehingga Bi Laha semakin bebas mengocok penisku.
"Fi.. kita berdua telanjang bulat Fi.. kita berdua, bibi dan keponakan,
telanjang bulat di ruang tamu.." Desahnya sambil memejamkan mata dan tersenyum
manja. Lalu kuhentikan kocokanku, dan kuletakkan ujung jari tengah dan telunjuk
di pintu vaginanya. Pelan-pelan kudesakkan kedua jariku ke dalam liang yang
sudah teramat basah itu.
"Eeehh.." Isteri pamanku itu mengerang lalu menggigit pundakku dengan gemas,
kerika kuputar-putar jemariku seraya mendesakkannya lebih kedalam. Lalu mendadak
kuhentikan gerak jemariku itu dan berkata,
"Bi.. bibi yakin mau melakukan ini?"
"Ohh ke.. kenapa kamu tanya itu yang..? ss.." tanyanya dengan pandangan sayu
seraya mendesis dan menyorong-nyorongkan selangkangannya dengan harapan jemariku
melesak semakin dalam.
"Emm, ingat omongan bibi sebelum ini? Bibi bilang ini kesalahan terbesar?"
"Kamu tahu maksud bibi mengatakan itu?" Aku menggeleng. Perlahan, senyum nakal
mengembang di bibir perempuan itu. "Adalah kesalahan besar kalau bibi menolak
penismu yang.. aahh.." Kutusukkan kedua jariku sehingga melesak masuk ke dalam
vagina basah itu sehingga pemiliknya menjerit walau belum habis berkata-kata.
Mata Bi Laha membelalak, mulutnya menganga seakan sedang mengalami keterkejutan
yang amat sangat. Rasakan! Senyumku dalam hati. Inilah upah berpura-pura. Bi
Laha, Bi laha. Aku tahu bibi menginginkan ini sejak perjumpaan pertama. Aku tahu
penolakan-penolakanmu itu tak sepenuh hati.

("Ouuhh.. ini gilaa.. Ini gilaa..! vaginaku ditusuk oleh jari-jari lelaki! Suatu
perbuatan yang selama ini cuma ada di perbincangan ibu-ibu arisan. Itupun
diucapkan dengan nada heran bercampur tak percaya. Namun sekarang aku
mengalaminya! Dan aku tak merasa heran. Malah merasa biasa. Yang ada cuma
kegelian dan kegatalan yang semakin terasa berputar-putar di vaginaku. Ohh,
apakah aku akan orgasme? Secepat itukah? Hmh, kalau saja suamiku tahu apa yang
kualami hari ini. Ia akan sadar bahwa apa yang diberikannya selama 15 tahun itu
tak ada apa-apanya!")

Pelan-pelan kugerakkan jemariku keluar masuk vagina Bi Laha. Gerakan itu semakin
lama semakin cepat. Dan ruangan itu kembali dipenuhi oleh jeritan-jeritan Bi
Laha yang semakin menggila bercampur dengan kecipak vaginanya yang sudah banjir
tak keruan. Sambil terus menusuk-nusukkan jemariku di selangkangannya, pelan-
pelan kubaringkan tubuh isteri pamanku itu di atas sofa. Bi Laha merebahkan
tubuhnya seraya membuka selangkangannya. Tusukan dan putaran jemari di vagina
perempuan itu semakin kupercepat. Pinggulnya kini bergerak naik turun seakan
tengah mengimbangi tusukan-tusukan penis lelaki. Aku mencium pangkal lengan
mulusnya yang membentang ke atas mencengkram pegangan sofa. Lalu bibirku
menelusuri lengan itu ke arah ketiaknya. Sambil mengecup dan sesekali menggigit,
bibirku akhirnya sampai pada ketiaknya yang disuburi oleh rambut lebat. Harum
ketiaknya membuat penisku semakin berdenyut di tengah kocokan tangan Bi Laha.
Lalu bibirku mengecup dan menarik-narik rambut ketiaknya dengan buas, "Haahh..
haahh.. Fii.. gelii.." Perempuan itu mendadak menjerit liar. Ah, rupanya ketiak
merupakan salah satu 'titik lemah' yang dapat memicu keliaran dan kebinalan
birahinya.

Kriing.. telepon sialan! Kalau itu pamanku, ia benar-benar laki-laki yang
menyebalkan! Makiku dalam hati.

Bi Laha menggeser pinggulnya berusaha meraih gagang telepon. Pinggulnya terus
bergerak-gerak mengisyaratkanku untuk terus mengocok dan menusuk vaginanya
dengan jariku.
"Haloo.. Haloo.." Bi Laha sama sekali tak berusaha menyembunyikan nafasnya yang
tersengal-sengal. Gila, nekat sekali dia. "Haloo.." Ia mulai meninggikan
suaranya. Setelah beberapa saat tak mendengar jawaban, Bi Laha menggeletakkan
begitu saja gagang telepon di atas sofa.
"Siapa itu bi? Mang Iyus?"
"Tauk, nggak ada suaranya.." katanya seraya memeluk leherku dan mencium bibirku
dengan kekangenan yang luar biasa.
"Fii.." Desahnya manja, "Bibi mau.., masukin penismu sekarang dong.. please.."
Wah hebat. Bibiku ini sudah menggunakan terminologi Inggris! Please, katanya.
"Sabar sebentar ya bii.." ujarku tersenyum sambil mengeluarkan jemariku dari
vaginanya. Lalu menggeser tubuh sintal Bi Laha sehingga terduduk bersandar di
sofa. Kakinya menggelosor ke lantai dengan sedikit mengangkang.
"Mau diapain yang..?"
"Sshh.. nikmatin saja bi.." Aku mulai menciumi dan menyedot kedua buah dada
montoknya. Lalu pelan-pelan bibirku mulai menyusuri perutnya yang semulus marmer
itu ke arah selangkangan. Menyadari arah bibirku, perempuan itu mengepitkan
kedua pahanya dan menahan kepalaku.
"Fi.. jangan Fi.. jangan ke situ.. bibi Risih.."
"Hmm.. kenapa risih bi..? Kan penis dan tangan saya sudah pernah masuk ke vagina
bibi?"
"Dasar bandel.., bibi risih.. soalnya kalau kamu cium disitu.. kamu akan lihat
semuanya.. bibi.. bibi malu.."

{{Jantung Nuke nyaris terlompat dari dadanya mendengar percakapan yang baru saja
didengarnya. Ia masih memegang gagang telepon di rumahnya. Baru saja ia
memberanikan diri untuk menelepon isteri tua suaminya untuk menjelaskan keadaan
yang sebenarnya. Sebagai isteri muda, ia merasa tak nikmat menjadi penyebab
pertengkaran suaminya dengan perempuan itu. Namun, entah mengapa, ketika isteri
pertama suaminya itu menjawab teleponnya dengan nafas tersengal, Nuke merasa
keberaniannya hilang. Ia juga merasa ada sesuatu yang luar biasa tengah terjadi
pada perempuan itu. Dan Rafi, keponakan suaminya yang sedang berlibur itu,
ternyata sudah pernah menyetubuhi Laha. Juga, anak muda itu pernah memasukkan
jarinya ke dalam anu-nya Laha! Oh, haruskah ia menceritakan ini pada suaminya?
Pantaskah ia menguping perbuatan mereka? Pelan-pelan, Nuke kembali mendekatkan
gagang telepon itu ke telinganya. "Ngga apa-apa bi.. ngga usah malu.. vagina
perempuan kan sama dimana-mana?" Terdengar suara lelaki itu berusaha menenangkan
Laha. Oh, akankah keponakan suaminya itu berhasil mencium anu bibinya sendiri?
Tanpa sadar, Nuke menggigit bibir dengan perasaan tegang."Fii! Please.. ganti
kata-kata penis dan vagina itu! Bibi risih mendengarnya.." Terdengar lelaki itu
tertawa. "Oke.. gimana kalau penis dan vagina? Sound better?" Lalu terdengar
suara orang berciuman. Nuke menelan ludah, dan menyilangkan kedua pahanya. Lama
tak terdengar suara apa-apa. Oh, apa yang sedang mereka lakukan? Tiba-tiba Nuke
terperanjat oleh jeritan Laha.
"Fii.. jangaann.. pleaasee.. bibi maluu.." Terdengar suaranya seperti orang
hendak menangis. "aa Fii, jangan dipaksa dong.. oh.. oohh.. oohh.." Lalu yang
ada di telinga Nuke adalah rintihan dan erangan Laha penuh kenikmatan. Gila
pemuda itu. Kelihatannya ia berhasil mencium dan menjilat anu-nya Laha. Oh,
seperti apakah rasanya? Pasti luar biasa, karena suara perempuan itu tak melawan
lagi dan cuma melolong-lolong keenakan.
"Ooohh.. Fii.. nikmat bangeet.. Yah.. yah.. iyaahh.. sedot daging yang atas
sayang.. yah itu.. itu.. aahh.. sedot terus Fii.. sedot terruuss.." Nuke mulai
menggesek-gesekkan kedua pahanya. Ada perasaan geli dan gatal mengalir ke
selangkangannya. Tiba-tiba ia terperanjat ketika mendengar suara Mang Iyus tepat
dibelakangnya.
"Gimana Nuk? Sudah bicara dengan Laha?" Nuke menutupi bulatan tempat bicara pada
gagang telepon, takut suara suaminya terdengar oleh pasangan yang tengah asyik
masyuk di ujung sana.
"mm belum, teleponnya masih bicara", katanya berbohong. Tampak suaminya menghela
nafas. Nuke merasa kasihan melihat wajah suaminya itu. Lelaki malang, ia tak
tahu isteri pertamanya kini tengah asyik bergumul dengan keponakannya sendiri.
"Kalau begitu, ayo kita antar ibu ke dokter.""Emm, Kang Iyus saja deh yang
nganter. Nuke mau coba telepon teh Laha dulu, nggak enak rasanya." Suaminya
hanya mengangkat bahu dan berlalu. Setelah mobil suaminya melesat keluar, Nuke
buru-buru mengganti kebayanya dengan daster, tanpa beha, tanpa celana dalam.
Lalu dengan segera meletakkan gagang telepon itu kembali di telinganya.}}

Bi Laha mengangkat kedua paha dan menyandarkannya di pundakku. Lidahku dengan
rakus menjilat daging merah yang terletak di antara dua bibir vaginanya. Kedua
bibir itu sudah terbuka lebar dikuak oleh kedua tanganku. Rasa asin dilidahku
makin merangsang birahiku. Sesekali aku memasukkan lidahku ke dalam lubang
vagina itu dikombinasikan dengan sedotan-sedotanku pada vagina Bi Laha.
Perempuan itu menghentakkan pinggulnya sambil menjilati bibirnya sendiri.
Tangannya menekan kepalaku dengan keras di selangkangannya.

{{Erangan dan rintihan Laha, membuat selangkangan Nuke semakin dipenuhi oleh
rasa geli dan gatal. Brengsek. Kenapa aku jadi penasaran dengan permainan
mereka? Bagaimana akhirnya? Hmm seperti apakah lelaki bernama Rafi itu?
"Ohh Fii.. lidah kamu seperti penis.. nikmat banget keluar-masuk seperti itu..
bibi rasanya sudah nggak tahan.. tolong masukin penis raksasamu sekarang dong
Fii.. please.." Penis raksasa? Gila juga isteri tua suamiku itu, kata Nuke dalam
hati. Kok dia nggak malu minta-minta dimasukin seperti itu ya? Sial, aku malah
jadi penasaran. Seperti apa sih si Rafi itu? Dan, mm, sebesar apa sih penisnya?
"Fii.. ayo dong.. bibi hampir keluar nihh.. hentikan sedotanmu sayang.. ayoo.."
Huh, nafsu perempuan itu ternyata besar juga. Pantas dia tak tahan oleh godaan
keponakannya sendiri. Apalagi anu-suaminya sedang ada masalah. Oh, tak terasa
sudah hampir 6 bulan saat terakhir aku merasakan sentuhan Kang Iyus. Tiba-tiba
perempuan itu merasa iri pada Laha. Bagaimanapun, isteri tua suaminya itu berani
mengambil keputusan! Nuke mengakui. Tiba-tiba terdengar suara gemerisik di
sambungan telepon itu. "Aduh, telepon sialan, ngganggu saja!" Terdengar makian
Laha begitu jelas di telepon. Oh, rupanya perempuan itu kini terbaring dan
kepalanya menindih gagang telepon yang masih tergeletak di sofa. Nuke berharap
cemas semoga telepon itu tidak diputus. Lalu terdengar suara kecupan dan
erangan. Oh mereka mulai lagi berciuman dengan bernafsu. Syukur mereka tetap tak
peduli dengan teleponnya. Aku bisa membayangkan seorang pemuda tengah merayap di
atas tubuh Laha, lalu perempuan itu membuka lebar-lebar pahanya, lalu lelaki itu
menempelkan penisnya di pintu vagina isteri tua suamiku itu, lalu mendorong
pelan-pelan pinggulnya. " Yah Fii.. Yah.. pelan-pelan Fii.. ouhh besarnyaa.."
Laha mulai merintih-rintih. Nuke menggesek-gesekkan pahanya. Berkali-kali ia
menelan ludah. Jantungnya berdegup cepat. Oh, lelaki itu mulai memasukkan
penisnya ke dalam vagina Laha! Tangan isteri muda itu menyelip ke dalam
selangkangannya. Ada kelembaban yang hangat terasa di sana.
"Uhh.. Fii stop dulu sayang.. ssakiit.. hh.. hh.. hh.." Nuke sempat bergidik
mendengar rintihan Laha. Seberapa besar punya-mu Rafi? Oh, kenapa aku jadi tak
sabar ingin bertemu dengan pemuda itu? Nuke, jangan gila! Kau kan tidak berharap
pemuda itu melakukan apa yang diperbuatnya pada Laha kepadamu? Nuke tidak tahu
jawabnya. Andaikan ia tahu pun ia tak mau menjawabnya. Suara nafas Laha jelas
sekali di telepon. Kentara sekali ia tengah menenangkan dirinya menahan sakit
dan nikmat karena dimasuki penis keponakannya yang besar itu.
"Yang.. bibi sudah siap.. ayo.. masukkan semuanya.. yahh.. iyyaahh.." Oh, gila,
gila.. penis besar itu pasti sudah masuk semua! Oh, terbayang nikmatnya.
Terbayang rasa kesemutan dan pegal itu. Nuke teringat kala pertama kali suaminya
merenggut keperawanannya. ss.. Ohh.. Isteri muda itu mulai menekan-nekan
vaginanya dari luar daster. Lalu mulailah terdengar suara kecupan, suara erangan
pasangan kasmaran itu yang seirama dengan bunyi sofa berderit-derit.

" Ahh.. terus Fi.. teruus.. lebih cepat.. Lebih cepaat.." Jerit Laha. Dan suara
derit pun terdengar lebih cepat. Oh, bisa kubayangkan pinggul lelaki itu naik-
turun dengan cepat. Juga bisa kubayangkan suara vagina Laha berkecipak dihunjam
dengan keras oleh benda besar milik keponakan suamiku itu.
"Yahh.. sedot yang keras Fi.. sedot yang keraas.. gigit puting bibi sayang..
gigit puting bibii." Oh, tiba-tiba Nuke mengeluh, bisakah aku seberuntung
perempuan itu?}}

Leherku terasa hampir patah dipeluk oleh Bi Laha. Ia memintaku untuk menyedot
buah dadanya sekuatku, menjilat putingnya secepatku, dan memompakan pinggulku
sekerasnya. Tak kalah dengan tangannya, kedua kakinya merangkul erat pinggangku.
Hentakan pinggulku membuat buah dada isteri pamanku itu berguncang-guncang
keras. Mulutnya yang seksi terus menganga menghamburkan jeritan-jeritan birahi.
Kaki indahnya yang masih mengenakan sepatu hak tinggi hitam itu, kini terangkat
di udara seakan menyambut tusukan-tusukan penisku. Keringat sudah membasahi
seluruh tubuh membuat kulit kami terlihat mengkilat dan licin bila digesekkan
satu sama lain. Otot tubuh Bi Laha tiba-tiba menegang. Oh, apakah ia akan
mencapai puncaknya? Padahal aku belum apa-apa. Aku masih ingin lebih lama
menikmati pergumulan ini.

{{Nafas Nuke mulai memburu. Jantungnya berpacu dengan gesekan tangan di
selangkangannya. aah, permainan panas Laha dengan anak muda itu benar-benar
membuat vaginaku becek gila-gilaan. Beruntung rumah ini kosong, pikir perempuan
berusia 20 tahun itu seraya menyingsingkan dasternya sehingga vagina polos tak
berbulu itu langsung menyentuh bantalan kursi. Sejak remaja ia telah mencukur
habis bulu kemaluannya. Terasa lebih bersih, demikian alasannya. Lalu dengan
cepat ditempelkannya jari tengah pada tonjolan daging di ujung atas bibir
vaginanya. Kini, jantung Nuke berpacu dengan kocokan jari di klitorisnya. Ia
mendesah, mendesis, seraya memegang gagang telepon itu dengan kuping dan
pundaknya. Tangannya yang satu tengah membuka kancing dasternya dan menyelinap
cepat mencari buah dada berukuran 34 itu. Ohh, nikmatnya sentuhan-sentuhan di
buah dada, puting dan vaginaku. Pasti lebih nikmat lagi kalau tangan keponakan
suamiku itu yang melakukannya. Ahh, ss, pemuda brengsek. Kenapa kau tidak
menginap disini?"Fii.. kamu.. hh.. sudah mau keluar.. hh.. sayang..?" Suara Laha
terdengar serak dan terputus-putus. Nuke mempercepat putaran dan pelintiran di
klitorisnya. Mulutnya menganga, rintihannya mulai terdengar keras. Tiba-tiba ia
merasa seakan-akan vaginanya dipenuhi oleh penis keponakan suaminya itu, yang
memompa dengan keras. aahh. "Belum Fii..? Kamu belum mau keluar? Ooohh bibi
sudah nggak tahan sayang.. bibi mau keluar.. nggak apa-apa ya bibi duluan.."
Nuke mempercepat putarannya. Tangan satunya kini memilin dan menarik-narik
putingnya dengan keras. Ia seakan bisa merasakan pompaan penis pemuda itu pada
vagina Laha semakin cepat dan semakin cepat.. dinding vaginanya mulai berdenyut
cepat, nafasnya semakin cepat.}}

Pinggulku menghentak semakin cepat dan cepat. Tubuh Bi Laha terguncang kesana
kemari, dan gelinjangnya tampak sudah tak karuan. Tiba-tiba pahanya menjepit
keras, dan pinggulnya yang sedari tadi berputar-putar liar itu diangkat tinggi-
tinggi dan.., "Oooh.. bibi keluar.. bibi keluaarr.. ngg.." Terdengar suara Bi
Laha merengek panjang. Tangannya menjambak rambutku dan serta mencakar pundakku.
Matanya membelalak dan mulutnya meringis. Otot wajahnya tegang seperti orang
yang tengah melahirkan. Ketika itu juga penisku terasa hangat disemprot oleh
cairan orgasme Bi Laha. Dan dinding vaginanya seperti menyempit meremas-remas
penisku.

{{aahh, Rafii.. aahh aku.. aku juga keluaarr.. Nuke menghempaskan tubuhnya ke
tembok. Gagang teleponnya terjatuh ke lantai.}}

Suara apa itu? Seperti keluar dari gagang telepon yang tergeletak di sisi kepala
Bi Laha yang kini terbaring lemas, seperti orang yang kehilangan tulang-
belulang. Ah, mungkin cuma imajinasiku saja. Aku menghentikan aktifitasku, dan
menikmati keindahan wajah isteri pamanku yang sedang mengalami orgasmenya. Pipi
ranum perempuan itu kini tampak memerah, buah dadanya mulai naik turun dengan
irama teratur. Pelan-pelan wajah cantik itu membuka matanya, lalu dengan lembut
ia mencium keningku dan dengan penuh kasih sayang memelukku erat.
"Terima kasih sayang, terima kasih." Bi Laha memandangku dengan mata berbinar.
"Kamu sudah menghilangkan dahaga bibi selama ini.." "Sama-sama bi.., bibi juga
merupakan perempuan diatas 30 yang tercantik dan terseksi yang pernah saya
lihat. Ini kali pertama saya tidur dengan wanita seusia bibi. Dan.." Aku mencium
bibirnya lembut. "Tingkah dan tubuh bibi nggak beda dengan perawan." Perempuan
itu tergelak, lalu mencubit pinggangku. "Dasar perayu, ayo kasih bibi satu menit
untuk membersihkan diri, lalu giliran kamu bibi puaskan." Ia mencabut penisku
yang masih tegang dari vaginanya, lalu membimbingku ke kamar mandi. "Punyamu itu
benar-benar mengerikan lho Fi.." Komentarnya ketika menyiramkan air dingin di
tubuh kami berdua.

Air dingin itu mendadak seakan memberi tenaga baru bagi kita berdua.
Kesegarannya terasa mengalir dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelah
mengeringkan tubuh, perempuan itu menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Penisku
yang sempat layu, kembali menegang menempel di perut mulusnya. "Hmm.." Ia
bergumam kagum. "Si besar-mu itu sudah siap rupanya?" Aku mengangguk. "Kamu mau
main di mana Fi? Di kamar bibi..?" Aku menggeleng "Ngga bi.., ini kamar Mang
Iyus, saya nggak mau, bau kamar ini mengingatkan saya kalau bibi isteri paman
saya dan itu membuat saya cemburu.." Bi Laha tersenyum bahagia mendengar kata-
kataku itu, mukanya berbinar-binar persis seperti remaja yang sedang kasmaran.
Ia pun mulai menggesek-gesekkan perutnya ke penisku membuat cairan bening itu
keluar lagi membasahi pusar. "Kalau begitu kita main di sofa lagi ya..?" Tanpa
menunggu jawaban, ia membimbingku menuju sofa. Gagang telepon itu masih
tergeletak di sana. Sambil duduk, aku meraih gagang itu untuk kuletakkan kembali
di tempatnya, namun Bi Laha mencegah. "Jangan. Biarkan disitu. Bibi ngga mau
diganggu oleh telepon dari pamanmu. Malam ini, kamulah suami bibi dan seorang
isteri yang baik akan melakukan apa saja untuk menyenangkan suaminya.. ya nggak
yang..?"

{{Benar firasatku. Mereka akan memulai lagi permainan panasnya! Tapi tak
kusangka Laha sedemikian marahnya pada suamiku, ehm, suami kami. Seperti
kemarahan yang terakumulasi lalu meletus dengan dahsyatnya. Oh kedengarannya
mereka sudah mulai. Laha mulai mengerang dan merintih, wah sedang diapakan dia??
Hmh.. betapa beruntungnya kau Laha.. Semoga aku sempat mencicipi pemuda itu
sebelum pulang ke Bandung!! Nuke melihat jam di dinding, sudah 20 menit sejak
suaminya pergi ke dokter. Ahh, mudah-mudahan antreannya panjang. Lampu di kamar
tengah itu padam. Nuke terbaring di atas kasur busa sambil menempelkan gagang
telepon erat-erat di kupingnya. Tubuhnya telanjang bulat.}}

Sehabis menggosok-gosokkan jemariku di lipatan vaginanya, dengan gemas kuraih
tubuh telanjang isteri pamanku itu dan kududukkan di pangkuanku dengan posisi
saling berhadapan. Kakinya yang mulus itu mengangkang sehingga bagian bawah
penisku menempel tepat di belahan vaginanya. Dadanya yang busung tepat berada di
depan mulutku. Dengan segera kubenamkan mulutku di belahan buah dadanya. "Emm..
", Bi Laha menggelinjang genit "Kamu suka sekali sama susu Bibi ya..?" Sambil
mulai menyedot putingnya aku mengangguk. Bi Laha mulai bergumam seperti orang
terserang demam sambil memeluk leherku. Pantatnya digerakkannya maju mundur
sehingga vaginanya menggesek-gesek batang penisku. Tak sampai 3 menit bergumul,
Bi Laha sudah terangsang kembali. Kasihan Bibiku ini. Begitu lamanya ia menahan
dahaga sehingga akibatnya, cepat sekali perempuan itu terangsang. "Ooohh Fii..
bibi ngga tahan.. " Tiba-tiba dengan cepat tangannya menangkap penisku, ia
mengangkat pantatnya sedikit lalu menyelipkan kepala penisku di bibir vaginanya.
Pelan-pelan, ia menurunkan pantatnya sehingga batang besar itu melesak ke dalam
vaginanya yang, my god, sudah basah itu. "Aah.. ss.. aahh.." Bi Laha mulai
mendesis-desis merasakan kenikmatan di dinding vaginanya. Hmm, agak terlalu
cepat prosesnya, pikirku. Lalu kuhentikan gerak pantat perempuan itu sehingga
penis yang baru masuk seperempatnya itu tertahan di dalam. "Ohh.. kok ditahan
'yang..?" Bi Laha bertanya dengan nada kecewa. "Nggak, saya ingin cara lain bi..
bibi ngga keberatan kan..?". Tiba-tiba perempuan itu tersenyum malu dan
melepaskan penisku dari jepitan vaginanya. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas
tubuhku sambil memelukku mesra. "Maaf 'yang, bibi lupa sasma kamu. Bibi memang
egois. Bibi cuma memikirkan bagaimana untuk secepatnya orgasme lagi.. Maklum,
anak perawan.." Kami berdua tergelak. Bi Laha, Bi Laha.. sayang kau isteri
orang.
"Oke, kamu mau bibi ngapain supaya puas.."
"Coba bibi berlutut di depan saya.." Bi Laha tersenyum dan berlutut tepat
diantara dua pahaku. Penisku kini tepat berada di dadanya yang montok.
"Terus.. ngapain..?" Katanya polos.
"Tutup mata bibi dan buka mulut.. saya ingin mencium bibir bibi sambil
berlutut.."
"Uuuhh.. macem-macem.. " Ujarnya manja, sambil menutup mata dan membuka
mulutnya.
"Mulutnya kurang lebar bi.. saya ingin menjilat lidah bibi.."

{{Apa yang kau inginkan Rafi..? Jangan-jangan ia ingin agar Laha
memasukkan..}}"mm! mm!" Bi Laha menjerit-jerit kaget ketika kumasukkan penisku
ke dalam mulutnya. Ia terbelalak melihat batang besar itu bergerak keluar masuk
rongga mulutnya. Tampak ia agak jijik dan risih sehingga beberapa kali tampak
hendak meludahkan penis itu keluar. Namun, tanganku dengan kokoh menahan
kepalanya untuk memaksa mencicipinya.
"Maaf bi, saya paling suka kalau penis saya dikulum. Saya takut kalau minta,
bibi malah nggak mau. Nah, terpaksa saya agak maksa. Tapi rasanya nikmat kan?"
"Mmm..!" Bi Laha menggumam keras sambil memperlihatkan ekspresi berpura-pura
marah. Tapi, ia mulai menggerakkan kepalanya naik-turun tanpa paksaan. Nafasnya
juga ikut memburu. Rupanya dengan mengulum penisku ia semakin terangsang
birahinya.
"Yaahh.. begitu Bi.. tapi giginya jangan kena batang saya dong Bi.. sakiit..
Naahh begitu.. aouhh.. aahh.."

{{Nuke memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut, lalu mengulumnya. Oh Rafii,
kau benar laki-laki penuh fantasi. Benar dugaanku, kau memang menginginkan
penismu dikulum dan dihisap. Oooh nasib, kenapa Bi Laha selalu yang ditakdirkan
untuk mendapat sesuatu pertama kali? Perempuan itu kemudian meremas buah dadanya
dengan keras. Telunjuknya serasa berubah menjadi penis besar milik keponakan
suaminya itu, walaupun ia tak pernah melihat bentuk aslinya. Tiba-tiba ia merasa
batinnya seakan mengucapkan sumpah, "Aku harus mendapatkan pemuda itu, apapun
resikonya!"}}

"Bii.. sekarang sambil masuk keluar, lidah bibi digoyang dong.. supaya kena urat
sebelah bawah yang deket kepala.. yaahh.. yaah.. gituu.. addouwww.. Bii..
ennakk.. aahh.." Aku mulai menggelinjang-gelinjang. Tubuhku kini bersandar
dengan santai di sofa dan hanya pinggulku yang bergoyang-goyang mengikuti irama
keluar-masuk mulut isteri pamanku itu. Bi Laha memang orang yang cepat belajar.
Terbukti tanpa petunjuk, ia mulai mengembangkan sendiri teknik-teknik oral seks.
Seperti yang sedang ia lakukan saat ini, Bi Laha tengah menyedot sambil sesekali
menggigit urat sensitif di bawah kepala penisku. Lalu, ia juga mengecup dan
mencubit-cubit dengan bibirku batang penisku dari arah kepala sampai kedua bola
di pangkalnya. Dan yang gila, ia kini bisa mengkombinasikan antara kuluman dan
kocokan tangan. Penisku digenggamnya di bagian atas lalu diturunkannya ke
pangkal batang. Ketika bagian kepala penisku keluar dari ujung genggamannya,
mulutnya langsung menyambut untuk dikulum. Demikian seterusnya. Aku hanya bisa
berkata "Bii.. bibii.. ennaakk.. aahh.." seraya membelai-belai punggungnya yang
putih mulus itu. Kadang-kadang belaianku itu mendekati belahan pantatnya, yang
sesekali kuremas gemas.

{{Hebat kau Laha, aku iri padamu. Kau bisa membuat pemuda itu mengerang keenakan
dengan sedotan dan hisapanmu. Itu berarti, kau ahli memuaskan lelaki.}}

Aku mencabut penisku dari mulutnya lalu mengecup bibirnya mesra. "Terima kasih
Bi.., Bibi memang baik sekali.." "Tapi, kamu kan belum keluar 'yang..?" "Hehe..
nanti juga keluar sendiri.. bi.. pinjam susunya dong.." Aku meletakkan penis
besarku di belahan buah dada bibiku yang montok itu. Seakan sudah berpengalaman,
perempuan itu menjepit penisku dengan buah dada kiri kanannya, lalu pelan-pelan
mulai bergerak naik turun. "Oaah.. Oaahh.. Bii.. Bibii jepitan susunya nikmat
bangeett.. penis saya rasanya diremes-remes.. aahh..".

{{Nuke mengangkat kedua pahanya sehingga dengkulnya nyaris menyentuh buah
dadanya, lalu ia memasukkan jari tengahnya ke dalam liang vaginanya. aahh, aku
tak tahan lagi mendengar permainan mereka. Aku ingin cepat-cepat orgasme lagi.
Dan perempuan itu mulai memutar-mutarkan jarinya di liang lembab itu. Rafi,
Laha, kalian memang gila. Belum pernah aku mendengar kisah persetubuhan sepanas
kalian. Apalagi yang sedang kalian lakukan sekarang. Menjepit penis dengan kedua
buah dada? Lalu, si lelaki menggerakkan penisnya maju mundur? Ohh benar-benar
sensasional! Tiba-tiba didengarnya suara pemuda itu berkata, "Bii.. saya ngga
tahan lagi.. bibi benar-benar merangsang birahi saya.. Coba sekarang bibi
berdiri menungging. Pegang dudukan sofa ini.."
"Begini Fi..?"
"Yak.. betul. Kakinya dibuka agak lebar.. yak. Fuuhh.. Pantat bibi seksi
sekalii.." Terdengar suara pemuda itu seperti memuja sesuatu. "Kalau bibi goyang
seperti ini, kamu suka?" Laha mulai menggoda dengan nada senang. Tentu saja
senang. Siapa yang tak senang dipuji? Tanpa sadar Nuke berkata ketus dalam hati.
"'Yang.. kamu mau masukin dari belakang?"
"Yak.. ini satu lagi kesukaan saya.. bibi pernah melakukannya?"
"Boro-boroo.." Nuke tersenyum masam mendengar jawaban Laha. Perempuan itu benar.
Kang Iyus adalah lelaki tanpa fantasi. Baginya seks adalah suatu kewajiban.
Bukan alat untuk mencapai kenikmatan. Nuke pun mulai bisa mengerti mengapa
isteri tua suaminya itu nekad berselingkuh dengan keponakannya sendiri. Tiba-
tiba terdengat suara Laha merintih-rintih. "Sakit bi..?" Oh, pemuda itu mulai
memasukkan penisnya dari belakang! Ow, pasti nikmat sekali..!}}

"Sedikit.. ss.. pelan-pelan ya yang..?" Bi Laha mencengkeram kain dudukan sofa
itu seraya menggigit bibir. Rupanya ia merasa sakit menerima peneterasi dari
arah belakang untuk pertama kalinya. Baru separuh penisku memasuki vaginanya.
Aku membelai pantat yang sedang menungging itu, terus ke arah punggung, lalu ke
bawah menyambut buah dadanya yang bergelantungan. Kepalanya menengok kebelakang
ingin melihat bagaimana penis besarku memasuki vaginanya.
"Coba dorong lagi Fi.. sedikit-sedikit ya..?" Aku mengangguk dan mendesakkan
penisku semakin dalam. "Yaahh.. iyyaahh.. RAFii.. auh.. panjang sekali punyamu
yang.." Perempuan itu menjerit ketika seluruh penisku amblas tertanam dalam
vaginanya yang becek itu. Lalu mulailah aku menikmati posisi kesukaanku itu.
Kuhentakkan keras-keras pinggulku ke pantat Bi Laha. Setiap hentakan menyebabkan
pantatnya bergetar dan buah dadanya berayun keras. Setiap hentakan itu juga
menyebabkan mulut seksi perempuan berusia 30-an itu menjerit dan meringis. Lalu
tempelkan perut dan dadaku di punggung mulusnya. Tangan kananku mulai meremas-
remas kedua buah dadanya serta memilin putingnya, sedang tangan kiriku mengocok
tonjolan daging di pangkal vagina yang dipenuhi oleh bulu-bulu keriting itu.
"aahh.. aahh.. nikmat sekali yang.. posisi ini ennaakk.." Hampir 5 menit kami
bergumul dalam posisi menungging. Tiba-tiba kurasakan desiran itu bergerak cepat
dari ujung kepala, turun ke dada, melewati perut, dan terus ke selangkangan..
Otot-ototku mulai menegang.
"Bii.. bibi.. Saya mau keluar bii.."
"Ya sayang.. ayo sayang.. bibi juga mau keluar.. bibi juga mauu.."

{{Ooohh Rafii, aku jugaa.. Nuke mempercepat tusukan jari tengah di vaginanya.
Terdengar suara mobil suaminya memasuki halaman. Nuke tak peduli.}}

Aku mendekatkan kepalaku ke kepalanya, Bi Laha menengok dan menyambut ciumanku
dari belakang. Kami saling memagut sambil terus merasakan gesekan-gesekan di
kelamin kami yang semakin cepat, kocokanku di klitorisnya yang semakin liar,
remasanku di buah dadanya yang semakin keras, ciuman kami yang semakin buas
diiringi "mmhh.. mmhh.." yang semakin keras dan sering. Tiba-tiba otot-otot
tubuh kami menegang, lalu semakin menegang, semakin menegang, lalu..
"Bibii saya keluaar.. aahh.."
"Bibi juga sayang, bibi jugaa.. nngg.."

{{Tubuh Nuke meregang, lalu ia menusukkan jemarinya dalam-dalam. Dan.. aaouuhh..
aku orgasme.. aku orgasmee! Gila! Untuk kedua kalinya! Terdengar suara pintu
mobil dibuka. Nuke melompat, menutup telepon, membawa kasur busa dan menghilang
ke balik kamar tidurnya.}}

Malam itu, atas permintaannya aku menyetubuhi bibiku sekali lagi di atas meja
makan. Untuk membalas hutang tadi siang, begitu alasannya dengan nada gurau.
Sesudah itu kamipun tidur berpelukan dengan mesra di kamarku sambil bertelanjang
bulat. Sebelum tidur kami mengucapkan beberapa kata cinta dan berciuman lamaa
sekali.

TAMAT

Tidak ada komentar: