Sehabis menikah aku langsung mengikuti
suami tinggal di Ibu Kota, Jakarta. Sebagai pegawai negeri suamiku hanya
bisa kontrak rumah petak untuk tempat kami berteduh dan seseorang
memiliki alamat untuk pulang. Sangat beda rasanya rumah di kota asalku
Salatiga dimana hubungan antar manusia masih demikian kental dan saling
manusia memanusiakan antara satu terhadap yang lain. Sementara di
Jakarta yang aku rasakan pertemuan antar manusia semata-mata lebih
didorong oleh adanya kebutuhan duniawi. Hubungan akan berarti baik
apabila seseorang bisa memberikan manfaat dunia lebih besar dari yang
lain. Di Jakarta orang lebih berhitung pada masalah jumlah dengan
mengorbankan mutu. Kalau aku bisa memberi lebih banyak dari yang lain
berarti aku lebih baik dari yang lain, dan pantas menerima sikap hormat
yang lebih tinggi dari yang lain.
Demikianlah suamiku yang dosen
Universitas Negeri yang notabene pegawai negeri dengan embel-embel Ir.
di depan namanya plus MM di belakangnya tidak mampu meraih penampilan
dan nilai yang layak di tengah masyarakat di sekitarku.
Di sebelah rumahku, tinggal keluarga Mas
Tondy. Keluarga Mas Tondy sudah tinggal di kawasan itu selama lebih
dari 5 tahun. Kami adalah tetangga baru bagi mereka. Walaupun begitu,
kami bertetangga cukup akrab dan sangat harmonis hubungan antara 2
keluarga ini. Mas Tondy sendiri adalah penjaga gudang di daerah Cakung
yang mengkontrak petak di sebelah kananku rumahku. Aku akui keluarga itu
lebih memiliki nilai karena tampilan dunianya jauh lebih dari tampilan
kami. Walaupun mengontrak, tapi gaya hidup Mas Tondy beserta keluarga,
tak kalah dengan keluarga kami, yang notabene memiliki pendidikan yang
lebih baik dari mereka. Itulah kenyataan metropolitan yang kadang susah
dipahami akal sehat. Bagaimana sebuah keluarga kelas menengah ke bawah
bisa bersaing dengan keluarga yang lumayan mapan seperti kami.
Kebutuhan MCK (mandi, cuci dan kakus) kami berhimpitan hanya dibatasi oleh selembar gedek yang rawan bolong-bolong. Hanya sikap morallah yang membatasi kami dalam arti yang lebih jauh. Bagi kami, khususnya bagi aku dan Dik Narti istri Mas Tondy tetangga sebelah, sumur adalah segala-galanya. Hampir 90% waktu kami habiskan di seputar sumur dan MCK-nya itu. Suami kami masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Bedanya kalau suamiku, Mas Naryo, seharian siang dia nggak ada di rumah, sementara kalau Dik Narti seharian malamnya suaminya jaga gudang di Cakung.
Antara para suami kami praktis jarang
jumpa berpapasan karena waktu kesibukannya yang saling terbalik.
Sementara kami para istri juga kesibukan melayani suaminya jatuh pada
waktu yang berbeda pula. Sebagai suami istri muda, Dik Narti baru keluar
dari kamarnya menuju ke sumur baru sekitar jam 11 siang. Tentu dia
harus siap melayani berbagai kebutuhan suaminya yang baru pulang setiap
jam 6 pagi itu. Aku sendiri sebagaimana yang lain bercengkerama dengan
suamiku pada malam harinya sepulang dari pekerjaannya. Kemungkinan
penyimpangan hanya terjadi pada saat-saat tertentu, misalnya salah satu
dari pasangan di antara kami ada yang sakit atau bepergian atau karena
sebab yang lain. Suasana seperti itu juga terjadi di keluarga tetangga
sekitar kami. Pada pagi hari rata-rata sepi. Anak-anak kami pergi ke
sekolah yang berbeda jadwal dan para suami hampir seharian penuh mencari
sandang pangan.
Telah 5 hari Dik Narti pulang ke desanya
dengan maksud menjemput adik lelakinya untuk diajak membantu di
Jakarta. Kulihat Mas Tondy menyiapkan sendiri segala kebutuhan
sehari-harinya yang mulai dia lakukan sekitar jam 10 atau 11 pagi,
seusai tidur sepulang jaga malam. Dia mencuci pakaiannya, membersihkan
rumah, mencuci perabot dapur dan sebagainya. Mau tidak mau aku sering
berpapasan di seputar sumur yang memang kami pakai berdua keluarga.
Walaupun begitu kami jarang saling bicara. Aku lebih senang begitu. Aku
takut omongan tetangga yang gampang usil. Mas Tondy hampir seharian
selalu berpakaian minimum dengan alasan udara Jakarta yang panas. Tanpa
“ewuh pekewuh” dia selalu hanya bercelana pendek dan melepas kemeja
kausnya. Aku suka mencuri pandang. Postur tubuhnya yang tinggi menjulang
itu tampak gagah; tegap, padat, kekar dan berotot. Mungkin pekerjaannya
yang sebagai penjaga gudang memang pantas memiliki tubuh seperti itu.
Tubuh yang diam-diam kuimpi-impikan dalam setiap khayalan seksku kalau
sedang bermasturbasi, saat Mas Naryo sedang kerja tentunya.
Menurutku, Mas Tondy hanya cocok jadi
suamiku. Selain tinggi tubuh kami yang di atas rata-rata, juga karena
kami masing-masing punya tubuh indah terawat. Tubuh Dik Narti sendiri
tidak seseksi tubuhku karena aku punya jadwal tetap berolahraga di
sebuah pusat kebugaran. Sementara tubuh Mas Naryo sudah jelas kalah set
dari tubuh suami tetanggaku itu. Walaupun sama-sama tegap dan kekar,
tapi tubuh Mas Naryo tidak berlekak-lekuk dengan otot, seperti halnya
tubuh Mas Tondy. Kadang aku suka berkhayal kotor kalau melihat Mas Tondy
asyik mencuci pakaian kotornya dengan hanya mengenakan celana boxer
ketat. Bagaimana rasanya ditiduri lelaki macho nan jantan seperti dia
ya? apakah ukuran kontolnya juga sama dengan ukuran kontol suamiku? ah,
lelaki macho seperti dia mah, pasti barangnya gede punya. Pasti panjang,
keras dan berotot. Tak kalah dengan otot-otot kekar yang menghiasi
bagian tubuhnya yang lain. Memikirkan hal itu, aku merasa suka pusing
sendiri….
Pagi itu aku sedang masak di dapurku
yang sempit. Panasnya udara Jakarta memaksa aku sendiri mondar-mandir di
dapur dan sumur hanya menggunakan kutang dan kain yang kuikatkan
seenaknya. Membuat auratku yang indah ini terpampang menggoda. Ketika
itulah, tiba-tiba Mas Tondy muncul di pintu.
“Mbakyu Larsih, aku mau minta tolong
sedikit, nih”, sambil terus nyelonong memasuki rumahku. Aku kaget, mau
apa dia. Kulihat wajahnya yang ganteng itu tampak kemerahan dengan
matanya yang seperti kucing lapar melihat ikan asin menatap mataku. Aku
merasakan sesuatu yang tidak enak. Adakah yang sangat penting sehingga
dia harus masuk ke rumahku tanpa permisi lebih dahulu? Antara khawatir
dan ingin menolong tetangga aku bangun berdiri mengikuti langkahnya,
“Ada apa, Mas Tondy?”, aku melihat sorot matanya yang semakin menakutkanku…
“Jangan marah, ya Mbak. Masalahnya aku
bener-bener nggak tahan, nih. Dik Narti khan sudah 5 hari pulang
kampung. Aa.. kkuu.., mm.. maaf.., ya, Mbak, tadi pagi saat pulang jaga
malam aku mendengar Mbak dan Mas Naryo masih ada di kamar sedang asyik
masyuk”.
Deg, hatiku. Kenapa Mas Tondy teganya
ngomong begitu padaku. Aku nggak sempat berpikir lebih jauh saat dengan
serta merta dia meraih tubuhku dengan tangannya yang kuat membungkam
mulutku kemudian beringsut merebahkan aku ke kasur.
Kamarku yang memang hanya terpisah oleh
dinding gedek dapurku membuatnya mudah untuk melampiaskan hawa nafsunya.
Dengan sigapnya dia jejalkan gombal dari kantongnya ke mulutku yang aku
rasa telah dia siapkan sebelumnya. Kemudian dengan kekuatan ototnya
ditelikungnya tanganku untuk dia ikatkan ke ranjangku. Aku langsung
dilanda ketakutan yang amat sangat. Aku ingat suamiku, ingat sanak
keluargaku. Mungkinkan Mas Tondy mau membunuhku? Tetapi justru
ketakutanku itulah yang membuat aku lemas dan langsung menyerah.
“mBak Larsih nggak usah takut, aku nggak
akan nyakitin mBak, kok. Aku hanya perlu sebentar saja. Aku sudah
pengin banget, nih. Tadi pagi saat Mas Naryo menyetubuhi mBak Larsih aku
ngintip dari balik dinding”, dia berbisik dengan tajam ke telingaku
untuk meyakinkan bahwa aku nggak akan disakitinya,
“Aku nggak tahan, mBak, tolongin aku, Mbak..”, dia langsung merangsek buah dadaku dengan buasnya. Aku melawannya karena hal semacam ini tak pernah sama sekali terbit dalam pikiranku dan bayanganku.
“Aku nggak tahan, mBak, tolongin aku, Mbak..”, dia langsung merangsek buah dadaku dengan buasnya. Aku melawannya karena hal semacam ini tak pernah sama sekali terbit dalam pikiranku dan bayanganku.
“Aku nggak tahan bener, mBak.. Tolongin
aku, mBak..”, kini ketiakku dia ruyaki sambil menyedoti dan menciumi
habis-habisan. Dengan tanganku yang terikat sisa tenagaku sama sekali
nggak sebanding dengan penjaga gudang berotot ini. Dengan kasar penuh
nafsu kain penutup tubuhku dia tarik dan lepasi dengan mudahnya.
Tangannya yang kasar dan kokoh itu langsung mengelus-elusi pahaku.
Kemudian dengan cepat juga jari-jarinya menyeruak kekemaluanku. Aduh,
nggak pernah terpikir olehku akan ada lelaki selain suamiku yang
menyentuh barang kehormatanku ini. Aku tidak begitu saja bisa menerima
kenyatan ini. Aku menangis pilu walaupun hanya air mataku saja yang
menampakkan tangisku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sebagai tanda
penolakanku akan perbuatan Mas Tondy ini. Aku anggap dia sudah sangat
keterlaluan. Berlaku senonoh. Tidak menghormati aku, suamiku,
keluargaku. Aku sangat takut akan aib yang akn menimpa kami.
Tetapi Mas Tondy terus membisiki aku,
“Tenang mBak Larsih, nggak apa-apa. Jangan takut, nggak ada yang bakalan
tahu. Hanya kita berdua saja yang tahu. Aku berjanji untuk seumur
hidupku hanya akan menjadi rahasia kita berdua saja”. Benarkah? Penjaga
gudang ini ternyata memang lihai membuatku terlena. Benar atau tidak
kata-katanya itu ternyata mampu memberikan aku kesejukan.
Setidak-tidaknya melerai rasa takutku bahwa dia akan melukaiku.
Seakan-akan aku diberinya pilihan, melawan dengan risiko dia akan
bertindak brutal, atau menyerah pasrah dengan risiko aku harus melayani
nafsu birahinya. Menyadari keterbatasanku saat ini, maka pilihan
kedualah yang aku pilih. Hal-hal lain soal nantilah, yang penting aku
selamat lebih dahulu.
Kini aku mulai merasakan secara rinci
apa yang sedang dia lakukan padaku. Jari-jarinya yang kasar terus
menari-nari di kemaluanku terasa sangat menggelikan saraf-saraf peka
birahiku. Aku mulai merasakan kenikmatan. Aku merasakan jari-jari Mas
Tondy sangat pintar membangkitkan kehausan birahi para wanita.
Melihat aku bersikap menyerah dan pasrah
dia semakin ganas melumati ketiak yang kemudian melata bergeser ke
leherku, ke tepian kupingku, lalu ke payudaraku.
“mBak Larsih, mBak sangat cantik sekali.
Aku tadi pagi mengintip mBak yang sedang digauli Mas Naryo, oh, mBak..,
aku nggak tahan melihat wajah mBak yang menggelinjang menerima
kenikmatan dari Mas Naryo. Sekarang mBak mesti nyobain kenikmatan dari
aku, ya, mBak?”
Kemudian dengan pelan tetapi pasti Mas
Tondy membelah selangkanganku. Dia menempatkan tubuh atletisnya tepat di
antara selangkanganku. Dan dengan sekejap aku merasakan sesuatu yang
hangat panas mendesak-desaki kemaluanku. Aku sudah tahu, itu kontolnya.
Tapi yang membuatku kaget, ukuran kontolnya ternyata sama persis seperti
bayanganku selama ini.
Rasa pasrah dan menyerahku hanya
memberikan aku satu pilihan, nikmatilah! Akupun pasrah… mencoba mencari
kenikmatannya. Saat Mas Tondy terus mendesakkan kontol pisang tanduknya
dengan cara mendorong menaik-turunkan tubuhnya memompakan kontolnya ke
kemaluanku, dengan refleks aku membalasnya dengan memainkan pantatku.
Aku memutar-mutar bokongku kemudian
menaik turunkannya untuk menjemput kontolnya. Aku merasakan rasa gatal
yang luar biasa nikmat terasa di lubang vaginaku. Aku juga mulai
merasakan cairan birahiku yang membanjir di dalam lubang vaginaku. Dan
itu juga langsung diketahui oleh Mas Tondy yang semakin cepat dan keras
mendesakkan kontolnya ke kemaluanku.
Dan tanpa ayal lagi, akhirnya seluruh
batangan kontol Mas Tondy tenggelam dilahap kemaluanku. Hoohh.., aku
tidak menduga bahwa aku akan mendapatkan kenikmatan yang sangat luar
biasa di pagi hari ini. Kontol super Mas Tondi yang berada dalam
terkaman nonokku keluar masuk menggelitiki dinding-dinding peka
vaginaku. Aku menggelinjang, mendesah dan merintih lirih. Aku ikut
memompa mengimbamgi pompaan Mas Tondy.
Mas Tondy menatapku sesaat sementara
kontolnya terus memompa memekku. Kemudian dia lepaskan sumpal mulutku
untuk selanjutnya dia daratkan bibirnya ke bibirku. Kami saling melumat.
Aku merasa sangat kehausan. Lepas dari sumpal itu sungguh melegakan.
Dan kini sikapku adalah ingin memberikan sepenuhnya kepuasan kepada Mas
Tondy. Aku sudah memasuki gerbang nafsuku sendiri. Aku sudah lupa dengan
tanggung jawab moralku sebagai istri dari Mas Naryo. Yang ada
dipikiranku saat ini adalah perasaan ingin menikmati peristiwa ini
sepuas-puasnya. Aku sangat ingin meraih nikmatnya madu pemerkosaan
lelaki jantan ini di tubuhku. Aku melumat habis-habisan bibir seksinya.
Aku hisap-hisap lidahnya, aku sedoti ludahnya. Aku mengerang dan
meracau,
“Mas Tondy, maafin aku, ya.., aku tadi
takut banget.., Mas Tondy, uuhh.. Kontolmu ennaakk banget.. Mas Tondy,
maafin mBak Larsih, ya.. Mas Tondii.. teruszzhh.. ennhhaakk bangett..”,
dan Tondy terus memompakan kontolnya ke
memekku dengan mantap sekali. Kami telah meraih irama persanggamaan
bersama. Kami sedang mengejar kepuasan puncak dari persanggamaan ini.
Akhirnya tali yang mengikat tangankupun
dilepaskannya. Kini tak ada lagi pemerkosaan. Yang ada adalah
kesepakatan bersama untuk meraih puncak nikmat birahi. Keringat mulai
membanjir dari tubuh-tubuh kami. Mas Tondy menggenjot dan aku menjemput.
Kakiku kunaikkan ke pundaknya yang kokoh hingga kontol Mas Tondy terasa
mentok menyentuh rahimku. Nikmat yang kurasakan sungguh luar biasa.
Dari penyebab awalnya dimana norma sopan dan adab tak lagi dijadikan
batasan membuat aku juga bisa berlaku saenakku, kini kurenggut kepala
Mas Tondy yang berambut cepak itu. Kudekatkan ke wajahku dan kukenyoti
bibirnya sambil kukasari kepalanya. Nonokku yang gatalnya semakin nggak
ketulungan membuat aku jadi buas, binal dan liar… suatu peristiwa yang
tak pernah terjadi saat aku bersanggama dengan suamiku selama ini.
Mungkin ini pengaruh dari tubuhnya yang atletis itu, atau aroma
keringatnya yang maskulin itu, atau nikmatnya dientot dengan kontolnya
yang dahsyat itu? aku tak tahu….
Aku menggelinjang-gelinjang dengan
sangat hebatnya. Aku berteriak histeris tertahan sebagai wujud
pelampiasan nafsu birahiku yang tak terkendali ini. Aku ingin dipuaskan
sejadi-jadinya. Aku berguling ke atas. Dengan rambutku yang telah lepas
terurai dari ikatannya dan dengan keringat yang semakin membasah
mengucur dari tubuhku, aku tumpakin tubuh Mas Tondy. Aku desakkan
habis-habisan nonokku ke kontolnya untuk menggaruk lebih keras kegatalan
birahi di dalamnya. Aku sangat gelisah dan resah menunggu hadirnya
orgasmeku. Setiap kali aku mendongak dan menyibakkan rambutku kemudian
kembali menunduk histeris. Tangan-tanganku mencekal bukit otot di dada
Mas Tondy hingga kuku-kukuku menancap dalam ke dagingnya. Mas Tondypun
seakan tak mau kalah. Dia membenamkan wajah tampannya ke payudaraku
untuk menyusui kedua belah payudaraku yang ranum itu sepuasnya.
Sementara di bawah sana, rasa gatal yang sangat nikmat mendesaki
nonokku.Aku tahu ini sebagai tanda bahwa tak akan lama cairan birahiku
akan tumpah ruah. Aku sudah demikian lupa diriku.
Akhirnya kami sama-sama mencapai
kepuasan puncak kami. Cairan hangat yang menyemprot dari kontol Mas
Tondy ke dalam nonokku langsung disambut dengan muntahan berlimpah
cairan birahi nonokku. Aku langsung tersungkur sementara kedutan-kedutan
kontol Mas Tondy belum sepenuhnya usai.
Untuk sesaat kami memang beristirahat. Namun nafsu birahi yang masih berakar kuat di tubuh kami masing-maisng mendorong kami untuk melakukannya lagi dan lagi. Siang hari itu kami habiskan bak pengantin baru. Kami bercinta sepuasnya dalam berbagai gaya dan tempat di rumah itu, diakhiri dengan gaya anjing yang spektakuler di ranjangku.
Untuk sesaat kami memang beristirahat. Namun nafsu birahi yang masih berakar kuat di tubuh kami masing-maisng mendorong kami untuk melakukannya lagi dan lagi. Siang hari itu kami habiskan bak pengantin baru. Kami bercinta sepuasnya dalam berbagai gaya dan tempat di rumah itu, diakhiri dengan gaya anjing yang spektakuler di ranjangku.
Siang itu untuk pertama kalinya aku
berhasil meraih orgasmeku berkali-kali. Satu hal yang tak akan pernah
rasanya kudapatkan kalau aku bercinta dengan suamiku sendiri. Nyaris 2
jam kami bercinta, aku terkapar terbadai kelelahan di pelukan Mas Tondy.
Tiba-tiba aku dilanda perasaan sangat
menyesal. Aku seharusnya tak melakukannya. Aku merasa benar-benar kotor.
Namun, saat aku masih melamun dalam penyesalan, tiba-tiba Mas Tondy
bangkit dari ranjangku. Dia mencium keningku dan berlalu. Kudengar
bisikan terima kasih dari bibirnya. Tiba-tiba aku merasa ingin sekali
lagi menangkapnya untuk mengecup bibir seksinya sekali lagi, tapi dia
telah hilang di balik pintu.
Siang itu aku tidak masak. Rasa penat
disekujur tubuhku akibat disenggamai lelaki gagah itu membuatku
bermalasan sepanjang hari itu. Saat Mas Naryo pulang sore harinya,
kulihat dia membawa bungkusan plastik di tangannya. Dia membawa mie
goreng dan puyunghai kesukaanku. Seakan aku melupakan apa yang telah
terjadi siang tadi kini aku duduk makan bersama suamiku dengan perasaan
penuh galau. Pada Mas Naryo aku sampaikan keinginanku untuk beberapa
waktu aku pulang mudik. Aku bilang sudah kangen sama sanak famili di
Salatiga. Mas Naryo menatap aku, menatap mataku. Dia berusaha membaca
relung hatiku. Dia setuju aku pulang. Dia menyadari bahwa aku masih
dalam proses adaptasi dalam menyelami kehidupan Jakarta. Dia akan
menjemputku saat kembali ke Jakarta nanti.
Rupanya permintaanku pulang dia sambut
dengan sebuah rencana yang memberikan kejutan bagiku. Sesudah barang
tiga minggu dengan penuh rindu aku menunggu jemputan Mas Naryo, dia
menelponku. Dia bilang bahwa tidak bisa datang menjemputku karena
kesibukkan di kampusnya. Tetapi dia telah mengirimkan 5 lembar tiket
Garuda yang bisa aku ambil di kantor Garuda Semarang. Dia minta supaya
aku mengajak serta kedua orang tuaku dan 2 orang adikku yang sedang
liburan sekolah. Sesuai dengan hari yang ditetapkan Mas Naryo
menjemputku di bandara Sukarno Hatta dengan sebuah Kijang baru. Aku
heran ternyata Mas Naryo bisa menyopir mobil sendiri.
Dan kejutan yang paling hebat dari Mas
Naryo adalah saat mobil Kijang ini tidak meluncur ke rumah yang kukenal
sebagai rumah kami selama ini. Melalui jalan tol Jagorawi Mas Naryo
membawa mobilnya ke kompleks perumahan dosen di Cibubur. Kami memasuki
rumah baru kami yang besar dan luas. Segala barang-barang dari rumah
lama telah dipindahkan seluruhnya ke rumah baru ini. Aku melihat
bagaimana orang tuaku dan adik-adikku menyambut gembira atas limpahan
rejeki dan rahmat kepada kami. Di depan mereka Mas Naryo merangkul aku
dan mencium pipiku yang kusambut dengan sepenuh hangat hatiku. Aku
membulatkan tekadku untuk sepenuhnya mengabdi dan mendukung segala usaha
dan karier Mas Naryo suamiku.
Namun hubungan mesumku dengan Mas Tondy
tak berakhir begitu saja. Walaupun kami sudah tinggal berjauhan,
kerinduan untuk mengulangi peristiwa indah di hari itu selalu terpatri
kuat di benakku dan di benak Mas Tondy. Tak heran sejak peristiwa nikmat
di rumah kontrakanku itu, secara teratur kami masih berhubungan. Kami
sering bertemu untuk menyalurkan nafsu hewaniah kami di mana saja kami
mau. Di hotel, motel, puncak, Carita, dan tempat-tempat perselingkuhan
lainnya.
Akupun baru sadar sekarang, Mas Naryo adalah suami sahku, tetapi Mas Tondylah suami seksualku yang sebenarnya…
Jakarta, Diceritakan kembali oleh Larsih Sunaryo
E N D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar